Senyum dingin Raka menyambut kedatangan Doni di ruangan bernuansa serba hitam itu. Hawa membunuh menyapu bulu kuduk Doni, membuat pria itu agak ragu untuk meneruskan langkahnya mendekati meja sang atasan.
"Bukankah aku menyuruhmu untuk menemuiku lebih dulu?" Mata Raka tertuju tepat ke wajah Doni. Doni salah tingkah. Ia lupa jika semua kamera cctv di kantor ini terintegrasi dengan laptop Raka. Hawa dingin ini pastilah karena bosnya melihat pertemuannya dengan Rara.
"Iya, Pak."
Raka mengetuk jari telunjuknya di atas laptopnya. Ia harus segera membeli laptop baru. Laptop Susan yang sementara ini ia gunakan, membuat geraknya terbatas. Hampir semua file di laptop Susan berisi video kosmetik dan fashion yang sama sekali tidak ia mengerti, dan terkadang membuat dirinya panas dingin sendiri karena ada beberapa film dewasa di sana.
"Suruh anak baru itu untuk membelikan laptop baru untukku. Beli yang kapasitasnya besar dan bisa dipakai untuk main game sepanjang hari."
Doni tercengang. 'Lagi? Apakah kehadiran Rara belum juga menyadarkan bos-nya itu jika kondisi perusahaan yang ia pimpin sedang di ujung tanduk?'
"Pak...."
"Tidak usah membantah. Lakukan saja." Raka mengalihkan tatapannya dari Doni. Wajah Rara saat berbincang dengan Doni yang tertangkap olehnya di layar laptop, kembali membuat emosinya tersulut.
'Mengapa gadis itu masih bisa tertawa? Apakah penolakan yang ia lakukan tadi sama sekali tidak membuatnya menyerah?' Raka kini mengambil pena dan secarik kertas. Ia menuliskan beberapa kalimat.
"Berikan ini pada gadis itu. Dan katakan padanya, aku harus sudah menggunakan laptop itu dua jam lagi. Jangan sampai melewati batas waktu yang sudah aku berikan!"
'Mari kita lihat. Siapa yang akan menyerah lebih dulu?' Senyum penuh misteri Raka membuat Doni mengkhawatirkan Rara. Apakah gadis itu sanggup menghadapi Raka?
"Baik, Pak."
"Ya sudah. Pergi sana!. Ingat pesanku tadi."
Doni mengangguk kemudian berjalan mundur dan memutar tubuhnya, berjalan keluar meninggalkan ruangan Raka. Ia berjalan cepat. Ia belum menyimpan nomor Rara, dan saat ini ia tidak tahu sedang ada di mana gadis itu. Jika sampai ia terlambat menemukan Rara, maka gadis itu akan mendapatkan masalah.
Dengan setengah berlari, Doni berjalan menuju ruang keamanan untuk mengetahui Rara lewat kamera cctv yang ada di semua ruang di gedung ini.
"Tampilkan padaku semua ruangan sekarang juga." Perintahnya terucap seiring dengan nafasnya yang tersengal-sengal. Ia berpacu dengan waktu. Setidaknya, ia harus membantu Rara. Jangan sampai gadis itu mendapat masalah baru.
Doni meneliti setiap bagian gedung itu, mencari sosok Rara. Lebih dari lima menit Doni akhirnya berhasil menemukan Rara yang kala itu baru saja berhenti di depan lift lantai lima. Ia bergegas keluar dari ruang operator keamanan, menuju ke lantai empat. Ia memilih untuk menunggu Rara di depan pintu lift lantai empat.
Langkah kaki Doni dibuat begitu lebar agar bisa segera mencapai pintu lift lantai empat. Ia harus bergerak cepat. Waktu kini sudah berkurang lima belas menit, yang artinya Rara hanya memiliki seratus lima menit lagi.
Doni baru mencapai seperempat bagian dari lantai empat, saat pintu lift yang kebetulan berhadapan dengannya, terbuka. Begitu sosok Rara terlihat, Doni dengan setengah berlari menyusul gadis yang saat ini tengah menengok ke sebelah kanan tempatnya berdiri.
"Rara!" seru Doni sedemikian keras, membuat semua orang yang baru saja keluar dari lift melihat ke arahnya.
"Aku tidak memanggil kalian. Sana pergi!" Doni menatap kesal mereka yang menatap dirinya dengan mimik ingin tahu.
"Ya. Ada apa, Pak?" Rara sedikit mengernyitkan wajahnya melihat wajah Doni yang kini penuh dengan keringat. Sangat berbeda saat mereka bertemu beberapa menit yang lalu.
Doni mengangkat tangannya, meminta Rara untuk menahan pertanyaannya dulu. Ia ingin menetralkan pernapasannya yang kembang kempis sejak tadi. Seakan paham dengan kondisi Doni, Rara mengangguk dan menunggu hingga Doni berhasil mengatur pernapasannya kembali.
Doni menatap Rara yang kini mengangsurkan satu botol kecil air mineral yang ada di rak tak jauh dari tempat mereka berada.
"Mungkin Bapak membutuhkan air mineral?"
Doni menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Waktumu tinggal sembilan puluh lima menit lagi. Segera pergi ke toko komputer. Belilah laptop dengan spek untuk gamer. Yang terbaik." Doni menatap Rara begitu serius.
Rara mencoba memahami perintah Doni. "Bapak memerlukan laptop baru?"
"Bukan, Rara. Bukan. Bukan aku, tapi bos barumu. Dan beliau hanya memberimu waktu dua jam sejak aku menerima perintah itu dan kini..." Doni melihat ke arah arlojinya di tangan kirinya. "Waktumu semakin berkurang. Sembilan puluh menit lagi, sebelum waktu yang diberikan habis."
Rara masih terpengkur mendengar perkataan Doni.
"Ayolah, Rara! Aku tidak ingin kamu terkena masalah. Cepat pergi dari sini! Temukan laptop sesuai dengan yang aku katakan tadi!"
Rara, tanpa ia sadari, kini menjadi gugup. Ia menatap arloji di tangan kanannya, mencoba menghitung waktu yang ia butuhkan untuk kembali sampai di gedung ini.
"Dan ini..." Doni menyerahkan secarik kertas yang sudah dilipatnya kepada Rara. "Beliau menitipkan ini untukmu. Buka saja di jalan. Sekarang bergegaslah," ucap Doni terus mendesak Rara.
Rara menggenggam erat kertas itu, dan masuk kembali ke dalam lift, menekan angka satu, menuju lobi. Begitu lift bergerak turun, Rara membuka lipatan kertas yang diberikan Doni.
"Menyerahlah sekarang atau aku akan terus menekanmu untuk keluar dari perusahaan ini!"
Mata Rara membulat sempurna. Diremasnya kertas itu hingga tidak lagi berbentuk.
'Sialan! Kau benar-benar mengajakku berperang?' desis Rara penuh amarah.
Raka tertawa sangat keras. Ia menikmati kemarahan Rara yang terlihat jelas dalam rekaman di laptopnya. Senyum penuh kemenangan tersungging di wajahnya. "Aku akan melakukan segala cara untuk mengusirmu dari perusahaanku, meski papa dan mama, juga kakak sangat mendukungmu. Aku adalah bos di perusahaan ini. Aku yang berkuasa di sini. Karena kedatanganmu tidak pernah diterima, maka kau harus pergi dari sini, bagaimanapun caranya. Sekalipun aku harus menghadapi resiko yang sangat besar di akhir cerita nanti," gumam Raka dengan penuh dendam. Raka kembali menekan angka dua belas, memanggil Susan untuk menghadapnya. Ia perlu melakukan sesuatu, dan kali ini ia membutuhkan pertolongan sekretaris menornya. "Masuk. Aku memerlukan bantuanmu." Susan sedikit ragu dengan telpon barusan. Bos-nya tiba-tiba menyuruhnya masuk? Apakah penantiannya selama ini membuahkan hasil? Susan menenangkan jantungnya yang melompat-lompat tidak karuan, setelah menerima telpon dari Raka. Ia sudah lama menaruh hati p
Rara menatap nanar pria di sampingnya. Dengan sisa energi yang dimiliki, Rara berusaha tersenyum. Beribu sumpah serapah mengantri di ujung lidahnya, namun dengan sekuat tenaga, ia menekan keinginannya itu. Ia tidak boleh terpancing, dan harus tetap tenang."Mengapa tidak menghubungi saya?" Rara meletakkan brosur yang beberapa menit lalu diterimanya."Aku sudah mencoba menghubungimu, tapi tidak bisa."Rara mengeluarkan ponselnya. Benarkah tadi sang atasan menghubunginya? Dan senyumnya kembali mengembang. Bagaimana mungkin pria itu bisa menghubunginya, sedangkan dirinya sendiri tidak pernah memberikan nomor ponselnya."Tidak ada telpon yang masuk kecuali dari ..." Rara tidak meneruskan kalimatnya."Kecuali siapa?"Layar ponsel Rara berganti dengan foto seseorang beserta nomornya dan dua kalimat, panggilan masuk."Ibu Ratih. Bapak ingin berbicara dengan Ibu Ratih?" Rara menyodorkan ponselnya ke hadapan Raka. Bola mata Raka langsung membesar. Rara terkekeh penuh kemenangan."Saya duluan
Rara menatap Doni. Ia tidak paham dengan apa yang didengarnya barusan. Sebenarnya apa yang sudah terjadi selama ia keluar mencari apa yang diperintahkan padanya? "Aku tidak bisa menceritakan padamu sekarang. Nanti malam aku akan mampir ke rumahmu." Hanya itu yang bisa disampaikan oleh Doni. Ia tidak bisa berlama-lama berbincang dengan Rara. Yang bisa ia lakukan saat ini hanyalah bersikap baik dan mematuhi semua perintah Raka. Rara menyatukan ujung jempol dan telunjuknya, mengangkat tiga jari kanan yang tersisa, memaklumi keadaan Doni. Untuk saat ini, asisten yang diakui oleh Raka adalah Doni, sedangkan dirinya hanyalah asisten bayangan yang diutus Widjanarko, dan keberadaannya jelas diterima Raka dengan terpaksa.Rara melanjutkan langkahnya, masuk ke dalam lift, mengabaikan Dewa yang masih belum bisa memahami situasi yang sedang terjadi di sekitarnya, dan pria itu menjadi panik ketika pintu lift tertutup rapat dan tidak ada lagi orang di sekitarnya.-0-"Aku tidak pernah menerimanya
Lama tidak mendapatkan jawaban dari Raka, Widjanarko menghela napas. Ia menggelengkan kepala, salah satu cara mencegah tekanan emosinya agar tidak semakin meninggi. Rasa penyesalan mulai menggelayuti dirinya. Andai saja dulu ia tidak mengikuti permintaan Ratih, perusahaan fashionnya sekarang pasti sudah berkembang pesat. "Apa yang sebenarnya kamu inginkan? Papa berikan perusahaan sesuai dengan keinginanmu termasuk semua orang-orang dan dana serta semua asetnya. Tapi, apa yang kamu berikan sebagai bukti keberhasilanmu?" Raka lagi-lagi terdiam. Kenangannya kembali saat ia merongrong Widjanarko di suatu siang, agar dirinya diberi kedudukan penting di salah satu unit bisnis yang dimiliki Widjanarko. Semula Widjanarko ragu, tapi karena desakan Ratih akhirnya pria itu memberikan perusahaan fashionnya untuk dikelola oleh putra semata wayangnya. Namun sayang, apa yang diharapkan tidak kunjung tercapai. "Sekarang, datang ke kantor Papa. Bawa Rara bersamamu. Papa tunggu lima belas menit dari
Rara tidak segera melanjutkan kalimatnya, membuat suasana ruangan berukuran dua belas kali sepuluh meter persegi itu berubah menjadi sangat mencekam. Detak jam dinding berdesain kuno klasik adalah satu-satunya suara yang terdengar. Semua diam membatu, menanti kelanjutan kalimat yang entah, disengaja Rara atau tidak, terputus. "Kamu sengaja melakukan ini? Membuat kami semua menunggu kelanjutan cerita karanganmu?" tegur Raka begitu sinis, membuat Widjanarko melebarkan pupil matanya. "Raka! Bicaralah yang sopan. Jangan permalukan Papa!" hardik Widjanarko begitu keras, membuat suasana menjadi semakin mencekam. Widjanarko kembali menatap Rara. "Katakan apa yang sebenarnya sudah terjadi di sana? Apakah semua berjalan baik-baik saja atau ada kejadian yang tidak seharusnya terjadi di sana, diluar perhitunganmu?" Rara kali ini memberanikan diri untuk menatap Raka sebelum menjawab pertanyaan bos besarnya. Rasa bimbang yang sebelumnya menggelayuti hatinya, kini berubah menjadi keberanian. Ia
Rara memilih untuk diam, tidak mengemukakan pendapatnya. Semua hal yang menjadi pembicaraan anak-bapak ini diluar kendalinya, dan ia tidak punya hak untuk urun rembug. Sama halnya dengan Doni. Pria itu juga mengambil langkah yang sama dengan Rara, menjadi pendengar yang baik. "Kesepakatan apa yang bisa kita buat sore ini?" Suara Widjanarko memecah kesunyian. Raka diam menyimak. "Tidak ingin mengatakan keberatan?" tandas Widjanarko, mengarahkan tatapannya ke arah Raka. Menggeleng lemah, hanya itu yang dilakukan oleh Raka. Ia tidak punya perbendaharaan kata jika sudah berhadapan dengan Widjanarko, dan ia tidak akan pernah menang, jika berdebat dengan pria berusia hampir setengah abad itu, kecuali ada Ratih yang menjadi penyokongnya. "Baiklah. Mungkin hanya Rara yang bisa menjawab, langkah apa yang sebaiknya kita ambil untuk sekarang ini?" Deg. Rara tidak menduga jika Widjanarko akan meminta pendapatnya. Ia tidak ingin lagi bos kecilnya salah paham, yang berujung pada kecemburuan
Widjanarko sangat terkejut. "Kamu serius dengan perkataanmu, Rara? Kamu tidak takut akan akibatnya?" Rara tersenyum simpul. "Bapak sudah mengenal saya begitu lama. Saya akan melakukan pekerjaan saya dengan serius dan secara total. Setiap pekerjaan akan selalu ada resiko yang harus dihadapi, dan saya sudah siap dengan semua resiko yang akan saya hadapi ketika saya menerima tugas ini." Widjanarko menggelengkan kepalanya. Ia masih ragu untuk menyetujui usulan Rara. Lama ia menimbang, hingga akhirnya anggukan kepalanya menjadi awal terbitnya senyum di kedua sudut Rara. "Terima kasih atas kepercayaannya, Pak," ucap Rara dengan binar mata penuh semangat. Ketakutannya hilang sudah, seiring dengan anggukan setuju Widjanarko. Sambil menghela napas berat, Widjanarko kembali menganggukkan kepalanya. "Berhati-hatilah! Raka bukan orang yang mudah menyerah, kamu harus punya kesabaran ekstra untuk menundukkannya. Aku tidak pernah mengkhawatirkanmu di luar sana, tapi tidak dengan putraku sendiri.
Rara tersenyum, dan sekali lagi, senyumnya berhasil membuat Raka salah tingkah. Rara tidak menjawab namun tetap mengulas senyum di wajahnya. Jika atasannya paham, pasti tahu arti senyum yang tersungging di wajahnya. "Kenapa malah senyum? Aku tidak butuh senyumanmu. Apa kamu sedang sariawan?" Raka berusaha mengurai rasa canggung yang menyelimuti dirinya. Sungguh, senyum Rara mengandung racun baginya, dan ia berusaha mati-matian agar tidak terbuai. "Nggak, Pak. Gigi dan gusi saya, sehat semua, termasuk semua bagian dalam rongga mulut saya." "Iissh. Sudah. Hilangkan senyum itu dari wajahmu. Mengganggu saja," rutuk Raka. Ia menyerah, tidak sanggup melihat senyum Rara. "Baik, Pak." Namun, wajah Rara tetap tidak berubah, terlihat cerah dan bersemangat. Dan Raka harus rela tersiksa karena terus saja mencuri-curi pandang gadis di sebelahnya, hingga lehernya terasa pegal. "Don! Mampir ke apotik. Aku butuh obat. Leherku sakit." "Baik, Pak." Apakah ini salah satu strategi Rara? -0- Widj
Sudah satu tahun, Rara menjalankan tugas barunya sebagai direktur. Dan selama itu juga ia membantu dan membimbing Raka, untk memahami dengan jelas pekerjaan seorang direktur. Raka sendiri, setelah berjanji pada kedua orang tuanya, sedikit demi sedikit berubah. Salah satu alasan dirinya berubah, karena ia memiliki dua pesaing tangguh di perusahaannya. Dan dirinya tidak mau mengalah. Tidak akan ia biarkan dirinya hanya menjadi penonton saja. Ia harus menjadi tokoh utama dalam drama di perusahaannya. Melihat kemajuan dan semangat Raka untuk menambah ilmunya, membuat Rara yakin jika dirinya tidak akan berlama-lama di perusahaan ini. Semakin cepat tranfer ilmu yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula ia mengembalikan posisi direktur ini kepada Raka. Dan kini sudah genap satu tahun. Saatnya untuk mengembalikan jabatan direktur kepada Raka Orang-orang yang melakukan kecurangan sudah mendapatkan hukuman masing-masing. Mereka dipecat dari perusahaan, kecuali satu orang, sesuai dengan
Rara menendang batu kerikil yang berserakan di jalan masuk rumah kontrakannya. Kepalanya mendadak pusing. Baru kali ini ia merasakan tekanan batin yang luar biasa menyiksanya. Inilah yang ia takutkan sejak dulu. Ketika kehadirannya justru menjadi awal pertengkaran orang-orang di sekitarnya. Padahal Rara sangat sadar diri. Ia tidak pernah mengharapkan perhatian lebih dari seseorang. Ia selalu berusaha menutup dirinya dari yang namanya cinta. Kini, dirinya justru terjebak dalam masalah yang berpusar pada hal yang sangat ia hindari. Rara duduk sejenak di kursi di teras kecilnya. Ada tukang bakso yang sedang berjalan ke arahnya. Mungkin semangkuk bakso dengan sedikit sambal bisa mengurangi kegundahan hatinya. Rara berjalan ke pagar, menunggu gerobak bakso itu berhenti di depan rumahnya. Sedangkan di seberang, ada gerobak es teler yang sedang mangkal. Tanpa pikir panjang, Rara melambaikan tangannya, memesan satu gelas es teler. Sore ini, dia ingin memanjakan dirinya dengan semangkok
Penampilan Raka benar-benar kacau pagi itu. Setya sendiri terkejut dengan kedatangan Raka yang tidak biasa. Raka sudah begitu lama tidak lagi main di bar nya. Teman kuliahnya itu hanya mampir tapi tidak pernah lagi memesan minuman berwarna kuning itu. Akan tetapi, pagi itu begitu aneh. "Berikan minuman favoritku?" teriak Raka. Kepalanya terasa berat. Ia ingin membuang sesuatu dalam kepalanya tapi tidak bisa. Tangannya memegangi kedua sisi kepalanya. "Hah?" Setya terkejut. Ia tidak segera membuat pesanan Raka. Ia mencoba menerka penampilan sahabatnya itu. Masih begitu pagi, tapi mengapa wajahnya sudah sangat suntuk. "Set!! Apa telingamu sedang bermasalah?" Nada bicara Raka mulai meninggi. Ia sangat tidak sabar, seakan ingin segera membuang sesuatu yang sangat mengganjalnya. "Eh. Aku baik-baik saja. Tentu aku tidak ada masalah. Ada apa denganmu? Hari masih begitu pagi. Tidak baik untuk mengkonsumsi minuman ini. Kau pasti belum sarapan, bukan? Aku sarankan untuk sarapan dulu, maka ak
"Jadi anak itu datang sendiri? Apakah mungkin dia sudah menguntitmu?" "Mungkin, Pa. Raka juga tidak tahu." "Nekat juga orangnya ya? Untung kamu tolak perjodohan itu. Bisa mati berdiri mama kamu, berhadapan dengan mantu seperti dia" Widjanarko menggelengkan kepalanya. "Benny pasti sudah tahu cerita ini. Kalau sampai dia berani menelpon Papa, berarti dia sudah tidak butuh uang lagi. Tapi, kalau dia masih waras dan masih membutuhkan uang untuk hidup, dia pasti akan memilih damai, tidak akan berani memperpanjang masalah ini, apalagi melanjutkan perjodohan ngawur ini." "Oh iya, Ka. Besok lagi kalau kamu ke rumah Rara, bawa semua hadiah yang diberikan Benny kemarin. Daripada di sini tidak dimakan, lebih baik di rumah Rara. Biar anak gadis itu tambah gemuk, dan tambah imut. Mama suka sekali melihat pipi Rara yang chubby." Yang dipuji Rara, yang merah padam wajahnya justru Raka. Ia merasa pilihannya tidak salah. "Ka. Mumpung kamu ada di sini, Papa ingin bertanya sesuatu hal sama kamu."
Rara memilih untuk menghindar dari pertengkaran kecil itu. Ia sama sekali tidak berminat untuk ikut campur. Tidak ada untungnya sama sekali. Rara hendak menelpon Wisnu tapi ia ternyata salah memilih nama. Yang ia tekan justru nama Widjanarko. Tanpa sengaja, Rara menekan tombol video, dan menyorot langsung ke arah Raka dan gadis itu. Raka yang yang berjalan ke arahnya dan gadis bernama Icha itu terlihat jelas dalam video. Kejadian dimana dirinya disiram air oleh Icha juga terekam hingga akhirnya air membuat ponselnya basah. Rara yang terkejut dan panik langsung meraih ponsel dan mengelapnya dengan ujung tuniknya. Malang nian dirinya. Apa ini resiko yang harus ia terima karena berjalan bersama Raka? "APA YANG KAMU LAKUKAN??!!! seru Raka begitu keras. Pria itu mendorong Icha hingga terjungkal nyaris menabrak meja makan di belakangnya. Raka langsung menghampiri Rara yang terlihat begitu kaget dan masih mengelap ponselnya dengan ujung tuniknya. "Ayo, kita pergi dari sini!" ajak Raka.
"Kamu ada waktu malam ini?" Keduanya, tanpa sengaja, mengucapkan kalimat yang sama secara bersamaan. Rara tergelak. Begitu juga dengan Raka. Keadaan kemudian menjadi hening. Mereka berdiri di depan pintu lift, menunggu datangnya lift yang baru saja bergerak dari lantai satu. "Silakan. Pak Raka dulu, ada yang mau ditanyakan?" Rara mempersilakan Raka berbicara lebih dulu. "Tidak. Kamu saja dulu. Lady first, pria belakangan." "Tidak. Bapak saja dulu. Saya tidak begitu penting." "Hmm. Ya sudah kalau begitu." Raka berdeham sebentar. "Apakah kamu ada waktu luang malam ini?" Rara berpikir sejenak. Tidak mungkin ia langsung memberi jawaban. "Kelihatannya saya punya waktu kosong nanti malam. Ada apa?" "Hmm. Aku ingat-ingat, selama kita berhubungan satu dengan yang lain, kita belum pernah sekalipun makan malam bareng'kan?" Rara diam sambil berpikir. "Perasaan kita pernah keluar makan bareng, Pak. Ada Pak Wisnu juga."" "Tsk. Itu bukan makan malam. Kopi bareng itu. Kopi anti ngantuk k
Widjanarko berdiri menghadap jendela besar di belakang kursi kerjanya. Ia baru saja menerima telpon dari Rara jika gadis itu ingin bertemu dengannya. Rara ingin membahas soal kelanjutan hasil audit kemarin. Ada sesuatu yang dikhawatirkan Widjanarko. Ia takut jika mereka-mereka ini akan menaruh dendam pada Rara, karena telah membongkar kejahatan mereka dan membuat mereka kehilangan ladang uang mereka. Ini sangat mengganggu Widjanarko. "Pak. Mbak Rara sudah di sini." Irwan, sekretaris Widjanarko datang memberitahu soal kedatangan Rara. "Langsung kamu suruh masuk." Irwan mengangguk dan kembali keluar. Menit berikutnya Rara sudah berada di ruangan Widjanarko. "Siang, Ra. Apakah semuanya baik-baik di sana?" "Baik, Pak. Semua aman terkendali." "Syukurlah kalau begitu. Bagaimana dengan putraku? Apakah dia sangat merepotkanmu? Pasti sangat susah membimbing orang dewasa dengan sifat keras kepala seperti Raka." "Jujur, sangat susah, Pak. Akan tetapi, Pak Raka sudah mulai berubah sedikit
"Jadi, katakan padaku, apa keputusanmu?" Wisnu mengulangi pertanyaannya untuk ke sekian kalinya. "Tidak mengapa kita membahas ini tanpa Raka?" "Tergantung yang akan kita bahas apa dulu? Jika yang akan kita bahas adalah tentang perasaan kita berdua, maka tidak perlu ada orang lain di sini." Aaiihh! Semburat merah jambu langsung menghiasi pipi Rara. Ingin rasanya ia menutupi wajahnya dengan kedua belah tangannya, tapi Rara terlalu malu untuk melakukan itu. Senyum bahagia menghiasi wajah Wisnu. "Apakah itu yang ingin kamu bahas sekarang?" "Ti-dak. Tidak. Tentu saja tidak. Ini bukanlah waktu dan tempat yang tepat untuk membahas masalah yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan pekerjaan." Wajah Rara terasa semakin panas. Tidak tega melihat Rara yang semakin salah tingkah, Wisnu mengurungkan niatnya untuk menggoda Rara lebih jauh. "Baiklah. Karena aku tidak mau orang lain melihat wajahmu yang seperti ini, kita ganti saja topiknya sekarang. Oke?" Rara dengan cepat menganggukkan
Pintu ruang rapat dewan direksi terbuka dari luar. Doni datang menghampiri Rara. "Sekarang waktunya untuk cek kesehatan. Dokter Riswan sudah menunggu di klinik." "Biarkan dia yang datang kemari." Wisnu memberi titah kepada Doni. "Rara sekarang bukan karyawan biasa. Sudah selayaknya dia yang datang kemari, melayani atasannya." "Biar. Tidak apa-apa, Pak. Biar saya yang datang ke sana." "Tidak boleh! Bagaimana mungkin aku membiarkan direktur mendatangi klinik seperti yang karyawan biasa? Aku akan menyuruhnya datang kemari." Wisnu langsung menelpon klinik, meminta orang klinik untuk datang ke ruang direktur. "Sekarang saatnya kamu kembali ke ruanganmu." Wisnu menarik tangan Rara, berjalan meninggalkan ruang rapat. "Sudah kamu bereskan semua barang-barang di sana?" tanya Wisnu pada Raka yang berjalan di belakangnya. "Kalau aku tidak salah, sudah. Tapi tidak tahu kalau sudah berantakan lagi." Sikap Raka terhadap Wisnu tetap tidak berubah. Ia semakin menganggap sepupunya sebagai riva