“Sebelum aku kenal kamu, dan sebelum kamu bisa ngeliat aku.”
Perkataan itu terngiang di kepala Agaf saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Ia menggelengkan kepalanya cepat. Rasanya tidak benar jika ia mengingat kembali percakapan dengan wanita yang ia tidak kenali.
“Gue pasti udah gila,” gumam Agaf.
“Iya. Gila. Ngasih gue waktu seneng-seneng cuma 30 menit,” kesal Jake.
Agaf yang langsung mendengkus, seraya berkata, “gak tau diri emang.”
“Lo aja yang terlalu jahat.”
“Masih mending gue ngasih lo seneng-seneng.”
“Seneng-seneng apa yang cuma 30 menit, Agaf?!”
“Jake, turunin nada bicara lo,” desis Agaf.
Pada akhirnya Jake mengalah. Ia membuang nafas panjang dan bersandar di sandaran kursi. Menoleh ke Agaf sebentar, lalu kembali memandang ke depan.
***
Tepat pukul 9 malam, Agaf dan Jake tiba di rumah milik Agaf. Jake membantu Agaf keluar dari mobil dan membantu lelaki itu masuk ke dalam rumah.
“Kayaknya gue harus balik rumah,” kata Jake di tengah perjalanannya mengantar Agaf ke kamar.
“Jake? Jangan bilang lo masih kesal?”
“Siapa yang masih kesal, coba? Mama nyuruh pulang. Dan gue punya pemikiran gak enak tentang ini.”
Bibir Agaf setengah tersenyum. “Gue mendukung apapun yang menjadi pilihan Mama lo.”
Jake menatap Agaf kesal. “Kok lo sialan banget, Gaf? Gue selalu mati-matian tau untuk ngehindarin perjodohan yang kayak gini.”
“Gue yakin pilihan Mama lo cantik. Apa salahnya?”
“Apa lo pikir pernikahan hanya membutuhkan kecantikan?”
Agaf mengendikkan kedua bahu. “Yang gue tau, lo butuh cewek cantik dan punya body yang bagus.”
“Kalau untuk ‘teman’ gue sih boleh. Tapi kalau untuk pernikahan, gue harus mencari yang selaras dong dengan pikiran gue. Gini-gini, gue juga punya pemikiran sehat tentang pernikahan.”
“Gue gak tau kalau lo punya pikiran waras.” Agaf mencibir.
“Lo tau kurang ajar gak, Gaf?” geram Jake. “Gue tau lo emang menyebalkan. Tapi, hari ini lo super duper menyebalkan.”
Agaf berdecak.
“Gue yang udah kenal lo 13 tahun aja masih bisa bilang lo menyebalkan. Gimana yang baru ketemu lo?”
“Lo terlalu cerewet, Jake.”
Jake menaikkan bibirnya kesal. Setelah mencapai anak tangga paling atas, ia membiarkan Agaf berjalan sendiri ke kamar dan ia menatap Agaf dari kejauhan.
Sebenarnya, bukan tentang siapa yang menjadi pasangannya nanti yang ia takutkan. Melainkan, Agaf. Ia takut ia takkan bisa menjaga Agaf lagi seperti ini ketika ia menikah. Ia takut ia tak bisa memprioritaskan Agaf lagi ketika ia sudah menikah. Ia hanya takut itu. Agaf itu sendirian di dunianya. Dan ia tak sanggup membiarkan Agaf sendiri lagi ketika ia sudah menikah nanti.
Di tengah-tengah ia memikirkan Agaf, deringan ponsel menyadarkannya. Ia langsung menerima panggilan tersebut setelah melihat nama siapa yang muncul di layarnya.
“Halo, Dok?” sapa Jake. “Gimana?”
“Masih belum bisa, Jake. Kornea yang mau didonorkan gak cocok untuk Agaf. Dan sekarang, kami masih berusaha mencarikan yang terbaik untuk Agaf.”
***
Jake menatap Agaf yang membentang selimut dan membaringkan tubuh di kasur. Lelaki itu sudah siap untuk tidur.
“Gaf,” panggilnya.
“Lo udah matiin lampu? Rasanya gelap banget.”
“Dengerin gue dulu. Sebelum pulang, ada sesuatu yang harus gue sampaikan ke lo.”
Dahi Agaf berkerut. “Apa?”
Jake menghela nafas panjang. “Masih belum bisa.”
“Tentang donor mata?”
Mata Jake sedikit melebar. “Kok lo bisa tau?”
“Lo bilang ‘masih belum bisa’ dengan helaan nafas capek lo. Apalagi kalau bukan tentang donor mata gue?”
Bibir Jake merapat. Kemudian, ia tertawa sebentar. “Iya. Itu. Tapi, tenang aja, pihak rumah sakit selalu berusaha, kok. Lo pasti bisa ngeliat lagi.”
Dan Agaf tak merespon apapun. Jake langsung menggaruk ujung hidungnya.
“Cuma itu, yang pengen gue bilang malam ini. Dan Pak Darma sekali lagi menyampaikan ucapan terima kasihnya karna lo udah mau datang ke acara peresmian gedung barunya.”
“Hm,” jawab Agaf. Sesingkat itu.
“Besok pagi gue bakalan ke sini. Pastikan, lo manggil pelayan kalau lo butuh sesuatu.”
“Iya.”
Jake berdecak. “Jangan sendirian, Gaf. Gue gak mau lo kenapa-kenapa di saat gue gak bisa jangkau lo.”
“Lo… cerewet, Jake. Dari tadi. Udah, pulang sana.”
“Lo gak bilang hati-hati sama gue?”
“Gue mau tidur sekarang.” Tepat setelah mengatakan itu, Agaf menutup matanya.
Bagaimana mungkin Jake tidak tertawa hambar saat itu? Wah, Agaf pintar sekali dalam menaik-turunkan harga dirinya.
“Gue pulang,” ucap Jake ketus. “Sampai ketemu besok.”
Kemudian, Jake meninggalkan Agaf sendirian. Tanpa Jake sadari, bahwa setelah ia menutup pintu kamar Agaf, Agaf membuka mata dan membuang nafas begitu panjang.
***
Keesokan harinya, Jake tergesa-gesa memasuki rumah Agaf dan berakhir di kamar lelaki itu dengan nafas yang terengah.
“Gaf, gue kali ini bener-bener dinikahin!” heboh Jake.
Terdengar tawa tipis dari Agaf. Jake pun meringis dan mendekati lelaki itu yang sedang berdiri di samping jendela menghirup udara segara di pagi hari.
“Denger, Gaf. Gue bener-bener dinikahin! Enggak ada pertemuan kencan atau semacamnya, enggak ada! Mama bener-bener ngantarin nyawa gue dan bawa nama gue ke depan keluarga si cewek. Gimana gue bisa gak gila, Gaf?”
Agaf menghela nafasnya.
“Apa gue kabur aja? Ke Rusia, gitu? Atau ke London? Atau ke—”
Tuk!
“A-ww, Gaf? Lo mukul gue?!” geram Jake saat Agaf sedikit memukul tulang keringnya menggunakan tongkat.
“Iya. Seharusnya bukan kaki lo yang gue pukul. Melainkan kepala lo. Lo udah gila?”
“Aishh! Gaf, lo harus jadi baik sekali-sekali biar ngerti perasaan gue gimana.”
“Gue udah cukup baik denger pemikiran lo yang selalu gila.”
Jake membuang nafasnya panjang. “Enggak gitu, Gaf. Gue kaget Mama yang gak ada angin gak ada hujan tiba-tiba bilang mau nikahin gue. Gimana nasib gue setelah nikah, coba?”
“Ya carilah kebahagiaan lo. Lo mapan. Pinter. Kalau-kalau pilihan Mama lo gak sesuai dengan apa yang lo harapkan, bilang sebenarnya tipe ideal lo gimana. Biar calon istri lo gampang menyesuaikan diri.”
“Gimana kalau pada akhirnya gue yang bukan tipe ideal dia?”
Agaf terdiam sebentar. “Tunggu. Lo udah tau siapa calon istri lo?”
“Udah,” jawab Jake lemas.
“Siapa?”
“Arina. Model terkenal yang bekerja di Milan.”
“Wah…. Pilihan Mama lo emang gak main-main,” takjub Agaf. “Terus, masalah lo apa? Takut lo bukan tipe idealnya?”
Jake tak menjawab.
“Jadi, sekarang masalahnya terletak pada lo? Lo kaget karna yang bakal dinikahin sama lo itu Arina?”
“Lebih tepatnya kayak gitu,” jawab Jake.
“Bukannya lo seharusnya mikir kalau Arina udah nerima lo?”
Jake mengerutkan kening. “Maksud lo?”
“Mama lo bawa nama lo ke keluarga Arina. Artinya, ini kesepakatan kedua belah pihak, dong. Keluarga Arina udah nerima lo berarti. Dan artinya juga, Arina pasti udah tau kalau lo bakal menikah sama dia. Terus, apalagi yang menjadi permasalahan lo?”
Jake melipat kedua tangannya di depan dada. “Gue takut Arina terpaksa.”
“Bukannya lo juga terpaksa?”
“Iya juga.”
“Saat ini gue cuma bisa bilang kalau lo harus bertahan sebentar. Terima dengan baik semua hal yang udah masuk dalam hidup lo. Dan kalau lo udah gak sanggup lagi, gue ada.”
“Ada untuk?”
Agaf terdiam. Entah kenapa, rasanya Jake sedang mencoba memancingnya sekarang.
“Ada untuk apa?” tanya Agaf balik.
“Gak tau. Perkataan lo sebenarnya terdengar gantung, makanya gue mau kejelasan dibalik itu semua.”
Agaf menarik sudut bibirnya sebelah. “Menurut gue perkataan gue udah jelas banget. Tergantung otak lo aja yang nangkepnya gimana.”
“Oh, ya?”
Seketika Agaf berdecak. “Jangan bikin gue kesel, Jake. Habis ini gue mau bahas tentang proposal yang kemarin lo bahas.”
Jake tertawa pelan. Yang tadinya ia sedikit gugup, entah mengapa bertemu dengan Agaf semuanya jadi lenyap. Agaf memang terlihat tidak peduli. Tapi, perkataan Agaf menunjukkan segalanya.
“Gue jadi mikir satu hal.”
“Apaan?”
“Kalau misalnya gue nikah, bolehkah posisi gue di rumah ini diganti?”
Tampak bibir Agaf merapat dan bergumam. “Maksud lo? Pekerjaan lo di rumah?”
“Hm, kayaknya lo butuh asisten baru kalau gue udah menikah. ‘Kan gak lucu aja kalau gue udah punya bini, tapi sering tidur di sini dan ngurusin lo.”
“Jadi?” tanya Agaf.
“Lo butuh asisten baru.”
Agaf diam. Perihal asisten baru, apakah ia benar-benar membutuhkan itu?“Lo bisa atur itu semua sendiri, Jake?”“Tenang. Gue udah mikir ini, kok. Dan gue bakal nyari yang terbaik buat lo.”“Ya udah kalau gitu,” jawab Agaf.“Deal?”“Hm. Gue mau mandi sekarang, terus kita lanjut kerja.”Jake menaikkan sudut bibirnya. Lalu, membantu Agaf untuk mandi dan dilanjutkan dengan bekerja.For your information, selama dua tahun sejak Agaf kecelakaan, Jake selalu menjadi tangan kanan Agaf dalam hal pekerjaan.Segala hal yang berkaitan dengan kantor, Jake yang sering pergi ke sana. Dan Agaf selalu memantau dari rumah.Agaf jarang sekali keluar dari rumah kalau tidak untuk hal-hal yang penting yang mengharuskannya untuk hadir.***ADTA Group, Jakarta.Tampak Jake sedang menelepon seseorang dan menghadap menatap kota Jakarta Pusat dari lantai 25. Lebih tepatnya, ruang kerja milik Agaf.“Besok gimana? Berapa menit dari tempat lo ke rumah Agaf?” kata Agaf ke seseorang yang diteleponnya.”“Sekitar 30 me
Agaf langsung berdiri. “L-lo?! Lo beneran cewek di bar kemarin?!”Jake menatap Agaf dan Starla secara bergantian. “Loh? Kalian pernah ketemu?”“D-dia cewek yang godain gue di Bandung kemarin. Dia Jake! Ngapain lo bawa dia ke sini?!” terang Agaf.Starla menggeleng kepala cepat. “Saya gak pernah godain Bapak. Apa Pak Agaf ngerasa gitu?”Agaf menggeram. “Minta nomor hp dan bilang kalau lo tertarik sama gue. Apa lagi kalau bukan lo godain gue?!”“Tapi saya gak pernah ngajak Bapak tidur.”Jake yang di belakang Agaf hanya bisa tertawa sembari mengacak rambutnya acak. Sementara Agaf, matanya semakin melebar dan sekarang ia malah tampak gagap.“Gue bisa gila kalau punya asisten kayak lo. Jake, apa gak ada orang lain? Kenapa harus cewek ini?!”“Karna cuma dia yang gue tau punya karakter kerja keras kayak gue.”“Tadinya, gue hampir toleransi karna dia cewek. Tapi, kalau ceweknya kayak dia—”Agaf menjambak rambutnya frustasi. Sialan. Sebanyak manusia yang berada di Jakarta, kenapa harus wanita i
Starla tau jika Agaf adalah salah satu lelaki yang bersifat dingin. Namun, Starla juga tidak menyangka bahwa suasana makan Agaf benar-benar hening kalau saja tidak ada suara sendok yang berdenting.“Gaf, gue bakalan pulang malam ini. Starla juga udah mulai tidur di sini. Jadi, lo bisa manggil dia kapan aja,” kata Jake sembari memandang Starla yang berdiri lurus depan Agaf di kursi seberang.Starla pun mengangguk yakin. Ia juga memberi senyum kepada Jake.“Hm.”Dan, gumaman itu membuat Starla menatap Agaf ngeri, lelaki itu… ah, memang sama sekali tidak bisa berbicara sedikit pun.“Ingat ya, Gaf. Jangan diem-diem aja. Terkadang, gue juga takut sama lo yang terus-terusan diem. Udah kek hantu aja,” celetuk Jake.Agaf akhirnya berdecak. “Bawel, Jake. Gue mau makan,” gerutu lelaki itu tanpa mengubah sedikitpun gerakan makanannya.Dalam mata Starla, gerakan makan Agaf sangat teratur dan nyaris Starla tidak percaya bahwa Agaf adalah sosok lelaki tampan namun buta. Dengan tangan yang bergerak
Dengan malas, Agaf sudah kembali berkata, “Basi. Nyatanya, kebanyakan orang mengulangi hal yang sama setelah ngomong itu.”“Itu ‘kan orang lain, Pak. Bukan saya,” bela Starla.“Oh ya?”Starla menaikkan bibirnya sedikit. “Iya. Kalau Bapak gak percaya. Kita liat aja besok,” tantang wanita itu.Agaf mendengkus. Lelaki itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Kamu siapa seenaknya menyuruh saya?”“Yang jelas saya asisten Bapak.”“Bukan berarti kamu berhak menyuruh saya.” Nada suara Agaf semakin datar saja.“’Kan saya gak ada menyuruh Bapak,” papar Starla dengan cara bicaranya yang membela diri sendiri.“Kamu masih mau berdebat?” Agaf kesal.“Bapak yang ngajak saya ngomong.”Agaf membuang nafas panjang. Teman baik Jake yang satu ini berhasil membuatnya sakit kepala dari awal pertemuan. Yang herannya, mengapa Jake masih mempertahankan teman yang seperti ini. Apa lelaki itu tidak memiliki wanita lain untuk diajak berteman?“Ck! Udah. Saya butuh pakaian saya sekarang.”“Bapak udah mand
Usai tiba di tempat Aldo, Starla keluar untuk mencari angin di taman rumah sakit. Wanita itu duduk di kursi panjang, di bawah pohonan rindang, dan sedikit memandang orang-orang yang berada di taman tersebut.Starla membuang nafas lelah. Sebenarnya, tadi Starla ingin menemani Agaf di dalam ruangan Aldo. Dan sayangnya, lelaki dingin itu tidak memperbolehkannya.Starla pun tidak ingin memaksakan diri. Ia membiarkan dua lelaki itu di dalam ruangan yang sama. Mungkin, ada pembahasan lain yang tidak boleh Starla dengar. Maka dari itulah, Agaf menyuruh Starla keluar.“Duh! Bolanya kena kaki Kakak!” Lamunan Starla langsung buyar ketika ada bola yang mengenai kakinya. Wanita itu menoleh ke anak yang mendekatinya sembari memasang raut yang sedih.“Rina minta maaf ya, Kak. Rina beneran gak sengaja,” ucap anak itu merasa sangat bersalah.Starla yang malah merasa baik-baik saja, menarik kedua sudut bibirnya sampai tersenyum manis. Kalau dari pandangannya, anak tersebut berumur 7 tahun. Agak cadel
“Makasih ya, Dok. Kalau begitu, kami pamit dulu.”Starla memberikan senyuman yang manis kepada Dokter Aldo setelah konsultasi selesai. Aldo yang memang memiliki sifat ramah tinggi, membalas senyuman wanita itu dan mengangguk sekilas.“Sama-sama. Hati-hati di jalan, La.”“Bahkan lo tau nama dia?” ucap Agaf tiba-tiba.Dokter Aldo terkekeh pelan. “Jake udah ngasih tau gue. Lagian, lo juga gak kenalin dia sama gue. Ya udah, sih. Informasi dari Jake berguna juga buat gue.”Agaf hanya memberikan respon cueknya. Sementara itu, Starla yang menjadi bahan pembicaraan saat ini, melihat Dokter Aldo dan Agaf secara bergantian.“Loh. Kalian temen deket?” tanya Starla dengan wajah penasaran.“Hahaha! Memangnya ada temen yang gak pake gue-lo saat ketemuan?” Dokter Aldo memperlihatkan sederet gigi putihnya. Untuk sesaat Starla terkesima. Mengapa begitu banyak lelaki tampan yang berada di sekitarnya. Namun! Setampan apapun lelaki itu, tetap Pak Agaf yang paling tampan menurutnya. Dasar Starla bucin.“O
“Hm. Setelah kecelakaan, ceweknya pergi. Di satu sisi, gue pikir Agaf bener-bener ngelupain dan benci banget sama dia karna sewaktu tau ceweknya kayak gitu, Agaf tu bener-bener marah.” “Tapi?” tanya Starla penasaran. “Tapi, di satu sisi juga, gue bingung. Kenapa kenangan sama cewek itu masih Agaf simpan sampai sekarang.” *** Starla kembali ke kamar Agaf dan menatap lelaki itu yang sedang duduk di sofa sembari mendengarkan berita dari radionya. Walau masih terbayang percakapannya dengan Jake, Starla berusaha tersenyum tipis--meski tak mungkin dilihat pria itu. Starla kemudian mendekati Agaf beberapa langkah. “Pak Agaf!” Agaf yang tadinya fokus, langsung menekan salah satu tombol remot pada tangannya hingga suara radio tidak terdengar lagi di penjuru kamar. Pandangan Agaf naik, tepat saat itu Starla sudah sejurus berhadapan dengannya. “Apa lagi?” Jika seperti ini, pasti tidak akan ada yang menyangka bahwa pria ini tidak bisa melihat. “Apa lagi?” beo Starla. “Padahal, setelah
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar
“Starla,” panggil Agaf dan berhasil menghentikan Starla yang mengoceh panjang lebar sedari tadi. “Iya?” “Kamu suka, ya, sama saya?” Starla terdiam untuk beberapa saat. Hingga akhirnya, ia menjawab, “iya, Pak. Saya suka sama Bapak.” Dan beberapa detik kemudian. What?! *** Starla membuka matanya lebar sembari mendudukkan dirinya di sofa. Wanita itu terkejut. Ia juga baru menyadari bahwa kejadian sebelumnya berada di alam mimpi. “Sumpah, lo, La? Ternyata lo mimpi,” ringis Starla. Ia mengacak rambutnya yang kemudian dijambak dan berteriak pelan. “Tapi, gak gitu juga anjir mimpinya. Masa iya lo confess begituan sama Pak Agaf?” Beberapa saat Starla diam. Ia baru menyadari perkataannya. “Wait. Confess?! Enggak! Gue gak suka sama Pak Agaf! Itu namanya ngelantur, Begoooo.” Rasanya, Starla ingin menghilang saja dari bumi. Starla menyingkap selimut yang masih melekat di tubuhnya. Ia juga baru menyadari bahwa ia tertidur di sofa akibat belum selesai mengerjakan pekerjaannya tadi malam. “T
Starla hampir berteriak melihat dokumen-dokumen pekerjaan milik Agaf yang berserakan di meja kerja miliknya. Setelah Jake memberikan pekerjaan tambahan yang tentu saja menyebalkan, Jake meminta Agaf untuk menyediakan ruangan kerja Starla dan lelaki itu menyetujuinya. Jake tidak menyarankan meja kerja Starla berada di kamar tidurnya sendiri karena Jake tahu Starla tidak bisa fokus ketika melihat ranjang alias suka mengantuk.Dan di sinilah Starla berada sekarang. Di rumah Agaf. Di ruang kerja baru miliknya. Dengan kondisi wajah yang berantakan. “Oh my God! La! Udah jam 1 malam. Eh, dini hari, deng. Masa iya lo belum tidur sama sekali.” Starla merengek melihat keadaannya sendiri.Dia menjatuhkan pulpen di atas kertas dokumen dan menegak segelas air putih. Baru dua hari bekerja saja dirinya sudah selelah ini, apalagi dua bulan mengerjakan hal yang sama. Starla selalu berharap bahwa tubuhnya baik-baik saja untuk ke depannya.Tok tok tok.Suara ketukan pintu terdengar dan mengalihkan atens
“Starla. Kita ada di mana sekarang?”Pertanyaan itu memecah keheningan yang terjadi antara Starla dan Agaf. Starla tersenyum tipis, ia sedikit mendekatkan wajahnya ke Agaf yang terlihat bingung.“Apa yang Pak Agaf dengar sekarang?”“Motor. Suaranya besar. Dan….saya ngerasa ini sedikit panas. Saya tau ini lagi di tepi jalan. Tapi, kamu mau apain saya? Ngejual saya?”Starla hampir tertawa.“Saya langsung kaya kalau misalnya ngejual Pak Agaf sekarang juga. Tapi, bukan itu kok maksud dan tujuan saya.”“Terus, apa?”“Bentar. Bapak jangan bergerak. Saya gak akan lama.”Belum sempat mencegah Starla. Starla sudah lebih dulu menjauhi Agaf. Agaf hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Dan beberapa menit kemudian, Agaf bisa merasakan bahwa seseorang mendekatinya. Sudah pasti bahwa itu Starla.“Nih! Coba Pak Agaf rasain!” kata Starla seraya menyodorkan sebuah es krim berbentuk kerucut kepada Agaf.Tentu kening Agaf langsung berkerut. “Maksud kamu apa?”Starla meraih tangan kanan Agaf dan mengambi
Berulang kali, Starla melirik Agaf dari kaca kecil mobil yang berada di atas kepalanya. Meskipun perjalanan mereka diterpa oleh kemacetan Kota Jakarta, bagi Starla, hal ini tentu tidak mengapa. Ia jadi bisa melihat Agaf sepuas mungkin sekarang.“Pak Agaf.”“Hm,” jawab Agaf, seperti biasa.“Mau tau satu hal?”“Apa?”“Pak Agaf ganteng banget hari ini.”Uhukkk!Agaf langsung tersedak saat itu juga. Kepalanya yang tadinya menoleh ke arah jendela, kini tertuju ke depannya—lebih tepatnya ke Starla. Ekspresi lelaki itu kesal bukan main.“A-apa kamu gak bisa fokus aja nyetirnya?”“Lagi macet, Pak. Apa Bapak gak ngerasa kita belum bergerak selama 5 menit?”“Kalau gitu, cari cara lain!”Bibir Starla mengerucut. “Kok Bapak tiba-tiba marah? Apa Bapak marah dibilang ganteng?”“Kamu bisa diam? Saya pusing banget dengerin kamu bicara yang gak penting dari tadi pagi!”Menghela nafas, Starla akhirnya menoleh ke belakang dan memosisikan wajahnya selurus dengan Agaf. Untuk sesaat, justru dialah yang mer
[ Flashback ]Starla menepikan mobil di tepian jalan dengan posisi yang benar saat sudah tiba di tempat martabak tujuannya. Tempat itu berada di seberang jalan dan membuatnya harus berpikir bagaimana cara menyeberangi jalan yang seramai ini.‘Sialan. Kok bisa pada rame banget, sih, malam ini?”Starla merasa kesal sendiri. Untung saja, tempat martabak itu tidak memiliki antrian yang panjang. Dan kalau saja itu terjadi saat ia tiba tadi, ia yakin emosinya kembali naik seperti sebelumnya.Tanpa berlama lagi, Starla menarik napas dan membuang perlahan untuk bersiap tempur bersama kendaraan yang berlalu lalang.Dirinya merentangkan tangan kanannya sebesar 45 derajat ke bawah sebagai tanda bahwa ia ingin menyebrangi jalan dan meminta para pengendara untuk memberinya ruang jalan.Nasib baik Starla, orang-orang tersebut memahaminya. Tidak semua pengendara melajukan kendaraannya dan di situ Starla mulai berjalan cepat untuk
“Gaf, kamu baik-baik aja? Aku…Serena.”Kata-kata itu kembali mengingatkan Agaf ke satu jam yang lalu karena kedatangan Serena secara tiba-tiba.Marah? Tentu saja amarah Agaf naik. Lelaki itu tanpa berpikir panjang langsung memutar tubuhnya untuk menghadap Serena. Meskipun ia tidak bisa memastikan posisi Serena berada lurus di depannya atau dimanapun, tapi lelaki itu sangat yakin posisi Serena tidak jauh dari dirinya.“Aku lupa untuk mengingatkan ke siapapun supaya melarang kamu untuk gak menginjak rumahku lagi,” cecar Agaf dengan amat sangat datar.Serena tersenyum manis.“Kenapa, Gaf? Kamu paling seneng kalau aku udah datang ke rumah kamu.”“Kamu yakin itu aku yang sekarang?” balas Agaf.Perlahan, senyum Serena meluntur. Namun, sebisa mungkin tetap menarik kedua sudut bibirnya meski Agaf tidak bisa melihat hal itu.“Aku sedang berusaha untuk melakukannya.”
Setelah bertempur selama 2 jam di jalanan, akhirnya Starla tiba di rumah Agaf dalam keadaan nafas yang tidak beraturan. Wanita itu juga langsung melihat arloji abunya di tangan kiri.“Udah jam 10 lewat. Kayaknya Pak Agaf udah tidur, deh. Ck! Gara-gara gue, nih, yang kelamaan,” sesal Starla. Wajahnya berubah lesu. Ia yang tadinya ingin menapaki anak tangga, langsung mengurungkan niatnya itu.“Eh, Mbak Starla?” tegur salah satu pelayan di sana.Starla menoleh.“Hm, Bibi? Bibi masih belum pulang?” tanya Starla.Sang Bibi tersenyum tipis. “Bibi baru aja selesai beresin tempat minum Bapak. Ini udah selesai. Bibi juga mau pulang. Mbak lagi ngapain di sini?”Starla menatap Bibi bingung. “B-baru selesai? Artinya, Pak Agaf masih bangun?”Bibi mengangguk cepat. “Bapak masih di ruangan kerja, kok. Memangnya kenapa, Mbak?”Mendapati hal itu, wajah Starla langsung sumri
Dalam beberapa hari ini, sikap Agaf begitu tak biasa terhadap Starla. Selain kejam dan tidak berperasaan, sudah Starla ingatkan bahwa Agaf juga merupakan lelaki yang dingin. Namun, Starla tidak pernah terpikir sikap Agaf akan sangat menguras emosi dan tenaganya. “Kenapa Bapak manggil saya?” kata Starla setelah berada di dalam ruangan Agaf, ia berada di depan Agaf yang sedang meraba huruf brailenya di kursi kerja. Ya, lelaki itu sedang membaca. Agaf pun yang tadinya fokus, langsung menggerakkan kepalanya sedikit dan menutup buku. “Kamu sibuk?” Mata Starla sedikit menyipit. “Tumben Pak Agaf nanya? Padahal Pak Agaf selalu nyuruh saya tanpa nanya kondisi saya gimana.” Agaf sedikit termangu. “Nyuruh saya nyapu halaman yang segeda gaban. Nyuruh saya berkebun, nyuruh saya manen cabe. Nyuruh saya pergi beli pupuk—apa Pak Agaf gak nyadar kalau Pak Agaf udah ngasih perintah yang aneh-aneh dalam beberapa hari ini?” ungkap Starla dengan nada kesalnya. “Pa
Tubuh Starla mendadak lemas ketika sudah sampai di dapur. Tadinya, dia sangat berlagak mengatur lelaki itu dengan semena-mena. Namun, begitu keluar dari kamar Agaf, dirinya tidak sanggup lagi untuk menahan betapa lemas kondisinya sekarang. Lebih tepatnya, ia lemas sekaligus lega karena Agaf tidak lagi mengucapkan hal-hal aneh kepada dirinya.“Hhhh! Asli, lama-lama gue bisa drop kalau ngadepin Pak Agaf yang kayak gitu. Kalau gue dipecat, dari mana lagi gue dapat 20 juta dalam sebulan? Terlebih, gue gak bisa lagi dong ngeliat dia,” ujar Starla. Wanita itu juga tersenyum masam. “Bego lo, La. Masih aja kepikiran si Pak Agaf. Udah deh, gue harus siapin makanan dia.”Starla menguatkan dirinya sendiri.Setelah memaksakan bibirnya untuk tersenyum, wanita itu mulai menempatkan beberapa makanan di dalam nampan yang disertai air minum. Di saat ia ingin mengangkat nampan, justru ia dikejutkan oleh suara seseorang.“Hayoo, lemes ya, lo? Hahaha!”Starla langsung memutar tubuhnya ke arah sumber suar