"Saya tahu siapa yang mengirim bunga ini. Bisa minta tolong dibawa ke dalam, Pak?" Indah mengulas senyum agar keamanan rumah terlihat yakin dengan perkataannya. Tak lama ia sudah duduk di ruang tamu sambil memegang kartu berisi pesan yang sama dari Riri. "Wanita itu tahu kalau Asa baru keluar dari rumah? Atau memang kebetulan aja bunga ini sampai sewaktu Bang Asa baru keluar?" Indah bergumam sambil memandangi kertas yang isinya hanya seperti di-copy paste dari kartu sebelumnya.Ia kembali mengantongi kartu itu. Sedangkan pot bunganya ia periksa. Mencari sesuatu di antara tangkai dan bagian bawah potnya. Siapa tahu ada benda-benda aneh, pikirnya.“Bu, ada telepon dari Bapak.”Titin yang tiba-tiba muncul di sebelahnya membuat tersentak. Ia sampai memegang dada. “Mbak Titin …,” ucap Indah.“Saya sudah tiga kali manggil Bu Indah,” sahutnya.Indah meraih telepon wireless yang disodorkan Titin padanya. “Ya, Bang?”“Handphonenya ke mana? Abang telepon nggak dijawab.” Suara Arsya terdengar men
Kalau dibilang baik-baik saja, tentu saja perasaan Indah tidak baik-baik saja. Ia baru menemukan mobil Panca di gudang Arsya dan Alif kembali membiru karena kelainan jantung. Tubuh yang biasa selalu bugar dan semangat juga sering tidak sehat akhir-akhir ini.“Businasi anus Alif bisa dibilang sukses ya, Bu. Kolostominya juga sudah tertutup sempurna. Sejauh ini selain kondisi membiru begini, apa Alif memiliki keluhan lain?” Dokter spesialis anak sudah menyambangi ruang rawat Alif.“Semuanya baik-baik aja, Dok. Cuma keluhan soal anus barunya yang belum bisa normal seperti bayi lain. Dokter bedah anak bilang kalau nantinya Alif masih harus pakai popok lebih lama dari anak-anak lain. Anus buatan katanya bakal bikin Alif nggak sadar untuk BAB. Perlu waktu cukup lama tapi saya rasa bukan masalah. Sejauh ini saya sudah cukup puas. Cuma tinggal….”“Jantungnya,” potong dokter spesialis anak. “Alif perlu operasi menutup katup jantungnya sesegera mungkin. Tapi kondisi paska operasi koreksi anus me
Walau puas melihat reaksi Riri, tapi Indah tidak memungkiri kalau lagi-lagi dadanya terasa seperti ditusuk. Firasatnya mulai tidak enak.“Kamu ngomong gitu seolah-olah udah kenal Arsya bertahun-tahun.” Riri tertawa keras dan cukup lama dengan nada cemooh yang sangat menyebalkan. Ditambah tangannya mengetuk-ngetuk meja seakan apa yang dikatakannya sangat lucu. “Bukan…bukan. Kamu bukan bego, sih. Kamu lugu. Polos. Masa kamu nggak mau tahu soal laki-laki yang meniduri kamu.”Saat mendengar kalimat terakhir Riri. Wajah Indah sontak berubah. Kalimat itu sangat kasar baginya.Riri mengangkat telunjuknya pada Indah. “Muka kamu berubah. Berarti apa yang aku katakan barusan benar, ya? Kamu mau ditiduri laki-laki yang bahkan kamu nggak kenal cuma karena anakmu ditanggung biaya berobatnya?” Riri kembali tergelak. “Luar biasa banget, ya. Kasih sayang Ibu memang sepanjang masa dan sepanjang laki-lakinya seperti Arsya.” Raut wajah Riri berubah sinis.Sepersekian detik wajah Riri yang tadi tertawa-ta
Memang ada yang aneh. Tidak mungkin ia tidak merasakannya. Dari sebelum jadwal keberangkatannya ke luar negeri, semua sikap Indah terasa aneh. Indah lebih sering diam dan melamun. Sering terlihat sibuk dengan pikirannya. Tak jarang Indah menatapnya seperti orang asing, lalu sorot asing itu kembali melembut.Ia menumpahkan kekhawatiran pada pengacara yang direkrutnya. “Kurasa Indah menyimpan sesuatu dariku. Tapi aku belum tahu ini soal apa. Rasa khawatirku terpecah jadi beberapa bagian. Khawatir kalau Indah sudah mengetahui soal kasus tabrak lari, aku juga khawatir Indah tidak mempercayai aku soal Alif dan juga ….”“Kamu khawatir kalau istrimu punya pikiran lain soal suaminya? Kecemburuan? Seorang Arsya cemburu?” Dean yang menangani kasus Arsya bisa menebak dengan mudahnya saat itu.“Aku juga khawatir kemarahan kembaran Fanny akan mencapai puncak. Aku mau aja meladeni dia berdebat buat ngasih dia pandangan baru. Tapi sampai kapan pun pasti percuma,” Arsya tertawa sumbang, “aku juga ngg
“Jangan pegang-pegang!” pekik Indah, menepis tangan pria yang sedang menyentuh bahunya. “Kenapa harus begini? Kalau kalian mau sesuatu dari saya, harusnya kalian mengajak saya bicara. Bukan begini! Anak saya sedang sakit. Lepaskan!” Indah kembali merasa sebuah tangan mengusap punggungnya.Indah menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. Sepasang tangan yang menyentuh bahu dan punggungnya seketika terlepas. Ia mengedarkan pandangan. Mencoba menyadari situasi dan melihat berapa orang yang telah menculiknya.“Kalian mau apa? Saya nggak kenal kalian. Tolong … anak saya sedang sakit. Saya mau ketemu anak saya.” Indah mulai menangis karena mengingat Alif. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya? Ia dirampok, diperkosa, lalu dibunuh. Bagaimana dengan nasib Alif? Tidak ada orang yang akan merawat Alif.Saat terpikir soal ponsel, ia baru menyadari kalau tas yang ia bawa tidak tampak. “Tas saya mana? Kalian apakan?” Indah melongok ke kursi depan di mana seorang pria sedang mengaduk-aduk isi ta
“Arsya! Gila! Sinting! Lepasin! Ini sak-kit …. Ak-ku bisa ma-ti.” Walau terputus-putus Arsya bisa mendengar perkataan Riri dengan jelas. Sadar tenaganya semakin meningkat saat mencengkeram leher Riri, ia membawa wanita itu ke sofa dan menghempaskannya. “Di mana Indah?” Arsya bertanya sambil mengatur napas.Riri berdiri dari sofa dan mengacungkan telunjuk pada Arsya yang hanya berjarak dua langkah darinya. “Kamu nggak lihat aku di rumah dari tadi? Aku di sini dan belum ada keluar hari ini.”“Riri, waktuku nggak banyak untuk bisa merayu dengan lembut. Aku nggak bisa,” lirih Arsya dengan sorot mata mengancam. Riri membetulkan membetulkan letak jubah piyama menutup lingerie yang menerawang dadanya. “Aku tetap harus bertanya ada perlu apa kamu ke sini,” Riri berkata dengan nada dingin. Arsya tidak menjawab melainkan mengangkat tangan dan melirik jam. Riri tersenyum sinis. “Memangnya apa yang kamu harapkan dari aku? Bantu nyari perempuan itu?” Riri membuat ekspresi meludah ke lantai. Ar
Masih di hari yang sama.Beberapa hari yang lalu Panca memang ada memasang iklan di aplikasi jual beli properti. Sebuah rumah yang masih beratasnamakan ibunya. Bermaksud dijual dengan maksud hasil penjualan akan digunakan membayar pengacara demi naik banding meringankan hukuman sang ayah.Waktu itu masih pagi. Panca ditelepon seorang pria yang mengaku tertarik dengan rumah itu. Karena euphoria bahagia iklannya cepat bersambut, Panca langsung berjanji akan menemui si calon pembeli sore harinya. Tapi rupanya si calon pembeli tidak sabar menunggu sore. Panca menelepon Mayang dan meminta wanita itu menemuinya jam makan siang kantor dengan serenceng kunci rumah.“Kalau bisa kamu sampai di kantorku sebelum makan siang, ya. Naik taksi aja,” pinta Panca yang sampai sekarang masih menggunakan mobil Mayang untuk berangkat kerja.Siang yang ditunggu itu pun datang. Mayang tiba sesuai waktu yang diminta dan Panca sudah terlihat duduk di salah satu sofa lobi.“Kunci yang ini, kan?” tanya Mayang ya
“Panca … mereka siapa?” Mayang mengeratkan pegangannya di lengan Panca. Ternyata pertanyaannya itu tidak perlu waktu lama untuk terjawab. Sepasang tangan pria mencengkeram kedua lengan Mayang dari belakang. Sontak Mayang berteriak. Teriakannya melengkung dan panjang. Sampai ia merasa suara lengkingan itu merobek kerongkongannya sendiri. Jeritan panjangnya itu bergema. Memantul ke seluruh dinding dibarengi dengan refleks Myang yang meronta-ronta. “Panca! Ini siapa? Lepasin! Panca …!” Mayang berteriak sambil usahanya melihat sekeliling. Tak ada sahutan. Sejurus kemudian ia baru tersadar bahwa Panca tidak menjawab apa pun. “Panca? Ke mana kamu? Panca …! Tolong aku. Jangan begini! Jangan! Ini sakit. Aku hamil, Berengsek!”“Aku di sini, Yang! Mayang …!” teriak Panca. Suaranya terdengar beberapa langkah di belakang Mayang. “Jangan sentuh istriku, berengsek! Istriku hamil!” Sebelum diseret menuju lift yang terbuka, Panca sempat melihat Mayang yang sedang meronta saat dipeluk dari belakang