[ Fakta Kecelakaan Pengusaha Terkaya di Indonesia ]
[ Melaju dengan Kecepatan Tinggi, Pengusaha Terkaya di Indonesia Kritis ]
[ Tragis! Pengusaha Muda ini Kritis Akibat Kecelakaan ]
Berita dengan tajuk kecelakaan seorang pengusaha ternama, sukses merajai seluruh media sosial di Jakarta malam ini.
Hujan lebat dan kecepatan tinggi diperkirakan sebagai penyebab utama mobil yang dikenderainya menabrak pembatas jalan dari proyek yang sedang dibangun. Sayangnya, kecelakaan ini menewaskan sang supir dan menimbulkan pengusaha muda ini kritis di rumah sakit--selama dua tahun.
******
“Gue lupa. Ini acara apa, ya?” tanya Agaf bingung.
Pengusaha muda ini terlihat tampan dengan pakaian formalnya. Sayang, matanya seolah tidak memiliki cahaya kehidupan. Akibat kecelakaan dua tahun lalu, dia tiba-tiba terbangun dengan vonis buta dari sang dokter.
“Peresmian anak gedung di Bandung. Mungkin, sekitar 1 atau 2 jam peresmiannya, setelah itu ada acara pesta gitu,” jawab Jake--sahabat sekaligus asistennya--cepat.
“Gue wajib datang?”
Mendengar itu, Jake langsung heboh dengan berkata, “Oh, itu gak usah ditanya! Lo wajib datang, Boss. Apalagi, lo salah satu orang VIP di sana. Jangan macem-macem!”
Agaf mendengus kesal. Saat ini, ia sedang dibantu menggunakan setelan pakaian oleh Jake. Dengan lihai, Jake beralih memasangkan dasi pada kerah Agaf.
“Gak usah khawatir. Ada gue di sana. Gue bakal mantau lo tiap menit,” putus asistennya itu.
Agaf diam sebentar sebelum berkata, “Gue gak pernah minta dijaga.”
“Jadi, kalau diculik, lo gapapa?”
“Palingan gue dicopet.”
Jake tertawa sambil menatap wajah Agaf. “Astaga, Gaf. Bisa-bisanya, lo ngelawak tanpa ekspresi. Hahaha!”
Agaf tak tertawa. Masih bersama ekspresinya yang seperti biasa. Datar. “Gue serius.”
“Serius?” Jake masih tertawa.
“Mana ada orang yang mau nyulik orang buta, kan?”
Seketika, raut sumringah Jake luntur dan menatap Agaf agak marah. “Udah gue bilang, jangan pernah bilang kayak gitu!”
“Lo udah selesai masang dasi?” alih Agaf.
“Awas aja sekali lagi gue denger lo bilang gitu.”
“Jam tangan gue.”
Jake menaikkan bibirnya sinis. Bisa-bisanya, Agaf tidak menggubris perkataannya dan tetap biasa saja ketika merendahkan dirinya sendiri.
Akhirnya, Jake pun membuang nafasnya panjang. Ia beralih mengambil jam tangan Agaf yang berada di dalam kotak dan memasangkannya ke tangan kanan Agaf.
“Udah selesai,” kata Jake singkat.
Agaf masih bergeming. Untuk beberapa saat ia memikirkan sesuatu. “Lo masih marah?”
“Kenapa kalau gue masih marah?”
“Gak ada. Gue nanya aja, biar gue tau kenapa lo bicara singkat sama gue.”
Dan setelah itu, Agaf beserta tongkatnya berjalan keluar dari walk in closet dengan wajah yang tak bersalah.
Jangan tanyakan seperti apa raut wajah Jake sekarang. Lelaki itu benar-benar tak habis pikir mengapa mendapatkan teman tidak tahu diri seperti Agaf.
***
Pukul 4 sore, Agaf dan Jake sampai di acara yang dituju. Mereka berhenti tak jauh dari pintu masuk utama gedung.
“Seberapa ramai?” tanya Agaf untuk memahami situasi dan lingkungan tempatnya berdiri saat ini.
“Seperti biasa, wartawan selalu ada. Tapi, lo tenang aja. Kali ini, mereka dibatasi dengan pembatas. Jadi, gak bakal ada orang yang gangguin jalan lo.”
Agaf menghela nafas panjang. Ia mengambil kacamata hitam dari saku jas, kemudian memakainya.
“Gue mau keluar sekarang.”
Begitu ucapan itu keluar dari bibir Agaf, Jake segera keluar dari mobil dan membukakan pintu bagian Agaf duduk. Ia meraih tangan Agaf dan membantu lelaki itu untuk berjalan. Sedangkan sang supir, melaju dan memarkirkan mobil ke bagian parkiran.
“Gaf, mau tau sesuatu?” bisik Jake di tengah-tengah ia mendampingi Agaf.
“Apa?”
“Banyak cewek cantik yang ngelirik lo.”
Agaf langsung mencibir. “Gak usah ngawur. Palingan, itu cewek yang jadi “teman” lo malam ini.”
Jake menganga dan melirik kanan kirinya takut kalau-kalau perkataan Agaf terdengar oleh seseorang. “Wehh! Lo kalau ngomong emang gak bisa disaring dulu ya. Anjir, untung gak denger sama orang belakang. Bisa-bisa track record gue sebagai cowok paling kalem hancur.”
“Track record sebagai cowok kalem?” sinis Agaf.
Jake memasang ekspresi kesal. Sedangkan Agaf, tiba-tiba saja ia teringat akan sesuatu. “Jake,” panggilnya kepada Jake.
“Apa?” jawab Jake singkat.
“Lo udah gak marah soal tadi?”
“Tadi gue udah lupa. Sekarang gue bakal ingat itu lagi.”
Agaf tersenyum kecut. Entah kenapa seorang seperti Jake bisa masuk dengan mudah dalam kehidupannya.
***
“Agafta Arghadana!” seru seseorang sambil mendekati Agaf. “Selamat datang dan terima kasih, Gaf! Udah dateng ke acara peresmian gedung saya.”
Seseorang itu memeluk Agaf sebentar dan memandang Jake. “Gimana kabar kamu, Jake? Sehat?”
Jake tersenyum. “Syukur saya sehat selalu. Bapak sehat-sehat juga, bukan? Untuk peresmian gedung baru, bapak gak boleh sampai drop. Ntar gak jadi lagi motong pitanya, hahaha!”
Agaf yang berada di sebelah Jake sedikit mendengkus. “Jangan terlalu denger Jake, Pak. Mungkin Bapak bisa menyapa tamu yang lain.”
Sang Bapak tertawa dan menepuk pundak Jake. Kemudian, beralih memegang tangan Agaf seraya berkata, “Saya bener-bener serius mengucapkan terima kasih ke kamu. Nanti kita bicara lagi.”
Agaf berdeham pelan. Setelah merasakan Bapak itu pergi dari sisinya, ia merasa Jake sedikit mendekatkan langkahnya. “Gue tau berapa langkah untuk lo dekat ke gue.”
Seketika itu decakan keluar dari bibir Jake. “Lo emang udah ahli soal pendengaran. Tapi, tolong dong, kalau orang nyapa, sudut bibir lo dinaikin. Biar enak gitu diliatnya.”
“Emang kenapa?” tanya Agaf dengan dahi berkerut. “Bukannya gue udah biasa kayak gini?”
“Ya emang udah biasa bersikap kayak gini. Tapi, saat ini banyak yang mandang kita tau, apalagi cewek-cewek. Kan jadi terkesan buruk aja kalau gue punya bos yang mukanya super jutek.”
Giliran Agaf yang berdecak. Lelaki itu menarik kacamatanya hingga terlepas dan memberikannya kepada Jake. Tentu saja Jake menerimanya dan memegangnya dengan aman.
“Gue haus. Anterin gue ke tempat minum.”
“Lo gak mau nyapa cewek dulu?”
“Lo pernah ngeliat gue gitu?” desis Agaf.
“Enggak, sih. Selalunya gue.”
“Ya udah. Gue tau tabiat lo. Jangan sok basa-basi.”
Jake manyun sedikit. Bisa-bisanya Agaf terlalu jujur mengenai dirinya yang ya…..begitulah. Sedikit keterlaluan kalau benar-benar terungkap. Kemudian, dengan helaan nafas panjang, Jake meraih pundak Agaf dan menghadapkan Agaf untuk ke mana seharusnya ia berjalan.
***
Acara peresmian telah selesai berlangsung. Segalanya yang menjadi topik hari ini, sudah selesai dan gedung baru untuk hotel dan bar telah resmi dibuka.
Agaf dan Jake langsung ke bar dan duduk di sana.
“Kenapa sih lo bawa gue ke sini. Udah gue bilang kalau gue mau langsung pulang,” gerutu Agaf ketika Jake mendudukkan ke kursi bar.
“Lo gak inget janji lo apa tadi?”
“Apaan?! Gue gak pernah janji sama lo!”
Jake memegang tengkuk lehernya. Seharusnya gue lebih tau kalau Agaf selalu mengingat perkataannya.
“Itu lho, Gaf. Masa lo lupa kalau kita harus nikmati beberapa saat sebelum pulang ke Jakarta? Maka dari itu, mumpung kita di sini, mending seneng-seneng bentar.”
“Lo nyari mati?” geram Agaf.
Jake menyengir. “Enggak bakalan lama, kok. Dua jam.”
Jangan heran. Kalau soal tidak tahu diri, Jake memang nomor satu.
“30 menit,” tegas Agaf.
Jake menatap Agaf tak percaya. “T-tiga puluh menit? Yang bener aja waktu untuk seneng-seneng cuma 30 menit, Agafta Arghadana?!”
“Lo udah bilang kalau lo gak akan kemana-mana.”
“Gue emang gak kemana-mana! Gue seneng-seneng gak jauh dari lo, nih!”
“Atau enggak sama sekali?”
“Fine! 30 menit! Puas?”
“Cari cewe sana.”
Tenggelamkan Agaf sekarang atau Jake akan semakin gila dengan ketidakwarasan seorang Agaf. Dosa apa yang telah ia perbuat hingga memiliki Agaf dalam kehidupannya?
“Lo jangan kemana-mana, gue bentar doang.”
Agaf hanya bergumam, ia menyenderkan tongkatnya ke bar dan menerima satu air anggur untuk menemaninya malam ini.
“Siapa nama kamu?”
Tiba-tiba seorang wanita duduk di samping Agaf dan melihat Agaf dengan teliti.
Namun, dilihat dari Agaf yang tak kunjung merespon, wanita itu menyapanya sekali lagi. “Hey, aku nanya siapa nama kamu.”
“Lo bicara sama gue?” kata Agaf pada akhirnya.
Wanita itu tertawa pelan. “Siapa lagi kalau bukan kamu yang ada di sini?”
“Gue gak butuh wanita penghibur.”
“Hah? Aku gak bilang kalau aku pengen ngehibur kamu.”
Agaf mendengus. “Tolong, pergi! Gue lagi gak butuh orang lain sekarang.”
“Aku belum tau nama kamu.”
“Gak penting.”
“Alih-alih bilang gak penting, kenapa kamu gak nanya siapa aku?” tanya wanita itu.
“Apa gue keliatan pengen tau tentang lo?”
Sinisnya Agaf, malah membuat wanita di sebelahnya menjadi tersenyum miring. “Kamu terlalu terus terang. Langsung aja, cowok kayak kamu tuh tipe idealku.”
“Lo bukan tipe ideal gue,” balas Agaf cepat.
Si wanita tertawa kembali. “Kamu tau? Semakin kamu terus terang, aku semakin tertarik sama kamu.”
Agaf membuang nafas panjang. Teruntuk wanita di sebelahnya, apa tidak bisa minggir dari kehidupannya?
“Sebenarnya lo mau apa?”
“Nama. Sekaligus nomor hp kamu,” balas wanita itu tertawa.
Agaf kembali mendengus. Ia percaya, wanita itu pasti sedang menatapnya juga.
“Lo tau ini tempat apa?” tanya Agaf.
“Tentu aja. Ini bar.”
“Menanyakan nama dan nomor hp? Lo seorang penipu?” tebak Agaf dengan wajah yang datar.
Seketika sang wanita tertawa besar. “Banyak yang menyimpulkan kalau aku pengen tidur sama seseorang kalau udah begini. Kenapa kamu malah mikir aku seorang penipu?”
“Berarti, emang bener kalau lo penipu. Sekarang, apa lo bisa pergi?” usir Agaf. Dan sialnya, kemana Jake sebenarnya? Apa Jake memang sengaja membiarkan wanita ini bersamanya?
“Enggak. Sebelum aku kenal kamu,” kata wanita itu dengan senyuman manis. “Dan sebelum kamu bisa ngeliat aku.”
“Sebelum aku kenal kamu, dan sebelum kamu bisa ngeliat aku.” Perkataan itu terngiang di kepala Agaf saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia menggelengkan kepalanya cepat. Rasanya tidak benar jika ia mengingat kembali percakapan dengan wanita yang ia tidak kenali. “Gue pasti udah gila,” gumam Agaf. “Iya. Gila. Ngasih gue waktu seneng-seneng cuma 30 menit,” kesal Jake. Agaf yang langsung mendengkus, seraya berkata, “gak tau diri emang.” “Lo aja yang terlalu jahat.” “Masih mending gue ngasih lo seneng-seneng.” “Seneng-seneng apa yang cuma 30 menit, Agaf?!” “Jake, turunin nada bicara lo,” desis Agaf. Pada akhirnya Jake mengalah. Ia membuang nafas panjang dan bersandar di sandaran kursi. Menoleh ke Agaf sebentar, lalu kembali memandang ke depan. *** Tepat pukul 9 malam, Agaf dan Jake tiba di rumah milik Agaf. Jake membantu Agaf keluar dari mobil dan membantu lelaki itu masuk ke dalam rumah. “Kayaknya gue harus balik rumah,” kata Jake di tengah perjalanannya mengantar Agaf ke
Agaf diam. Perihal asisten baru, apakah ia benar-benar membutuhkan itu?“Lo bisa atur itu semua sendiri, Jake?”“Tenang. Gue udah mikir ini, kok. Dan gue bakal nyari yang terbaik buat lo.”“Ya udah kalau gitu,” jawab Agaf.“Deal?”“Hm. Gue mau mandi sekarang, terus kita lanjut kerja.”Jake menaikkan sudut bibirnya. Lalu, membantu Agaf untuk mandi dan dilanjutkan dengan bekerja.For your information, selama dua tahun sejak Agaf kecelakaan, Jake selalu menjadi tangan kanan Agaf dalam hal pekerjaan.Segala hal yang berkaitan dengan kantor, Jake yang sering pergi ke sana. Dan Agaf selalu memantau dari rumah.Agaf jarang sekali keluar dari rumah kalau tidak untuk hal-hal yang penting yang mengharuskannya untuk hadir.***ADTA Group, Jakarta.Tampak Jake sedang menelepon seseorang dan menghadap menatap kota Jakarta Pusat dari lantai 25. Lebih tepatnya, ruang kerja milik Agaf.“Besok gimana? Berapa menit dari tempat lo ke rumah Agaf?” kata Agaf ke seseorang yang diteleponnya.”“Sekitar 30 me
Agaf langsung berdiri. “L-lo?! Lo beneran cewek di bar kemarin?!”Jake menatap Agaf dan Starla secara bergantian. “Loh? Kalian pernah ketemu?”“D-dia cewek yang godain gue di Bandung kemarin. Dia Jake! Ngapain lo bawa dia ke sini?!” terang Agaf.Starla menggeleng kepala cepat. “Saya gak pernah godain Bapak. Apa Pak Agaf ngerasa gitu?”Agaf menggeram. “Minta nomor hp dan bilang kalau lo tertarik sama gue. Apa lagi kalau bukan lo godain gue?!”“Tapi saya gak pernah ngajak Bapak tidur.”Jake yang di belakang Agaf hanya bisa tertawa sembari mengacak rambutnya acak. Sementara Agaf, matanya semakin melebar dan sekarang ia malah tampak gagap.“Gue bisa gila kalau punya asisten kayak lo. Jake, apa gak ada orang lain? Kenapa harus cewek ini?!”“Karna cuma dia yang gue tau punya karakter kerja keras kayak gue.”“Tadinya, gue hampir toleransi karna dia cewek. Tapi, kalau ceweknya kayak dia—”Agaf menjambak rambutnya frustasi. Sialan. Sebanyak manusia yang berada di Jakarta, kenapa harus wanita i
Starla tau jika Agaf adalah salah satu lelaki yang bersifat dingin. Namun, Starla juga tidak menyangka bahwa suasana makan Agaf benar-benar hening kalau saja tidak ada suara sendok yang berdenting.“Gaf, gue bakalan pulang malam ini. Starla juga udah mulai tidur di sini. Jadi, lo bisa manggil dia kapan aja,” kata Jake sembari memandang Starla yang berdiri lurus depan Agaf di kursi seberang.Starla pun mengangguk yakin. Ia juga memberi senyum kepada Jake.“Hm.”Dan, gumaman itu membuat Starla menatap Agaf ngeri, lelaki itu… ah, memang sama sekali tidak bisa berbicara sedikit pun.“Ingat ya, Gaf. Jangan diem-diem aja. Terkadang, gue juga takut sama lo yang terus-terusan diem. Udah kek hantu aja,” celetuk Jake.Agaf akhirnya berdecak. “Bawel, Jake. Gue mau makan,” gerutu lelaki itu tanpa mengubah sedikitpun gerakan makanannya.Dalam mata Starla, gerakan makan Agaf sangat teratur dan nyaris Starla tidak percaya bahwa Agaf adalah sosok lelaki tampan namun buta. Dengan tangan yang bergerak
Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.“Oh ya?”Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”“Yang jelas saya asisten Bapak.”“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.“Bapak yang ngajak saya ngomong.”Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”“Bapak udah mand
Usai tiba di tempat Aldo, Starla keluar untuk mencari angin di taman rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi panjang, di bawah pohonan rindang, dan sedikit memandang orang-orang yang berada di taman tersebut.Starla membuang nafas lelah. Sebenarnya, tadi Starla ingin menemani Agaf di dalam ruangan Aldo. Dan sayangnya, lelaki dingin itu tidak memperbolehkannya.Starla pun tidak ingin memaksakan diri. Ia membiarkan dua lelaki itu di dalam ruangan yang sama. Mungkin, ada pembahasan lain yang tidak boleh Starla dengar. Maka dari itulah, Agaf menyuruh Starla keluar.“Duh! Bolanya kena kaki Kakak!” Lamunan Starla langsung buyar ketika ada bola yang mengenai kakinya. Wanita itu menoleh ke anak yang mendekatinya sembari memasang raut yang sedih.“Rina minta maaf ya, Kak. Rina beneran gak sengaja,” ucap anak itu merasa sangat bersalah.Starla yang malah merasa baik-baik saja, menarik kedua sudut bibirnya sampai tersenyum manis. Kalau dari pandangannya, anak tersebut berumur 7 tahun. Agak cadel
“Makasih ya, Dok. Kalau begitu, kami pamit dulu.”Starla memberikan senyuman yang manis kepada Dokter Aldo setelah konsultasi selesai. Aldo yang memang memiliki sifat ramah tinggi, membalas senyuman wanita itu dan mengangguk sekilas.“Sama-sama. Hati-hati di jalan, La.”“Bahkan lo tau nama dia?” ucap Agaf tiba-tiba.Dokter Aldo terkekeh pelan. “Jake udah ngasih tau gue. Lagian, lo juga gak kenalin dia sama gue. Ya udah, sih. Informasi dari Jake berguna juga buat gue.”Agaf hanya memberikan respon cueknya. Sementara itu, Starla yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, melihat Dokter Aldo dan Agaf secara bergantian.“Loh. Kalian temen deket?” tanya Starla dengan wajah penasaran.“Hahaha! Memangnya ada temen yang gak pake gue-lo saat ketemuan?” Dokter Aldo memperlihatkan sederet gigi putihnya. Untuk sesaat Starla terkesima. Mengapa begitu banyak lelaki tampan yang berada di sekitarnya. Namun! Setampan apapun lelaki itu, tetap Pak Agaf yang paling tampan menurutnya. Dasar Starla bucin.“O
“Hm. Setelah kecelakaan, ceweknya pergi. Di satu sisi, gue pikir Agaf bener-bener ngelupain dan benci banget sama dia karna sewaktu tau ceweknya kayak gitu, Agaf tu bener-bener marah.” “Tapi?” tanya Starla penasaran. “Tapi, di satu sisi juga, gue bingung. Kenapa kenangan sama cewek itu masih Agaf simpan sampai sekarang.” *** Starla kembali ke kamar Agaf dan menatap lelaki itu yang sedang duduk di sofa sembari mendengarkan berita dari radionya. Walau masih terbayang percakapannya dengan Jake, Starla berusaha tersenyum tipis--meski tak mungkin dilihat pria itu. Starla kemudian mendekati Agaf beberapa langkah. “Pak Agaf!” Agaf yang tadinya fokus, langsung menekan salah satu tombol remot pada tangannya hingga suara radio tidak terdengar lagi di penjuru kamar. Pandangan Agaf naik, tepat saat itu Starla sudah sejurus berhadapan dengannya. “Apa lagi?” Jika seperti ini, pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa pria ini tidak bisa melihat. “Apa lagi?” beo Starla. “Padahal, setelah
“Starla,” panggil Agaf dan berhasil menghentikan Starla yang mengoceh panjang lebar sedari tadi. “Iya?” “Kamu suka, ya, sama saya?” Starla terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, ia menjawab, “iya, Pak. Saya suka sama Bapak.” Dan beberapa detik kemudian. What?! *** Starla membuka matanya lebar sembari mendudukkan dirinya di sofa. Wanita itu terkejut. Ia juga baru menyadari bahwa kejadian sebelumnya berada di alam mimpi. “Sumpah, lo, La? Ternyata lo mimpi,” ringis Starla. Ia mengacak rambutnya yang kemudian dijambak dan berteriak pelan. “Tapi, gak gitu juga anjir mimpinya. Masa iya lo confess begituan sama Pak Agaf?” Beberapa saat Starla diam. Ia baru menyadari perkataannya. “Wait. Confess?! Enggak! Gue gak suka sama Pak Agaf! Itu namanya ngelantur, Begoooo.” Rasanya, Starla ingin menghilang saja dari bumi. Starla menyingkap selimut yang masih melekat di tubuhnya. Ia juga baru menyadari bahwa ia tertidur di sofa akibat belum selesai mengerjakan pekerjaannya tadi malam. “T
Starla hampir berteriak melihat dokumen-dokumen pekerjaan milik Agaf yang berserakan di meja kerja miliknya. Setelah Jake memberikan pekerjaan tambahan yang tentu saja menyebalkan, Jake meminta Agaf untuk menyediakan ruangan kerja Starla dan lelaki itu menyetujuinya. Jake tidak menyarankan meja kerja Starla berada di kamar tidurnya sendiri karena Jake tahu Starla tidak bisa fokus ketika melihat ranjang alias suka mengantuk.Dan di sinilah Starla berada sekarang. Di rumah Agaf. Di ruang kerja baru miliknya. Dengan kondisi wajah yang berantakan. “Oh my God! La! Udah jam 1 malam. Eh, dini hari, deng. Masa iya lo belum tidur sama sekali.” Starla merengek melihat keadaannya sendiri.Dia menjatuhkan pulpen di atas kertas dokumen dan menegak segelas air putih. Baru dua hari bekerja saja dirinya sudah selelah ini, apalagi dua bulan mengerjakan hal yang sama. Starla selalu berharap bahwa tubuhnya baik-baik saja untuk ke depannya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu terdengar dan mengalihkan atens
“Starla. Kita ada di mana sekarang?”Pertanyaan itu memecah keheningan yang terjadi antara Starla dan Agaf. Starla tersenyum tipis, ia sedikit mendekatkan wajahnya ke Agaf yang terlihat bingung.“Apa yang Pak Agaf dengar sekarang?”“Motor. Suaranya besar. Dan….saya ngerasa ini sedikit panas. Saya tau ini lagi di tepi jalan. Tapi, kamu mau apain saya? Ngejual saya?”Starla hampir tertawa.“Saya langsung kaya kalau misalnya ngejual Pak Agaf sekarang juga. Tapi, bukan itu kok maksud dan tujuan saya.”“Terus, apa?”“Bentar. Bapak jangan bergerak. Saya gak akan lama.”Belum sempat mencegah Starla. Starla sudah lebih dulu menjauhi Agaf. Agaf hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dan beberapa menit kemudian, Agaf bisa merasakan bahwa seseorang mendekatinya. Sudah pasti bahwa itu Starla.“Nih! Coba Pak Agaf rasain!” kata Starla seraya menyodorkan sebuah es krim berbentuk kerucut kepada Agaf.Tentu kening Agaf langsung berkerut. “Maksud kamu apa?”Starla meraih tangan kanan Agaf dan mengambi
Berulang kali, Starla melirik Agaf dari kaca kecil mobil yang berada di atas kepalanya. Meskipun perjalanan mereka diterpa oleh kemacetan Kota Jakarta, bagi Starla, hal ini tentu tidak mengapa. Ia jadi bisa melihat Agaf sepuas mungkin sekarang.“Pak Agaf.”“Hm,” jawab Agaf, seperti biasa.“Mau tau satu hal?”“Apa?”“Pak Agaf ganteng banget hari ini.”Uhukkk!Agaf langsung tersedak saat itu juga. Kepalanya yang tadinya menoleh ke arah jendela, kini tertuju ke depannya—lebih tepatnya ke Starla. Ekspresi lelaki itu kesal bukan main.“A-apa kamu gak bisa fokus aja nyetirnya?”“Lagi macet, Pak. Apa Bapak gak ngerasa kita belum bergerak selama 5 menit?”“Kalau gitu, cari cara lain!”Bibir Starla mengerucut. “Kok Bapak tiba-tiba marah? Apa Bapak marah dibilang ganteng?”“Kamu bisa diam? Saya pusing banget dengerin kamu bicara yang gak penting dari tadi pagi!”Menghela nafas, Starla akhirnya menoleh ke belakang dan memosisikan wajahnya selurus dengan Agaf. Untuk sesaat, justru dialah yang mer
[ Flashback ]Starla menepikan mobil di tepian jalan dengan posisi yang benar saat sudah tiba di tempat martabak tujuannya. Tempat itu berada di seberang jalan dan membuatnya harus berpikir bagaimana cara menyeberangi jalan yang seramai ini.‘Sialan. Kok bisa pada rame banget, sih, malam ini?”Starla merasa kesal sendiri. Untung saja, tempat martabak itu tidak memiliki antrian yang panjang. Dan kalau saja itu terjadi saat ia tiba tadi, ia yakin emosinya kembali naik seperti sebelumnya.Tanpa berlama lagi, Starla menarik napas dan membuang perlahan untuk bersiap tempur bersama kendaraan yang berlalu lalang.Dirinya merentangkan tangan kanannya sebesar 45 derajat ke bawah sebagai tanda bahwa ia ingin menyebrangi jalan dan meminta para pengendara untuk memberinya ruang jalan.Nasib baik Starla, orang-orang tersebut memahaminya. Tidak semua pengendara melajukan kendaraannya dan di situ Starla mulai berjalan cepat untuk
“Gaf, kamu baik-baik aja? Aku…Serena.”Kata-kata itu kembali mengingatkan Agaf ke satu jam yang lalu karena kedatangan Serena secara tiba-tiba.Marah? Tentu saja amarah Agaf naik. Lelaki itu tanpa berpikir panjang langsung memutar tubuhnya untuk menghadap Serena. Meskipun ia tidak bisa memastikan posisi Serena berada lurus di depannya atau dimanapun, tapi lelaki itu sangat yakin posisi Serena tidak jauh dari dirinya.“Aku lupa untuk mengingatkan ke siapapun supaya melarang kamu untuk gak menginjak rumahku lagi,” cecar Agaf dengan amat sangat datar.Serena tersenyum manis.“Kenapa, Gaf? Kamu paling seneng kalau aku udah datang ke rumah kamu.”“Kamu yakin itu aku yang sekarang?” balas Agaf.Perlahan, senyum Serena meluntur. Namun, sebisa mungkin tetap menarik kedua sudut bibirnya meski Agaf tidak bisa melihat hal itu.“Aku sedang berusaha untuk melakukannya.”
Setelah bertempur selama 2 jam di jalanan, akhirnya Starla tiba di rumah Agaf dalam keadaan nafas yang tidak beraturan. Wanita itu juga langsung melihat arloji abunya di tangan kiri.“Udah jam 10 lewat. Kayaknya Pak Agaf udah tidur, deh. Ck! Gara-gara gue, nih, yang kelamaan,” sesal Starla. Wajahnya berubah lesu. Ia yang tadinya ingin menapaki anak tangga, langsung mengurungkan niatnya itu.“Eh, Mbak Starla?” tegur salah satu pelayan di sana.Starla menoleh.“Hm, Bibi? Bibi masih belum pulang?” tanya Starla.Sang Bibi tersenyum tipis. “Bibi baru aja selesai beresin tempat minum Bapak. Ini udah selesai. Bibi juga mau pulang. Mbak lagi ngapain di sini?”Starla menatap Bibi bingung. “B-baru selesai? Artinya, Pak Agaf masih bangun?”Bibi mengangguk cepat. “Bapak masih di ruangan kerja, kok. Memangnya kenapa, Mbak?”Mendapati hal itu, wajah Starla langsung sumri
Dalam beberapa hari ini, sikap Agaf begitu tak biasa terhadap Starla. Selain kejam dan tidak berperasaan, sudah Starla ingatkan bahwa Agaf juga merupakan lelaki yang dingin. Namun, Starla tidak pernah terpikir sikap Agaf akan sangat menguras emosi dan tenaganya. “Kenapa Bapak manggil saya?” kata Starla setelah berada di dalam ruangan Agaf, ia berada di depan Agaf yang sedang meraba huruf brailenya di kursi kerja. Ya, lelaki itu sedang membaca. Agaf pun yang tadinya fokus, langsung menggerakkan kepalanya sedikit dan menutup buku. “Kamu sibuk?” Mata Starla sedikit menyipit. “Tumben Pak Agaf nanya? Padahal Pak Agaf selalu nyuruh saya tanpa nanya kondisi saya gimana.” Agaf sedikit termangu. “Nyuruh saya nyapu halaman yang segeda gaban. Nyuruh saya berkebun, nyuruh saya manen cabe. Nyuruh saya pergi beli pupuk—apa Pak Agaf gak nyadar kalau Pak Agaf udah ngasih perintah yang aneh-aneh dalam beberapa hari ini?” ungkap Starla dengan nada kesalnya. “Pa
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar