"Aku tau kamu pasti di sini,"
Tommy menoleh saat merasakan elusan-elusan lembut di bahunya. Penampakan jemari lentik bercat kuku merah muda di bahunya, terus meraba dan menggoda. Gerakan-gerakan abstrak itu terus merambat maju mundur hingga mengelus rahang. Tanpa menoleh pun Tommy tau siapa wanita ini. Diana Paramitha.
"Lantas?" tanya Tommy pendek. Ia sedang tidak mood untuk bermain tebak-tebakan saat ini. Ia sedang punya kegiatan menarik lainnya saat ini. Yaitu menghisap tembakau dalam-dalam, sembari membayangkan wajah anak dan istrinya. Ia merindukan kehadiran keluarga kecilnya.
"Lantas apa kamu tidak mau bersenang-senang sedikit malam ini, heh? Toh Jihan sudah tau soal affairs kita." Diana kembali mengelus rahang persegi Tommy. Rahang jantan dengan bulu-bulu kasar sehari itu, membuat gairahnya bangkit seketika. Ia sudah cukup lama memimpikan saat-saat seperti itu. Saat di mana dirinya dan Tommy bisa memadu kasih tanpa takut ketahuan lagi.
"Aku sedang tidak berminat, Dian. Tolong tinggalkan aku sendiri," jawab Tommy acuh di tengah kepulan asapnya. Setelah ketahuan seperti ini, ia malah sudah tidak merasakan serunya sensasi bermain kucing-kucingan lagi.
"Ayolah, Tom. Aku tau kamu sedang banyak pikiran. Makanya kamu perlu merelaksasi diri."
Diana belum mau menyerah. Sekaranglah saatnya kalau ia ingin menggantikan posisi Jihan. Kalau ia berhasil merayu Tommy dan mengenyahkan Jihan dari pikiran pacar gelapnya ini, ia tinggal menghitung hari kemenangan. Makanya diperlukan usaha maksimal untuk menggoalskan semua rencana-rencananya.
Karena Tommy tetap diam dengan tatapan nyalang, Diana merubah tak tik. Ia makin mendekatkan diri pada Tommy. Sementara jemarinya yang tadi hanya mengelus-elus rahang dan bahu Tommy mulai turun dan makin turun. Bergerak dan gerilya seperti ular. Mengincar titik-titik sensitif di tubuh Tommy. Posisinya saat ini memeluk mesra Tommy dari belakang. Dadanya sengaja ia busungkan hingga menempel erat ke punggung Tommy. Sungguh ia sangat menginginkan Tommy malam ini.
"Kamu mengerti bahasa indonesia 'kan, Dian?" Tommy menepis jemari nakal Diana yang bermaksud mengelus bawah perutnya. Diana memang nekad. Sifat beraninya ini terkadang memang menantang. Tetapi di waktu yang tidak tepat terasa memuakkan. Diana ini tidak bisa melihat sikon.
"Sombong sekali kamu, Tommy! Kemarin-kemarin kamu semangat sekali bercinta. Di mana pun, kapan pun, kamu selalu ada untukku. Kenapa sekarang kamu menolak?" Alis Diana menungkik tajam. Ia geram melihat sikap jual Tommy.
"Sudah kukatakan tadi, kalau aku sedang tidak mood. Bahasa kasarnya aku sedang tidak ingin bercinta denganmu. Kamu tidak tuli bukan? Jadi jangan menanyakan hal yang sudah kamu ketahui jawabannya. Membosankan. Mengerti?" sergah Tommy kasar.
"Heh, bosan? Maksudmu, kamu sudah bosan padaku seperti kamu bosan pada Jihan. Begitu?" sembur Diana geram. Elusan tangannya sontak berhenti.
Mendengar nama Jihan disebut-sebut, menyulut emosi Tommy. Ia berbalik dan berdiri dari kursi. Kini posisi mereka berdua saling berhadapan.
"Jangan membawa-bawa nama Jihan dalam hubungan sesaat kita. Lagi pula siapa bilang kalau aku bosan pada Jihan? Kamu jangan sembarangan berasumsi sendiri!" rutuk Tommy geram. Ia tidak munafik. Ia memang bukan suami yang baik. Ia suka sesekali jajan di luar, atau sekedar menerima undangan dari wanita-wanita haus belaian seperti Diana ini. Tetapi ia tidak pernah sekalipun bosan pada Jihan, atau berniat meninggalkan istrinya yang sholeha itu. Ia mencintai Jihan.
Diana makin emosi mendengarnya. Dulu demi dirinya, Tommy menghianati Jihan. Dan kini demi membela Jihan, Tommy bersikap kasar padanya. Dada Diana hangus karena api cemburu.
"Tidak bosan? Lantas kenapa kamu menghianati dia, dengan berselingkuh denganku? Kenapa? Coba jawab?" Diana berkacak pinggang. Ia tidak terima melihat Tommy membela Jihan. Padahal di waktu lalu, Tommy bersedia meluangkan waktu untuknya, dan meninggalkan Jihan berminggu-minggu di rumah. Setiap Tommy keluar kota, Tommy selalu membawanya. Bukan Jihan! Itu berarti di hati Tommy dirinya lebih penting daripada Jihan bukan?
"Karena kamu menawarkan diri tentu saja. Ditawari barang gratis tanpa komitmen, laki-laki mana yang menolak? Aku cuma mengambil apa yang kamu tawarkan. Tidak lebih. Paham kamu!"
"Dasar laki-laki buaya. Habis manis sepah dibuang. Kamu brengsek, Tommy!" Diana memukuli dada Tommy geram. Ia tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti ini dari Tommy. Biasanya mulut Tommy ini semanis mandu saat melancarkan rayuan.
"Memangnya kamu tidak? Kita memang sama-sama orang brengsek, makanya kita bisa berselingkuh. Lagi pula habis manis sepah dibuang apaan? Memangnya kamu siapa? Anak perawan? Masalah kata laki-laki buaya? Memangnya buaya tidak ada yang betina? Padahal contohnya sudah ada di depan mata! Ya kamu ini buaya betinanya!" tuding Tommy.
Kalimat provokatif Diana tadi menyulut emosi Tommy. Istimewa hatinya sedang gundah gulana seperti ini. Ia seperti mendapat panggung untuk melampiaskan segala kegalauannya.
Diana terperangah. Sungguh ia tidak mengira kalau Tommy sampai hati mengatainya seperti ini. Di mana Tommy yang dulu begitu penurut saat ia menginginkan sesuatu? Tommy yang begitu sabar, setiap kali ia merajuk? Diana tidak menyangka kalau kepribadian Tommy bisa berubah secepat ini.
"Dengar Dian, daripada kita saling memaki, sebaiknya kamu pergi. Aku sungguh-sungguh sedang tidak mood untuk berbicara atau melakukan apapun denganmu saat ini. Pergilah. Jangan membuatku mengeluarkan kata-kata yang lebih menyakitkan dari ini." Tommy kembali duduk. Meraih sisa whiskey, dan meneguknya nikmat.
"Baiklah. Aku mengerti. Mungkin kamu sedang tidak dalam keadaan yang baik untuk berbicara. Tetapi jika kamu membutuhkan teman mengobrol, kamu tau 'kan ke mana harus mencariku? Aku akan selalu ada untukmu. Aku menunggumu di apartemen ya, Tom? I love you."
Diana akhirnya mengalah. Ia masih menginginkan Tommy. Oleh karenanya ia memilih untuk mengalah dulu. Ia akan melihat berapa lama Tommy tahan untuk tidak mencarinya. Menjadi seorang pelakor seperti dirinya ini membutuhkan kesabaran tingkat dewa.
Tommy hanya mengangguk kecil. Namun bahasa tubuhnya tetap sama. Dingin dan acuh tak acuh. Sepertinya anggukan kepalanya itu hanya sekedar upaya agar ia segera menyingkir dari club ini.
Diana meradang. Tidak bisa begini. Ia tidak boleh membuat Tommy merasa tidak nyaman dengannya dengan bertingkah seperti pacar yang cerewet. Ia harus menjadi tempat Tommy pulang, atas segala kegaulannya. Itulah kemenangannya sebagai seorang pacar gelap. Membuat nyaman Tommy saat ia lelah dengan segala tingkah istrinya yang sok baik itu. Ia tidak boleh bersikap sama seperti Jihan. Ia harus tetap menjadi pelabuhan penghibur Tommy. Laki-laki memang suka kalau egonya dielus-elus bukan?
"Aku jalan dulu ya, Tom? Kalau kamu lelah dan ingin merelaksasi diri, Aku ada di apartemen? Aku akan selalu menunggumu pulang jam berapa pun dan kapan pun kamu pulang. Jangan lupakan itu." Diana kembali berusaha melembutkan hati Tommy.
Karena Tommy tidak lagi merespon kalimatnya, Diana pun berlalu. Namun ia sempat mencercahkan sekecupan hangat di pipi Tommy, sembari mengucapkan kata i love you sekali lagi. Diana telah memutuskan, untuk sementara ia akan mengalah, semengalah-mengalahnya. Ia harus menahan egonya agar bisa menyelesaikan tujuannya. Ia akan terus bersabar menunggu Tommy benar-benar bosan pada kekeraskepalaan Jihan, dan akhirnya menemukan kenyamanan didirinya. Dan saat itulah, goalnya akan ia eksekusi. Ia siap menggantikan Jihan menjadi istri sah Tommy. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi.
***
"Han, di depan ada Tommy dan kedua mertuamu. Ayo, kamu temui dulu mereka. Ada ayahmu juga di sana." Jihan yang tengah melipat-lipat pakaian, menghentikan kegiatannya. Ibunya berdiri di ambang pintu kamar. Membawa kabar yang seharusnya ia dengar delapan hari yang lalu.
"Baik, Bu. Nanti Jihan keluar. Jihan mengganti pakaian dulu."
"Baik. Ibu menunggumu di depan ya? Ingat walau hatimu sedang panas, kepalamu harus tetap dingin. Selesaikan masalah kalian dengan baik. Satu hal yang harus kamu ingat adalah, kamu sebentar lagi akan menjadi ibu dari dua orang anak, dan hidup itu tidak mudah. Ibu mengatakan ini bukan untuk menakutimu. Tetapi mengingatkanmu. Namun Ibu akan tetap mendukung apapun keputusan yang kamu ambil, walau ayahmu tidak. Mengerti, Han?"
"Mengerti, Bu. Ibu duluan saja. Sebentar lagi Jihan menyusul."
Setelah ibunya keluar dan pintu kamarnya tertutup, Jihan menggeser tumpukan pakaiannya ke samping koper yang telah terbuka. Selanjutnya ia beranjak ke depan lemari, dan meraih kulot berpinggang karet serta sehelai kaos oblong. Dengan cepat ia mengganti dasternya dengan kulot dan kaos. Setelah memasang kerudungnya dan mengecek penampilannya sekali lagi, barulah Jihan membuka pintu kamar dan menutupnya kembali perlahan. Ia takut kalau Niko terbangun.
Sejurus kemudian Jihan telah tiba di ruang tamu. Setelah menyapa dan menyalami suami dan kedua mertuanya, Jihan duduk di sofa yang berdekatan dengan kedua orang tuanya. Ia melewati sofa di samping Tommy. Jihan memang sengaja menghindari Tommy. Entah mengapa, sejak mengetahui bahwa suaminya ini telah berselingkuh, Jihan merasa tidak nyaman berada di dekatnya.
"Nah Jihan, berhubung suami dan kedua mertuamu telah datang menjemput, maka Ayah anggap persoalan ini selesai sampai di sini saja. Tommy tadi telah meminta maaf pada Ayah soal kekhilafannya dengan perempuan yang bernama Diana itu. Dan Ayah harap, kamu juga bisa berbesar hati untuk memaafkan kekhilafan Tommy. Sudah sewajarnya suami istri saling memaafkan bukan?"
Kalimat ayahnya membuat Jihan terdiam. Terkadang ia merasa heran melihat cara berpikir ayahnya yang terlalu menggampangkan perasaan perempuan. Hanya karena dirinya doyan berselingkuh, ayahnya jadi menganggap bahwa perselingkuhan itu seperti permainan petak umpet yang mengasyikan. Kalau tidak ketahuan lanjut, kalau ketahuan minta maaf karena khilaf. Ayahnya mencari pembenaran atas kegemarannya sendiri. Ayahnya egois.
"Ayahmu benar Jihan. Suami istri itu harusnya saling mengerti, saling mengayomi dan saling memaafkan. Tommy sebenarnya sudah berniat menjemputmu pulang, pada hari pertama kamu pergi. Hanya saja Ayah dan Ibu tidak setuju. Ayah dan Ibu ingin memberimu pelajaran, bahwa tidak baik sedikit-sedikit seorang istri minggat setiap ada masalah. Tidak baik kalau kamu grasa grusu dan emosi tidak menentu, sebelum kamu mendengarkan penjelasan Tommy dulu. Namun kini Ayah dan Ibu merasa, kami sudah cukup memberi pelajaran padamu, agar di waktu lain kamu tidak terbiasa minggat. Makanya kami sekarang ingin menjemputmu pulang." Kali ini Anwar, ayah mertuanyalah yang bersuara.
Sebenarnya yang salah siapa sekarang? Tommy yang selingkuh, atau dirinya yang minggat? Mengapa semua orang seolah-olah menutup sebelah mata atas kesalahan Tommy?
"Jadi menurut Ayah, suami istri itu harus saling mengerti, saling mengayomi dan saling memaafkan. Tidak boleh grasa grasu dalam bertindak, sebelum mendengarkan penjelasannya. Lantas mengapa saat Jihan bertemu dengan Hafiz dulu, Ayah tidak menasehatkan hal yang sama pada Tommy? Mengapa Ayah justru setuju kalau Tommy akan menceraikan Jihan, padahal Ayah dan Tommy belum menyelidiki kebenarannya?"
Kalimatnya membuat Anwar dan Tommy terdiam. Wajah keduanya merah padam dengan rahang yang bergerak-gerak. Alih-alih merasa malu karena telah melakukan standar ganda, ayah dan anak ini malah tampak marah.
Ingatan Jihan memutar kembali kejadian tahun lalu. Di mana salah seorang teman SDnya, Hafiz, mengajaknya bertemu untuk membahas masalah reuni, di lobby hotel miliknya. Di saat yang sama, salah seorang rekan Tommy, melihatnya masuk ke dalam hotel bersama Hafiz. Tommy, tanpa mau mendengar kejadian yang sebenarnya, mengamuk dan berniat menceraikannya. Kedua mertuanya juga ikut-ikutan mengecamnya. Mereka mendukung penuh niat Tommy tanpa menyelidiki kebenarannya. Setelah Wita, istri Hafiz memberi kesaksian kalau ia juga ada saat pertemuan itu, barulah Tommy mengurungkan niatnya. Itu pun setelah Tommy memeriksa CCTV hotel dan melihat bahwa memang pertemuan itu juga melibatkan Wita.
Dan sekarang mereka semua dengan entengnya mengatakan bahwa kesalahan Tommy ini hanyalah kekhilafan semata. Bahwa seharusnya suami istri itu saling memaafkan. Terlihat sekali standar gandanya bukan?
"Tidak usah membahas-bahas masa lalu yang tidak ada relevansinya dengan masa kini. Sekarang Mas tanya, kamu mau pulang atau tidak?" tanya Tommy singkat.
"Tidak," jawab Jihan tak kalah singkat.
"Maksud kamu apa? Kamu masih mau tinggal di sini dulu? Sampai berapa lama? Kamu sudah delapan hari ini meninggalkan rumah!"
"Bukan," Jihan menggeleng tegas.
"Lantas?" Tommy kehilangan kesabaran mendengar kalimat-kalimat pendek Jihan.
"Jihan tidak mau pulang lagi ke rumah kita, karena Jihan ingin bercerai."
"Kamu sudah gila! Mas tidak ada hubungan apapun lagi dengan Diana. Mas hanya khilaf. Mas tidak mau lagi mendengar kata cerai dari mulutmu!"
Tommy bangkit dari sofa. Ia sama sekali tidak menyangka kalau Jihan sampai berani meminta cerai darinya. Istimewa dalam keadaan hamil tua seperti ini. Lagi pula, dari dulu pun ia memang tidak punya hubungan apapun dengan Diana, kecuali hanya saling melampiaskan nafsu. Tidak ada masalah hati di antara mereka. Apalagi sekarang-sekarang ini. Ia bahkan sudah kehilangan minat untuk bermesraan dengan Diana. Mungkin efek dophaminnya sudah habis karena sudah ketahuan. Ia tidak merasakan sensasi apapun lagi terhadap Diana. Makanya ia tidak terima kalau Jihan sampai meminta cerai darinya. Demi apapun, ia tidak akan pernah menceraikan Jihan!
"Mas, selingkuh itu bukan suatu kekhilafan. Tapi kesengajaan. Dengan Mas berani berselingkuh, itu artinya Mas sudah tidak mencintai Jihan dan Mas tidak takut kehilangan Jihan. Karena apa? Karena sudah ada orang lain yang akan menggantikan Jihan. Lagi pula apa Mas pikir hubungan kita bisa kembali seperti biasa setelah kejadian ini? Tidak bisa, Mas. Seumur jam, setiap menit, setiap detik, Jihan akan selalu was was memikirkan apa yang Mas lakukan di luar sana. Terus menduga-duga apakah Mas sedang melakukan hal-hal yang tidak wajar tanpa sepengetahuan Jihan. Lama kelamaan Mas akan lelah terus dicurigai, dan Jihan muak dengan pikiran Jihan sendiri. Dan itu semua sangat melelahkan, Mas. Makanya Jihan ingin berpisah. Kita sudahi saja hubungan kita sampai di sini," pungkas Jihan pasrah. Ia sudah lelah bolak balik memikirkan masalah ini. Tetap bersama namun tidak adanya kepercayaan satu sana lain, akan membuat rumah tangga mereka rapuh.
"Kamu bicara apa, Jihan? Kamu ingin bercerai dengan perut sebesar itu? Ayah tidak setuju!" Syahan memukul meja. Putrinya ini bodoh sekali. Hanya karena masalah sepele, ia mau bercerai. Kalau sampai itu terjadi, perempuan yang bernama Diana itulah yang akan bertepuk tangan. Perempuan itu akan bersanding bahagia dengan Tommy, sementara putrinya akan menjadi janda. Bagaimana ia tidak emosi mendengarnya?
"Maaf, Yah. Jihan tetap pada keinginan Jihan. Jihan sudah mempertimbangkannya masak-masak. Jihan tidak ingin dibunuh pelan-pelan oleh racun dalam pikiran Jihan sendiri. Jihan tetap ingin bercerai. Titik."
"Kamu ini lemah sekali! Hanya karena satu perempuan saja kamu sudah kalah. Contoh ibumu, atau ibu mertuamu. Mereka tetap setegar karang walau suami-suami mereka berpoligami. Mereka adalah perempuan-perempuan hebat dalam kehidupan kami. Mengapa kamu tidak mencontoh mereka berdua?" sembur Syahnan lagi.
Jihan tersenyum maaygul. Baiklah, ia sudah terlalu lama menggenggam bara. Sudah saatnya ia melepas bara itu dari tangannya, agar para laki-laki di ruangan ini sadar. Bahwa betapa mereka telah salah menilai perasan pasangan mereka masing-masing.
"Istri-istri ayah berdua ini walau dipoligami tetap setegar karang? Kuat? Hebat? Apakah Ayah berdua ini pernah bertanya, apa sesungguhnya yang istri-istri Ayah berdua ini rasakan? Pernah tidak?" Pertanyaan Jihan membuat Syahnan dan Anwar membuang pandangan. Mereka tidak menyangka kalau Jihan berani memprotes mereka seperti ini.
"Asal Ayah tau, Jihan adalah saksi hidup bagaimana Ibu menangis setiap malam, saat Ibu menyangka kita semua sudah terlelap. Jihan adalah saksi hidup bagaimana Ibu memukuli dadanya sendiri, setiap Ayah meminta izin untuk menikah lagi." Syahnan tergugu. Ia sama sekali tidak mengira kalau Rianti melakukan semua itu. Sepengetahuannya Rianti itu tegar dan kuat. Dan kini saat ia melihat Rianti menyusuti air matanya kala Jihan bercerita, Syahnan telah menarik satu kesimpulan. Bahwa apa yang dikatakan putrinya itu benar.
Jihan kini menoleh pada ayah mertuanya. Ia juga ingin ayah mertuanya mengetahui satu hal. Bahwa sesungguhnya ayah mertuanya ini telah menyiksa batin ibu mertuanya sampai ke titik nadir.
"Yah, apakah Ayah tau kalau ibu pernah dua kali melakukan percobaan bunuh diri saat Ayah menikah lagi dua tahun lalu?"
"Jihan. Sudah! Jangan dilanjutkan." Fatimah Wiranata buru-buru meminta menantunya menghentikan kalimatnya. Ia tidak mau kalau kekalahannya, diketahui oleh suaminya. Ia tidak ingin terlihat lemah!
"Sekarang ayah berdua tau 'kan mengapa Jihan ingin bercerai? Dan tekad Jihan sudah bulat. Jihan tidak akan mengubah keputusan Jihan. Jihan akan segera mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan!"
"Apa kamu yakin bisa tinggal di sini hanya dengan Niko, dan Retno, Han? Kalian berdua itu perempuan. Mana Niko masih balita dan kamu tengah hamil besar. Ibu khawatir, Han."Rianti yang tengah duduk di atas sehelai tikar, miris melihat rumah kontrakan sangat sederhana yang dipilih oleh Jihan. Perseteruan hebat Jihan dengan Syahnan kemarin dulu, berujung pada pengusiran Syahnan pada putrinya sendiri. Syahnan marah besar karena Jihan tidak bersedia kembali pada Tommy. Dan konsekuensinya adalah Jihan harus keluar dari rumah, karena telah berani membangkang. Akibatnya ya seperti ini. Jihan mengontrak rumah sendiri.Dan hari ini Jihan pindah ke rumah kontrakannya. Sedari pagi tadi, dirinya dan Retno, salah seorang ART di rumahnya, membantu Jihan pindahan. Tidak repot memang karena putrinya memang tidak membawa apapun dari rumahn
Jihan ingin sekali membalikkan tubuh, saat melihat mobil Tommy berada di depan rumah kontrakannya. Namun akhirnya Jihan mengurungkan niatnya. Jihan berpikir, sejauh apapun ia berlari, Tommy tetap akan menjadi bagian dari hidupnya. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Tommy tetaplah ayah dari anak-anaknya. Makanya Jihan memutuskan untuk tidak lagi menghindari Tommy. Mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Sudah seharusnya kalau mereka bisa duduk berdua dan menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik.Saat Jihan kian mendekati mobil yang terparkir, ternyata mesin mobil dalam keadaan menyala. Itu artinya Tommy saat ini menunggunya di dalam mobil. Dan bukan di rumahnya. Pasti Retno tidak mengizinkan Tommy masuk. ART ibunya itu, ternyata memang bisa diandalkan."Kamu dari mana saja, Han?" Melihat kehadirannya, Tommy segera keluar dari mobil."Ada urusan sebentar," jawab Jihan singkat. Ia malas berhandai-handai dengan
Jihan memandang seantero warung dengan puas. Tidak sia-sia ia menuruti pemilik warung yang lama yang meminta waktu seminggu penuh untuk merenovasi warung. Karena warung yang tadinya hanya warung sederhana, kini tampak lebih artistik dan asri. Tidak dipungkiri, pelanggan zaman sekarang menyukai tempat yang cantik, agar lebih menarik saat mereka berselfie ria. Makanan lezat bukan lagi satu-satunya daya tarik sekarang.Jihan berjalan sedikit ke luar warung. Memindai penampakan warung dari jarak yang lebih jauh. Memang warung ini tampak jadi lebih artistik. Konsep yang ditampilkan Pak Imran ini adalah konsep seperti sedang makan di rumah sendiri. Warung yang lumayan luas ini di bagi menjadi dua bagian. Di bagian depan dengan meja dan kursi biasa. Sementara di belakangnya di buat lesehan. Delapan pasang kursi-kursi kayu berikut mejanya sudah tersusun rapi. Begitu juga tikar lebar dan meja-meja kecil untuk lesehan. Jujur, Jihan merasa uang sewa yang dit
Hari kedua berjualan. Sedari pagi Jihan dengan semangat mengajari Retno meracik bumbu, mengoreng lele serta ayam. Kandungannya sudah semakin tua. Dan bulan depan ia sudah akan melahirkan. Dengan begitu otomatis warung akan menjadi tanggung jawab Retno. Makanya ia mengajari Retno cara memasak, agar terbiasa saat nanti ia tinggal."Ingat ya, Ret. Saat melakukan proses ungkep, masak ayamnya cukup sampai mendidih saja. Tidak perlu sampai matang. Kemudian matikan kompor dan biarkan dingin. Jika sudah dingin, masukkan ayam bersama dengan kuahnya kedalam kulkas semalaman. Tapi ingat, jangan disimpan di freezer. Cukup di tempat biasa saja. Nah, setelah semalaman didinginkan, masak lagi hingga ayam matang dan airnya menyusut. Baru ayamnya bisa kamu goreng setelah ada pelanggan. Jadi selain gurih, pelanggan akan makin berselera makan karena ayamnya disajikan panas-panas. Mengerti, Ret?"
"Siapa laki-laki ini, Bu Jihan?" Azzam melirik Tommy sekilas. Ia sangat mengenal Tommy. Seorang old money klan Wiranata. Bisnis mereka meliputi bidang otomotif, garmen dan perhotelan. Tommy juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang jarang membawa pasangannya ke publik. Makanya ia bertanya hanya untuk menegaskan, apakah benar Tommy adalah suami Jihan."Dia... Tommy, suami saya Pak Azzam, Pak Imran," jawab Jihan gagap."Pak Imran adalah pemilik warung ini, Mas. Dan Pak Azzam adalah rekan Pak Imran. Jihan hanya menyewa di sini," Jihan mengucapkan kata menyewa sembari menatap Tommy penuh arti. Secara tersirat ia meminta Tommy untuk tidak berbuat macam-macam di sini. Semoga saja Tommy mengerti. Sungguh ia malu kalau Tommy sampai mengamuk dan menjadikan masalah pribadi mereka dikonsumsi oleh orang lain. Bagaimanapun tidak baiknya hubungannya saat ini dengan Tommy, ia tidak suka bila ada mata dan telinga lain yang ikut mendengarnya. Se
Waktu telah menunjukkan pukul 08.05 WIB. Jihan bersiap-siap menutup warung. Dagangannya laris manis hari ini. Alhamdullilah. Jihan memasukkan sisa bahan makanan ke dalam kulkas. Membuang sampah, memeriksa kompor gas dan keran air. Setelah memastikan semuanya aman, barulah Jihan mematikan lampu-lampu dan mengunci pintu warung. Hari ini pulang sendirian. Retno telah lebih dulu pulang karena kurang enak badan. Setelah memeriksa pintu sekali lagi, Jihan berjalan ke seberang warung. Ia bermaksud singgah ke supermaket sebentar. Susu Niko sudah hampir habis, begitu juga dengan sembako di rumah.Karena hari ini ia mendapat rezeki berlebih, Jihan ingin berbelanja sebutuhnya dulu. Pendapatannya hari ini tidak boleh ia habiskan. Ia masih membutuhkan modal untuk berjualan. Sekarang ia sangat berhati-hati dalam menghitung pemasukan dan pengeluaran. Tommy benar-benar tidak menafkahinya lagi. Makanya setiap ia mempunyai rezeki, yang pertama ia beli adalah susu N
Sudah hampir dua minggu ini Jihan berjualan. Selama itu pula Jihan belajar untuk memahami pasar. Bahwa terkadang orang bosan karena menu yang itu-itu saja. Untuk itulah hari ini Jihan mencoba beberapa menu baru. Namun ia tidak mau menghilangkan ciri khas warungnya, yaitu lele dan ayam. Jihan hanya mengubah variasi rasanya. Jika selama ini ia hanya mengandalkan menu lele plus sambal dan lalap. Kini Jihan menvariasikannya dengan membuat lele saus padang, lele saus tiram, serta lele goreng mentega. Jihan berusaha membangun komunitas pencinta lele untuk memperkuat pasarnya. Dengan mempunyai ciri khas tersendiri, Jihan berharap pembeli akan mengingat warungnya sebagai pengolah ikan lele berbagai rasa.Sedari pagi, Jihan, Retno dan Narti, pelayan yang baru ia pekerjakan seminggu lalu, sibuk mempersiapkan ketiga menu baru tersebut. Jihan tidak berani menyetok banyak. Ia hanya mencoba-coba selera pasar saja dulu. Jika responnya baik, baru ia akan menjadikan ketiga
Jihan mengelus-elus pinggangnya yang terasa nyeri. Sebenarnya sudah sedari subuh tadi, ia merasa nyeri di punggung bawah dan menyebar hingga ke area panggulnya. Namun ia tidak begitu mempermasalahkannya. Ia tetap melanjutkan kesibukannya meracik bumbu-bumbu. Apalagi tidak lama kemudian ibunya menelepon. Ibunya sedang kurang enak badan, dan tidak bisa menjaga Niko di rumah hari ini. Itu artinya Niko akan ia bawa ke warung. Kesibukannya kini menjadi dua kali lipat. Selain harus mengurus bahan makanan untuk berjualan, ia juga harus mempersiapkan segala kebutuhan Niko selama di warung. Oleh karenanya rasa sakitnya itu ia abaikan."Bu, Pak Azzam memesan lele saus padang. Banyakin sambelnya katanya, Bu." Retno yang setengah berlari memesan menu khusus untuk Azzam. Setelah menitip pesan, Retno segera kembali ke depan melayani para pelanggan. Jam makan siang adalah jam tersibuk mereka semua. Namu
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima