Karena melihat wajah Arsya berubah akhirnya ia tersenyum.“Indah tahu Abang segera mau punya anak, kan?” tanya Arsya.Indah menelan ludah. Sesaat yang lalu tubuh telanjangnya tidak merasakan terpaan angin penyejuk udara. Mereka sedang sibuk memuaskan diri satu sama lain. Saat mereka terkulai karena rasa puas, ia bergidik. Entah karena penyejuk udara atau karena pernyataan Arsya soal anak. Sejujurnya ia takut tuntutan itu. Ia mengulur waktu memberi jawaban dengan bangkit dan menarik selimut sampai ke dadanya.“In … Indah dengar apa yang barusan Abang tanya? Indah tahu kalau Abang mau segera punya anak, kan? Alif punya adik dan ada yang akan jaga Alif nantinya. Kamu setuju?” Arsya berbaring miring karena ingin memandang wajah Indah puas-puas.Indah ikut memiringkan tubuh dengan satu tangan terselip ke bawah kepalanya. Ia memainkan selimut di dada Arsya tanpa memandang wajah pria itu. Setelah menimbang apa yang kau ditanyakan ya, akhirnya ia mendongak menatap Arsya.“Abang nggak takut kal
Indah menggeleng. “Aku capek dan pagi ini rasanya udah cukup. Kalau kita mandi sama-sama, sarapan yang Abang maksudkan itu nggak akan tersaji di meja tepat waktu.” Indah terbahak lalu pergi ke kamar mandi sambil menutup tubuhnya dengan piyama yang teronggok di sudut ranjang.Kontraktor yang akan membenahi halaman depan dan belakang ternyata datang lebih pagi. Indah didatangi Ipul saat memasak bersama seorang asisten dapur.“Bapak tadi pesan ke saya supaya tanya ke Bu Indah bunga bagian mana buat di depan dan mana buat yang belakang. Katanya tinggal ngomong manager operasional kontraktor yang menunggu di depan.” Ipul berdiri dengan sebuah amplop putih yang pastinya berisi fotokopi Surat Perintah Kerja. “Bu Ratmi, minta tolong dilanjutin yang ini.” Indah menunjuk panci tempat ia mengukus sayuran. “Saya mau ke halaman belakang duluan. Kalau Bapak cari saya, bilang ke Bapak untuk segera nyusul ke belakang.” Indah meletakkan piring saji yang sedang dipegangnya. Tadi ia sedang memindahkan
"Saya tahu siapa yang mengirim bunga ini. Bisa minta tolong dibawa ke dalam, Pak?" Indah mengulas senyum agar keamanan rumah terlihat yakin dengan perkataannya. Tak lama ia sudah duduk di ruang tamu sambil memegang kartu berisi pesan yang sama dari Riri. "Wanita itu tahu kalau Asa baru keluar dari rumah? Atau memang kebetulan aja bunga ini sampai sewaktu Bang Asa baru keluar?" Indah bergumam sambil memandangi kertas yang isinya hanya seperti di-copy paste dari kartu sebelumnya.Ia kembali mengantongi kartu itu. Sedangkan pot bunganya ia periksa. Mencari sesuatu di antara tangkai dan bagian bawah potnya. Siapa tahu ada benda-benda aneh, pikirnya.“Bu, ada telepon dari Bapak.”Titin yang tiba-tiba muncul di sebelahnya membuat tersentak. Ia sampai memegang dada. “Mbak Titin …,” ucap Indah.“Saya sudah tiga kali manggil Bu Indah,” sahutnya.Indah meraih telepon wireless yang disodorkan Titin padanya. “Ya, Bang?”“Handphonenya ke mana? Abang telepon nggak dijawab.” Suara Arsya terdengar men
Kalau dibilang baik-baik saja, tentu saja perasaan Indah tidak baik-baik saja. Ia baru menemukan mobil Panca di gudang Arsya dan Alif kembali membiru karena kelainan jantung. Tubuh yang biasa selalu bugar dan semangat juga sering tidak sehat akhir-akhir ini.“Businasi anus Alif bisa dibilang sukses ya, Bu. Kolostominya juga sudah tertutup sempurna. Sejauh ini selain kondisi membiru begini, apa Alif memiliki keluhan lain?” Dokter spesialis anak sudah menyambangi ruang rawat Alif.“Semuanya baik-baik aja, Dok. Cuma keluhan soal anus barunya yang belum bisa normal seperti bayi lain. Dokter bedah anak bilang kalau nantinya Alif masih harus pakai popok lebih lama dari anak-anak lain. Anus buatan katanya bakal bikin Alif nggak sadar untuk BAB. Perlu waktu cukup lama tapi saya rasa bukan masalah. Sejauh ini saya sudah cukup puas. Cuma tinggal….”“Jantungnya,” potong dokter spesialis anak. “Alif perlu operasi menutup katup jantungnya sesegera mungkin. Tapi kondisi paska operasi koreksi anus me
Walau puas melihat reaksi Riri, tapi Indah tidak memungkiri kalau lagi-lagi dadanya terasa seperti ditusuk. Firasatnya mulai tidak enak.“Kamu ngomong gitu seolah-olah udah kenal Arsya bertahun-tahun.” Riri tertawa keras dan cukup lama dengan nada cemooh yang sangat menyebalkan. Ditambah tangannya mengetuk-ngetuk meja seakan apa yang dikatakannya sangat lucu. “Bukan…bukan. Kamu bukan bego, sih. Kamu lugu. Polos. Masa kamu nggak mau tahu soal laki-laki yang meniduri kamu.”Saat mendengar kalimat terakhir Riri. Wajah Indah sontak berubah. Kalimat itu sangat kasar baginya.Riri mengangkat telunjuknya pada Indah. “Muka kamu berubah. Berarti apa yang aku katakan barusan benar, ya? Kamu mau ditiduri laki-laki yang bahkan kamu nggak kenal cuma karena anakmu ditanggung biaya berobatnya?” Riri kembali tergelak. “Luar biasa banget, ya. Kasih sayang Ibu memang sepanjang masa dan sepanjang laki-lakinya seperti Arsya.” Raut wajah Riri berubah sinis.Sepersekian detik wajah Riri yang tadi tertawa-ta
Memang ada yang aneh. Tidak mungkin ia tidak merasakannya. Dari sebelum jadwal keberangkatannya ke luar negeri, semua sikap Indah terasa aneh. Indah lebih sering diam dan melamun. Sering terlihat sibuk dengan pikirannya. Tak jarang Indah menatapnya seperti orang asing, lalu sorot asing itu kembali melembut.Ia menumpahkan kekhawatiran pada pengacara yang direkrutnya. “Kurasa Indah menyimpan sesuatu dariku. Tapi aku belum tahu ini soal apa. Rasa khawatirku terpecah jadi beberapa bagian. Khawatir kalau Indah sudah mengetahui soal kasus tabrak lari, aku juga khawatir Indah tidak mempercayai aku soal Alif dan juga ….”“Kamu khawatir kalau istrimu punya pikiran lain soal suaminya? Kecemburuan? Seorang Arsya cemburu?” Dean yang menangani kasus Arsya bisa menebak dengan mudahnya saat itu.“Aku juga khawatir kemarahan kembaran Fanny akan mencapai puncak. Aku mau aja meladeni dia berdebat buat ngasih dia pandangan baru. Tapi sampai kapan pun pasti percuma,” Arsya tertawa sumbang, “aku juga ngg
“Jangan pegang-pegang!” pekik Indah, menepis tangan pria yang sedang menyentuh bahunya. “Kenapa harus begini? Kalau kalian mau sesuatu dari saya, harusnya kalian mengajak saya bicara. Bukan begini! Anak saya sedang sakit. Lepaskan!” Indah kembali merasa sebuah tangan mengusap punggungnya.Indah menjauhkan punggungnya dari sandaran kursi. Sepasang tangan yang menyentuh bahu dan punggungnya seketika terlepas. Ia mengedarkan pandangan. Mencoba menyadari situasi dan melihat berapa orang yang telah menculiknya.“Kalian mau apa? Saya nggak kenal kalian. Tolong … anak saya sedang sakit. Saya mau ketemu anak saya.” Indah mulai menangis karena mengingat Alif. Bagaimana kalau terjadi apa-apa padanya? Ia dirampok, diperkosa, lalu dibunuh. Bagaimana dengan nasib Alif? Tidak ada orang yang akan merawat Alif.Saat terpikir soal ponsel, ia baru menyadari kalau tas yang ia bawa tidak tampak. “Tas saya mana? Kalian apakan?” Indah melongok ke kursi depan di mana seorang pria sedang mengaduk-aduk isi ta
“Arsya! Gila! Sinting! Lepasin! Ini sak-kit …. Ak-ku bisa ma-ti.” Walau terputus-putus Arsya bisa mendengar perkataan Riri dengan jelas. Sadar tenaganya semakin meningkat saat mencengkeram leher Riri, ia membawa wanita itu ke sofa dan menghempaskannya. “Di mana Indah?” Arsya bertanya sambil mengatur napas.Riri berdiri dari sofa dan mengacungkan telunjuk pada Arsya yang hanya berjarak dua langkah darinya. “Kamu nggak lihat aku di rumah dari tadi? Aku di sini dan belum ada keluar hari ini.”“Riri, waktuku nggak banyak untuk bisa merayu dengan lembut. Aku nggak bisa,” lirih Arsya dengan sorot mata mengancam. Riri membetulkan membetulkan letak jubah piyama menutup lingerie yang menerawang dadanya. “Aku tetap harus bertanya ada perlu apa kamu ke sini,” Riri berkata dengan nada dingin. Arsya tidak menjawab melainkan mengangkat tangan dan melirik jam. Riri tersenyum sinis. “Memangnya apa yang kamu harapkan dari aku? Bantu nyari perempuan itu?” Riri membuat ekspresi meludah ke lantai. Ar
Vino bukan sosok penakut. Tapi ia juga belum pernah bertindak terlalu berani. Detik itu ia berusaha keras menahan diri agar tidak menoleh kebelakang. Ia perlu waktu mencerna dan otak teknisnya yang terbiasa berpikir dengan angka memintanya untuk diam beberapa saat. Ia tidak mau gegabah. Bisa saja ada orang di sekitar sana yang mengenalinya sebagai karyawan SB Industrial Energy.Di antara riuhnya suara orang mengobrol di cafe, Vino menajamkan telinganya untuk mencari beberapa potong kata lain untuk meyakinkan dirinya.“Sore ini harus diusahakan. Lusa wanita itu akan pulang ke Jakarta. Jangan ditunda terlalu lama.” Suara berat seorang wanita kembali berbicara. Membuat Vino menegakkan tubuh seketika.“Bayaranku. Lunasi bayaranku hari ini. Aku nggak mau mengerjakan tugas berat lalu harus mencari kalian ke mana-mana. Aku tau kau pun hanya perantara. Kita di sini cuma kacung, jadi jangan saling menipu.” Balasan suara seorang laki-laki membuat keraguan Vino sirna saat itu.“Aku cuma dikasih
Arsya sedang duduk di ruang makan dengan dua tangan memegang ponsel di meja. Sesekali Arsya mengetik dengan sangat cepat lalu menit kemudian memandang ponsel dengan senyum terkulum. Kadang Arsya tertawa kecil, kadang juga menggigit bibir bawahnya seperti sedang gemas pada sesuatu. Pada pesan terakhir yang ia tersenyum sendu. Lalu dengan sangat pelan nyaris berbisik Arsya mengucapkan, “I love you, Mrs. Subianto.” Arsya sangat tenggelam dengan percakapan melalui pesan pendek bersama Indah siang itu. Sampai-sampai Arsya tidak mendengar sepasang langkah kaki mendekatinya. “Hei, kamu pasti enggak dengar aku datang karena asyik banget bales-balesan chat-nya. Pasti lagi ngobrol sama Indah.” Dean menarik satu kursi tepat di seberang Arsya. Arsya tidak dapat menyembunyikan rasa malunya. Ia tertawa tergelak. “Mas Dean tau aja,” ucap Arsya. “Diterusin aja dulu,” kata Dean, ia ikut mengeluarkan ponselnya. “Oh, sudah selesai kok, Mas. Ada yang mau diobrolin, ya?” Arsya meletakkan ponselnya.
“Kamu hubungi Markus pakai ponsel kamu.” Eric menunjuk tas kecil di pangkuan Tiara. “Oh, oke…oke.” Tiara cepat-cepat merogoh tasnya mengambil ponsel. Ia paham apa yang diminta Eric darinya. “Om di mana? Oh, iya. Masih di sana? Iya nih aku bilang ke Pak Eric. Ditunggu ya Om. Jangan ke mana-mana. Ke dua orang itu juga bilang jangan ke mana-mana.” Tiara lalu menyudahi telepon dan mengangguk memandang Eric. “Kalau tidak ada perubahan kita langsung ke sana.” Eric menginjak pedal gas semakin dalam dan mobil melesat ke tempat yang belakangan mereka setujui untuk bertemu. Mobil meluncur di jalan raya tidak begitu lama. Tiga puluh menit kemudian mobil sudah berkelok-kelok menuju daerah mendekati teluk laut. “Om Markus pasti di sebelah sana.” Tiara cepat-cepat turun tanpa menunggu Eric. Ia sengaja berjalan mendahului karena jantungnya berdebar saat mendengar Eric serius dengan rencananya. Apakah tidak bisa semua berjalan seperti biasa? Kalau smelter SB Industrial Energy diledakkan, kecelaka
Tiara membasahi bibirnya. Pikiran gila yang beberapa hari belakangan menari-nari dalam benaknya seakan terkumpul menjadi satu hari itu. Saat Eric menggunakannya sebagai tempat pelampiasan sesaat, ia bahkan tidak sempat menikmati. Cek tiga ratus juta membuat ia langsung menyanggupi menjadi wanita yang bisa ditiduri Eric kapan pun pria itu mau.Celana jeans biru muda yang membalut pinggul dan pahanya yang terbilang besar. Sejak remaja ia sering dikata-katai bongsor. Ia juga sempat minder dan tak memiliki pacar sampai kuliah. Di tahun akhir jenjang diplomanya, Tiara memiliki pacar untuk pertama kali dan malah kehilangan keperawanannya.Bagi Tiara saat itu, dicintai oleh seorang di luar anggota keluarganya adalah hal yang paling membahagiakan. Meski akhirnya dicampakkan, Tiara tidak cukup belajar. Ia bahkan semakin terobsesi ingin dianggap penting oleh seorang pria, juga ingin dicintai dan dimiliki seutuhnya.Kala itu yang dilihatnya adalah sosok Eric yang baginya sangat tampan. Berkulit
Percakapan Eric dan Tiara tempo hari tidak terputus begitu saja. Tiara yang sedikit gila dan mulai jatuh hati pada Eric malah berbinar-binar saat mendengar pengakuan Om-nya. Sayang pengakuan yang disampaikan Tiara pada Eric tidak berbuah manis. Chief Controller itu dipanggil oleh Eric dan diingatkan akan sesuatu yang membuatnya tak berkutik.Eric sedang duduk di balik meja kerja kamar hotelnya saat Tiara kembali datang dengan omnya. Eric mengacungkan sebuah pulpen dan melemparkannya pada Chief Controller.“Berengsek! Kamu kira dengan bilang tidak bersedia melakukan pekerjaan yang kuminta, kamu bisa lolos begitu saja? Kamu lupa apa yang sudah kamu terima? Kenapa baru sekarang kamu teringat bahwa SB Industrial Energy yang menafkahi keluargamu sampai saat ini? Kenapa sewaktu beli mobil baru kamu lupa itu uang dari mana? Uang itu kamu terima karena kamu mau melaporkan bahwa bahan baku sudah habis dan tungku smelter harus berhenti bekerja. Itu saja, Markus! Kerjamu sedikit dan bayarannya m
Pada waktu yang sama di Jakarta.“Bu, ada telepon dari Sarah.” Laras berbisik dari balik bahu Bu Della.Bu Della tidak menjawab. Tatapannya tetap tertuju pada sosok Ari Subianto yang baru kembali menempati kamarnya dengan mata terpejam.“Bu, Sarah nunggu Ibu. Biar Ayah diperiksa dokter dulu. Kita ke ruang makan sekarang,” bisik Laras, mengambil alih kursi roda Bu Della dan membawanya keluar kamar.“Pasti ada kekacauan di kantor. Sarah jarang nelepon Ibu kalau bukan karena sesuatu yang penting.” Bu Della memandang Laras yang tidak bereaksi apa pun selain menunjukkan telepon wireless yang sudah di-mute-nya. “Ibu duduk di kursi aja,” sambung Bu Della, berdiri dari kursi roda dan pelan-pelan berpindah ke salah satu kursi makan.“Ngomong dulu,” kata Laras, menunjuk ponsel.Bu Della berdeham pelan. “Halo? Sarah? Kamu jarang menghubungi saya. Biasanya langsung ke Arsya. Kalau nelepon begini malah bikin saya deg-degan. Ada apa? Komisaris itu lagi, ya?”“Maaf sebelumnya kalau saya membuat Ibu
Bukan hanya sekali dua kali Tiara menemani para petinggi mencari hiburan; menghabiskan malam untuk bersenang-senang. Beberapa kali ia bahkan menyanyikan beberapa lagu di tempat karaoke bersama para petinggi perusahaan itu. Tiara memang tidak terlalu cantik, tapi Tiara bertubuh sintal berisi yang sangat disukai para lelaki. Ajakan untuk menghabiskan malam bersama pun tak jarang ia terima. Tapi pikiran Tiara tidak pernah berpikir terlalu jauh. Sampai ketika Eric yang mengajaknya seperti saat itu. Efek yang didapatnya dari pengaruh Eric tidak akan main-main. Semua karyawan perusahaan Eric akan segan padanya. Jadi, tanpa pikir panjang Tiara menuju pintu dan menguncinya. Eric membuatnya penasaran. “Bagus…bagus. Ayo, ke sini. Saya mau kita pemanasan dulu. Pasti pernah melakukan begini, kan?” Eric mengitari meja dan duduk di kursi. Ia bicara sambil melepaskan ikat pinggang dan menurunkan resletingnya. “Saya mau kamu blowjob sekarang. Bibir kamu penuh, pasti rasanya enak. Ayo,” pinta Eric s
Eric Widjaja mengambil beberapa sifat pria dominan pada umumnya. Ia menyukai persaingan dan tidak peduli apakah persaingan itu sehat atau tidak. Ia ingin menang dan tidak suka harga dirinya diobrak-abrik seperti yang dilakukan Arsya padanya. Egonya menuntut pembalasan. Dalam hal dunia lelaki, Eric Widjaja selalu menghindari segala bentuk ikatan. Ia beranggapan kalau teriak dengan seseorang berarti tidak bisa berkembang. Ia memiliki banyak rencana dan menjalin hubungan serius dengan wanita bukan termasuk di antaranya. Sepeninggal Mika keluar dari ruangannya, Eric mendekati Tiara dan membelai paha gadis itu. Ia menyukai Tiara karena gadis itu pemberani. Tiara tahu apa yang diinginkannya dan bersedia berkorban untuk itu. “Kamu yakin laki-laki di saja tidak ada yang curiga dengan pergerakanmu?” Eric meremas bokong Tiara. “Mereka pasti curiga seperti yang Bapak bilang. Tapi mereka nggak tahu mau mulai menyelidiki saya dari mana. Bukannya Bapak bilang hal itu semakin baik karena kita ja
Ada jeda beberapa detik sebelum Arsya mengatakan, “Lanjutkan.” Abdul kemudian berdeham dan kembali memandang laptop. “Baiklah saya lanjutkan. Sebagai informasi bahwa penyadap belum ada dipindahkan dan masih di tempat yang sama. Saya pikir tidak apa-apa dibiarkan saja. Vino bilang penyadap itu bisa kita pakai untuk tujuan lebih baik.” “Oke, selanjutnya,” ucap Arsya dengan tatapan menyapu permukaan meja. Ia juga berpikir akan rapat sambil makan. “Saya sudah membuat surat perintah kembali beroperasional yang akan Bapak tanda tangani untuk smelter.” Vino menyodorkan lembaran kertas yang baru dicetaknya. Arsya mengangguk. “Lalu, apa dugaan penggantian pegawai wanita di sini?” tanya Arsya. “Dugaan paling buruk adalah untuk melihat pergerakan kita di sini. Memastikan bahwa kita bergerak sesuai dengan perkiraan mereka. Seperti rencana proyek Eric Widjaja yang kamu ceritakan kemarin. Harusnya mulai dari sekarang kita mulai memikirkan apa rencana mereka selanjutnya untuk menghambat kamu,”