Aku melotot, tapi aku tahu ia paham."Aku tahu itu, jadi aku ucapkan terima kasih. By the way, kamu pucat. Pasti gula darahmu rendah lagi."Aku hanya meringis, entahlah. Aku seperti menjauh dari makanan beberapa hari ini. Apa karena taruhan itu? Sikap Argo, sikapnya, pekerjaan yang beruntun, aku sungguh seperti tidak ingin makan apa-apa."Kau harus banyak makan."Pesanan kami datang, ternyata ia memesan nasi. Aku makan nasi pecel, empal daging, ada telur, tempe tahu bali, dan peyek juga. Aku makan seolah-olah baru saja berpuasa selama berbulan-bulan.Biru dengan wajah geli dan menahan senyum tertawa melihatku, "Aku tidak pernah melihat perempuan makan seenak kau ini, Jani.""Oh, hobiku memang makan.""Iya kan? Kenapa kau tak membuat channel Youtube, kau bisa membuat ASMR- di sana." Ia berseloroh."Aku rasanya tak makan seminggu ini, Biru. Kelaparan banget.""Pantas wajahmu pucat.""Benar," kataku merasa tubuhku terisi energi yang begitu banyak."Kau terlihat kurus belakangan ini, apa
Saat menjelang pukul sepuluh pagi, kami sampai di jalanan beraspal kasar dan sedikit berlubang yang mengarah ke dusun Kanigoro. Itu salah satu dusun kecil, dan terletak jauh dari jalan provinsi. Melewati sekian sawah dan kebun-kebun rimbun di sepanjang jalan yang sepi.Hujan tidak meninggalkan bekas di tempat ini, hujan sudah lenyap saat kami memasuki kota Bangil, lalu masuk dan mengikuti lekukan jalan-jalan kecil meliuk dan memanjang di kecamatan Rembang.Hawa panas menyengat namun dihiasi oksigen melimpah membuat udara segar, namun itu semua terasa tidak berarti karena jantungku dari tadi sudah berdebar demikian keras. Aku takut menghadap Bapak. Duh, serem sekali siang ini.Saat azan membelah langit, kami berhenti sebentar di sebuah masjid di pinggir jalan. Biru langsung meloncat dan bergegas menunaikan Jumat. Aku terdiam di dalam mobil.Karena tidak ada yang kulakukan akhirnya aku menelpon kanjeng mami. Aku memberitahunya jika kami akan datang—iya kami. Aku dan Biru. Lalu, kukatak
"Inilah pilihan-pilihan yang sampeyan miliki, Nak Biru." Bapak membuka wejangannya yang panjang tadi dengan menekankan kalimat seperti itu. Aku yang menguping dari balik pintu yang membatasi ruang tamu dan ruang tengah merasa cemas dengan apa yang terjadi.Bapak tadi kaget, tidak marah tapi begitu kalut. Seperti biasanya, Bapak tidak mau mengambil banyak risiko yang bisa merusak reputasi keluarga, selain itu Bapak tidak mau ikut berdosa jika membiarkan anak gadisnya berurusan banyak dan berduaan selalu dengan yang bukan mahramnya."Nak Biru. Bukannya saya menolak lamaran tadi, saya sebagai bapaknya Anjani sangat bertanggungjawab dengan masa depannya. Urusan saya ini sama Gusti Allah. Jadi begini baiknya." Kudengar suara Bapak makin samar, sementara kupingku yang menempel di pintu terasa lengket dan tidak mau dilepas.Ibu yang duduk di sebelahku seperti menggeleng-nggeleng melihat tingkahku yang norak bukan kepalang."Nak Biru, saya akan menerima lamaran Nak Biru pada Jani setelah say
Sabtu pagi.Aku duduk di depan cermin. Aku adalah salah satu pengantin paling mandiri sedunia. Tidak ada MUA-MUA dengan gayanya yang gemulai melukis wajahku. Padahal yang kunikahi adalah seorang pemiliki televisi swasta, dengan puluhan MUA di kantornya.Ya, ini memang pernikahan dadakan. Begitulah Bapak dan idealisme-nya yang selurus tiang listrik yang ada di dusun ini. Seringkali, Bapak mengomentari keponakan-keponakannya kalau-kalau ia menemukan mereka sedang pacaran atau ada apel di rumah."Ayo, Paklik akad saja ya?""Yuk akad, murmer, halal pula!""Akad saja, nanti halal ngapa-ngapain."Begitulah, terkadang. Sampai aku takut sepupuku tersinggung. Anehnya, mereka tidak tersinggung justru tersipu malu. Benar-benar deh Bapak ini.Aku tertawa mengingat seluruh kelakuan Bapak, tapi begitulah ia. Jadi, kalau sekarang aku harus menjadi salah satu target akad dadakan ini, aku harusnya tidak takut. Tapi, kenapa aku dari tadi gemetar ya?Kalau begini mana bisa melukis alis? Bisa mencong san
Biru mengulurkan tangannya, aku menerima tangan itu dan mencium punggung tangannya yang wangi. Kapan dia tidak wangi, kalau biasanya aku masih tahu diri tak mengharapkan membayangkan apa dengan parfumnya yang terasa maskulin dan mengintimidasi, sekarang malah pikiranku melayang-layang lagi.Duh, Jani. Inget dong!Aku tersenyum, ia menatapku lembut. Mata cokelatnya, tampak menghitam kelam. Aku tahu, jika ia sedang begitu serius dan antusias begitulah matanya berkilat-kilat. Apa yang ada di pikiran Biru sekarang?Ingat, Jani. Sekarang, banyak orang kamu harus jadi pengantin yang anggun dan kalem, jangan loncat-loncat seperti biasanya.Biru tersenyum sekali lagi, sementara di sekitarku saudara-saudara sepupuku seperti terpana melihat siapa suamiku sekarang. Oh, apa mereka tidak tahu skilku dalam mencari jodoh, duh jadi sombong.Biru menundukkan kepalanya, dan berbisik di telingaku, rasa-rasanya itu tidak mungkin mengingat di sini terasa ramai."Kamu cantik, kamu selalu cantik."Duh, jadi
Mas.Emas.Aku baru saja teringat mahar Biru tadi, saat ia menyebutnya dengan lantang dan meyakinkan di ruang tamu eh—ruang akad. Begitu. Dari mana ia mendapatkan emas murni dengan berat 230 gram secepat itu? Apa ia punya asisten khusus di sini? Apa justru dia malah sudah menyiapkannya.Semua itu berputar di kelapaku dan aku merasa berdenging mengingat ini."Apa kau sudah menyiapkan semua?" aku mengerjap, menatap binar mata Biru yang cokelat dan terasa sedikit menghitam karena sinar temaram dan kekuningan di kamarku yang sempit. Ranjang besiku yang berkeriut ramai, dan kelambu putih tipis yang berkibar-kibar lebai karena tertiup angin dari kipas besar yang menempel di tembok."Apanya, Jani?" ia seperti tertawa. Aku merasa sangat bodoh saat ini. Apa yang harus kulakukan? Aku tidak ingin malam ini kacau, tapi aku tahu ia pasti mengingat syarat ketika aku dan dia menikah sirri dahulu.Aku masih belum mau bercampur.Aku menggeser tubuhku yang terasa panas dan gugup, sedikit ke samping men
Aku meremas pundak Biru, dan merasakan betapa liat setiap inchi kulit tubuhnya. Apa dia begitu gemar berolahraga? Gawat, aku harus sering-sering lari atau ke gym sekarang!Aku mencoba beringsut, namun kurasakan jari-jari Biru menekan pinggangku dan menekan tubuhku ke daun jendela. Beruntung jendela ini besar, dan berdesain mirip jendela-jendela di rumah-rumah era colonial. Ada teralis besi, dan tembok melengkung yang bisa digunakan Biru untuk menggodaku."Terima kasih, itu pujian jujur dari istri yang baik."Aku seperti mendengar embusan napasnya mendekat, aku seperti tersihir. Ini terasa menggelisahkan, apa yang akan ia lakukan?Aku membuka mataku, menemukan hidungnya ada di sana. Di depan hidungku!Salah satu jemarinya, mengusap daun telingaku dengan lembut, aku bergidik. Tubuhku meremang.Tahan! Tahan Jani, surat sah belum jadi!Tapi, aku seperti tidak sadarkan diri. Aku terbengong di depan mata cokelatnya."Jani. Anjani."Ia menyebutkan namaku dengan begitu manis."Kau jangan bert
Aku terbangun karena hawa panas dan suara-suara pujian dari dusun terdengar begitu saja. Lagi pula, aku tidak bisa tidur. Nyamuk-nyamuk ini kok ya tahu kalau sekarang ini malam yang penting, walaupun sudah diberi obat nyamuk bakar, tetap saja mendengung dengan begitu genit.Aku ingin tahu, bagaimana Biru merasakan situasi seperti ini. Apakah ia bisa betah berada di rumahku yang sangat terbatas dan aneh begini. Namun, sejauh yang kutahu, ia malah sering tertawa-tawa. Begitulah Biru sekarang. Entah kenapa aku melihat wajahnya begitu ceria.Apa ia begitu senang sudah menikahiku?Duh, jadi kepedean. Harusnya, aku dong yang berteriak histeris ke sekeliling kampungku yang berdebu, panas, dan ndeso ini. Mengumumkan pada orang-orang yang seringkali mengghibahiku mengenai statusku dulu, dan menyayangkan kalau aku menggugat Argo.Well, bagiku perselingkuhan itu tidak ada ampun, sama dengan KDRT. Perempuan walaupun seabsurd dan seaneh diriku ini, setidaknya punya sedikit batasanlah kalau dizalim