“Bagaimana? Apakah si bodoh itu bersedia menerima perjodohan yang sudah aku rencanakan?” Widjanarko menatap sosok pria tinggi tegap dengan rambut cepak klimis, yang berdiri tepat di depan meja kerjanya.
Pria muda itu diam seribu bahasa seraya menundukkan kepalanya. Ia tidak berani menjawab pertanyaan tuan besarnya.
“Doni! Aku sedang berbicara denganmu,” bentak Widjanarko, tidak sabar mendengar laporan orang kepercayaannya.
“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak berhasil menjalankan tugas saya.” Doni kembali menundukkan kepalanya, seiring dengan helaan nafas berat pria bertubuh besar berusia sekitar lima puluh tahunan.
“Dasar anak tidak berbakti! Tidak tahukah jika dirinya sedang berada dalam posisi yang sangat berbahaya?!” Widjanarko dengan cepat kembali berusaha menenangkan dirinya ketika dirasa kepalanya mulai terasa berat.
Doni semakin merasa bersalah. Tugasnya kali ini benar-benar berat. Membujuk tuan mudanya agar bersedia menikahi putri lawan bisnis orang tuanya, demi menyelamatkan perusahaan yang dikelolanya dari ambang kehancuran.
Widjanarko mengetuk mejanya berkali-kali dengan ujung telunjuk kanannya. Bagaimana dirinya bisa menyadarkan putra semata wayangnya itu? Perusahaan yang ia berikan pada Raka, belum dikatakan berhasil. Pendapatan perusahaan itu masih naik turun dari tahun ke tahun. Pria muda itu justru sibuk bermain-main. Dan kini, perusahaan sedang dalam keadaan genting. Bukannya dirinya tidak mau membantu, tapi ia ingin putranya itu berjuang sendiri, tidak lagi mengandalkan kedua orang tuanya.
Perjodohan mungkin menjadi alternatif terbaik. Dengan demikian, putranya itu bisa mendapatkan suntikan dana dari rival bisnisnya, sekaligus mendapatkan pendamping hidup yang bisa merawatnya.
Bagaimana jika Raka tetap saja menolak rencana perjodohan itu?
Widjanarko kembali menarik nafas panjang. Pikirannya melalang buana. Tiba-tiba dirinya teringat seseorang. Seseorang yang mungkin saja bisa menjadi penolongnya. Seseorang yang akan menjadi senjata untuk menekan putranya yang keras kepala itu, agar bisa sadar secepatnya. Seseorang yang mungkin saja bisa membuat Raka bertekuk lutut padanya.
Senyum lebar mengembang seketika di wajah lelah Widjanarko. Jika Raka menolak rencana perjodohan ini, tidak mengapa. Ia sudah menemukan pengganti yang tepat. Ia yakin dengan ide barunya ini. Ia harus segera menelpon istrinya. Ratih pasti akan setuju dengan rencananya ini. Pria itu berdiri dari duduknya.
“Don! Siapkan mobil. Jemput Ibu, suruh datang kemari sekarang juga!” Titah Widjanarko segera dilaksanakan Doni.
Hahahaha. Dasar anak bodoh! Kau kira akan selamat kali ini? Tidak akan. Papa punya kejutan untukmu, dan kau tidak akan berani untuk menolaknya. Senyum Widjanarko mengembang lebih lebar.
Widjanarko menatap ke luar jendela ruang kerjanya yang berada di lantai sebelas. Wajahnya kali ini tidak lagi suntuk dan resah, melainkan bersinar penuh semangat.
-0-
“Aku sudah mengatakan padamu berkali-kali. Aku tidak akan pernah menyetujui rencana papa!” Untuk kesekian kali Doni terkena semprotan dari tuan mudanya.
Setelah dirinya menjemput nyonya besar, ia kembali ke kantor tuan mudanya. Misinya masih sangat jelas , membujuk tuan muda untuk menerima perjodohan yang sudah direncanakan orang tuanya demi menyelamatkan perusahaannya.
“Apa artinya menikah tapi tidak saling mencintai? Kau sendiri tahu itu’kan? Mengapa kau justru menjerumuskan atasanmu ke jurang penderitaan?” hardik Raka. Mata tajamnya menguliti Doni habis-habisan. Ia benar-benar tidak habis pikir, mengapa asistennya justru tidak memihak dirinya.
“Tapi, Tuan… Semua ini juga untuk menyelamatkan perusahaan.” Doni masih terus merayu atasannya itu.
“Mati atau hidup perusahaan ini, bukan urusanmu. Aku yang akan bertanggungjawab, bukan kau!” raung Raka. Ia benar-benar sudah tidak bisa lagi mentolerir sikap asistennya itu.
“Pergi kau dari hadapanku! Jangan pernah lagi datang ke kantor ini!”
Doni tercekat. Tubuhnya menegang. Ia sama sekali tidak mengira jika atasannya akan mengusir dirinya. Lama Doni berdiri di tempatnya. Ia masih berusaha mencerna perintah atasannya barusan.
“Apakah kau lupa dimana letak pintunya?”
Doni mengangkat wajahnya, menatap atasannya.
Raka sama sekali tidak memandang ke arah Doni. Ia menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Emosi sedang menguasai dirinya. Ia benci semua orang yang berseberangan dengannya saat ini. Ia benci semua orang yang mendukung rencana perjodohannya.
“Maafkan, atas kelancangan saya Tuan Muda. Percayalah, suatu saat nanti Tuan akan mengerti mengapa saya melakukan semua ini.” Doni berusaha tegar. “Terima kasih sudah mempekerjakan saya selama ini. Saya pamit.”
Dengan langkah gontai, Doni melangkah meninggalkan ruangan yang selama tujuh tahun ini menjadi tujuan hidupnya. Ia tidak tahu hendak kemana. Yang pasti ia harus mencari seseorang yang bisa menyembuhkan luka hatinya saat ini.
Sepeninggal Doni, Raka langsung membuang semua yang ada di atas meja kerjanya. Laptop yang baru saja ia beli beberapa bulan yang lalu, tidak luput dari amukannya. Gara-gara orang tuanya, ia harus kehilangan orang kepercayaannya . Gara-gara mereka, ia harus memecat orang yang paling setia padanya selama ini.
Pria itu jatuh terduduk di samping meja kerjanya. Kedua tangannya menarik-narik rambutnya. Apa yang harus ia lakukan? Ia tidak mau menerima perjodohan gila itu. Ia sama sekali tidak tertarik dengan gadis yang akan dijodohkan dengannya itu. Secantik apa pun gadis itu, ia tidak akan pernah tertarik padanya. Hatinya sudah lama mati. Hanya ada satu yang bisa memenangkan hatinya, tapi ia sudah tidak mengetahui keberadaannya. Gadis itu sudah membawa pergi hatinya.
Suara ketukan di pintu diabaikan oleh Raka. Ia sama sekali tidak berniat menerima tamu hari ini. Perasaannya begitu buruk. Biarkan saja. Jika perusahaan ini hancur, ya hancur saja. Ia sudah tidak peduli lagi. Salah siapa juga mengapa menjadi parah begini? Ia hanya meminjam dana tidak sampai lima trilyun untuk menyelamatkan perusahaan tapi harus memenuhi persyaratan gila itu.
“Aku tidak menerima tamu. Pergilah!” Raka bangkit dari duduknya di lantai, kembali duduk di kursi kerjanya menatap ke arah hiruk pikuk jalanan di depan perkantorannya.
“Apakah kamu juga tidak menerima kedatangan Mama, Sayang?”
Terdengar suara lembut dari sela-sela ketukan yang masih terdengar. Punggung Raka seketika tegak. Ia tidak ingin terlihat begitu payah di hadapan mamanya. Dengan cepat, Raka merapikan ruangannya meski ala kadarnya. Ia menyimpan laptopnya yang sudah tercerai berai, meletakkannya di lemari di bawah meja kerjanya.
Dengan cepat, pria itu melangkah membukakan pintu ruangannya, dan langsung mendapati wajah teduh wanita yang sudah melahirkannya di dunia ini.
“Ada apa Mama kemari?”
Ratih menghujani wajah putra tunggalnya itu dengan berpuluh-puluh ciuman, dan baru berakhir setelah Raka merengek. Ia terkekeh.
“Mumpung kamu belum ada yang punya. Jadi Mama masih bebas menciumi wajahmu seperti waktu kamu bayi dulu.”
“Apaan sih, Ma,” sungut pria muda itu kembali ke kursi kerjanya.
Ratih memandangi ruangan itu, mencoba mencari foto seorang gadis, dan… Nihil. Ia sama sekali tidak menemukan foto wanita di ruangan itu.
“Raka…” panggil wanita itu dengan lembut. “Mama baru saja bertemu dengan papa kamu.”
Raka diam. Ia sama sekali tidak merespon laporan mamanya. Ia sudah tahu maksud kedatangan wanita itu. Pastilah sama dengan Doni, membujuk agar dirinya bersedia menerima perjodohan itu.
“Jawaban Raka tetap sama, Ma. Raka tidak akan setuju. Biar saja perusahaan ini hancur. Pokoknya Raka tidak akan menerima rencana itu. Titik.”
Ratih menghela nafasnya. “Kamu bahkan belum bertemu dengannya, tapi sudah main tolak. Memangnya kamu sudah melihat fotonya?”
“Raka tidak perlu melihat fotonya. Secantik apa pun dia, Raka tetap akan menolaknya.” Raka tetap bersikukuh dengan pendiriannya.
“Mengapa? Katakan pada mama, mengapa kamu menolak perjodohan ini? Ingat! Umurmu sudah tidak muda lagi. Sampai kapan kamu akan sendiri dan terus bermain-main? Siapa sebenarnya yang sedang kamu tunggu?” Lama kelamaan Ratih penasaran juga dengan alasan Raka menolak persyaratan mereka.
Raka diam tidak menjawab. Kalian tidak perlu tahu, batinnya.
Ratih memutar otaknya. Ia pikir dengan rayuan lembutnya, sang putra akan luluh, tapi ternyata ia salah besar. Raka tetap dengan pendiriannya.
“Baiklah-baiklah. Berarti kamu siap dengan semua resikonya?” Ratih menatap sang putra. Kali ini tidak dengan tatapan lembut, namun tatapan yang sangat tegas. Saatnya, rencana B dijalankan.
Raka dibuat ciut mendapati tatapan mamanya yang seperti itu.
“Mama tidak akan lagi memaksamu untuk menerima persyaratan itu, tapi kamu harus menerima persyaratan mama ini. TIDAK BOLEH MEMBANTAH!” Ratih memberi ultimatum.
Raka menatap tidak mengerti. Kali ini persyaratan apa lagi?
Raka menatap tidak mengerti wanita dewasa di depannya.“Untuk apa, Ma? Doni sudah cukup untuk menjadi asisten Raka. Tidak perlu orang lain lagi.” Ia benar-benar tidak paham maksud sang mama. Menerima seorang asisten lagi?“Kamu akan menolak lagi?” Ratih kini tidak lagi bersikap ramah. Ia sendiri mulai gemas dengan putranya sendiri.“Bukan begitu, Ma. Tapi, apa alasannya? Raka tidak perlu asisten lagi. Doni sudah lebih dari cukup untuk membantu Raka bekerja.”Ratih menatap tajam putranya itu. Ingatannya kembali pada percakapan dengan suaminya beberapa jam yang lalu. Mungkin ini adalah salah satu cara agar Raka tidak lagi bergantung pada mereka, juga salah satu usaha mereka, agar Raka bersedia menikah, bersedia menerima seorang wanita untuk menemani hidupnya.“Ingat kata mama barusan. JANGAN MEMBANTAH! Atau mama tidak akan lagi datang menjengukmu sekali pun menemuimu ketika kamu datang ke rumah mama?!” ancam Ratih.Raka tidak berkutik. Ini adalah ancaman yang sangat mengerikan baginya.
Kedua mata Raka masih terpejam, namun telinganya menangkap suara yang tidak biasa di luar kamarnya. Siapa yang berada di apartemennya sepagi ini? Seingatnya, ia tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurusi apartemennya. Lalu, siapakah yang sedang berada di apartemennya pagi ini? Mamakah? Raka terus bertanya-tanya sendiri. Mimpi yang sama, kembali mengganggunya semalam, membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Bayangan gadis yang dicintainya dalam diam menari dalam benaknya. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya waktu itu, kembali menguap, ketika mendengar kabar jika gadis itu tidak lagi ada di Indonesia. Lelah mencari jejak si gadis, Raka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman SMA-nya, dibanding menjalankan perusahaan pemberian papanya dengan serius. Setidaknya, ia masih bisa mengenang masa-masa sekolah, saat dimana ia mengenal cinta pertama kali, dan mungkin untuk terakhir kalinya.Raka kembali mempertajam indera dengarnya. Kali ini, ia mendenga
Rara berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa blok sebelum rumah bercat pink, tempanya tinggal. Sikap bos barunya membuat dirinya merasa sedikit pesimis. Ia tidak yakin bisa melakukan tugasnya kali ini dengan sempurna. Mungkin beberapa diktat besar lebih mudah ia taklukkan, dibandingkan pria bodoh yang seharian ini terus saja memaki dan menghina dirinya.Rara menatap langit luas yang membentang di depannya. Andai ia memilih untuk tetap di luar negeri, apakah Pak Widjanarko akan bersikeras memberikan tugas ini kepadanya?Saku jas hitamnya kembali bergerak-gerak pelan. Sebuah panggilan kembali harus diterima Rara, yang berniat memanjakan dirinya dengan semangkuk mie ayam di pojok blok rumahnya. "Ya, ."Rara menyimak sembari memejamkan kedua matanya. "Baik, Bu. Tiga puluh menit lagi saya sudah ada di sana."Rara mempercepat langkahnya. Mungkin ini resiko yang harus ia terima. Biaya pendidikan yang diterimanya selama ini cukup besar. Ini adalah satu-satunya cara agar bisa membalas bud
Raka mengacak rambutnya berulang. Wajah putihnya memerah ketika panas sinar matahari senja itu menerpa wajahnya. Amarah membuat wajahnya semakin memerah. Ia melangkah masuk ke sebuah bar mini, seratus meter dari kantornya. Tempat biasa ia menghabiskan waktu bersama teman-teman nongkrongnya. "Ah-haaa. Lama tidak melihatmu, Bestie." Setya sang pemilik bar, menyapa dari balik meja kasir. Sedikit berkelakar.Raka hanya melirik sesaat, mengabaikan candaan Setya yang terdengar garing di telinganya. Ia lantas memberi kode kepada Setya."Sudah dapat ijin lagi?" Pria itu mengambil sloki kecil lalu meletakkannya tepat di hadapan Raka."Apakah aku sudah mengatakan pesananku?" Raka menatap tajam Setya.Setya menghentikan gerakannya, lalu memperhatikan penampilan Raka yang kacau hari ini."Sesuatu yang buruk sedang terjadi, bukan? Jadi, satu sloki kecil ini, cukup untukmu melupakan semua masalah barang sejenak." Kini, pria itu mengambil botol yang berisi cairan warna kuning kecoklatan."Aku ti
Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya. Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih."Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, lang
Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya."Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens. "Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, me
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva