Kedua mata Raka masih terpejam, namun telinganya menangkap suara yang tidak biasa di luar kamarnya. Siapa yang berada di apartemennya sepagi ini? Seingatnya, ia tidak mempekerjakan asisten rumah tangga untuk mengurusi apartemennya. Lalu, siapakah yang sedang berada di apartemennya pagi ini? Mamakah? Raka terus bertanya-tanya sendiri.
Mimpi yang sama, kembali mengganggunya semalam, membuatnya sulit untuk memejamkan mata. Bayangan gadis yang dicintainya dalam diam menari dalam benaknya. Keinginan untuk mengungkapkan perasaannya waktu itu, kembali menguap, ketika mendengar kabar jika gadis itu tidak lagi ada di Indonesia.
Lelah mencari jejak si gadis, Raka lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama teman-teman SMA-nya, dibanding menjalankan perusahaan pemberian papanya dengan serius. Setidaknya, ia masih bisa mengenang masa-masa sekolah, saat dimana ia mengenal cinta pertama kali, dan mungkin untuk terakhir kalinya.
Raka kembali mempertajam indera dengarnya. Kali ini, ia mendengar dentingan sendok yang beradu dengan cangkir. Aroma wangi kopi menyeruak lembut ke dalam kamarnya, membuatya terbuai sesaat, membayangkan secangkir kopi hitam panas.
Pupil matanya tiba-tiba membesar. Jangan katakan jika asisten barunya sudah datang sepagi ini. Memikirkan hal itu, Raka menjadi panik. Bukankah orang itu akan bekerja di kantor? Mengapa malah datang ke apartemen? Sejak kapan dia punya kartu akses masuk ke apartemennya?
Raka dengan cepat meraih jubah tidurnya, keluar dengan tergesa dari kamarnya. Betapa terkejut Raka begitu netranya, mendapati seorang gadis tengah sibuk menata sarapan di meja makan kecil di tengah ruangan.
Seorang gadis? Raka berdiri termangu.
Mengapa mamanya justru mengirim seorang gadis untuk menjadi asistennya? Mengapa bukan pria saja? Apakah mereka tidak takut jika suatu saat dirinya akan melakukan hal-hal buruk terhadap gadis itu? Sebagai aksi pemberontakan akan pemaksaan kehendak terhadapnya?
“Heh! Siapa kamu?” hardik Raka tidak terima peralatan miliknya disentuh bahkan dipakai oleh orang lain selain dirinya. Lancang sekali gadis ini! Berani-beraninya menyentuh peralatan dapurku tanpa seijinku?
Pria muda yang masih mendekati gadis itu lalu dengan kasar, merampas sendok dan garpu yang ada di tangan gadis itu. Gadis itu terkejut mendapati perlakuan kasar dari Raka, dan langsung menghentikan kegiatannya.
Ia bergeming. Berpura-pura tidak mendengar semua perkataan Raka. Ia mengabaikan hardikan kejam Raka dan tidak memedulikan sikap penolakan atasan barunya.
Yang ia ingat hanyalah, bahwa ia harus melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Abaikan segala sesuatu yang akan menghambat pekerjaannya. Ia meletakkan piring dengan perlahan, lalu memutar tubuhnya yang semula membelakangi Raka.
“Selamat pagi, Pak. Sarapan pagi sudah siap. Silakan Pak Raka membersihkan badan lebih dulu baru kemudian sarapan.”
Raka berjalan mengitari meja makan dan gadis itu, hingga tiga putaran. Seolah ingin memastikan jika semua kejadian pagi ini sesuai harapannya, hanya sebuah bunga tidur. Namun sayangnya, kehadiran gadis itu adalah sebuah kenyataan yang hakiki pagi ini. Kenyataan yang tidak bisa ia pungkiri kebenarannya.
Raka mendengus kesal. Ia menarik kasar kursi makan dan menghempaskan tubuhnya di atas kursi. Diaduknya kopi yang masih mengepulkan asap panas. Aromanya kembali menggelitik indera penciuman Raka, dan sesaat berhasil membuai pria itu. Hampir saja ia menyeruputnya.
“Siapa namamu?” tanyanya dengan nada begitu ketus dan dingin. Dia kaget sendiri. Eh, untuk apa aku menanyakan namanya? Aku tidak menyetujui kehadirannya di sini, mengapa aku harus repot-repot mengetahui namanya.
“Nama saya Rara, Pak.”
Raka menunggu lanjutannya, tapi gadis itu kembali diam. Raka membatin, hanya Rara?
“Hanya itu?” liriknya sekilas. Gadis itu mengangguk.
“Nama apa itu? Mengapa begitu singkat? Yakin tidak ada tambahan lagi?” Pria itu lantas tertawa sendiri. “Untuk apa aku meributkan namamu. Tidak ada untungnya sama sekali.”
Raka menatap penuh selidik gadis yang kini berdiri menghadap ke arahnya. Lumayan. Penampilan lumayan, tidak buruk juga tidak begitu cantik. Cukuplah. Pria itu mulai memberi penilaian.
"Berapa umurmu?"
'Haruskah aku menjawab pertanyaan itu?' Batin Rara sesaat, lalu membalas tatapan Raka beberapa detik untuk kemudian kembali menundukkan pandangannya.
"Dua puluh empat, Pak." Pada akhirnya, Rara membuka suaranya juga.
Raka kembali menatap cangkir kecil di depannya. “Siapa yang memberimu kartu akses masuk apartemenku? Apakah mama?”
Rara diam. Ia memilih untuk tidak menjawab. Ia yakin pria itu sudah tahu jawabannya tanpa ia harus menjawabnya.
“Tsk. Mama benar-benar sudah kebablasan. Sebenarnya ada apa sih dengan mereka? Aku kan bukan anak kecil lagi,” rutuknya, bangkit dari duduknya, kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Raka menghentikan langkahnya. Pria itu memutar tubuhnya, menatap tajam asisten pilihan mamanya itu.
“Dengar! Kau ada di sini bukan atas permintaanku. Kau di sini atas perintah kedua orang tuaku. Jadi, jangan merasa menang dulu. Aku punya aturan sendiri. Bukan aku yang akan mengikuti kemauanmu, tapi kau yang harus mengikuti kemauanku. Silakan saja jika kau hendak melaporkan semua kejadian pagi ini, tapi ingat, aku akan memberi perhitungan sendiri padamu!”
Gadis bernama Rara hanya diam , mendengar semua peringatan Raka. Bukannya merasa takut, tapi dirinya justru penasaran. Akan seperti apa pekerjaannya beberapa hari ke depan?
Rara memilih duduk hingga pria itu kembali ke ruangan tempatnya beradar. Pria dingin, angkuh dan sangat susah diatur. Itu adalah kesan pertama yang ditangkap oleh Rara.
Kening Rara tiba-tiba berkerut. Mengingat gaya bicara pria itu, ia seperti pernah bertemu sebelumnya. Dikoreknya memori otak kecilnya, mencari penggalan sosok pria yang mungkin sempat tertinggal di sana. Sayang, usahanya gagal. Memorinya sama sekali tidak menyimpan sosok putra atasannya. Tapi mengapa perasaannya begitu kuat akan pria itu?
Ponselnya tiba-tiba bergetar, membuatnya berdiri lalu melangkah keluar apartemen, menjawab panggilan dari bos besarnya.
Tiga puluh menit kemudian Raka keluar dari kamarnya. Ia sudah berpakaian lengkap dengan menenteng jas di tangan kanannya. Raka mulai menyantap sarapan dan menghabiskan kopinya. Alisnya terangkat sedikit, bergumam kecil memberi penilaian hasil kerja asisten pilihan mamanya. Ia sama sekali tidak menyadari , jika asisten barunya sudah tidak lagi ada di ruangan itu.
“Tidak begitu buruk. Lumayan untuk mengawali pagi ini,” gumamnya lalu beranjak meninggalkan meja makan. Ia melangkah keluar apartemen, berjalan menuju lift yang akan membawanya ke parkiran mobil di lantai dasar.
Raka celingukan. Mencari kemana perginya gadis tadi? Akan tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Merasa asisten kiriman sang mama, sudah tidak lagi ada di dekatnya, Raka merasa bebas.
Raka berjalan santai sambil berdendang riang, menuju mobil sedan hitam yang kini sudah menunggu tepat beberapa langkah di depannya. Dan seperti biasa, ia masuk ke dalam lalu mulai sibuk dengan ponselnya, memeriksa email yang masuk pagi itu. Perjalanan hari ini lebih cepat dari biasanya. Sedikit merasa heran dengan laju kendaraan yang begitu pelan tidak seperti biasa. Namun Raka tidak mempermasalahkan hal itu. Dirinya disibukkan dengan laporan komplen yang masuk begitu banyak.
Sesaat sebelum dirinya turun, Raka melirik ke arah supir. “Kita akan berangkat rapat jam sembilan nanti. Jangan sampai kau lupa untuk mengambil beberapa laporan di anak cabang sebelum rapat dimulai.”
“Baik, Pak.”
Deg. Suara itu. Raka sekali lagi menatap ke arah sang supir, menyelidiki siapa sebenarnya yang sudah menjadi supirnya pagi ini. Matanya membesar seketika.
“Kau!!! Sedang apa kau di situ? Sejak kapan kau duduk di situ?” Pria itu berteriak tidak terima. Tidak terima dan merasa terhina jika dirinya tadi diantar oleh seorang gadis . Mau ditaruh di mana wajahnya bila teman-temannya mengetahui hal ini.
Rara keluar dari mobil lalu sedikit membungkukkan badannya. “Maaf, Pak. Mulai hari ini dan seterusnya, saya akan mengikuti kemana pun Bapak pergi. Dan untuk pagi ini, saya mengantar Bapak ke kantor, karena supir biasanya baru akan datang pukul sepuluh atas perintah tuan besar.”
Raka terkejut setengah mati. Ia tidak mengira akan seperti ini.
“Aaaaarrrrrggggh!!!! Sialan! Mengapa jadi begini??! “ teriak Raka mulai merasa frustasi. Apakah dirinya sudah mengambil keputusan yang salah?
Rara berjalan menyusuri jalan setapak, beberapa blok sebelum rumah bercat pink, tempanya tinggal. Sikap bos barunya membuat dirinya merasa sedikit pesimis. Ia tidak yakin bisa melakukan tugasnya kali ini dengan sempurna. Mungkin beberapa diktat besar lebih mudah ia taklukkan, dibandingkan pria bodoh yang seharian ini terus saja memaki dan menghina dirinya.Rara menatap langit luas yang membentang di depannya. Andai ia memilih untuk tetap di luar negeri, apakah Pak Widjanarko akan bersikeras memberikan tugas ini kepadanya?Saku jas hitamnya kembali bergerak-gerak pelan. Sebuah panggilan kembali harus diterima Rara, yang berniat memanjakan dirinya dengan semangkuk mie ayam di pojok blok rumahnya. "Ya, ."Rara menyimak sembari memejamkan kedua matanya. "Baik, Bu. Tiga puluh menit lagi saya sudah ada di sana."Rara mempercepat langkahnya. Mungkin ini resiko yang harus ia terima. Biaya pendidikan yang diterimanya selama ini cukup besar. Ini adalah satu-satunya cara agar bisa membalas bud
Raka mengacak rambutnya berulang. Wajah putihnya memerah ketika panas sinar matahari senja itu menerpa wajahnya. Amarah membuat wajahnya semakin memerah. Ia melangkah masuk ke sebuah bar mini, seratus meter dari kantornya. Tempat biasa ia menghabiskan waktu bersama teman-teman nongkrongnya. "Ah-haaa. Lama tidak melihatmu, Bestie." Setya sang pemilik bar, menyapa dari balik meja kasir. Sedikit berkelakar.Raka hanya melirik sesaat, mengabaikan candaan Setya yang terdengar garing di telinganya. Ia lantas memberi kode kepada Setya."Sudah dapat ijin lagi?" Pria itu mengambil sloki kecil lalu meletakkannya tepat di hadapan Raka."Apakah aku sudah mengatakan pesananku?" Raka menatap tajam Setya.Setya menghentikan gerakannya, lalu memperhatikan penampilan Raka yang kacau hari ini."Sesuatu yang buruk sedang terjadi, bukan? Jadi, satu sloki kecil ini, cukup untukmu melupakan semua masalah barang sejenak." Kini, pria itu mengambil botol yang berisi cairan warna kuning kecoklatan."Aku ti
Tubuh Rara seketika menegang. Punggungnya secara spontan tegak. Entah apa yang ada dipikirannya saat itu. Kalimat Raka yang terdengar jelas di telinganya sekalipun hanya didengarnya lewat interkom, terus menggema di dalam telinganya. Sedangkan Susan, Sang Sekretaris, merasa mendapat dukungan setelah mendengar perintah Raka. Ia dengan gaya sok cantiknya, menyibakkan rambut bergelombang sebahunya ke belakang, menatap Rara dengan sangat sinis, dan segera bangkit dari duduknya. Ia sedang mengatur kata-kata pedas untuk dilontarkan pada Rara. Ia lupa jika beberapa hari yang lalu, Rara datang ke kantor Raka bersama Ratih, istri bos besarnya, Widjanarko. Ia lupa jika hanya orang penting dan berpengaruh saja, yang bisa berjalan begitu dekat dengan Ratih."Berani mengucapkan satu kata, aku akan langsung menelpon Pak Widjanarko untuk memecatmu!" Rara tidak melepaskan tatapannya dari Susan, sembari mengacungkan ponselnya ke depan wajahnya, membuat nyali Susan yang hendak mengatakan sesuatu, lang
Sang Manajer Umum, yang bernama Dewa manggut-manggut mendengarkan penjelasan Doni. Ia kini tidak lagi berani menatap gadis yang ada di depannya. Penjelasan asisten atasannya, membuat dirinya segera memutuskan untuk mengambil langkah aman, tidak terlalu banyak bertanya terhadap kondisi perusahaan sekarang. "Kebetulan bertemu denganmu di sini. Ada sesuatu yang harus aku jelaskan padamu sebelum kamu bertanya tentang sesuatu hal. Tapi....- Tunggu dulu... Apakah - kamu sudah .... ?" Doni tidak menyelesaikan kalimatnya. Memperhatikan Rara yang sejak tadi memilih diam, membuat Doni meragukan keputusannya.Rara hanya menyengir kuda, sedangkan Doni langsung menepuk jidatnya."Pantas saja jika Pak Widjanarko begitu membanggakan dirimu." Doni menatap Rara begitu intens. "Tidak benar sama sekali. Pak Widjanarko terlalu berlebihan, tapi... Apakah Bapak tahu jawaban dari pertanyaan saya?" Rara membalas tatapan Doni, sambil mengeluarkan ponselnya.Gerakan Rara yang tertangkap sudut mata Dewa, me
Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan."Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara. "Iya, Pak."Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana."Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."Doni tercengang. 'Lagi?
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva