Masih di hari yang sama.Beberapa hari yang lalu Panca memang ada memasang iklan di aplikasi jual beli properti. Sebuah rumah yang masih beratasnamakan ibunya. Bermaksud dijual dengan maksud hasil penjualan akan digunakan membayar pengacara demi naik banding meringankan hukuman sang ayah.Waktu itu masih pagi. Panca ditelepon seorang pria yang mengaku tertarik dengan rumah itu. Karena euphoria bahagia iklannya cepat bersambut, Panca langsung berjanji akan menemui si calon pembeli sore harinya. Tapi rupanya si calon pembeli tidak sabar menunggu sore. Panca menelepon Mayang dan meminta wanita itu menemuinya jam makan siang kantor dengan serenceng kunci rumah.“Kalau bisa kamu sampai di kantorku sebelum makan siang, ya. Naik taksi aja,” pinta Panca yang sampai sekarang masih menggunakan mobil Mayang untuk berangkat kerja.Siang yang ditunggu itu pun datang. Mayang tiba sesuai waktu yang diminta dan Panca sudah terlihat duduk di salah satu sofa lobi.“Kunci yang ini, kan?” tanya Mayang ya
“Panca … mereka siapa?” Mayang mengeratkan pegangannya di lengan Panca. Ternyata pertanyaannya itu tidak perlu waktu lama untuk terjawab. Sepasang tangan pria mencengkeram kedua lengan Mayang dari belakang. Sontak Mayang berteriak. Teriakannya melengkung dan panjang. Sampai ia merasa suara lengkingan itu merobek kerongkongannya sendiri. Jeritan panjangnya itu bergema. Memantul ke seluruh dinding dibarengi dengan refleks Myang yang meronta-ronta. “Panca! Ini siapa? Lepasin! Panca …!” Mayang berteriak sambil usahanya melihat sekeliling. Tak ada sahutan. Sejurus kemudian ia baru tersadar bahwa Panca tidak menjawab apa pun. “Panca? Ke mana kamu? Panca …! Tolong aku. Jangan begini! Jangan! Ini sakit. Aku hamil, Berengsek!”“Aku di sini, Yang! Mayang …!” teriak Panca. Suaranya terdengar beberapa langkah di belakang Mayang. “Jangan sentuh istriku, berengsek! Istriku hamil!” Sebelum diseret menuju lift yang terbuka, Panca sempat melihat Mayang yang sedang meronta saat dipeluk dari belakang
“Berhenti sebentar,” pinta Tio saat Indah sudah tak sadarkan diri. “Ikuti taksi itu.” Tio menunjuk taksi yang baru keluar dari restoran tempat Indah dijemput.“Itu kawanmu, Tio. Perempuan tadi,” kata Iwan saat melihat Riri berada di dalam taksi.“Aku diminta menjemput perempuan ini di depan restoran dan katanya dia mau pulang bersiap-siap. Kenapa dia malah berada di sini?” Tio masih memandang sosok Riri yang duduk di belakang supir. Ia lalu melihat Indah yang terkulai dengan kepala bersandar ke jendela.“Mungkin dia mau memastikan perempuan di belakang dijemput sesuai dengan caranya,” jawab Iwan.Tio diam saja. Tahu kalau jawaban Iwan tidak benar. Riri semakin terlihat aneh. Wanita itu seakan bukan mau membalas kematian kembarannya, tapi memberi pelajaran pada Arsya yang berani menikahi orang lain. Baginya itu dua hal yang berbeda.“Jadi, kita ke mana? Tetap mengikuti rekanmu atau balik ke gedung?” Iwan membutuhkan jawaban.“Kembali ke gedung aja. Riri pasti menyusul kita,” sahut Tio.
“Sa, gimana kalau aku bilang bahwa aku memang nggak tahu di mana istri kamu? Kita harus berhenti dan bicara.” Riri merenggut lengan kemeja Arsya sekuat-kuatnya sampai kusut. “Gimana kalau aku bawa kamu ke tempat yang salah karena kamu maksa aku sedangkan aku memang nggak tahu? Arsya … sumpah. Aku nggak tahu,” rengek Riri. Arsya bergeming. Terus berjalan mencengkeram tangan Riri dan terus membawanya ke tempat di mana mobilnya terparkir.“Arsya … kamu pasti lebih mengenal aku ketimbang perempuan yang kamu sebut istri. Kamu pasti lebih kenal aku dan Fanny ketimbang perempuan yang kamu sebut istri dan kamu nikahi buru-buru itu. Kamu cuma terjebak situasi sampai harus terpaksa menikahi perempuan itu. Semua itu demi membalas suaminya. Itu yang kamu bilang, kan? Kamu cuma terjebak situasi dan … dan aku paham kenapa kamu jadi begini. Kamu juga laki-laki normal. Kamu pasti meniduri dia karena kamu memang laki-laki normal. Sedangkan dia … dia mau kamu tiduri karena … siapa, sih, yang menolak
Sepanjang tiga puluh lima tahun hidup di dunia, Arsya tidak pernah merasa pikirannya sekacau itu. Biasa permasalahan terberatnya adalah demo karyawan atau Fanny yang mengancam akan lompat dari jendela apartemen jika mereka bertengkar dan ia tidak segera datang menemui wanita itu. Kali ini beda. Apa yang terjadi pada Indah bisa menghancurkan semua harapan dan rencana masa depan yang sudah ia susun rapi.Semua bagai rantai yang saling berhubungan dan Indah adalah pusatnya. Arsya meninggalkan pertemuan penting di mana seorang calon investor pengganti Zhang Ma harusnya ia temui. Kini pertemuan itu gagal dan ia tidak tahu apa yang dikatakan Sarah sebagai alasan. Arsya sudah bisa membayangkan kekecewaanku sang ayah padanya. Tidak apa-apa. Bukan masalah besar kalau ayahnya kecewa dengan apa yang ia lakukan. Namun adalah hal berbeda kalau keluarganya menganggap bahwa Indah membawa pengaruh buruk padanya. Atau yang paling parah bagaimana kalau seorang Ari Subianto tahu bahwa putra semata way
Suara berisik yang didengar Indah awalnya sangat jauh. Debum yang samar-samar dan suara langkah kaki yang tidak jelas. Denyut di pelipis dan sudut bibir membuat ia malas membuka mata. Berat dan mengantuk. Bolehkah ia tidur saja? Indah memicingkan matanya lebih rapat. Lalu suara pintu kembali berdebum keras. Kali ini dibarengi dengan suara bantingan di lantai. Kesadaran memaksa Indah membuka mata. Lalu, sosok yang selama hampir seharian itu memenuhi pikiran muncul begitu saja. Entah dari mana. Arsya harusnya tidak di sini. Bukannya Arsya di luar negeri? Atau hari sudah berganti tanpa sepengetahuannya?“A-Abang?” Indah mengerjap. Ia berharap sapaan itu mendapat sambutan dari Arsya. Setidaknya pria itu pasti akan tersenyum melihatnya baik-baik saja. Tapi rupanya dugaan itu meleset. Arsya tidak membalas sapaan atau terlebih menghampiri Indah.. Arsya menatap Indah dengan teliti. Memandang sudut bibir yang membengkak, juga pelipis yang kini terasa amat menebal.“Kalian pukul dia?” tanya Ar
Sesungguhnya Indah tidak menginginkan pemandangan yang tersuguh di depannya. Arsya menghajar seorang pria yang meski tubuhnya tegap berisi, namun pria itu sudah tua. Ia tidak menginginkan penampakan emosi Arsya seperti saat itu. Arsya seakan tidak menggubris keberadaannya. Arsya mengamuk bagai kesetanan. Tidak peduli bahwa ia berdiri di sana dengan segala ketakutan yang tidak ada hubungannya dengan orang-orang picik itu.Jika dihitung waktu yang sebenarnya mungkin kejadian itu hanya dalam hitungan menit saja. Tapi karena hal itu berlangsung di hadapannya, Indah merasa detik demi detik saat tangan Arsya menghantam wajah Tio berlangsung sangat lama. Menjelang malam itu waktu terasa terhenti.“Berengsek! Apa salah istriku? Apa salah istriku?” Arsya bahkan sudah tidak bisa menghitung berapa kali kepalan tangannya terarah ke rahang dan tubuh Tio. Pria tua itu tidak diam saja. Beberapa kali tangan dan kakinya juga terarah pada Arsya untuk memberi perlawanan.“Harusnya … kau ingat janjimu! R
“Maksudnya apa?” Riri memandang Arsya. “Sa, maksudnya apa? Laki-laki ini siapa? Dia ngomong apa?” Jeritan Riri semakin keras. Sementara Panca dan Mayang bertukar pandang.Sekitar tempatnya berdiri sebenarnya sangat riuh. Suara orang bertanya dan menjawab sahut menyahut. Suara sirene yang tadi terdengar jauh perlahan mendekat. Lalu suara derap kaki kembali mewarnai sisa hari itu. Tidak ada yang ia dengar selain suara seorang pria menyebut namanya. Indah menoleh. Arsya mengulurkan tangan dan menyunggingkan senyum. Harusnya memang semua sudah selesai, namun di antara kelelahan fisiknya, hatinya terasa lebih lelah.“Kenapa kita harus ikut? Aku nggak mau!” teriak Riri lagi. “Mereka yang harus ikut dan dipenjara! Biarkan mereka membusuk di penjara. Fanny meninggal karena kelalaian mereka. Jangan pegang aku!”“Kamu belum ngerti juga ya? Belum paham juga? Laki-laki itu udah ngomong soal barang bukti. Yang membunuh saudarimu itu bukan kita berdua. Tapi kamu.” Mayang membalas teriakan Riri. “Ca