"Mas nanti jam berapa pulang reuninya?" Jihan meraih sepatu pantofel dari rak, dan memberikannya pada Tommy. Saat membungkuk di depan rak sepatu, Jihan meringis. Kandungannya telah memasuki bulan ke delapan. Sekarang gerakannya semakin melamban. Tidak segesit dulu lagi.
"Ya, belum tau dong, Han. Pergi juga belum, kamu kok sudah nanya-nanya soal pulang sih?" Tommy menerima sepatu dari Jihan. Memakainya tergesa karena reuninya akan berlangsung sekitar setengah jam lagi. Ia takut terjebak macet.
"Bukan begitu, Mas. Kita 'kan sudah lama tidak mengunjungi Ibu. Jihan janji akan menjenguknya hari ini bersama Mas dan Niko. Karena Jihan pikir kalau hari Jummat, Mas pulang kantor lebih cepat. Jadi kita bisa bersama-sama menjenguk Ibu," terang Jihan sabar. Tommy tidak menjawab. Pikiran Tommy seperti tersita oleh masalah lain. Alih-alih merespon ucapannya, Tommy malah sibuk membalas chat-chat yang berbunyi tiada henti. Walaupun demikian, Jihan tidak putus asa. Ia kembali mencoba melanjutkan argumennya. Siapa tau, Tommy masih bersedia memenuhi permintaannya.
"Jadi kalau Mas pulangnya cepat, kita masih sempat mengunjungi Ibu. Itu maksud Jihan, Mas," terang Jihan panjang lebar. Ia berusaha memanjangkan sabarnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini suaminya sering kali emosi hanya karena hal-hal sepele. Sebagai istri yang baik, ia hanya mencoba sabar dan mengalah. Rumah tangga akan hancur saat dua orang di dalamnya saling mengumbar emosi bukan?
"Menjenguk Ibumu 'kan bisa kapan saja, Han. Toh Ibu nggak akan ke mana-mana. Tapi kalau reuni ini, entah kapan sekali baru akan berlangsung," Tommy mendecakkan lidah. Jihan ini kalau sudah punya mau, susah sekali dipengaruhi. Walau terkesan lembut dan sabar, sesungguhnya istrinya ini keras hati.
"Ya sudah kalau begitu. Jihan akan pergi berdua saja dengan Niko."
Jihan akhirnya mengalah. Untuk apa juga pergi bersama Tommy, kalau orangnya saja tidak niat. Daripada ibunya tidak enak hati melihat muka masam Tommy, lebih baik ia berangkat sendiri.
"Terserah kamu saja. Tapi ingat, kamu sedang hamil besar. Hati-hati menjaga kandunganmu. Minta Pak Untung agar berhati-hati saat berkendara."
Tommy memeriksa penampilannya sekali lagi. Setelah merasa cukup rapi, ia mengembangkan kedua tangannya ke arah Niko. Putra tampannya seketika menghambur ke dalam pelukannya.
"Ayah pergi dulu ya, Niko? Niko ikut bunda saja ke rumah nenek ya?" Kepala mungil dalam dekapan Tommy mengangguk menggemaskan. Tommy mengacak-acak sayang surai hitam putra tampannya.
"Anak pintar. Mas berangkat dulu ya, Han? Kalau nanti kamu sudah tiba di rumah ibu, kabari Mas. Biar Mas tenang." Jihan mengangguk singkat.
"Anak ganteng, Ayah pergi dulu ya?" Tommy mencium gemas putranya sekali lagi.
"Oke, Ayah. Dadah." Niko menggoyang-goyangkan tangan gemuknya. Tommy membalas lambaian tangan putranya sembari melangkah menuju garasi. Sejurus kemudian mobilnya meluncur keluar dari pekarangan rumahnya yang luas.
Sepeninggal Tommy, Jihan memanggil Bik Nanik. ART yang sesekali ikut mengasuh Niko apabila ia sedang repot. Ia memang tidak menggunakan jasa pengasuh karena ia ingin merawat Niko dengan kedua tangannya sendiri. Menurut hematnya, selagi ia mampu mengasuh anaknya sendiri, maka akan ia lakukan. Toh Yang Maha Kuasa telah menganugerahinya sepasang kaki dan tangan yang sehat dan kuat. Kecuali mungkin saat bayi dalam kandungannya ini lahir bulan depan. Saat itu, mau tidak mau, ia harus mencari satu orang pengasuh untuk mengurus kebutuhan Niko. Ia tidak bisa mengasuh Niko secara penuh karena ada bayi yang baru dilahirkan. Sebagai seorang ibu, ia harus adil dalam membagi kasih sayang untuk kedua anak-anaknya.
"Iya, Bu." Bik Nanik datang menghampiri.
"Tolong jaga Niko sebentar ya, Bik? Saya mau mengganti pakaian dulu."
"Baik, Bu." Bik Nanik segera mengambil posisi duduk di samping Niko, sembari menghidupkan televisi. Saat melihat tayangan Ipin dan Upin, Niko pasti akan duduk anteng. Ia suka melihat kisah dua anak kembar yang lucu itu.
Karena Niko sudah ada yang menjaga, Jihan segera masuk ke dalam kamar. Sebelum pergi, ia bermaksud mengganti pakaian terlebih dahulu dulu. Tidak praktis rasanya memakai gaun lebar ke mana-mana. Apalagi akhir-akhir ini sedang musim penghujan. Tiupan angin kencang terkadang menaikkan rok lebarnya. Jihan membuka lemari pakaian. Memandangi susunan pakaian sejenak sebelum meraih sebuah kulot dan sweater berwarna moka. Dengan cepat Jihan mengganti pakaiannya. Setelah rapi, ia meraih pasmina berwarna coklat tua yang simple namun anggun. Lima menit kemudian tampilan cermin di kamarnya memperlihatkan seorang ibu muda hamil yang simple dan praktis. Setelah rapi, ia menyiapkan segala keperluan Niko dalam satu tas praktis. Pakaian, susu, dan pernah-pernak lainnya ia masukkan semuanya ke dalam satu tas. Setelah semuanya beres, barulah ia berjalan ke depan.
Saat melewati ruang kerja Tommy, pintu masih dalam keadaan terbuka separuh. Pasti suaminya itu terburu-buru karena takut terlambat menghadiri acara reuni. Jihan menggeleng-gelengkan kepala. Ada-ada saja. Tommy bertingkah seperti anak SD yang takut terlambat masuk ke dalam kelas. Saat ia akan menutup pintu, pandangannya tertuju pada ponsel suaminya yang sepertinya tertinggal di meja kerja. Lihatlah, saking buru-burunya ponsel tertinggal pun Tommy tidak sadar.
Alih-alih menutup pintu ruang kerja, Jihan masuk ke dalamnya. Bermaksud mengambil ponsel. Pada saat itulah ia baru menyadari bahwa ponsel itu berbeda dengan ponsel suaminya yang biasa. Jantung Jihan mendadak berdebar. Apakah selama ini suaminya memiliki dua ponsel yang tidak ia ketahui. Dengan perasaan bercampur baur, ia berusaha membuka ponsel itu. Terkunci! Jihan mencoba membukanya dengan password suaminya yang biasa. Tidak terbuka. Jihan berpikir keras. Menduga-duga apa password yang mungkin Tommy gunakan. Ia mencoba dengan memasukkan tanggal, bulan, dan tahun perkawinan mereka. Tidak bisa juga. Begitu juga dengan tanggal lahir suaminya. Semuanya tidak bisa juga. Ide terakhir Jihan memasukkan tanggal lahir Niko. Dan password pun terbuka!
Dengan tangan gemetar Jihan membuka ponsel lain suaminya. Air matanya jatuh berderai saat melihat apa isi ponsel rahasia suaminya ini. Photo-photo mesra suaminya dengan Diana. Tetangganya sekaligus mantan pacar suaminya. Diana ini baru enam bulan lalu bercerai dari Wahyu, suaminya. Wahyu berselingkuh dengan sekretarisnya sendiri, Tania, dan menceraikan Diana begitu saja. Padahal sudah ada seorang anak perempuan manis buah hati pernikahan mereka. Diana enam bulan lalu sampai nekad bunuh diri di tengah malam buta. Dirinya yang kala itu tengah hamil muda, membawa Diana ke rumah sakit dan menjaganya semalaman di sana.
Jihan limbung. Ia nyaris jatuh ke lantai. Untungnya ia masih sempat meraih meja kerja suaminya. Ia menangis meraung-raung di sana. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Diana sejahat ini. Lebih dari itu, ia sama sekali tidak menyangka kalau Tommy, sanggup menghianatinya seperti ini!
"Bu, ada apa?" Nanik yang mendengar tangis histeris nyonya mudanya, berlari mendatangi asal suara dengan Niko dalam gendongannya. Tidak biasanya nyonya mudanya kehilangan kontrol diri seperti ini.
"Tidak apa-apa, Bik. Tolong Bibik dan Niko tunggu di luar saja. Sebentar lagi saya menyusul," tukas Jihan dengan suara parau. Sebisa mungkin ia menahan keinginan untuk menjerit-jerit histeris. Ia manusia biasa. Seorang perempuan yang kebetulan tengah hamil besar pula. Hormonnya menggelegak meminta pelampiasan penyaluran emosi. Namun ia sadar, ia berteriak hingga langit runtuh pun tidak akan ada gunanya. Yang harus ia lakukan adalah mencari fakta dan kebenarannya. Setelah itu barulah ia akan mengambil tindakan.
"Benar Ibu tidak apa-apa? Ibu mau minum teh manis hangat dulu barangkali? Saya buatkan ya, Bu?" Nanik tidak yakin kalau nyonya mudanya ini baik-baik saja. Tangisan penuh luka dan matanya yang memerah, menjelaskan segalanya. Nyonya mudanya sangat jauh dari kata baik-baik saja.
"Benar, Bik. Tolong, Bibik dan Niko tunggu di luar saja ya?" Walau merasa enggan, tak urung Nanik meninggalkan nyonya mudanya juga. Tapi ia bermaksud berdiri di depan pintu ruang kerja tuan mudanya ini saja. Jadi kalau ada apa-apa, ia bisa langsung dengan cepat datang menolong. Ia sungguh takut melihat piasnya wajah nyonya mudanya.
Sementara di dalam ruang kerja, Jihan membaca chat mesra antara suaminya dan Diana. Air matanya mengalir lagi. Ia sama sekali tidak mengira kalau mereka sangguh menghianatinya sekeji ini. Ketika ia membaca chat sekitar satu jam lalu soal reuni, pahamlah Jihan mengapa Tommy membohonginya. Ternyata Diana yang memang satu sekolah dengan Tommy dulu ada di antara para peserta reuni. Pantas saja Tommy membohonginya dengan mengatakan kalau semua peserta reuni adalah laki-laki. Jahat! Ini semua tidak bisa dibiarkan.
Dengan darah mendidih Jihan bermaksud menyusul ke tempat reuni dengan membawa serta Niko. Ia sudah tidak berhasrat lagi untuk mengunjungi ibunya. Ia bahkan tidak minta diantar oleh supir. Satu tekad kuat telah tumbuh di hatinya. Ia tinggal membuktikan satu hal. Kalau memang Diana bersama dengan suaminya nanti, ia tidak akan pulang lagi ke rumah ini. Titik.
***
Jihan tiba di mall, tempat diselenggarakannya reuni terselubung Tommy. Dadanya panas membara. Menurut chat terakhir yang tadi ia baca di ponsel rahasia Tommy, mereka akan mengadakan reuni di Starbuc*. Tanpa membuang masa, Jihan segera melangkahkan kakinya ke tingkat dua mall. Emosi telah membuat fisiknya yang biasanya ringkih menjadi lebih kuat. Dengan perut buncit karena kehamilan delapan bulannya, ia masih sanggup berjalan segesit ini. Kemarahan telah membuat sistem tubuhnya dua kali lebih kuat dari biasanya.
Ketika akhirnya ia tiba di gerai Starbuc*, semua dugaannya benar. Ia melihat suaminya tengah memeluk mesra Diana di tengah teman-teman sekolahnya dulu. Tidak ada yang ia kenal selain Haikal di sana. Haikal adalah sahabat Tommy sedari kecil. Kedua orang tua mereka mempunyai perkebunan kopi besar di Desa Sukawangi. Dulu sewaktu ia berpacaran dengan Tommy, ia pernah ke perkebunan beberapa kali. Makanya ia mengenal Haikal. Haikal juga mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Safa. Di sana ia juga pernah bertemu dengan Kanaya. Anak sahabat lama ayah Haikal. Dan dari IG Safa yang ia lihat baru-baru ini, ia baru tau kalau Haikal sekarang telah menikahi Kanaya.
Jihan mempercepat langkah menghampiri pintu masuk ke gerai kopi. Bola matanya nyaris keluar dari rongga, saat ia melihat Diana mengelus-elus rahang Tommy mesra. Benar-benar perempuan tidak tau malu. Ia berani bermesraan dengan suami orang di depan umum!
Pandangannya berpindah pada pada Haikal. Jihan mendengus jijik melihat kelakuan dua perempuan yang sepertinya dulu teman sekelas Haikal. Tingkah polah keduanya juga tidak kalah menjijikan. Mereka berdua terlihat terus berusaha menyentuh-nyentuh Haikal. Padahal Haikal terlihat begitu gerah. Haikal juga terus menepis tangan-tangan nakal mereka.
Geraham Jihan saling beradu. Reuni model apa ini? Katanya semua yang datang adalah laki-laki. Tetapi sepenglihatannya banyak sekali perempuan-perempuan yang bertebaran di sana sini. Tommy memang seorang pembohong ulung. Lihat saja, ia akan membuat acara mereka bubar sebelum waktunya. Baru saja ia bermaksud masuk ke dalam gerai kopi, seseorang memanggil namanya.
"Mbak Jihan," seseorang menahan laju tubuhnya, yang sedianya akan masuk ke dalam gerai kopi. Jihan menoleh ke samping. Mencari tau siapa orang yang telah memanggilnya. Jihan mengernyitkan dahi. Memperhatikan lebih teliti wanita muda yang memanggilnya. Ah, ia ingat garis wajah sendu ini. Sepertinya gadis cantik ini adalah Kanaya. Walaupun telah sepuluh tahun tidak berjumpa, wajah Kanaya tidak banyak berubah. Ia tetap cantik dan anggun seperti dulu. Hanya saja auranya sudah berubah. Kanaya tampak lebih dewasa. Terakhir kali ia melihat wajah Kanaya adalah di IG Safa beberapa waktu lalu. Kalau berhadapan muka langsung seperti ini, baru kali ini setelah sepuluh tahun berlalu.
"Kanaya 'kan? Apa kabar, Nay? Kabarmu pasti baik ya? Kamu 'kan baru saja menikah dengan Haikal? Mbak kemarin dulu melihat photo pernikahanmu dan Haikal di IG Safa," cecar Jihan tanpa henti. Saat bingung ia memang cenderung cerewet.
Setelah mengajukan berondongan pertanyaan, Jihan menepuk kepalanya. Ia terkesan linglung karena telah bertanya namun ia sendiri yang menjawab pertanyaannya.
"Walah, Mbak yang nanya, malah Mbak sendiri yang menjawab. Maaf ya, Nay. Mbak agak-agak error ini, karena sedang emosi," guman Jihan.
Sesuatu melintasi benaknya. Ingatan tentang dua orang wanita yang terkesan terus mengganggu Haikal di dalam gerai kopi. Pasti Kanaya ke sini karena ingin memata-matai suaminya seperti dirinya.
"Mbak yakin, kamu juga pasti merasakan hal yang sama bukan? Buktinya kamu mengintai Haikal dari sini," sergah Jihan gemas. Teringat pada tujuan utamanya yang ingin melabrak Diana dan Tommy, Jihan merasa emosinya kembali naik ke titik tertinggi. Ia akan menghabisi mereka berdua. Dengan adanya Kanaya, itu lebih membesarkan hatinya. Setidaknya ada seorang lagi yang akan membantunya melabrak perempuan-perempuan tidak punya akhlak seperti perempuan-perempuan kegatela* di sana. Memikirkan semua itu, Jihan kian bersemangat.
"Ayo kita labrak saja, perempuan-perempuan perebut suami orang itu, Nay," desis Jihan geram. Ia menarik tangan Kanaya agar mengikutinya masuk ke dalam gerai. Namun sayangnya, Kanaya malah melepaskan cengkramannya.
"Sabar, Mbak. Ingatlah, dalam keadaan apapun, jangan biarkan emosi mengalahkan kecerdasan kita, Mbak. Ingat yang salah bukan hanya wanita itu, tapi Mas Tommy juga 'kan? Tepuk tangan nggak akan bunyi kalau cuma sebelah tangan."
Kalimat Kanaya bagai air es yang menyiram kepala Jihan. Kalimat tepuk tangan tidak akan berbunyi jika hanya satu tangan, menyadarkannya. Tommy juga menginginkan perselingkuhan ini. Tommy menikmatinya. Sebenarnya yang paling salah di sini adalah Tommy. Seberapa hebat pun seorang perempuan menggoda, kalau imannya kuat, pasti tidak akan kejadian. Buktinya ya seperti Haikal tadi. Kedua wanita itu begitu beringas menggodanya terang-terangan, namun Haikal terlihat terang-terangan menolak. Haikal bahkan menepis tangan-tangan nakal mereka. Jadi intinya di sini, bukan pelakornya saja yang mau, tetapi lakornya juga setuju. Kalau begitu untuk apa lagi ia melabrak Diana bukan? Toh memang suaminya juga kooperatif dan menikmatinya.
Memikirkan kebenaran kalimat Kanaya, Jihan tidak kuasa menjawab. Ia hanya berdiri terpaku dengan bibir yang bergetar dan air mata membanjir. Ia menyadari semua kebenaran kata-kata Kanaya. Hanya saja ia masih belum bisa menerima kenyataan. Kilasan-kilasan kejadian beberapa bulan lalu, semuanya berdesakan dalam benaknya. Mereka seakan berlomba-lomba ingin mengejeknya. Mengejek kenaifannya, hingga ia dengan mudah bisa dikelabuhi seperti ini. Keadaannya mungkin membuat Kanaya khawatir. Kanaya berkali-kali menanyakan apakah ia baik-baik saja.
"Mbak tidak apa-apa, Nay. Mbak hanya sakit hati saja," desah Jihan pilu.
"Kamu tau tidak, wanita di samping Mas Tommy itu namanya Diana. Diana itu mantannya Mas Tommy, sebelum Mas Tommy berpacaran dengan Mbak. Diana itu juga tetangga baru kami, Nay. Diana juga baru saja diceraikan suaminya, karena suaminya ingin menikahi sekretarisnya. Enam bulan lalu, Mbak siang malam menghiburnya. Membesarkan hatinya. Tapi lihat? Bagaimana balasannya pada, Mbak? Wajar 'kan kalau Mbak ingin mengunyeng-unyeng dirinya?" adu Jihan sedih. Jujur ia memang seperti anak kecil yang meminta pembenaran. Tapi apa yang dikatakannya itu benar bukan? Kanaya tidak mengatakan apa-apa. Kanaya hanya mengelus-elus punggungnya lembut. Berusaha terus membesarkan hatinya.
"Mbak, memang benar Diana itu jahat. Tapi coba dengarkan baik-baik kata-kata saya. Seberapa pun jahatnya Diana kepada Mbak, Mbak tidak boleh menyerangnya."
Jihan meradang. Sebenarnya Kanaya ini berpihak pada siapa. Saat ia ingin menyangkal kata-kata Kanaya, mengangkat tangannya. Isyarat tanpa kata kalau ia tidak ingin kalimatnya dipotong.
"Dengar dulu penjelasan saya, Mbak. Begini, kalau Mbak menyerang Diana, ia bisa melaporkan Mbak ke pihak yang berwajib atas dasar penganiayaan. Jika bukti visum membuktikan kalau ia terluka oleh serangan Mbak, Mbak bisa dipolisikan. Sampai di sini Mbak paham 'kan?"
Jihan mengangguk. Walau pahit, tapi apa yang dikatakan Kanaya itu memang benar. Jihan sekarang memahami konsekuensi apabila ia tetap bersikeras melabrak Diana. Ya, ia tau kalau melabrak Diana selain bisa membuatnya masuk penjara, ia juga hanya mempermalukan dirinya sendiri. Tommy toh bukan barang yang bisa dicuri, diambil atau dirampas. Tommy memang mau dengan Diana. Titik.
Tetapi sebagai seorang istri, rasa-rasanya berat sekali dipaksa harus menelan kenyataan ini. Dadanya kian berombak-ombak. Tangisnya yang tadi hanya berupa lelehan air mata tanpa suara, kini berubah menjadi isakan-isakan kecil. Akibatnya Niko jadi ikut-ikutan menangis karena melihatnya menangis. Demi Tuhan, hatinya perih bagai luka yang disiram dengan air garam.
Sesuatu pikiran melintasi benak Jihan. Tidak bisa begini. Ia harus mengakhiri semuanya. Cukup sudah selama ini ia mengalah. Untuk pertama kalinya, ia akan membuat satu keputusan besar tanpa campur tangan siapa pun. Dia adalah manusia yang mempunyai akal dan pikiran sendiri. Untuk itu, ia akan memutuskan nasibnya sendiri.
Kata-kata Kanaya membuat Jihan bungkam. Jihan sadar kalau ia memang tidak boleh menyerang Diana. Negara ini negara hukum. Hukum di negara ini akan melindungi setiap warga negaranya dari tindak pidana. Tetapi hukum tidak akan melindungi seorang istri dari tindak keji seorang pelakor. Maka jika ia menyerang Diana, Diana bisa membuat laporan pada pihak kepolisian, kalau dirinya adalah korban serangan brutal. Tetapi ia tidak bisa membela diri dengan mengatakan bahwa dirinya adalah korban perselingkuhan. Hukum memang tidak mengatur urusan dalam rumah tangga warganya. Kecuali ada laporan KDRT, yang dilengkapi dengan visum dari rumah sakit dan saksi-saksi. Ia akan kalah telak dalam hal ini.Namun Jihan tidak puas sebelum ia menangkap basah kecurangan Tommy dan Diana. Ia akan mengkonfrotasikan kecurigaannya secara langsung. Enam tahun berumah tangga membuat Jihan khatam dengan tindak tanduk Tommy. Jadi sebelum menuduh, Jihan ingin melihat sikap Tommy. Dan
"Mengapa kamu belum pulang juga? Kamu bodoh sekali. Memberikan singgasana kamu begitu saja kepada orang lain yang cuma kebetulan singgah. Perempuan itu pasti bagaikan mendapatkan lotere sekarang. Pakai otakmu, Jihan!"Syahnan yang bermaksud mengecek apakah Jihan sudah pulang ke rumahnya sendiri, naik pitam saat mendapati putrinya itu masih ada di rumahnya. Jihan ini keras kepala sekali. Hanya karena memergoki suaminya bersama dengan wanita lain, anak perempuannya ini langsung patah arang. Putrinya ini naif sekali. Laki-laki sesekali mencari kesenangan di luar rumah itu biasa. Namanya juga laki-laki. Yang penting mereka tetap pulang ke rumah.Syahnan yakin, Tommy tidak mencintai selingkuhannya itu. Tommy hanya iseng saja, seperti dirinya dan semua laki-laki kaya di muka bumi ini. Menantu laki-lakinya itu memiliki segalanya. Harta, karir, nama besar keluarga, dan juga pernikahan yang sempurna. Makanya Syahnan yakin, Tommy hanya sekedar
"Aku tau kamu pasti di sini,"Tommy menoleh saat merasakan elusan-elusan lembut di bahunya. Penampakan jemari lentik bercat kuku merah muda di bahunya, terus meraba dan menggoda. Gerakan-gerakan abstrak itu terus merambat maju mundur hingga mengelus rahang. Tanpa menoleh pun Tommy tau siapa wanita ini. Diana Paramitha."Lantas?" tanya Tommy pendek. Ia sedang tidak mood untuk bermain tebak-tebakan saat ini. Ia sedang punya kegiatan menarik lainnya saat ini. Yaitu menghisap tembakau dalam-dalam, sembari membayangkan wajah anak dan istrinya. Ia merindukan kehadiran keluarga kecilnya."Lantas apa kamu tidak mau bersenang-senang sedikit malam ini, heh? Toh Jihan sudah tau soal affairs kita." Diana kembali mengelus rahang persegi Tommy. Rahang jantan dengan bulu-bulu kasar sehari itu, membuat gairahnya bangkit seketika. Ia sudah cukup lama memimpikan saat-saat seperti itu. Saat di mana dirinya dan Tomm
"Apa kamu yakin bisa tinggal di sini hanya dengan Niko, dan Retno, Han? Kalian berdua itu perempuan. Mana Niko masih balita dan kamu tengah hamil besar. Ibu khawatir, Han."Rianti yang tengah duduk di atas sehelai tikar, miris melihat rumah kontrakan sangat sederhana yang dipilih oleh Jihan. Perseteruan hebat Jihan dengan Syahnan kemarin dulu, berujung pada pengusiran Syahnan pada putrinya sendiri. Syahnan marah besar karena Jihan tidak bersedia kembali pada Tommy. Dan konsekuensinya adalah Jihan harus keluar dari rumah, karena telah berani membangkang. Akibatnya ya seperti ini. Jihan mengontrak rumah sendiri.Dan hari ini Jihan pindah ke rumah kontrakannya. Sedari pagi tadi, dirinya dan Retno, salah seorang ART di rumahnya, membantu Jihan pindahan. Tidak repot memang karena putrinya memang tidak membawa apapun dari rumahn
Jihan ingin sekali membalikkan tubuh, saat melihat mobil Tommy berada di depan rumah kontrakannya. Namun akhirnya Jihan mengurungkan niatnya. Jihan berpikir, sejauh apapun ia berlari, Tommy tetap akan menjadi bagian dari hidupnya. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Tommy tetaplah ayah dari anak-anaknya. Makanya Jihan memutuskan untuk tidak lagi menghindari Tommy. Mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Sudah seharusnya kalau mereka bisa duduk berdua dan menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik.Saat Jihan kian mendekati mobil yang terparkir, ternyata mesin mobil dalam keadaan menyala. Itu artinya Tommy saat ini menunggunya di dalam mobil. Dan bukan di rumahnya. Pasti Retno tidak mengizinkan Tommy masuk. ART ibunya itu, ternyata memang bisa diandalkan."Kamu dari mana saja, Han?" Melihat kehadirannya, Tommy segera keluar dari mobil."Ada urusan sebentar," jawab Jihan singkat. Ia malas berhandai-handai dengan
Jihan memandang seantero warung dengan puas. Tidak sia-sia ia menuruti pemilik warung yang lama yang meminta waktu seminggu penuh untuk merenovasi warung. Karena warung yang tadinya hanya warung sederhana, kini tampak lebih artistik dan asri. Tidak dipungkiri, pelanggan zaman sekarang menyukai tempat yang cantik, agar lebih menarik saat mereka berselfie ria. Makanan lezat bukan lagi satu-satunya daya tarik sekarang.Jihan berjalan sedikit ke luar warung. Memindai penampakan warung dari jarak yang lebih jauh. Memang warung ini tampak jadi lebih artistik. Konsep yang ditampilkan Pak Imran ini adalah konsep seperti sedang makan di rumah sendiri. Warung yang lumayan luas ini di bagi menjadi dua bagian. Di bagian depan dengan meja dan kursi biasa. Sementara di belakangnya di buat lesehan. Delapan pasang kursi-kursi kayu berikut mejanya sudah tersusun rapi. Begitu juga tikar lebar dan meja-meja kecil untuk lesehan. Jujur, Jihan merasa uang sewa yang dit
Hari kedua berjualan. Sedari pagi Jihan dengan semangat mengajari Retno meracik bumbu, mengoreng lele serta ayam. Kandungannya sudah semakin tua. Dan bulan depan ia sudah akan melahirkan. Dengan begitu otomatis warung akan menjadi tanggung jawab Retno. Makanya ia mengajari Retno cara memasak, agar terbiasa saat nanti ia tinggal."Ingat ya, Ret. Saat melakukan proses ungkep, masak ayamnya cukup sampai mendidih saja. Tidak perlu sampai matang. Kemudian matikan kompor dan biarkan dingin. Jika sudah dingin, masukkan ayam bersama dengan kuahnya kedalam kulkas semalaman. Tapi ingat, jangan disimpan di freezer. Cukup di tempat biasa saja. Nah, setelah semalaman didinginkan, masak lagi hingga ayam matang dan airnya menyusut. Baru ayamnya bisa kamu goreng setelah ada pelanggan. Jadi selain gurih, pelanggan akan makin berselera makan karena ayamnya disajikan panas-panas. Mengerti, Ret?"
"Siapa laki-laki ini, Bu Jihan?" Azzam melirik Tommy sekilas. Ia sangat mengenal Tommy. Seorang old money klan Wiranata. Bisnis mereka meliputi bidang otomotif, garmen dan perhotelan. Tommy juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang jarang membawa pasangannya ke publik. Makanya ia bertanya hanya untuk menegaskan, apakah benar Tommy adalah suami Jihan."Dia... Tommy, suami saya Pak Azzam, Pak Imran," jawab Jihan gagap."Pak Imran adalah pemilik warung ini, Mas. Dan Pak Azzam adalah rekan Pak Imran. Jihan hanya menyewa di sini," Jihan mengucapkan kata menyewa sembari menatap Tommy penuh arti. Secara tersirat ia meminta Tommy untuk tidak berbuat macam-macam di sini. Semoga saja Tommy mengerti. Sungguh ia malu kalau Tommy sampai mengamuk dan menjadikan masalah pribadi mereka dikonsumsi oleh orang lain. Bagaimanapun tidak baiknya hubungannya saat ini dengan Tommy, ia tidak suka bila ada mata dan telinga lain yang ikut mendengarnya. Se