Azzam menghela napas kasar saat pintu gerbang rumah dibuka oleh Satpam. Pandangannya langsung tertuju pada sebuah mobil sedan bernomor polisi B 1 RA. Mobil itu milik Irawati Noorsaid. Anak sahabat ibunya yang digadang-gadang sang ibu sebagai calon istri terbaiknya. Ira, demikian gadis itu biasa disapa telah lolos babat, bibit, bebet, bobot versi ibunya.
Jihan gelisah. Waktu telah menunjukkan pukul setengah dua siang. Namun suasana warungnya masih sama seperti tujuh jam yang lalu. Sepi. Tiada ada satu pelanggan pun yang berkunjung untuk makan siang. Padahal biasanya pukul sebelas tiga puluh saja, warungnya sudah ramai oleh pelanggan.Jihan berjalan ke depan warung. Memperhatikan para pekerja kantoran yang berlalu lalang, namun tidak menyinggahi warungnya. Mereka hanya berjalan melewati warungnya saja. Padahal biasanya mereka sampai berebutan ncup meja yang paling strategis, agar bisa mengobrol dengan leluasa dengan rekan-rekannya. Serombongan pekerja kembali berjalan beriringan. Dan seperti tadi mereka hanya lewat saja. Beberapa ada yang berbisik-bisik dengan nada rendah pada temannya, saat melihatnya berdiri di depan warung.Memikirkan barang dagangannya yang belum terjual sebungkus pun, Jihan memberanikan diri menyapa mereka ramah.
Jihan bergeming. Ia salah tingkah saat kedua klien yang diperkenalkan Rommy itu, serempak memandangnya. Jihan menyadari kalau dirinya telah dijadikan alat propaganda oleh adik iparnya ini."Mari, letakkan di sini saja makanannya, Mbak. Terima kasih telah mengantarkannya tepat waktu." Novi mengalihkan suasana awkward dengan halus. Jihan mengikuti skenario Novi. Ia meletakkan bungkusan di tangan kanan dan kirinya di atas meja. Ia bermaksud keluar dari ruangan meeting ini secepatnya. Ia tidak mau menanggapi gimmick-gimmick muraha Rommy."Jadi kamu istrinya, Pak Tommy? Apa kabar, Ji?"Jihan yang sedianya akan keluar, mengurungkan langkah. Ia heran mendengar pertanyaan dari salah seorang klien Tommy tadi. Menilik dari cara sang klien yang menyebut namanya dengan akrab, sepertinya klien ini sudah mengenalnya.Penasaran dengan sosok yang mungkin mengenalnya, Jihan melirik sang pen
Sembari meracik kopi, Jihan memandang meja tujuh dan delapan yang letakknya sejajar. Ada dua orang yang duduk di sana. Fahri di meja tujuh, dan Azzam di meja delapan. Jarak antar meja mereka tidak lebih dari satu meter. Keduanya sama-sama duduk dan sama-sama memainkan ponsel.Sebenarnya tidak harus dirinya sendiri yang membuat kopi. Narti dan Retnolah yang biasa menghidangkan kopi untuk pelanggan. Hanya saja kali ini Jihan memang ingin menyibukkan dirinya sendiri. Sebenarnya ia bingung harus bagaimana menghadapi Fahri dan Azzam. Jihan bukanlah orang yang mudah akrab dengan orang lain. Istimewa lawan jenisnya. Ia tidak mau memercikkan bara api yang tidak pada tempatnya. Bagaimanapun hubungannya dengan Tommy, ia masih berstatus sebagai istri orang. Ia harus menjaga marwahnya sebagai seorang istri.Setelah dua cangkir kopi selesai diseduh, Jihan menatanya di atas baki. Ia kemudian berjalan ke arah dua laki-laki dewasa itu.Jihan seperti
Kegelapan yang menyelubunginya berangsur-angsur memudar dan pada akhirnya menghilang. Bertepatan dengan itu, Jihan membuka matanya. Pemandangan serba putih serta infus yang ada di tangannya memberi satu clue. Ia berada di rumah sakit rupanya."Alhamdullilah, kamu sudah sadar, Han."Suara ibunya."Kenapa Jihan ada di sini, Bu?""Kamu pingsan di warung, Han. Makanya kamu dibawa ke sini." Jihan mengumpulkan ingatan. Pertengkaran Tommy dan Azzam. Ia mengambil seember air. Selanjutnya kegelapanlah yang ia rasakan. Ia tidak sadarkan diri setelahnya ternyata."Perasaanmu bagaimana, Han? Mana yang sakit?" Wajah penuh rasa khawatir ibunya mengait kembali emosi Jihan. Jihan sedih saat teringat pada kelakuan ayahnya dan anak abege di kafe tadi siang. Jihan terisak. Sungguh, bukan sakit fisik yang membuatnya cengeng, tapi sakit hati. Ia menangis untuk ibunya.
Azzam mengantar kepulangan Jihan dengan pandangan mata. Ia berdiri di sudut pilar. Memperhatikan taksi online yang membawa Jihan dan Retno menjauhi tempat parkir. Azzam menghela napas kasar. Separuh kesal separuh mengagumi perempuan keras hati itu.Jihan adalah benar-benar wanita baik dalam arti yang sebenar-benarnya. Jihan tidak pernah bersedia menggunakan ilmu aji mumpung. Ketika tau bahwa biaya rawat inapnya di rumah sakit gratis, air muka Jihan berubah malu bercampur khawatir. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa dirinyalah yang menggratiskannya. Jihan makin serba salah. Dengarlah ucapannya tadi. Kalau ada kata di atas ucapan terima kasih, ia akan memilih kata itu. Jihan sungkan karena merasa telah terlalu menyusahkannya.Padahal itu semua ia lakukan hanya karena kebetulan saja. Bukan karena ia niatkan. Tommy membawa Jihan ke rumah sakit milik orang tuanya. Dan tau, bahwa Jihan tidak akan bersedia kalau biaya perawatannya ditalangi oleh
Jihan duduk melamun di pojok warung. Menatap nelangsa titik-titik air yang turun membasahi bumi. Sudah seminggu ini warungnya sangat sepi. Tepatnya sejak tiga orang ibu-ibu melabrak warungnya tujuh hari yang lalu. Tiga hari setelah kejadian, warungnya sempat kembali ramai. Jihan waktu ia sangat gembira. Ia mengira kalau para pelanggannya telah melupakan kejadian ayam busuk itu. Walaupun ia merasa sedikit aneh. Karena mereka tidak bersedia makan di warung seperti biasanya. Mereka lebih memilih makanannya dibungkus saja.Sekitar satu jam kemudian, barulah Jihan mendapatkan jawabannya. Ternyata para pelanggannya yang sebagian besar adalah karyawan dan karyawati Azzam itu membeli makanannya karena terpaksa. Azzam mentraktir mereka semua makan siang, dengan catatan harus memesan di warungnya. Mereka semua memang membelinya. Namun mereka membuang semua pesanan ke tempat sampah. Mereka sepertinya takut diberikan bangkai ayam, namun mereka tidak berani membantah p
"Lewat sini, Han." Azzam menggerakkan tangannya ke arah ruang Juru Periksa kepolisian. Jihan mengikuti langkah Azzam dengan kepala penuh prasangka. Ia penasaran tentang siapa dalang dibalik keributan di warungnya. Benaknya mengabsen satu demi satu kemungkinan orang-orang yang berniat buruk padanya. Sebelum memasuki ruangan Juru Periksa, Jihan memperhatikan penampilannya. Blusnya yang tadi basah, sudah lumayan kering. Hanya bagian ujung-ujung lengannya yang agak lembab. Penampilannya masih cukup rapi. Baru saja melewati pintu, ia telah disambut tiga orang ibu-ibu yang kemarin dulu mengacau di warungnya. Ketiganya telah dibekuk pihak kepolisian rupanya."Maafkan kami, Mbak. Kami sungguh-sungguh minta maaf. Kami terpaksa melakukan semua ini. Kami menyesal, Mbak!" Jihan nyaris jatuh terjengkang, saat tiga ibu-ibu yang menyabotase warungnya itu, menubruk kakinya secara bersamaan. Untung saja, Azzam dengan cepat menahan bahunya."Astaghfirul
Jihan tiba di kantor Tommy tepat pukul empat sore. Dan ia sedikit gugup saat tiba di depan pintu kaca. Selama enam tahun lebih menjadi istri Tommy, kehadirannya di kantor bisa dihitung dengan jari. Kalau tidak salah hanya sekitar tiga atau empat kali.Kali pertama datang adalah saat ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun Tommy. Kali kedua dan seterusnya, ia datang untuk mengantarkan makan siang Tommy. Waktu itu ia dan Tommy masih dalam suasana pengantin baru dan ia sedang senang-senangnya belajar memasak. Ia tertarik melihat Bu Mirna, juru masaknya yang sangat piawai mengolah bahan makanan apapun menjadi enak untuk disantap.Demi menunjukkan baktinya sebagai seorang istri yang baik, maka ia pun belajar keras dengan arahan Bu Mirna. Bu Mirna dan beberapa ART kerap mengoreksi rasa masakannya, sebelum ia mengantarkannya ke kantor Tommy.Tommy memang mengucapkan terima kasih karena ia telah bersusah payah memasak. Namun