"Siapa laki-laki ini, Bu Jihan?" Azzam melirik Tommy sekilas. Ia sangat mengenal Tommy. Seorang old money klan Wiranata. Bisnis mereka meliputi bidang otomotif, garmen dan perhotelan. Tommy juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang jarang membawa pasangannya ke publik. Makanya ia bertanya hanya untuk menegaskan, apakah benar Tommy adalah suami Jihan.
"Dia... Tommy, suami saya Pak Azzam, Pak Imran," jawab Jihan gagap.
"Pak Imran adalah pemilik warung ini, Mas. Dan Pak Azzam adalah rekan Pak Imran. Jihan hanya menyewa di sini," Jihan mengucapkan kata menyewa sembari menatap Tommy penuh arti. Secara tersirat ia meminta Tommy untuk tidak berbuat macam-macam di sini. Semoga saja Tommy mengerti. Sungguh ia malu kalau Tommy sampai mengamuk dan menjadikan masalah pribadi mereka dikonsumsi oleh orang lain. Bagaimanapun tidak baiknya hubungannya saat ini dengan Tommy, ia tidak suka bila ada mata dan telinga lain yang ikut mendengarnya. Se
Waktu telah menunjukkan pukul 08.05 WIB. Jihan bersiap-siap menutup warung. Dagangannya laris manis hari ini. Alhamdullilah. Jihan memasukkan sisa bahan makanan ke dalam kulkas. Membuang sampah, memeriksa kompor gas dan keran air. Setelah memastikan semuanya aman, barulah Jihan mematikan lampu-lampu dan mengunci pintu warung. Hari ini pulang sendirian. Retno telah lebih dulu pulang karena kurang enak badan. Setelah memeriksa pintu sekali lagi, Jihan berjalan ke seberang warung. Ia bermaksud singgah ke supermaket sebentar. Susu Niko sudah hampir habis, begitu juga dengan sembako di rumah.Karena hari ini ia mendapat rezeki berlebih, Jihan ingin berbelanja sebutuhnya dulu. Pendapatannya hari ini tidak boleh ia habiskan. Ia masih membutuhkan modal untuk berjualan. Sekarang ia sangat berhati-hati dalam menghitung pemasukan dan pengeluaran. Tommy benar-benar tidak menafkahinya lagi. Makanya setiap ia mempunyai rezeki, yang pertama ia beli adalah susu N
Sudah hampir dua minggu ini Jihan berjualan. Selama itu pula Jihan belajar untuk memahami pasar. Bahwa terkadang orang bosan karena menu yang itu-itu saja. Untuk itulah hari ini Jihan mencoba beberapa menu baru. Namun ia tidak mau menghilangkan ciri khas warungnya, yaitu lele dan ayam. Jihan hanya mengubah variasi rasanya. Jika selama ini ia hanya mengandalkan menu lele plus sambal dan lalap. Kini Jihan menvariasikannya dengan membuat lele saus padang, lele saus tiram, serta lele goreng mentega. Jihan berusaha membangun komunitas pencinta lele untuk memperkuat pasarnya. Dengan mempunyai ciri khas tersendiri, Jihan berharap pembeli akan mengingat warungnya sebagai pengolah ikan lele berbagai rasa.Sedari pagi, Jihan, Retno dan Narti, pelayan yang baru ia pekerjakan seminggu lalu, sibuk mempersiapkan ketiga menu baru tersebut. Jihan tidak berani menyetok banyak. Ia hanya mencoba-coba selera pasar saja dulu. Jika responnya baik, baru ia akan menjadikan ketiga
Jihan mengelus-elus pinggangnya yang terasa nyeri. Sebenarnya sudah sedari subuh tadi, ia merasa nyeri di punggung bawah dan menyebar hingga ke area panggulnya. Namun ia tidak begitu mempermasalahkannya. Ia tetap melanjutkan kesibukannya meracik bumbu-bumbu. Apalagi tidak lama kemudian ibunya menelepon. Ibunya sedang kurang enak badan, dan tidak bisa menjaga Niko di rumah hari ini. Itu artinya Niko akan ia bawa ke warung. Kesibukannya kini menjadi dua kali lipat. Selain harus mengurus bahan makanan untuk berjualan, ia juga harus mempersiapkan segala kebutuhan Niko selama di warung. Oleh karenanya rasa sakitnya itu ia abaikan."Bu, Pak Azzam memesan lele saus padang. Banyakin sambelnya katanya, Bu." Retno yang setengah berlari memesan menu khusus untuk Azzam. Setelah menitip pesan, Retno segera kembali ke depan melayani para pelanggan. Jam makan siang adalah jam tersibuk mereka semua. Namu
"Niko rindu nggak sama, Ayah?""Rindu,""Kalau rindu, Niko pulang aja sama Ayah ke rumah kita yang lama. Mau?"Sembari menyusun baju-baju kotornya, Jihan mendengarkan percakapan Tommy dengan putranya. Jihan geram sekali melihat tingkah Tommy ini. Tommy sengaja menanyakan hal sensitif seperti ini di depan kedua mertua dan ibunya. Tujuannya apalagi kalau tidak untuk mengajuk hatinya, agar bersedia kembali ke rumah lama mereka. Triknya sungguh tidak elegan.Saat ini ibunya tengah menggendong Niki, bayi perempuannya. Sebentar lagi ia akan keluar dari rumah sakit. Ia telah lima hari dirawat di rumah sakit ini."Bagimana ya, Yah? Soalnya kalo Niko pulang ke rumah kita, nanti adik bayi nggak ada yang jaga. Bunda dan Mbak Retno 'kan harus jualan. Oma harus menjaga Niko. Nah, Niko harus menjaga adik bayi. Biar adil, Yah." Jawaban polos Niko membuat Jihan tersenyum. Niko ini cukup cerdas untuk ukura
Azzam menghela napas kasar saat pintu gerbang rumah dibuka oleh Satpam. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil sedan bernomor polisi B 1 RA. Mobil itu milik Irawati Noorsaid. Anak sahabat ibunya yang digadang-gadang sang ibu sebagai calon istri terbaiknya. Ira, demikian gadis itu biasa disapa telah lolos babat, bibit, bebet, bobot versi ibunya.Azzam yang tadinya akan memarkir mobil langsung ke garasi, mengurungkan niatnya. Ia justru membelokkan mobil dan parkir di samping mobil Ira. Ia berencana akan keluar rumah saja setelah membersihkan diri. Tubuhnya saat ini kotor dan penuh keringat. Kemeja putihnya melekat bagai kulit kedua di tubuhnya. Keadaannya seperti ini bukan tanpa sebab. Semua ini karena ia telah mengubah profesinya dari seorang pebisnis menjadi tukang kayu dadakan di warung Jihan tadi. Ia berusaha keras membuat sekat sederhana di samping toilet. Ia tidak sabar menunggu tukang yang baru akan bekerja kee
Jihan gelisah. Waktu telah menunjukkan pukul setengah dua siang. Namun suasana warungnya masih sama seperti tujuh jam yang lalu. Sepi. Tiada ada satu pelanggan pun yang berkunjung untuk makan siang. Padahal biasanya pukul sebelas tiga puluh saja, warungnya sudah ramai oleh pelanggan.Jihan berjalan ke depan warung. Memperhatikan para pekerja kantoran yang berlalu lalang, namun tidak menyinggahi warungnya. Mereka hanya berjalan melewati warungnya saja. Padahal biasanya mereka sampai berebutan ncup meja yang paling strategis, agar bisa mengobrol dengan leluasa dengan rekan-rekannya. Serombongan pekerja kembali berjalan beriringan. Dan seperti tadi mereka hanya lewat saja. Beberapa ada yang berbisik-bisik dengan nada rendah pada temannya, saat melihatnya berdiri di depan warung.Memikirkan barang dagangannya yang belum terjual sebungkus pun, Jihan memberanikan diri menyapa mereka ramah.
Jihan bergeming. Ia salah tingkah saat kedua klien yang diperkenalkan Rommy itu, serempak memandangnya. Jihan menyadari kalau dirinya telah dijadikan alat propaganda oleh adik iparnya ini."Mari, letakkan di sini saja makanannya, Mbak. Terima kasih telah mengantarkannya tepat waktu." Novi mengalihkan suasana awkward dengan halus. Jihan mengikuti skenario Novi. Ia meletakkan bungkusan di tangan kanan dan kirinya di atas meja. Ia bermaksud keluar dari ruangan meeting ini secepatnya. Ia tidak mau menanggapi gimmick-gimmick muraha Rommy."Jadi kamu istrinya, Pak Tommy? Apa kabar, Ji?"Jihan yang sedianya akan keluar, mengurungkan langkah. Ia heran mendengar pertanyaan dari salah seorang klien Tommy tadi. Menilik dari cara sang klien yang menyebut namanya dengan akrab, sepertinya klien ini sudah mengenalnya.Penasaran dengan sosok yang mungkin mengenalnya, Jihan melirik sang pen
Sembari meracik kopi, Jihan memandang meja tujuh dan delapan yang letakknya sejajar. Ada dua orang yang duduk di sana. Fahri di meja tujuh, dan Azzam di meja delapan. Jarak antar meja mereka tidak lebih dari satu meter. Keduanya sama-sama duduk dan sama-sama memainkan ponsel.Sebenarnya tidak harus dirinya sendiri yang membuat kopi. Narti dan Retnolah yang biasa menghidangkan kopi untuk pelanggan. Hanya saja kali ini Jihan memang ingin menyibukkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia bingung harus bagaimana menghadapi Fahri dan Azzam. Jihan bukanlah orang yang mudah akrab dengan orang lain. Istimewa lawan jenisnya. Ia tidak mau memercikkan bara api yang tidak pada tempatnya. Bagaimanapun hubungannya dengan Tommy, ia masih berstatus sebagai istri orang. Ia harus menjaga marwahnya sebagai seorang istri.Setelah dua cangkir kopi selesai diseduh, Jihan menatanya di atas baki. Ia kemudian berjalan ke arah dua laki-laki dewasa itu.Jihan seperti
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima