“Apa yang aku dengar tadi benar? Kecelakaan Ayah disengaja? Sama seperti kecelakaan Abang di tol sewaktu di Bandung?” Sejak tadi Indah memang tak sabar ingin menyemburkan pertanyaan itu. Namun ia sedikit kecewa karena Arsya tidak langsung menjawab. Dan ia hampir meremas tangan pria itu karena tak sabar. “Itu baru dugaan Abang. Kamu nggak usah pikirin itu karena staf Ayah pasti nggak akan tinggal diam. Yang paling penting kamu tetap jaga kesehatan.” Hal pertama yang dipikirkan Arsya saat itu adalah ia harus mengantarkan Indah pulang dan setelahnya ia akan menemui Bu Della. Tapi sepertinya ikatan antara ia dan Indah semakin kuat. Atau gelombang pikiran mereka yang semakin serupa? “Bukannya Abang harus ngasih kabar ke Ibu? Abang nggak ada niat merahasiakan semuanya dari Ibu, kan? Nggak mungkin soalnya. Ayah itu suaminya. Istri mana yang nggak nyari suaminya. Sekarang pun Ibu mungkin udah ngerasa ada yang beda.” Indah bertanya dan menjawab sendiri. “Semua yang kamu bilang benar,” sa
“Belum bisa, Ras. Nanti kamu juga pasti tahu. Untuk sekarang biarkan Abang dan staf kantor yang mengurus. Kalau semuanya sudah diputuskan, kamu dan Ibu akan segera dijemput buat jenguk Ayah ke RS. Sekarang Abang dan Kak Indah makan siang, ya. Bayi Abang pasti laper.” Arsya melewati Laras dan membawa Indah ke ruang makan.Siang itu Indah dan Arsya duduk bersisian untuk makan siang yang terlambat. Seperti biasa setelah Indah membantu Arsya mengisi piringnya, pria itu juga meletakkan macam-macam lauk ke piring Indah.“Langsung makan,” gumam Laras tak jauh dari meja makan. Arsya tertawa kecil. “Abang dan Kak Indah perlu tenaga,” sahut Arsya santai. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan di kepala Indah yang belum terjawab siang itu. Kalau rasa heran tidak usah ditanya lagi. Ia heran luar biasa. Apa memang seperti itu gaya keluarga kaya menanggapi musibah? Laras masih bisa bersantai menggendong bayinya, Arsya bisa santai mengajaknya makan siang. Sedangkan ibu mertuanya mungkin syok dan perl
“Abang baru pulang? Atau semalaman ada di sini? Maaf aku ketiduran. Harusnya aku nungguin Abang. Keadaan Ayah gimana? Kapan operasinya?” Indah mengeluarkan semua hal yang ingin ditanyanya. Bukan hanya karena penasaran, tapi juga sedikit grogi saat Arsya bersikap seperti itu. Jelas itu adalah pengalaman pertama dalam hidupnya. Sepasang lengan Arsya yang kemarin ia bayangkan bertumpu di kedua sisi tubuhnya, pagi itu mengusap pinggul dan pelan-pelan naik ke pinggangnya. Usapan tangan Arsya sangat jelas dan keras. Menyusuri kedua sisi tubuhnya dengan lambat. Sesekali memijatnya dengan gerakan amat sensual. Telapak tangan Arsya yang lebar dan biasa dilihat Indah selalu menari di atas tablet atau memegang pulpen mahal untuk menandatangani berkas, pagi itu menyentuh tepi jubah tidurnya tanpa kehati-hatian. Arsya menyingkap jubah tidur itu tanpa basa-basi. Satu sikap yang hampir tak pernah dinampakkan Arsya pada padanya. “Abang sedikit kalut dan butuh ketenangan. Dan Abang rasa … berada
Hampir semua yang terjadi pagi itu lain dari biasanya. Arsya yang sedang menggaulinya pagi itu terlihat amat berbeda. Sepasang mata yang biasa bercinta penuh kehangatan dan gairah, pagi itu berganti dengan sepasang mata nakal dan letupan hasrat. Di meja kerja, Arsya hampir bisa dikatakan menggendong tubuhnya dengan amat leluasa. Arsya mengangkat kakinya cukup tinggi untuk mengendus betis dan menyusuri bagian dalam pahanya dengan kecupan juga sapuan lidah. Indah merasa dirinya hampir gila karena tak tahan dengan gigitan nakal yang dilakukan Arsya beberapa sentimeter saja dari area sensitifnya. Tak lupa juga sentuhan dan usapan keras yang terus dilakukan pria itu pada titik kecil di bawah sana. Pada menit-menit permainan panas itu, Indah sampai lupa kalau salah satu pegawai bisa saja melintas di depan ruangan itu dan mendengar erangan dan pekikannya. Dan sepertinya Arsya tidak keberatan melainkan sangat menikmati segala bunyi-bunyian yang mereka hasilkan. Gesekan teratur penuh gai
Indah melihat ke arah jendela yang tirainya masih tertutup. Arsya benar. Hari masih sangat pagi. Akhirnya ia menerima tawaran menyenangkan itu. Suaminya cukup kaya untuk bisa membayar asisten rumah tangga hingga ia tidak perlu terburu-buru bangun menyiapkan sarapan. Ia bisa memeluk Arsya dan memejamkan mata dengan tenang tanpa khawatir akan terlewat tukang sayur langganan. Dibantu dengan Arsya, Indah kembali melilitkan jubah tidurnya dan berjalan santai dalam dekapan Arsya menuju kamar mereka. Untungnya ruang kerja dan kamar tidur mereka terletak dalam satu garis lurus. “Mari kita baring sama-sama dan menikmati pagi ini dengan berdua-duaan. Mungkin besok-besok Abang akan lebih sibuk. Kita tidur sebentar dan setelah sarapan nanti Abang mau menjelaskan hal sederhana ke Indah.” Arsya melepas pakaian yang sudah hampir semalaman melekat di tubuhnya dan mencampakkannya ke sebuah keranjang besar tinggi di depan pintu kaca kamar mandi. “Menjelaskan apa?” tanya Indah, bangkit dari ranjan
Kamar tidur Arsya terbilang sangat luas. Bentuknya memanjang ke samping. Sebegitu membuka pintu, seperangkat sofa dan coffee table menyambut. Sebelah kanan langsung berbatasan dengan pintu-pintu kaca yang bisa digeser untuk menuju balkon. Tak jauh dari sofa ada ranjang raksasa yang di sebelah kirinya terdapat meja panjang berisi televisi, mini bar, meja kerja, lalu lemari kaca tinggi tempat beberapa penghargaan Arsya tersusun rapi.Kepala ranjang berbatasan dengan dinding yang berbatasan dengan sebuah ruangan besar lainnya. Pintu menuju ruangan itu ada di kanan kiri nakas dengan dibatasi tiga anak tangga. Di sanalah lemari-lemari raksasa mengelilingi ruangan. Tepat di balik dinding yang berbatasan dengan kepala ranjang tadi, ada bath tub berbentuk mangkuk yang terbuat dari batu pualam asli yang sangat halus. Kamar Arsya sangat luas sampai Indah sangat percaya diri duduk di atas tubuh suaminya dengan gerakan maju mundur yang amat menggoda.Arsya akan sering bepergian dan meninggalkann
“In, Abang ke kafe lantai satu dulu ya. Mau ngobrol sama Mika.” Pelan-pelan Arsya melepaskan tangan Indah dan meletakkannya ke pangkuan wanita itu. “Kalau ada apa-apa hubungi Abang, atau ngomong ke Sarah. Dia duduk di sana.” Arsya menunjuk Sarah yang duduk bersandar di barisan kursi tunggu dengan tatapan waspada. Indah hampir tergagap menjawab ucapan Arsya. Benar-benar tidak menyangka respon Arsya akan seramah itu pada Mika. Atau dalam bahasa lainnya, tidak biasanya Arsya seramah itu pada Mika. Iya. Dia tahu Arsya pasti melakukan itu dengan banyak alasan. Tapi tetap saja hatinya sedikit tercubit. Meski begitu Indah mengangguk dan tersenyum. “Iya. Pokoknya aku tunggu Abang di isni dan bakal langsung hubungi Abang kalau ada apa-apa. Lagian di sana juga ada Galih.” Indah menepuk-nepuk punggung tangan Arsya. Ia memandang Mika tapi wanita itu tidak mau memandangnya sedikit pun. Karena jengkel, ia memutuskan menyapa lebih dulu. “Mbak Mika, kalau nanti Abang pesan kopi, tolong dilarang y
Arsya merasakan perubahan suasana di antara mereka. Ada kecanggungan yang tak biasa. Ia dan Mika seperti dua orang yang berada di medan perang. Mereka bertatapan seakan berusaha saling membaca pikiran satu sama lain. Saat itu mereka adalah otak dari masing-masing peperangan yang sedang mereka jalani.Hampir saja Arsya terbahak karena raut wajah Mika yang terlalu serius. Mika pasti mengira ia tidak tahu maksud pertanyaan-pertanyaan itu. Jika ia berbohong, Mika pasti tahu kalau mereka sudah punya rencana tertentu. Arsya tetap mempertahankan raut seriusnya. “Sebenarnya Indah sedikit syok sewaktu diminta menggandakan dokumen sepenting itu. Apalagi malam sebelumnya aku sempat ngomong kalau perusahaan Eric bisa saja menganggap dia mata-mata. Tapi dibanding dengan syok melihat dokumen itu, Indah lebih syok sewaktu melihat kamu ternyata bekerja di sana.” Secara garis besar Arsya yakin dirinya tidak berbohong.“Hanya melihat bagian depan?” Mika tidak puas dengan jawaban Arsya.“Aku rasa Inda