Part 7

Usai tiba di tempat Aldo, Starla keluar untuk mencari angin di taman rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi panjang, di bawah pohonan rindang, dan sedikit memandang orang-orang yang berada di taman tersebut.

Starla membuang nafas lelah. Sebenarnya, tadi Starla ingin menemani Agaf di dalam ruangan Aldo. Dan sayangnya, lelaki dingin itu tidak memperbolehkannya.

Starla pun tidak ingin memaksakan diri. Ia membiarkan dua lelaki itu di dalam ruangan yang sama. Mungkin, ada pembahasan lain yang tidak boleh Starla dengar. Maka dari itulah, Agaf menyuruh Starla keluar.

“Duh! Bolanya kena kaki Kakak!” Lamunan Starla langsung buyar ketika ada bola yang mengenai kakinya. Wanita itu menoleh ke anak yang mendekatinya sembari memasang raut yang sedih.

“Rina minta maaf ya, Kak. Rina beneran gak sengaja,” ucap anak itu merasa sangat bersalah.

Starla yang malah merasa baik-baik saja, menarik kedua sudut bibirnya sampai tersenyum manis. Kalau dari pandangannya, anak tersebut berumur 7 tahun. Agak cadel sebenarnya. Dan rambutnya dikepang dua menambah kecomelan anak itu.

“Loh, Kakak gak apa-apa, kok. Kamu jangan sedih gitu, dong. Sini dulu,” balas Starla sembari melambaikan tangannya guna menyuruh anak itu lebih dekat ke dirinya.

Anak itu pun patuh. Ia lebih dekat ke Starla, bahkan duduk di sebelah wanita itu.

“Siapa nama kamu tadi? Rina?” tanya Starla dengan kepalanya yang miring untuk melihat wajah anak itu.

“Iya, Kak. Namaku Rina. Kalau nama panjangnya, Rina Airina.”

“Wiihh. Namanya cantik, ya. Rina di sini sendirian?”

Anak yang bernama Rina itu menggeleng.

“Terus? Ke sini sama orangtua?”

Dan Rina mengangguk. “Sama Kakak juga.”

“Kemana orangtua sama Kakaknya Rina?”

“Bunda sama Ayah lagi nemenin Kakak cek mata. Satu tahun yang lalu, Kakak kecelakaan. Kata dokter, mata Kakak harus sering diperiksa. Rina pun gak tau lebih lanjutnya. Makanya, Rina main di sini sendirian.”

Starla terdiam untuk beberapa saat. “Hm, gitu ya. Apa Rina gak takut main di sini sendirian?”

Rina kembali menggeleng. “Udah biasa, kok. Rina aja kenal siapa Paman yang sama Kakak tadi.”

“Oh, iya?” mata Starla membulat.

“Paman Agaf, ‘kan? Paman Agaf sama Kakak punya jadwal yang sama, cuma beda jam. Jadi, sering ketemu juga sama Paman itu.”

“Oohh….” Starla mengangguk paham.

“Cuma, Rina baru kali ini ketemu Kakak. Biasanya, Paman sama Om Jake. Apa Kakak pacarnya Paman Agaf.”

Starla hampir tersedak. Ia menutup mulutnya yang hampir menganga. Mata Starla pun kembali membulat. Ucapan Rina benar-benar berpengaruh terhadap dirinya.

“Eh? Enggak, kok!” sanggah Starla cepat. “Paman Agaf itu, majikannya Kakak. Kebetulan, Om Jake itu temennya Kakak. Kakak gantiin posisi temen Kakak untuk sementara waktu. Makanya, Kakak ada di sini.”

Bibir Rina membentuk lingkaran. “Rina pikir, Kakak pacarnya Paman Agaf. Soalnya, keliatan gitu tadi. Eh, taunya enggak.”

Starla tersenyum tak sedap. Bukan hanya karena ucapan Rina yang ngawur, namun karena jantungnya yang tiba-tiba saja berdetak aneh.

“Kami itu jauh banget, Rin. Mana mungkin cocok jadi pasangan.”

“Jauh? Maksud Kakak apa?”

“Hm. Anak kecil kayak kamu gak bakalan ngerti. Udah gede kayak Kakak, kamu bakalan tau maksud ‘jauh’ itu apa.” Starla mengelus rambut Rina dengan tulus sembari tersenyum tipis.

Bagi Starla, untuk menyukai Agaf dirinya tidak perlu berpikir panjang. Karena, sebelum menginjak rumah Agaf, lebih tepatnya pertemuan pertama kali di bar hotel, Starla sudah menyukai Agaf.

Wanita mana yang tidak akan luluh ketika ditatap lurus oleh wajah setampan Agaf? Meski Agaf tidak bisa melihat wajahnya, namun tatapan mata Agaf sangat teduh dan Starla tidak tahu bagaimana cara meluluhkan hati lelaki itu.

Sebelum jauh melangkah, Starla juga butuh mempertimbangkan segalanya. Bukan hanya mempertimbangkan kekayaan yang tidak sebanding dengan Agaf, namun pertimbangan tentang dirinya yang jauh dari kata layak untuk dijadikan Agaf sebagai pasangan hidup.

Hidupnya jauh lebih buruk ketimbang Agaf. Dan, dia tidak sanggup membayangkan itu.

"Hufft," hela gadis itu tanpa sadar.