Setelah pembicaraan konyol mengenai sosok wanita bernama Emmy Zohra, mobil terus melaju meninggalkan jalanan berdebu dan gelap di belakangnya. Hanya deru mobil dan jejak ban melindas bebatuan yang terdengar samar hingga ke dalam. Selebihnya, suasana did alam mobil terbilang sangat hening. Semua orang seakan sibuk dengan pikirannya sendiri. Terutama Arsya yang pikirannya kembali mengulang pembicaraan Eric di dalam gudang. Pikirannya berkelana ke mana-mana sampai akhirnya ia menunduk melihat kancing kemejanya yang terbuka. Sosok Indah masuk dalam pikirannya detik itu juga.Sepenting apa sosok Emmy Zohra yang dikatakan Dean barusan sampai ia harus menaklukkan wanita itu melalui visualnya lebih dulu?Mobil terus melaju menembus kegelapan malam dengan pemandangan yang berubah-ubah di kanan kirinya. Kadang pepohonan, kadang hamparan tanah yang naik turun. Kadang juga galian-galian bekas tambang yang ditinggalkan begitu saja.Dean membuka kaca jendela sampai setengahnya. Tatapannya menyapu k
Dean yang tadi memasang wajah tidak serius kini memandang pria di hadapannya dengan sangat serius.“Bukan begini janjinya,” kata Dean.“Saya tidak masalah masuk sendiri ke dalam. Tapi kalau kesepakatan sebelumnya bukan begini, saya anggap kalian bukan orang yang bisa dipegang ucapannya. Dan untuk itu … sebaiknya saya tidak melanjutkan pertemuan ini. Saya anggap kita semua punya kepentingan yang sama.” Arsya menekankan ucapannya pada kalimat terakhir.Raut wajah pria tegap di depan Arsya berubah. Terlihat mulai goyah karena kepercayaan diri yang ditunjukkan Arsya.“Ingat tiga orang kalian yang sedang ditahan polisi. Kalau Nona Emmy menahan kami di depan pintu cuma untuk melihat keseriusan, lebih baik cepat masuk ke dalam dan katakan hari sudah larut malam dan Pak Arsya perlu istirahat karena baru tiba.” Ucapan Dean jelas dan tegas. Membuat salah seorang pria berbalik dan menuju ke dalam rumah. Tak berapa lama suara pintu yang cukup keras terdengar dari dalam. Arsya dan Dean serentak m
Pertemuan malam itu akhirnya selesai. Arsya menarik napas lega di mobil dan Dean masih terus mengawasi kedua orang pria penjaga Emmy Zohra yang sejak awal tidak meninggalkan mereka.“Emmy Zohra mungkin sudah lama kehilangan kepercayaannya terhadap pendatang. Sikapnya terlihat hati-hati, ucapannya bijak tapi sembrono sekaligus. Sepertinya Emmy Zohra cukup lelah malam ini. Suasana hatinya agak kacau. Bicara dengan intonasi naik turun seakan sedang memilih lebih cocok menggunakan intonasi yang mana terhadap kita.” Arsya memberikan pandangannya pada Dean.Dean terlihat takjub. “Sa, aku nggak nyangka kamu bisa memperhatikan orang sedetil ini. Sepertinya Om Ari benar-benar berhasil menjadikan kamu PresDir yang bijak dan penuh pertimbangan.”“Semoga aku akan terus bijak agar bisa pulang ke Jakarta dengan kabar baik dan menenangkan para komisaris yang mau memecatku.” Arsya tertawa kecil. Ketegangan malam itu sedikit luruh karena percakapan santainya bersama Dean.“Sepertinya dia juga baru tib
Saat Dean tiba di depan kamarnya, wanita bernama Tiara yang mengantar masih terus menjelaskan tentang bangunan itu. “Karena Bapak baru pertama kali ke sini,” kata Tiara. Dean pun mengangguk. “Saya akan antar Bapak ke dalam dan menunjukkan beberapa hal yang mungkin Bapak harus tahu.” Tiara hendak memegang handle pintu tapi tangan Dean lebih dulu memegangnya. “Kamu sampai di sini aja. Saya bisa memastikan bahwa saya menguasai semua hal yang ada di dalam kamar ini. Saya rasa kamar yang saya tempati tidak lebih mewah dari hotel bintang lima dan tidak lebih sederhana dari rumah di desa, kan?” Satu alis Dean terangkat. Ia mengambil kunci dari tangan Tiara dan merentangkan tangannya meminta wanita itu segera pergi. Pria tua yang mengikuti mereka cepat-cepat meletakkan tas dan koper Dean di depan pintu. “Ini semua barang-barang Bapak. Selamat beristirahat, Pak,” ucap pria tua itu seraya menunduk. Sejurus kemudian pria itu sudah berjalan mundur dan sedikit tergesa menuju tangga manual.
Ruang tempat lima orang pria itu berdiri mendadak lengang. Sebuah jarum jatuh pun pasti akan terdengar. Semua orang terdiam mendengar kabar dari Dean. “Meninggal? Racun? Orang gila mana yang bisa menyeludupkan racun ke tahanan?” Suara Abdul bergetar. “Mungkin dia bunuh diri karena memikirkan efek sosial seandainya dia bebas dari penjara nantinya.” Abdul masih tercenung di depan laptopnya. “Harusnya kamu nggak nanya orang gila mana yang menyeludupkan racun, tapi orang gila mana yang zaman sekarang masih mikirin efek sosial setelah bebas dari penjara. Yang salah aja jarang mikir begitu apalagi untuk orang yang berdiri di pihak benar. Kalian semua mau ikut ke kantor polisi atau sebagian mau di sini?” Dean masih berdiri di dekat meja. “Sebenarnya kita perlu meeting sebentar tapi aku nggak yakin apa sekarang bisa,” ujar Arsya dengan nada ragu. “Kalau begitu cukup aku, kamu dan Galih aja yang ke kantor polisi. Vino dan Abdul di sini aja untuk merampungkan bahan meeting. Jadi, kalau si
“Maaf tadi saya belum sempat memperkenalkan diri. Saya adalah Dean Danawira kuasa hukum dari Bapak Arsya Anggara Subianto. Selanjutnya saya adalah orang yang akan dihubungi jika ada sesuatu yang ingin disampaikannya pada Bapak Arsya. Baiklah … saya membawa bukti yang cukup banyak yang akan menegaskan bahwa SB Industrial Energy tidak ada hubungannya dengan PT. E yang beberapa waktu didemo oleh masyarakat. Ini adalah salinan akta pendirian dan struktur perusahaan PT. E yang selama ini nyaris tidak diketahui siapa pun di daerah ini. Termasuk oleh Anda, Nona Emmy Zohra.” Dean mengangguk dengan sopan. Emmy Zohra berdiri mengambil kertas yang diangsurkan Dean dan membacanya dengan teliti. “Pemiliknya Eric Widjaja? Yang punya Pelita Sentosa?” Emmy memandang kertas dan Dean bergantian. “Jadi, kantor itu bukan milik SB Industrial Energy?” “Nona Emmy, andai dari awal kalian mau mengirimkan perwakilan untuk bermediasi dengan benar, mungkin semuanya tidak sampai serumit ini. Kalian juga tidak
Jantung Arsya terasa akan berhenti saat Emmy meraih ponsel dan mengatakan sesuatu soal truk. Apakah bujukannya yang nyaris tanpa usaha itu mampu membuat Emmy luluh dengan mudah? “Kemungkinan besar saya tidak ke sekretariat hari ini. Dari kantor polisi tadi tiba-tiba saya nggak enak badan. Jadi, urusan truk saya serahkan ke Taslim. Dia yang akan bawa perwakilan SB Industrial Energy mengeluarkan truk. Mengerti, kan? Oke … baik.” Emmy mengakhiri pembicaraan dan memandang Arsya yang menyimak dari tadi. “Sudah, Pak Arsya,” kata Emmy. Dalam kecanggungan suasana di dalam mobil, Arsya bisa merasakan kalau Dean di belakang menyimak tiap huruf yang mereka ucapkan. Dean pasti ikut puas dengan hal yang baru dikatakan Emmy dan sedang menyusun cerita baru untuk mengantar wanita itu serta pamit secepat mungkin. “Pak Arsya dan teman-teman bisa mampir kalau berkenan. Kita bisa membicarakan rencana yang akan kita lakukan dengan PT. E. Saya sudah bilang nggak enak badan ke rekan-rekan saya.” Antara u
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”