Starla tau jika Agaf adalah salah satu lelaki yang bersifat dingin. Namun, Starla juga tidak menyangka bahwa suasana makan Agaf benar-benar hening kalau saja tidak ada suara sendok yang berdenting.
“Gaf, gue bakalan pulang malam ini. Starla juga udah mulai tidur di sini. Jadi, lo bisa manggil dia kapan aja,” kata Jake sembari memandang Starla yang berdiri lurus depan Agaf di kursi seberang.
Starla pun mengangguk yakin. Ia juga memberi senyum kepada Jake.
“Hm.”
Dan, gumaman itu membuat Starla menatap Agaf ngeri, lelaki itu… ah, memang sama sekali tidak bisa berbicara sedikit pun.
“Ingat ya, Gaf. Jangan diem-diem aja. Terkadang, gue juga takut sama lo yang terus-terusan diem. Udah kek hantu aja,” celetuk Jake.
Agaf akhirnya berdecak. “Bawel, Jake. Gue mau makan,” gerutu lelaki itu tanpa mengubah sedikitpun gerakan makanannya.
Dalam mata Starla, gerakan makan Agaf sangat teratur dan nyaris Starla tidak percaya bahwa Agaf adalah sosok lelaki tampan namun buta. Dengan tangan yang bergerak tanpa celah ragu sedikitpun, Starla yakin bahwa Agaf adalah lelaki yang sudah berusaha keras untuk hidup dalam aturannya sendiri.
“Oh, iya, Gaf.” Jake lagi-lagi menginterupsi. “Kayaknya, besok gue gak bisa ada di sini sampai jam 3, deh. Soalnya, Mama—ya…Mama lagi-lagi ngeluarin sifat nyebelinnya.”
“Fiitting baju?”
Mata Jake membesar. “Kok lo tau? Padahal, gue gak ada spill apapun sama lo.”
“Mama lo nelpon.”
Dan mata Jake semakin membesar. Lelaki itu terperangah tak menyangka. “Serius? Mama bilang apa aja sama lo?”
“Itu tadi.”
“Masalah fitting baju? Mama gue minta tolong supaya ngasih gue waktu untuk itu?” gebu Jake. Lelaki itu benar-benar tak menyangka atas apa yang telah diperbuat Mamanya.
“Hm.”
“Terus, Mama gue bilang itu aja?”
“Mama lo minta tolong supaya pekerjaan lo dikurangin mendekati hari H.”
“Lo jawab?” Jake penasaran.
“Iya.”
“Asli?”
“Palsu.”
“Pfffttt—”
Secara mendadak, arah mata Jake beralih ke Starla yang menahan tawa. Lelaki itu juga melotot kesal guna menyuruh Starla untuk mendatarkan ekspresinya yang menyebalkan.
Tak lama, Starla kembali mendatarkan wajahnya. Wanita itu berdeham pelan dan memasang raut wajah yang membuat Jake kembali menatap Agaf.
“Gue serius, Gaf. Lo iya-in gitu aja?”
“Gue gak bisa nolak,” jawab Agaf datar.
“Tapi, lo gak perlu segitunya juga sama Mama gue. Lo ‘kan tau kalau Mama gue selalu minta yang enggak-enggak sama lo.”
“Emang iya.”
“Dan lo masih aja manjain Mama gue?” Jake mulai frustrasi mendengar balasan sahabatnya sati ini.
Menurut Jake, mamanya cukup "manja". Meski bukan dimanjakan dalam bentuk materi, namun Mama Jake sering meminta waktu pekerjaan Jake untuk urusan pribadinya. Dan selalu saja, yang dihubungi terlebih dahulu adalah Agaf ketimbang anaknya sendiri. Untuk itulah, Jake selalu kesal kalau Mamanya sudah menghubungi Agaf.
“Itu bukan manja, bego. Apa salahnya minta itu sama gue?”
“Jelas salah lah! Mama gue sampai sekarang gak ngerti kalau gue selalu pengen bersikap profesional sama lo.”
“Ya udah, sih.”
“Gitu aja respon lo?” Jake memulai drama seolah dia yang tersakiti.
“Hm. Yang pengen profesional kan, lo.”
“Teman sialan,” umpat Jake seketika.
Starla yang melihat itu, menarik kedua sudut bibirnya dan merasa tenang melihat ikatan sahabat yang ada di depannya. Jake memiliki sifat yang cerewet dan Agaf memiliki sifat yang cuek. Dan menurut Starla, perpaduan Agaf dan Jake sangat pas karena keduanya juga saling pengertian satu sama lain. Dalam artian, mereka berdua sudah seperti adik dan kakak. Rasanya, Starla juga ingin memiliki hubungan seperti itu dengan saudara kandungnya. Namun, sampai detik ini, keinginan itu tidak pernah bisa Starla gapai.
*****
Pertama kali yang ada di dalam pikiran Starla saat memasuki kamar tidurnya adalah, seberapa kaya sebenarnya seorang Agafta Arghadana?
Dengan luas kamar yang…..lebih dari 5 kali lipat dari ukuran kamar kosnya, Starla menyesal baru menemui pekerjaan seperti ini sekarang.
Wanita itu berjalan mendekati jendela dan menarik gorden yang berwarna abu gelap. Nyaris seketika, Starla tidak mengedipkan mata saat melihat ukuran balkon yang ternyata setengah dari ukuran kamarnya.
Sial, Agaf. Siapa lo sebenarnya? Begitulah Starla membatin.
Starla membalik tubuhnya dengan tangan yang menyandar di tepian jendela. Wanita itu menatap keseluruhan kamarnya dan begitu takjub dengan apa ynga dilihatnya saat ini.
Memiliki warna abu abu muda—yang sialnya Starla mencintai warna tersebut. Kemudian, Starla memandangi tempat tidur yang berukuran king yang posisinya tidak jauh dari jendela. Dan tidak tertinggal, memiliki lampu tidur di kedua sisinya.
Lalu, di tengah kamar terdapat karpet hitam besar dan hampir menempati seluruh keramik dalam kamar. Starla juga tidak akan pernah menyangka bahwa di dalam kamarnya akan ada sofa beserta tv. Satu lagi, kamarnya memiliki rak buku yang terletak di sudut kamar.
Entah berapa kali Starla membatin kata sial. Tapi, sialnya kamarnya saat ini adalah kamar impiannya—ralat, kamar impian semua orang.
Starla tersenyum bahagia. Jika kamarnya sudah secantik ini, wanita itu juga yakin bahwa kamar mandinya juga sangat cantik.
Starla tidak sabar akan menyentuh kamar mandinya tersebut.
***
Suara alarm berbunyi nyaring menghiasi kamar Starla. Wanita itu langsung terduduk dan membuka mata dengan setengah jiwa yang belum terbangun.
Starla melihat ke kanan dan kirinya dengan wajah yang bingung. Rasanya, ia tak pernah menghidupkan alarm di dalam kamarnya. Lalu, siapa yang memasang alarm yang sialnya sangat pagi sekarang?
Dan setelah Starla menyadari bahwa di nakas sebelah sofa kamarnya terdapat jam beker, Starla mengumpat kesal. Bisa-bisanya ia tidak bisa menyadari bahwa ada jam kecil sialan itu di sana.
Namun, tunggu sebentar. Beberapa ingatan muncul dalam pikiran Starla dan membuat wanita itu termenung sebentar.
“La, lo jangan bikin kegiatan lo sama persis sewaktu lo di kos, ya. Di sini serba tepat waktu. Lo juga gak bisa menye-menye di sini.”
Starla mengingat Jake mengatakan itu dengan sangat hati-hati saat melakukan touring pada rumah Agaf.
“Masa iya? Kalau gue telat, gimana?” tanya Starla kepada Jake waktu itu.
“Kalau telat, pastinya lo bakal capek sama Agaf. Tapi, kayaknya lo gak bakalan telat, sih.”
“Maksud lo?” Kening Starla mengerut.
Dan Jake saat itu hanya tersenyum penuh arti. Starla yang tidak mau berpikir panjang waktu itu hanya bisa mengabaikan dan melanjutkan kegiatan touringnya.
Starla menyugar rambut frustasi kemudian menjambak rambutnya seperti orang bodoh. “Ternyata ini yang dimaksud sama si Jake sialan.”
Lalu, di saat wanita itu ingin membuka selimutnya. Ponselnya berdering.
Entah sejak kapan ia menyimpan nomor Agaf. Yang jelas, saat ini nama ‘Pak Agaf’ tertera jelas di layar ponselnya.
“Shit! Lo benar-benar sialan, Jake!” umpat Starla. Tak lama itu, langsung menerima panggilan dari Agaf.
Layaknya memiliki dua kepribadian, Starla mendadak seperti kucing yang sedang manja kepada majikannya. “Selamat pagi, Pak Agaf.”
“Kamu sebenarnya niat untuk bekerja, enggak? Kalau gini aja udah gak sanggup. Saya bisa cari pengganti untuk kamu sekarang juga.”
Loh?
Starla mengerjap beberapa kali mendengar rentetan yang bisa Starla sebut dengan emosi Agaf. Baru saja menyapa. Sudah langsung ditembak dengan kata-kata yang kasar. Starla tahu bahwa Agaf itu dingin, tapi tidak pernah menyangka bahwa lelaki ini juga sangat kasar.
“Ekhem, Pak Agaf. Masih pagi, lho. Dan Pak Agaf udah marah-marah aja?” Suara Starla tetap lembut seperti sebelumnya.
“Kamu masih sempat untuk berbasa-basi?! Saya tanya sekali lagi, kamu masih niat untuk bekerja, enggak?!” Lagi-lagi, Agaf terdengar sangat emosi.
“Ini udah pagi. Seharusnya, kamu tau jadwal saya sekarang apa!”
“Saya tahu jadwal Bapak sekarang lagi persiapan untuk mandi. Tapi—Astaga!” Starla mendadak histeris.
Dalam jadwal Agaf, Starla baru ingat bahwa ia harus menyiapkan pakaian mandi untuk Agaf. Dan betapa sialnya dirinya baru mengingat hal itu sekarang.
Namun, sudah terlambat untuk meminta maaf kepada lelaki itu, sambungan telah terputus dan Starla melompat cepat dari atas kasurnya.
Permulaan hari yang sangat tidak baik, Starla.
***
Klik!
Starla menutup pintu kamar Agaf dengan pelan. Ia masih menghadap ke arah pintu dan sedang berdo’a, bahwa semoga saja, saat ia membalikkan tubuhnya, ia mendapatkan mimik wajah Agaf yang sedang tersenyum.
Tetapi, rasanya cukup tinggi ekspetasi Starla yang menginginkan hal itu. Karena, belum lagi ia membalikkan tubuhnya, nada berat Agaf menguasai kamar lelaki itu.
“Kamu telat 30 menit.”
Deg!
Starla tersenyum pahit. Ia membalikkan tubuhnya perlahan dan mendapati Agaf yang sedang duduk di sofa dengan posisi kaki yang menyilang.
Pandangan lelaki itu lurus. Menghadap dirinya. Sepertinya, Agaf hapal betul di mana letak posisi pintu kamar.
“Maaf, Pak Agaf. Ini salah saya. Tapi, untuk ke depannya—”
“Untuk ke depannya saya enggak akan telat lagi?” sela Agaf mendadak yang membuat mata Starla tak berkedip.
Tunggu sebentar! Apakah Agaf adalah cenayang? Kenapa dia bisa tahu apa yang ada di dalam pikiran Starla?
Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.“Oh ya?”Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”“Yang jelas saya asisten Bapak.”“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.“Bapak yang ngajak saya ngomong.”Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”“Bapak udah mand
Usai tiba di tempat Aldo, Starla keluar untuk mencari angin di taman rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi panjang, di bawah pohonan rindang, dan sedikit memandang orang-orang yang berada di taman tersebut.Starla membuang nafas lelah. Sebenarnya, tadi Starla ingin menemani Agaf di dalam ruangan Aldo. Dan sayangnya, lelaki dingin itu tidak memperbolehkannya.Starla pun tidak ingin memaksakan diri. Ia membiarkan dua lelaki itu di dalam ruangan yang sama. Mungkin, ada pembahasan lain yang tidak boleh Starla dengar. Maka dari itulah, Agaf menyuruh Starla keluar.“Duh! Bolanya kena kaki Kakak!” Lamunan Starla langsung buyar ketika ada bola yang mengenai kakinya. Wanita itu menoleh ke anak yang mendekatinya sembari memasang raut yang sedih.“Rina minta maaf ya, Kak. Rina beneran gak sengaja,” ucap anak itu merasa sangat bersalah.Starla yang malah merasa baik-baik saja, menarik kedua sudut bibirnya sampai tersenyum manis. Kalau dari pandangannya, anak tersebut berumur 7 tahun. Agak cadel
“Makasih ya, Dok. Kalau begitu, kami pamit dulu.”Starla memberikan senyuman yang manis kepada Dokter Aldo setelah konsultasi selesai. Aldo yang memang memiliki sifat ramah tinggi, membalas senyuman wanita itu dan mengangguk sekilas.“Sama-sama. Hati-hati di jalan, La.”“Bahkan lo tau nama dia?” ucap Agaf tiba-tiba.Dokter Aldo terkekeh pelan. “Jake udah ngasih tau gue. Lagian, lo juga gak kenalin dia sama gue. Ya udah, sih. Informasi dari Jake berguna juga buat gue.”Agaf hanya memberikan respon cueknya. Sementara itu, Starla yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, melihat Dokter Aldo dan Agaf secara bergantian.“Loh. Kalian temen deket?” tanya Starla dengan wajah penasaran.“Hahaha! Memangnya ada temen yang gak pake gue-lo saat ketemuan?” Dokter Aldo memperlihatkan sederet gigi putihnya. Untuk sesaat Starla terkesima. Mengapa begitu banyak lelaki tampan yang berada di sekitarnya. Namun! Setampan apapun lelaki itu, tetap Pak Agaf yang paling tampan menurutnya. Dasar Starla bucin.“O
“Hm. Setelah kecelakaan, ceweknya pergi. Di satu sisi, gue pikir Agaf bener-bener ngelupain dan benci banget sama dia karna sewaktu tau ceweknya kayak gitu, Agaf tu bener-bener marah.” “Tapi?” tanya Starla penasaran. “Tapi, di satu sisi juga, gue bingung. Kenapa kenangan sama cewek itu masih Agaf simpan sampai sekarang.” *** Starla kembali ke kamar Agaf dan menatap lelaki itu yang sedang duduk di sofa sembari mendengarkan berita dari radionya. Walau masih terbayang percakapannya dengan Jake, Starla berusaha tersenyum tipis--meski tak mungkin dilihat pria itu. Starla kemudian mendekati Agaf beberapa langkah. “Pak Agaf!” Agaf yang tadinya fokus, langsung menekan salah satu tombol remot pada tangannya hingga suara radio tidak terdengar lagi di penjuru kamar. Pandangan Agaf naik, tepat saat itu Starla sudah sejurus berhadapan dengannya. “Apa lagi?” Jika seperti ini, pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa pria ini tidak bisa melihat. “Apa lagi?” beo Starla. “Padahal, setelah
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar
Dalam beberapa hari ini, sikap Agaf begitu tak biasa terhadap Starla. Selain kejam dan tidak berperasaan, sudah Starla ingatkan bahwa Agaf juga merupakan lelaki yang dingin. Namun, Starla tidak pernah terpikir sikap Agaf akan sangat menguras emosi dan tenaganya. “Kenapa Bapak manggil saya?” kata Starla setelah berada di dalam ruangan Agaf, ia berada di depan Agaf yang sedang meraba huruf brailenya di kursi kerja. Ya, lelaki itu sedang membaca. Agaf pun yang tadinya fokus, langsung menggerakkan kepalanya sedikit dan menutup buku. “Kamu sibuk?” Mata Starla sedikit menyipit. “Tumben Pak Agaf nanya? Padahal Pak Agaf selalu nyuruh saya tanpa nanya kondisi saya gimana.” Agaf sedikit termangu. “Nyuruh saya nyapu halaman yang segeda gaban. Nyuruh saya berkebun, nyuruh saya manen cabe. Nyuruh saya pergi beli pupuk—apa Pak Agaf gak nyadar kalau Pak Agaf udah ngasih perintah yang aneh-aneh dalam beberapa hari ini?” ungkap Starla dengan nada kesalnya. “Pa
Setelah bertempur selama 2 jam di jalanan, akhirnya Starla tiba di rumah Agaf dalam keadaan nafas yang tidak beraturan. Wanita itu juga langsung melihat arloji abunya di tangan kiri.“Udah jam 10 lewat. Kayaknya Pak Agaf udah tidur, deh. Ck! Gara-gara gue, nih, yang kelamaan,” sesal Starla. Wajahnya berubah lesu. Ia yang tadinya ingin menapaki anak tangga, langsung mengurungkan niatnya itu.“Eh, Mbak Starla?” tegur salah satu pelayan di sana.Starla menoleh.“Hm, Bibi? Bibi masih belum pulang?” tanya Starla.Sang Bibi tersenyum tipis. “Bibi baru aja selesai beresin tempat minum Bapak. Ini udah selesai. Bibi juga mau pulang. Mbak lagi ngapain di sini?”Starla menatap Bibi bingung. “B-baru selesai? Artinya, Pak Agaf masih bangun?”Bibi mengangguk cepat. “Bapak masih di ruangan kerja, kok. Memangnya kenapa, Mbak?”Mendapati hal itu, wajah Starla langsung sumri
“Gaf, kamu baik-baik aja? Aku…Serena.”Kata-kata itu kembali mengingatkan Agaf ke satu jam yang lalu karena kedatangan Serena secara tiba-tiba.Marah? Tentu saja amarah Agaf naik. Lelaki itu tanpa berpikir panjang langsung memutar tubuhnya untuk menghadap Serena. Meskipun ia tidak bisa memastikan posisi Serena berada lurus di depannya atau dimanapun, tapi lelaki itu sangat yakin posisi Serena tidak jauh dari dirinya.“Aku lupa untuk mengingatkan ke siapapun supaya melarang kamu untuk gak menginjak rumahku lagi,” cecar Agaf dengan amat sangat datar.Serena tersenyum manis.“Kenapa, Gaf? Kamu paling seneng kalau aku udah datang ke rumah kamu.”“Kamu yakin itu aku yang sekarang?” balas Agaf.Perlahan, senyum Serena meluntur. Namun, sebisa mungkin tetap menarik kedua sudut bibirnya meski Agaf tidak bisa melihat hal itu.“Aku sedang berusaha untuk melakukannya.”
“Starla,” panggil Agaf dan berhasil menghentikan Starla yang mengoceh panjang lebar sedari tadi. “Iya?” “Kamu suka, ya, sama saya?” Starla terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, ia menjawab, “iya, Pak. Saya suka sama Bapak.” Dan beberapa detik kemudian. What?! *** Starla membuka matanya lebar sembari mendudukkan dirinya di sofa. Wanita itu terkejut. Ia juga baru menyadari bahwa kejadian sebelumnya berada di alam mimpi. “Sumpah, lo, La? Ternyata lo mimpi,” ringis Starla. Ia mengacak rambutnya yang kemudian dijambak dan berteriak pelan. “Tapi, gak gitu juga anjir mimpinya. Masa iya lo confess begituan sama Pak Agaf?” Beberapa saat Starla diam. Ia baru menyadari perkataannya. “Wait. Confess?! Enggak! Gue gak suka sama Pak Agaf! Itu namanya ngelantur, Begoooo.” Rasanya, Starla ingin menghilang saja dari bumi. Starla menyingkap selimut yang masih melekat di tubuhnya. Ia juga baru menyadari bahwa ia tertidur di sofa akibat belum selesai mengerjakan pekerjaannya tadi malam. “T
Starla hampir berteriak melihat dokumen-dokumen pekerjaan milik Agaf yang berserakan di meja kerja miliknya. Setelah Jake memberikan pekerjaan tambahan yang tentu saja menyebalkan, Jake meminta Agaf untuk menyediakan ruangan kerja Starla dan lelaki itu menyetujuinya. Jake tidak menyarankan meja kerja Starla berada di kamar tidurnya sendiri karena Jake tahu Starla tidak bisa fokus ketika melihat ranjang alias suka mengantuk.Dan di sinilah Starla berada sekarang. Di rumah Agaf. Di ruang kerja baru miliknya. Dengan kondisi wajah yang berantakan. “Oh my God! La! Udah jam 1 malam. Eh, dini hari, deng. Masa iya lo belum tidur sama sekali.” Starla merengek melihat keadaannya sendiri.Dia menjatuhkan pulpen di atas kertas dokumen dan menegak segelas air putih. Baru dua hari bekerja saja dirinya sudah selelah ini, apalagi dua bulan mengerjakan hal yang sama. Starla selalu berharap bahwa tubuhnya baik-baik saja untuk ke depannya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu terdengar dan mengalihkan atens
“Starla. Kita ada di mana sekarang?”Pertanyaan itu memecah keheningan yang terjadi antara Starla dan Agaf. Starla tersenyum tipis, ia sedikit mendekatkan wajahnya ke Agaf yang terlihat bingung.“Apa yang Pak Agaf dengar sekarang?”“Motor. Suaranya besar. Dan….saya ngerasa ini sedikit panas. Saya tau ini lagi di tepi jalan. Tapi, kamu mau apain saya? Ngejual saya?”Starla hampir tertawa.“Saya langsung kaya kalau misalnya ngejual Pak Agaf sekarang juga. Tapi, bukan itu kok maksud dan tujuan saya.”“Terus, apa?”“Bentar. Bapak jangan bergerak. Saya gak akan lama.”Belum sempat mencegah Starla. Starla sudah lebih dulu menjauhi Agaf. Agaf hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dan beberapa menit kemudian, Agaf bisa merasakan bahwa seseorang mendekatinya. Sudah pasti bahwa itu Starla.“Nih! Coba Pak Agaf rasain!” kata Starla seraya menyodorkan sebuah es krim berbentuk kerucut kepada Agaf.Tentu kening Agaf langsung berkerut. “Maksud kamu apa?”Starla meraih tangan kanan Agaf dan mengambi
Berulang kali, Starla melirik Agaf dari kaca kecil mobil yang berada di atas kepalanya. Meskipun perjalanan mereka diterpa oleh kemacetan Kota Jakarta, bagi Starla, hal ini tentu tidak mengapa. Ia jadi bisa melihat Agaf sepuas mungkin sekarang.“Pak Agaf.”“Hm,” jawab Agaf, seperti biasa.“Mau tau satu hal?”“Apa?”“Pak Agaf ganteng banget hari ini.”Uhukkk!Agaf langsung tersedak saat itu juga. Kepalanya yang tadinya menoleh ke arah jendela, kini tertuju ke depannya—lebih tepatnya ke Starla. Ekspresi lelaki itu kesal bukan main.“A-apa kamu gak bisa fokus aja nyetirnya?”“Lagi macet, Pak. Apa Bapak gak ngerasa kita belum bergerak selama 5 menit?”“Kalau gitu, cari cara lain!”Bibir Starla mengerucut. “Kok Bapak tiba-tiba marah? Apa Bapak marah dibilang ganteng?”“Kamu bisa diam? Saya pusing banget dengerin kamu bicara yang gak penting dari tadi pagi!”Menghela nafas, Starla akhirnya menoleh ke belakang dan memosisikan wajahnya selurus dengan Agaf. Untuk sesaat, justru dialah yang mer
[ Flashback ]Starla menepikan mobil di tepian jalan dengan posisi yang benar saat sudah tiba di tempat martabak tujuannya. Tempat itu berada di seberang jalan dan membuatnya harus berpikir bagaimana cara menyeberangi jalan yang seramai ini.‘Sialan. Kok bisa pada rame banget, sih, malam ini?”Starla merasa kesal sendiri. Untung saja, tempat martabak itu tidak memiliki antrian yang panjang. Dan kalau saja itu terjadi saat ia tiba tadi, ia yakin emosinya kembali naik seperti sebelumnya.Tanpa berlama lagi, Starla menarik napas dan membuang perlahan untuk bersiap tempur bersama kendaraan yang berlalu lalang.Dirinya merentangkan tangan kanannya sebesar 45 derajat ke bawah sebagai tanda bahwa ia ingin menyebrangi jalan dan meminta para pengendara untuk memberinya ruang jalan.Nasib baik Starla, orang-orang tersebut memahaminya. Tidak semua pengendara melajukan kendaraannya dan di situ Starla mulai berjalan cepat untuk
“Gaf, kamu baik-baik aja? Aku…Serena.”Kata-kata itu kembali mengingatkan Agaf ke satu jam yang lalu karena kedatangan Serena secara tiba-tiba.Marah? Tentu saja amarah Agaf naik. Lelaki itu tanpa berpikir panjang langsung memutar tubuhnya untuk menghadap Serena. Meskipun ia tidak bisa memastikan posisi Serena berada lurus di depannya atau dimanapun, tapi lelaki itu sangat yakin posisi Serena tidak jauh dari dirinya.“Aku lupa untuk mengingatkan ke siapapun supaya melarang kamu untuk gak menginjak rumahku lagi,” cecar Agaf dengan amat sangat datar.Serena tersenyum manis.“Kenapa, Gaf? Kamu paling seneng kalau aku udah datang ke rumah kamu.”“Kamu yakin itu aku yang sekarang?” balas Agaf.Perlahan, senyum Serena meluntur. Namun, sebisa mungkin tetap menarik kedua sudut bibirnya meski Agaf tidak bisa melihat hal itu.“Aku sedang berusaha untuk melakukannya.”
Setelah bertempur selama 2 jam di jalanan, akhirnya Starla tiba di rumah Agaf dalam keadaan nafas yang tidak beraturan. Wanita itu juga langsung melihat arloji abunya di tangan kiri.“Udah jam 10 lewat. Kayaknya Pak Agaf udah tidur, deh. Ck! Gara-gara gue, nih, yang kelamaan,” sesal Starla. Wajahnya berubah lesu. Ia yang tadinya ingin menapaki anak tangga, langsung mengurungkan niatnya itu.“Eh, Mbak Starla?” tegur salah satu pelayan di sana.Starla menoleh.“Hm, Bibi? Bibi masih belum pulang?” tanya Starla.Sang Bibi tersenyum tipis. “Bibi baru aja selesai beresin tempat minum Bapak. Ini udah selesai. Bibi juga mau pulang. Mbak lagi ngapain di sini?”Starla menatap Bibi bingung. “B-baru selesai? Artinya, Pak Agaf masih bangun?”Bibi mengangguk cepat. “Bapak masih di ruangan kerja, kok. Memangnya kenapa, Mbak?”Mendapati hal itu, wajah Starla langsung sumri
Dalam beberapa hari ini, sikap Agaf begitu tak biasa terhadap Starla. Selain kejam dan tidak berperasaan, sudah Starla ingatkan bahwa Agaf juga merupakan lelaki yang dingin. Namun, Starla tidak pernah terpikir sikap Agaf akan sangat menguras emosi dan tenaganya. “Kenapa Bapak manggil saya?” kata Starla setelah berada di dalam ruangan Agaf, ia berada di depan Agaf yang sedang meraba huruf brailenya di kursi kerja. Ya, lelaki itu sedang membaca. Agaf pun yang tadinya fokus, langsung menggerakkan kepalanya sedikit dan menutup buku. “Kamu sibuk?” Mata Starla sedikit menyipit. “Tumben Pak Agaf nanya? Padahal Pak Agaf selalu nyuruh saya tanpa nanya kondisi saya gimana.” Agaf sedikit termangu. “Nyuruh saya nyapu halaman yang segeda gaban. Nyuruh saya berkebun, nyuruh saya manen cabe. Nyuruh saya pergi beli pupuk—apa Pak Agaf gak nyadar kalau Pak Agaf udah ngasih perintah yang aneh-aneh dalam beberapa hari ini?” ungkap Starla dengan nada kesalnya. “Pa
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar