Dean yang tadi memasang wajah tidak serius kini memandang pria di hadapannya dengan sangat serius.“Bukan begini janjinya,” kata Dean.“Saya tidak masalah masuk sendiri ke dalam. Tapi kalau kesepakatan sebelumnya bukan begini, saya anggap kalian bukan orang yang bisa dipegang ucapannya. Dan untuk itu … sebaiknya saya tidak melanjutkan pertemuan ini. Saya anggap kita semua punya kepentingan yang sama.” Arsya menekankan ucapannya pada kalimat terakhir.Raut wajah pria tegap di depan Arsya berubah. Terlihat mulai goyah karena kepercayaan diri yang ditunjukkan Arsya.“Ingat tiga orang kalian yang sedang ditahan polisi. Kalau Nona Emmy menahan kami di depan pintu cuma untuk melihat keseriusan, lebih baik cepat masuk ke dalam dan katakan hari sudah larut malam dan Pak Arsya perlu istirahat karena baru tiba.” Ucapan Dean jelas dan tegas. Membuat salah seorang pria berbalik dan menuju ke dalam rumah. Tak berapa lama suara pintu yang cukup keras terdengar dari dalam. Arsya dan Dean serentak m
Pertemuan malam itu akhirnya selesai. Arsya menarik napas lega di mobil dan Dean masih terus mengawasi kedua orang pria penjaga Emmy Zohra yang sejak awal tidak meninggalkan mereka.“Emmy Zohra mungkin sudah lama kehilangan kepercayaannya terhadap pendatang. Sikapnya terlihat hati-hati, ucapannya bijak tapi sembrono sekaligus. Sepertinya Emmy Zohra cukup lelah malam ini. Suasana hatinya agak kacau. Bicara dengan intonasi naik turun seakan sedang memilih lebih cocok menggunakan intonasi yang mana terhadap kita.” Arsya memberikan pandangannya pada Dean.Dean terlihat takjub. “Sa, aku nggak nyangka kamu bisa memperhatikan orang sedetil ini. Sepertinya Om Ari benar-benar berhasil menjadikan kamu PresDir yang bijak dan penuh pertimbangan.”“Semoga aku akan terus bijak agar bisa pulang ke Jakarta dengan kabar baik dan menenangkan para komisaris yang mau memecatku.” Arsya tertawa kecil. Ketegangan malam itu sedikit luruh karena percakapan santainya bersama Dean.“Sepertinya dia juga baru tib
Saat Dean tiba di depan kamarnya, wanita bernama Tiara yang mengantar masih terus menjelaskan tentang bangunan itu. “Karena Bapak baru pertama kali ke sini,” kata Tiara. Dean pun mengangguk. “Saya akan antar Bapak ke dalam dan menunjukkan beberapa hal yang mungkin Bapak harus tahu.” Tiara hendak memegang handle pintu tapi tangan Dean lebih dulu memegangnya. “Kamu sampai di sini aja. Saya bisa memastikan bahwa saya menguasai semua hal yang ada di dalam kamar ini. Saya rasa kamar yang saya tempati tidak lebih mewah dari hotel bintang lima dan tidak lebih sederhana dari rumah di desa, kan?” Satu alis Dean terangkat. Ia mengambil kunci dari tangan Tiara dan merentangkan tangannya meminta wanita itu segera pergi. Pria tua yang mengikuti mereka cepat-cepat meletakkan tas dan koper Dean di depan pintu. “Ini semua barang-barang Bapak. Selamat beristirahat, Pak,” ucap pria tua itu seraya menunduk. Sejurus kemudian pria itu sudah berjalan mundur dan sedikit tergesa menuju tangga manual.
Ruang tempat lima orang pria itu berdiri mendadak lengang. Sebuah jarum jatuh pun pasti akan terdengar. Semua orang terdiam mendengar kabar dari Dean. “Meninggal? Racun? Orang gila mana yang bisa menyeludupkan racun ke tahanan?” Suara Abdul bergetar. “Mungkin dia bunuh diri karena memikirkan efek sosial seandainya dia bebas dari penjara nantinya.” Abdul masih tercenung di depan laptopnya. “Harusnya kamu nggak nanya orang gila mana yang menyeludupkan racun, tapi orang gila mana yang zaman sekarang masih mikirin efek sosial setelah bebas dari penjara. Yang salah aja jarang mikir begitu apalagi untuk orang yang berdiri di pihak benar. Kalian semua mau ikut ke kantor polisi atau sebagian mau di sini?” Dean masih berdiri di dekat meja. “Sebenarnya kita perlu meeting sebentar tapi aku nggak yakin apa sekarang bisa,” ujar Arsya dengan nada ragu. “Kalau begitu cukup aku, kamu dan Galih aja yang ke kantor polisi. Vino dan Abdul di sini aja untuk merampungkan bahan meeting. Jadi, kalau si
“Maaf tadi saya belum sempat memperkenalkan diri. Saya adalah Dean Danawira kuasa hukum dari Bapak Arsya Anggara Subianto. Selanjutnya saya adalah orang yang akan dihubungi jika ada sesuatu yang ingin disampaikannya pada Bapak Arsya. Baiklah … saya membawa bukti yang cukup banyak yang akan menegaskan bahwa SB Industrial Energy tidak ada hubungannya dengan PT. E yang beberapa waktu didemo oleh masyarakat. Ini adalah salinan akta pendirian dan struktur perusahaan PT. E yang selama ini nyaris tidak diketahui siapa pun di daerah ini. Termasuk oleh Anda, Nona Emmy Zohra.” Dean mengangguk dengan sopan. Emmy Zohra berdiri mengambil kertas yang diangsurkan Dean dan membacanya dengan teliti. “Pemiliknya Eric Widjaja? Yang punya Pelita Sentosa?” Emmy memandang kertas dan Dean bergantian. “Jadi, kantor itu bukan milik SB Industrial Energy?” “Nona Emmy, andai dari awal kalian mau mengirimkan perwakilan untuk bermediasi dengan benar, mungkin semuanya tidak sampai serumit ini. Kalian juga tidak
Jantung Arsya terasa akan berhenti saat Emmy meraih ponsel dan mengatakan sesuatu soal truk. Apakah bujukannya yang nyaris tanpa usaha itu mampu membuat Emmy luluh dengan mudah? “Kemungkinan besar saya tidak ke sekretariat hari ini. Dari kantor polisi tadi tiba-tiba saya nggak enak badan. Jadi, urusan truk saya serahkan ke Taslim. Dia yang akan bawa perwakilan SB Industrial Energy mengeluarkan truk. Mengerti, kan? Oke … baik.” Emmy mengakhiri pembicaraan dan memandang Arsya yang menyimak dari tadi. “Sudah, Pak Arsya,” kata Emmy. Dalam kecanggungan suasana di dalam mobil, Arsya bisa merasakan kalau Dean di belakang menyimak tiap huruf yang mereka ucapkan. Dean pasti ikut puas dengan hal yang baru dikatakan Emmy dan sedang menyusun cerita baru untuk mengantar wanita itu serta pamit secepat mungkin. “Pak Arsya dan teman-teman bisa mampir kalau berkenan. Kita bisa membicarakan rencana yang akan kita lakukan dengan PT. E. Saya sudah bilang nggak enak badan ke rekan-rekan saya.” Antara u
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja