Jihan ingin sekali membalikkan tubuh, saat melihat mobil Tommy berada di depan rumah kontrakannya. Namun akhirnya Jihan mengurungkan niatnya. Jihan berpikir, sejauh apapun ia berlari, Tommy tetap akan menjadi bagian dari hidupnya. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Tommy tetaplah ayah dari anak-anaknya. Makanya Jihan memutuskan untuk tidak lagi menghindari Tommy. Mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Sudah seharusnya kalau mereka bisa duduk berdua dan menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik.
Saat Jihan kian mendekati mobil yang terparkir, ternyata mesin mobil dalam keadaan menyala. Itu artinya Tommy saat ini menunggunya di dalam mobil. Dan bukan di rumahnya. Pasti Retno tidak mengizinkan Tommy masuk. ART ibunya itu, ternyata memang bisa diandalkan.
"Kamu dari mana saja, Han?" Melihat kehadirannya, Tommy segera keluar dari mobil.
"Ada urusan sebentar," jawab Jihan singkat. Ia malas berhandai-handai dengan Tommy. Semenjak mengetahui tingkah liar Tommy di luar, Jihan sudah tidak merasa nyaman lagi berdekatan dengan suaminya ini. Jihan melanjutkan langkah ke depan rumah, dan membuka pintu dengan kuncinya sendiri.
"Perut kamu sudah sebesar ini. Untuk apa lagi kamu keluar-keluar rumah sendirian? Bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa di jalan?" Tommy yang membuntuti langkahnya kembali sok menasehati. Jihan mual mendengar kekhawatiran Tommy yang terlambat padanya.
"Ya tidak bagaimana-bagaimana. Di jalanan itu banyak orang. Kalaupun Jihan kenapa-kenapa, pasti akan ada orang yang menolong," sahut Jihan acuh. Sungguh, ia sedang lelah lahir batin saat ini. Rasa kecewa akibat tidak mendapatkan warung incaran membuat moodnya terjun bebas. Ia sedang tidak butuh basa basi busuk sekarang.
Jihan mengeluarkan serenceng kunci dari tas tangannya. Ia sengaja tidak memanggil Retno untuk membuka pintu, karena tidak ingin membangunkan Niko. Jam-jam seperti ini adalah jam putranya itu tidur siang. Benar saja. Setelah pintu terbuka, tidak terdengar suara apapun dari dalam rumah. Pasti keduanya tengah tertidur.
Jihan menghempaskan pinggul perlahan ke atas tikar. Sungguh ia begah sekali duduk dalam posisi menyamping seperti ini. Perut buncitnya tertekan oleh pahanya sendiri. Belum lagi pinggangnya serasa patah karena harus menahan posisi punggungnya. Jujur, pada saat-saat seperti ini ia merindukan sofa empuknya. Hidup sederhana memang membutuhkan perjuangan luar biasa. Kenyataan memang semiris itu.
"Kamu itu dari dulu selalu begitu. Selalu menggampangkan masalah. Mereka itu orang lain. Bukan siapa-siapamu. Jangan terlalu yakin." Tommy ikut duduk bersamanya di atas tikar.
"Orang lain juga mempunyai hati nurani kok, Mas. Malah terkadang orang-orang mengenal kita dengan baik yang justru tidak punya nurani. Jangan suka suudzon dengan orang yang bahkan tidak Mas kenal."
"Kamu menyindir Mas, Jihan?" Tommy meradang. Jihan hanya melirik Tommy dengan pandangan skeptis.
"Mas merasa begitu ya? Jihan sih tidak berniat menyindir Mas. Tapi kalau Mas merasa, mungkin karena hal itu benar adanya. Makanya Mas jadi merasa terganggu. Aduh!" Jihan meringis. Kakinya sekarang terasa kram. Mungkin karena hari ia terlalu banyak berjalan. Semenjak hamil tua, ia memang sering sekali mengalami kram. Punggung kakinya juga membengkak. Menurut dokter Wita Sp. Og, karena perubahan kadar hormon selama kehamilan,
memicu tubuhnya menahan lebih banyak cairan dan garam. Hal tersebut memang biasa terjadi pada ibu hamil katanya."Kamu kenapa, Han? Kram ya?" Tommy beringsut mendekati Jihan. Berniat untuk memijat-mijat kakinya seperti dulu.
"Jihan nggak apa-apa, Mas." Jihan mengibaskan tangan. Mengisyaratkan kalau ia menolak untuk disentuh. Tommy mengetatkan geraham. Ia mengenali aroma-aroma tidak mengenakkan. Jihan tidak mau lagi ia dekati. Padahal biasanya Jihan suka sekali membauinya. Jihan dulu tidak segan-segan menciumi pangkal lengannya walaupun ia belum mandi. Terkadang ia sampai merasa tidak enak sendiri karena bau dan kotor. Bangaimanapun aroma pangkal lengan itu tidak enak bukan? Tapi Jihan dulu tidak pernah mempermasalahkannya.
Namun sekarang Jihan bersikap seolah-olah dirinya adalah seonggok bangkai yang menjijikkan. Bagaimana ia tidak tersinggung karenanya?
"Mengapa kamu bersikap seperti ini pada suamimu sendiri, Han? Bukankah kamu dulu selalu mengatakan bahwa karena cintamu pada Mas, maka kamu senantiasa akan menerima kekurangan Mas. Lantas mengapa saat Mas terpeleset sekali saja seperti ini, kamu tidak bersedia memaafkan Mas?" desis Tommy kecewa. Sungguh ia tidak mengira kalau perselisihan mereka kali ini, akan berakhir berbeda. Jihan tidak bersedia lagi memaafkannya seperti yang dulu-dulu. Sebagai pasangan suami istri tentu saja mereka terkadang berselisih paham. Namun biasanya Jihan akan mengalah, dan mereka akan berbaikan kembali. Tommy tidak terbiasa melihat sikap Jihan yang keras kepala seperti ini.
"Cukup main dramanya ya? Mas. Sungguh, Jihan sedang capek dan banyak pikiran. Mas pasti tau kalau Jihan anti drama-drama murahan. Dengar ya, Mas. Jihan tau kalau Mas bukan hanya sekali terpeleset affairs dengan Diana. Jihan sudah membaca semua chat-chat dari perempuan-perempuan yang biasa Mas pakai. Jadi berhentilah bersikap playing victim. Jihan muak!"
"Kamu... bagaimana kamu soal-soal mereka itu," Tommy tergagap. Sungguh ia tidak mengira kalau Jihan mengetahui kegilaan sesekalinya. Kartu As-nya telah diketahui Jihan. Kalau sudah seperti ini, semua rencananya bakalan berantakan.
"Dari ponsel Mas yang ketinggalan di ruang kerja tentu saja. Mas bingung ya kenapa ponsel keramat Mas itu tiba-tiba hilang?" Jihan berdecih. Ia meraih tas tangannya dan mengeluarkan ponsel rahasia Tommy.
"Ini. Jihan kembalikan ponsel penuh dosa Mas ini pada empunya. Mas, memang Jihan pernah bilang kalau cinta itu senantiasa menerima kekurangan. Namun ketidaksetiaan bukan salah satunya. Ingat itu Mas."
Jihan menghentikan kalimatnya saat mendengar suara tangisan dari dalam kamar. Pasti Niko terbangun karena mendengar suara pertengkaran mereka. Baru saja Jihan bermaksud untuk mengecek keadaan Niko, pintu kamar telah lebih dulu terbuka. Retno keluar dari kamar sembari menggendong Niko yang masih menangis. Melihat kehadiran Niko, Tommy langsung berdiri.
"Lho anak Ayah kok nangis sih?" Tommy menghampiri Niko dan meraup putra tampannya itu dari buaian Retno. Sungguh, Tommy sangat merindukan putra semata wayangnya ini. Sudah dua minggu lamanya mereka berpisah. Sebelumnya ia tidak pernah berpisah selama ini dengan Niko. Keluar kota pun paling lama ia lakoni hanya tiga atau lima hari. Kerinduan Tommy membuncah.
"Ayah," Niko seketika mengalungkan kedua lengan gemuknya ke leher Tommy. Menyembunyikan wajahnya dilekukan leher ayahnya.
"Ayah datang juga," Niko memeluk Tommy erat. Jihan menekan dadanya perlahan. Setidak respek-tidak respeknya ia pada Tommy, ia tau bahwa Tommy adalah sumber kebahagiaan putranya. Niko pasti sangat kehilangan Tommy selama dua minggu ini. Hanya saja, ia belum mampu menunjukkan perasaannya. Namun melihat eratnya kedua tangan gemuk Niko memeluk leher Tommy, nuraninya tersentuh. Ayah dan anak memang tidak seharusnya dipisahkan. Apapun urusan di antara kedua orang tuanya, bagi seorang anak, keduanya adalah orang yang sama-sama ia cintai. Oleh karena itu Jihan juga tidak ingin memisahkan mereka berdua. Seperti apapun hubungannya dengan Tommy kelak, Niko tetap akan mendapatkan kasih sayang dari mereka berdua.
"Maaf Bu. Tadi saya sudah berusaha membujuk Niko di kamar. Tapi Niko tetap ingin keluar. Ia mau bersama ayah, katanya." Retno berdiri dengan perasaan serba salah.
"Tidak apa-apa, Retno. Niko pasti kangen dengan ayahnya. Ya sudah, kamu buat minum kopi untuk Bapak ya? Gulanya satu sendok teh saja."
Hati Tommy menghangat saat Jihan tidak mempersulitnya bertemu dengan Niko. Istimwa Jihan juga meminta Retno untuk membuat kopi yang sesuai dengan seleranya. Ini adalah sebuah pertanda baik. Mudah-mudahan saja Jihan bersedia kembali kepelukannya setelah amarahnya mereda.
"Kamu lihat sendiri 'kan, Han. Niko ini membutuhkan Mas. Sebaiknya-baiknya pertumbuhan seorang anak adalah jikalau ia diasuh oleh kedua orang tuanya."
"Setuju, Mas. Makanya Jihan tetap akan memberikan akses pada Mas untuk tetap bisa menemui Niko, sesuai dengan peraturan yang kita berdua sepakati nantinya. Bercerai itu adalah perihal kita berdua. Niko tidak termasuk di dalamnya." Jihan menjawab dalam posisi tetap duduk menyamping di tikar. Untuk langsung berdiri ia agak kesulitan.
Mendengar jawaban diplomatis Jihan membuat Tommy geram. Jihan sekarang keras kepala sekali.
"Kalau kamu bersikeras ingin bercerai itu artinya kamu tidak menyayangi Niko. Kamu egois. Kamu hanya memikirkan dirimu sendiri!"
Jihan tersenyum sumir saat mendengar argumen Tommy. Ia paling muak mendengar pembelaan diri berdasarkan perpektif cara pandang picik seorang pecundang. Jihan belum ingin menjawab pertanyaan Tommy. Karena ia tidak ingin Niko menyaksikan perselisihan kedua orang tuanya. Jihan menunggu hingga Retno menyuguhkan secangkir kopi. Setelahnya Jihan meminta Retno membawa Niko berjalan-jalan di luar dulu, sebelum ia kembali menghadapi Tommy.
"Mas bilang kalau Jihan tidak menyayangi Niko, egois dan mau menang sendiri. Lantas perbuatan Mas saat berkali-kali mencari kehangatan dari wanita lain itu disebut apa? Oalah Mas... Mas... kalau mau menelanjangi kesalahan orang itu, mbok ya, celana Mas dipakai dulu. Mas menunjuk-nunjuk ketelanjangan orang, tapi Mas sendiri tidak memakai celana. Eling Mas, eling."
Air muka Tommy menghitam mendengar ejekan Jihan. Terbiasa diperlakukan bagai seorang raja, membuat Tommy meradang kala kecerdasannya dipertanyakan.
"Tidak usah sok pintar kamu. Kamu pikir kamu itu sudah hebat sekali bisa mendebat Mas. Bagi Mas, kamu itu tetap perempuan bodoh yang tidak tau apa-apa. Tidak usah sok memakai istilah-istilah intelek pada Mas!" Tommy berdecih. Ia paling membenci perempuan-perempuan feminis yang sok merasa lebih hebat dari laki-laki. Jihan ini istrinya. Ia tau sampai sebatas mana kecerdasan istrinya.
"Jihan bukan sok pintar, Mas. Jihan hanya mengungkapkan fakta. Lagi pula Jihan memang pintar kan Mas? Mas lupa kalau Jihan ini lulusan cum laude? Semua dosen-dosen Jihan dulu mengakui kepintaran Jihan. Mengapa Mas yang lulus dengan IP dua koma sekian berani mengatai Jihan bodoh?"
Wajah Tommy kian busuk. Ia emosi saat IP zaman kuliahnya dibawa-bawa. IP toh tidak menjamin kesuksesan seseorang. Buktinya ia juga bisa menjadi pengusaha sukses dengan IP pas-pasan.
"Banyak ngomong kamu! Walau kamu lulusan cum laude, tapi kamu jadi apa sekarang? Ibu rumah tangga yang tiap bulan mengemis uang belanja pada Mas 'kan? Tidak usah sok hebat kamu!"
"Cukup, Mas. Mas tidak perlu berbicara lagi. Jangan membuat Jihan semakin kehilangan respek mendengar argumen picik tidak berdasar Mas ini. Satu hal yang harus Mas ketahui. Jangan memaksa Jihan untuk jongkok, hanya karena Mas ingin terlihat tinggi."
Jihan menjawab dengan suara tercekat. Sungguh sebenarnya Jihan sedang menahan sakit. Kaki dan pinggangnya nyeri sekali. Ia sudah cukup lama duduk dalam posisi seperti ini. Hanya saja ia tidak ingin memperlihatkan penderitaannya di depan Tommy. Jihan takut kalau Tommy akan semakin menekannya.
"Baik! Kalau kamu sekarang merasa sudah hebat, Mas akan mengikuti apa maumu. Kamu ingin bercerai? Tidak masalah! Toh kamu sendiri yang akan menderita. Akan Mas lihat berapa lama kamu sanggup hidup di gubuk reot seperti ini. Satu hal yang pasti. Jangan harap Mas akan membiayai kamu lagi!"
Tommy segera berlalu setelah membanting pintu. Jihan yang kaget hanya bisa mengelus dada. Perlahan ia mencoba berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju kamar. Pinggangnya serasa akan patah, karena duduk di atas tikar cukup lama. Baru saja ia duduk di ujung ranjang, ponsel di tas tangannya berbunyi. Jihan memanjangkan lengan. Meraih tas tangannya. Pasti ibunya yang menelepon. Menanyakan keadaannya hari ini. Bola mata Jihan membesar saat melihat nama Pak Imran di layar ponselnya. Semoga saja kabar baiklah yang akan diberitakan Pak Imran.
"Assalamualaikum Pak Imran. Ada apa Bapak menelepon saya?" Jihan menyapa dengan jantung berdebar.
"Walaikumsalam, Bu. Saya mau mengabarkan kalau Ibu bisa berjualan di warung saya."
"Alhamdullilah. Bapak tidak jadi menjualnya ya? Kalau begitu saya ke sana sekarang ya, Pak? Saya ingin memberikan uang sewanya pada Bapak saat ini juga." Sambil menelepon Jihan berusaha berdiri. Ia akan ke warung sekarang juga. Ia takut kalau Pak Imran kembali berubah pikiran. Kalau ia sudah memberikan uang sewanya, sudah ada kekuatan hukum di sana. Pak Imran jadi tidak bisa membatalkan perjanjian lagi.
"Boleh, Bu. Saya tunggu ya? Eh tunggu sebentar ya, Bu?"
Jihan memegang dadanya saat Pak Imran memintanya menunggu sebentar. Jangan-jangan Pak Imran berubah pikiran lagi. Apalagi samar-samar Jihan mendengar Pak Imran sedang berbicara dengan seorang laki-laki. Mungkin Pak Azzam. Pasti penawaran Pak Azzam tidak sesuai dengan harapan Pak Imran. Makanya Pak Imran tidak jadi menjualnya.
"Begini, Bu. Ibu tidak usah ke sini lagi. Saya sudah menyetujui akan menyewakan warung ini pada Ibu. Ibu tidak usah khawatir. Besok saja Ibu ke warungnya. Oh iya, saya akan merenovasi warung ini dulu supaya lebih bagus."
Renovasi? Berarti uang keluar lagi!
"Maaf saya potong dulu. Warungnya tidak usah direnovasi lagi, Pak. Saya... saya... tidak punya uang lagi untuk membayar biaya renovasinya."
"Hehehe. Biaya ini semua sudah ditanggung kok, Bu. Ibu tidak perlu membayar apapun lagi. Ibu tinggal terima bersih, pokoknya."
Alhamdullilah. Jihan mengucapkan kata terima kasih dengan suara tersendat. Air matanya mengalir tidak terkendali. Ternyata Allah tahu apa yang terbaik buat umatnya dan kapan waktu yang tepat bagi unatnya untuk memilikinya. Alhamdullilah.
Jihan memandang seantero warung dengan puas. Tidak sia-sia ia menuruti pemilik warung yang lama yang meminta waktu seminggu penuh untuk merenovasi warung. Karena warung yang tadinya hanya warung sederhana, kini tampak lebih artistik dan asri. Tidak dipungkiri, pelanggan zaman sekarang menyukai tempat yang cantik, agar lebih menarik saat mereka berselfie ria. Makanan lezat bukan lagi satu-satunya daya tarik sekarang.Jihan berjalan sedikit ke luar warung. Memindai penampakan warung dari jarak yang lebih jauh. Memang warung ini tampak jadi lebih artistik. Konsep yang ditampilkan Pak Imran ini adalah konsep seperti sedang makan di rumah sendiri. Warung yang lumayan luas ini di bagi menjadi dua bagian. Di bagian depan dengan meja dan kursi biasa. Sementara di belakangnya di buat lesehan. Delapan pasang kursi-kursi kayu berikut mejanya sudah tersusun rapi. Begitu juga tikar lebar dan meja-meja kecil untuk lesehan. Jujur, Jihan merasa uang sewa yang dit
Hari kedua berjualan. Sedari pagi Jihan dengan semangat mengajari Retno meracik bumbu, mengoreng lele serta ayam. Kandungannya sudah semakin tua. Dan bulan depan ia sudah akan melahirkan. Dengan begitu otomatis warung akan menjadi tanggung jawab Retno. Makanya ia mengajari Retno cara memasak, agar terbiasa saat nanti ia tinggal."Ingat ya, Ret. Saat melakukan proses ungkep, masak ayamnya cukup sampai mendidih saja. Tidak perlu sampai matang. Kemudian matikan kompor dan biarkan dingin. Jika sudah dingin, masukkan ayam bersama dengan kuahnya kedalam kulkas semalaman. Tapi ingat, jangan disimpan di freezer. Cukup di tempat biasa saja. Nah, setelah semalaman didinginkan, masak lagi hingga ayam matang dan airnya menyusut. Baru ayamnya bisa kamu goreng setelah ada pelanggan. Jadi selain gurih, pelanggan akan makin berselera makan karena ayamnya disajikan panas-panas. Mengerti, Ret?"
"Siapa laki-laki ini, Bu Jihan?" Azzam melirik Tommy sekilas. Ia sangat mengenal Tommy. Seorang old money klan Wiranata. Bisnis mereka meliputi bidang otomotif, garmen dan perhotelan. Tommy juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang jarang membawa pasangannya ke publik. Makanya ia bertanya hanya untuk menegaskan, apakah benar Tommy adalah suami Jihan."Dia... Tommy, suami saya Pak Azzam, Pak Imran," jawab Jihan gagap."Pak Imran adalah pemilik warung ini, Mas. Dan Pak Azzam adalah rekan Pak Imran. Jihan hanya menyewa di sini," Jihan mengucapkan kata menyewa sembari menatap Tommy penuh arti. Secara tersirat ia meminta Tommy untuk tidak berbuat macam-macam di sini. Semoga saja Tommy mengerti. Sungguh ia malu kalau Tommy sampai mengamuk dan menjadikan masalah pribadi mereka dikonsumsi oleh orang lain. Bagaimanapun tidak baiknya hubungannya saat ini dengan Tommy, ia tidak suka bila ada mata dan telinga lain yang ikut mendengarnya. Se
Waktu telah menunjukkan pukul 08.05 WIB. Jihan bersiap-siap menutup warung. Dagangannya laris manis hari ini. Alhamdullilah. Jihan memasukkan sisa bahan makanan ke dalam kulkas. Membuang sampah, memeriksa kompor gas dan keran air. Setelah memastikan semuanya aman, barulah Jihan mematikan lampu-lampu dan mengunci pintu warung. Hari ini pulang sendirian. Retno telah lebih dulu pulang karena kurang enak badan. Setelah memeriksa pintu sekali lagi, Jihan berjalan ke seberang warung. Ia bermaksud singgah ke supermaket sebentar. Susu Niko sudah hampir habis, begitu juga dengan sembako di rumah.Karena hari ini ia mendapat rezeki berlebih, Jihan ingin berbelanja sebutuhnya dulu. Pendapatannya hari ini tidak boleh ia habiskan. Ia masih membutuhkan modal untuk berjualan. Sekarang ia sangat berhati-hati dalam menghitung pemasukan dan pengeluaran. Tommy benar-benar tidak menafkahinya lagi. Makanya setiap ia mempunyai rezeki, yang pertama ia beli adalah susu N
Sudah hampir dua minggu ini Jihan berjualan. Selama itu pula Jihan belajar untuk memahami pasar. Bahwa terkadang orang bosan karena menu yang itu-itu saja. Untuk itulah hari ini Jihan mencoba beberapa menu baru. Namun ia tidak mau menghilangkan ciri khas warungnya, yaitu lele dan ayam. Jihan hanya mengubah variasi rasanya. Jika selama ini ia hanya mengandalkan menu lele plus sambal dan lalap. Kini Jihan menvariasikannya dengan membuat lele saus padang, lele saus tiram, serta lele goreng mentega. Jihan berusaha membangun komunitas pencinta lele untuk memperkuat pasarnya. Dengan mempunyai ciri khas tersendiri, Jihan berharap pembeli akan mengingat warungnya sebagai pengolah ikan lele berbagai rasa.Sedari pagi, Jihan, Retno dan Narti, pelayan yang baru ia pekerjakan seminggu lalu, sibuk mempersiapkan ketiga menu baru tersebut. Jihan tidak berani menyetok banyak. Ia hanya mencoba-coba selera pasar saja dulu. Jika responnya baik, baru ia akan menjadikan ketiga
Jihan mengelus-elus pinggangnya yang terasa nyeri. Sebenarnya sudah sedari subuh tadi, ia merasa nyeri di punggung bawah dan menyebar hingga ke area panggulnya. Namun ia tidak begitu mempermasalahkannya. Ia tetap melanjutkan kesibukannya meracik bumbu-bumbu. Apalagi tidak lama kemudian ibunya menelepon. Ibunya sedang kurang enak badan, dan tidak bisa menjaga Niko di rumah hari ini. Itu artinya Niko akan ia bawa ke warung. Kesibukannya kini menjadi dua kali lipat. Selain harus mengurus bahan makanan untuk berjualan, ia juga harus mempersiapkan segala kebutuhan Niko selama di warung. Oleh karenanya rasa sakitnya itu ia abaikan."Bu, Pak Azzam memesan lele saus padang. Banyakin sambelnya katanya, Bu." Retno yang setengah berlari memesan menu khusus untuk Azzam. Setelah menitip pesan, Retno segera kembali ke depan melayani para pelanggan. Jam makan siang adalah jam tersibuk mereka semua. Namu
"Niko rindu nggak sama, Ayah?""Rindu,""Kalau rindu, Niko pulang aja sama Ayah ke rumah kita yang lama. Mau?"Sembari menyusun baju-baju kotornya, Jihan mendengarkan percakapan Tommy dengan putranya. Jihan geram sekali melihat tingkah Tommy ini. Tommy sengaja menanyakan hal sensitif seperti ini di depan kedua mertua dan ibunya. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengajuk hatinya, agar bersedia kembali ke rumah lama mereka. Triknya sungguh tidak elegan.Saat ini ibunya tengah menggendong Niki, bayi perempuannya. Sebentar lagi ia akan keluar dari rumah sakit. Ia telah lima hari dirawat di rumah sakit ini."Bagimana ya, Yah? Soalnya kalo Niko pulang ke rumah kita, nanti adik bayi nggak ada yang jaga. Bunda dan Mbak Retno 'kan harus jualan. Oma harus menjaga Niko. Nah, Niko harus menjaga adik bayi. Biar adil, Yah." Jawaban polos Niko membuat Jihan tersenyum. Niko ini cukup cerdas untuk ukura
Azzam menghela napas kasar saat pintu gerbang rumah dibuka oleh Satpam. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil sedan bernomor polisi B 1 RA. Mobil itu milik Irawati Noorsaid. Anak sahabat ibunya yang digadang-gadang sang ibu sebagai calon istri terbaiknya. Ira, demikian gadis itu biasa disapa telah lolos babat, bibit, bebet, bobot versi ibunya.Azzam yang tadinya akan memarkir mobil langsung ke garasi, mengurungkan niatnya. Ia justru membelokkan mobil dan parkir di samping mobil Ira. Ia berencana akan keluar rumah saja setelah membersihkan diri. Tubuhnya saat ini kotor dan penuh keringat. Kemeja putihnya melekat bagai kulit kedua di tubuhnya. Keadaannya seperti ini bukan tanpa sebab. Semua ini karena ia telah mengubah profesinya dari seorang pebisnis menjadi tukang kayu dadakan di warung Jihan tadi. Ia berusaha keras membuat sekat sederhana di samping toilet. Ia tidak sabar menunggu tukang yang baru akan bekerja kee
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima