Jihan duduk melamun di pojok warung. Menatap nelangsa titik-titik air yang turun membasahi bumi. Sudah seminggu ini warungnya sangat sepi. Tepatnya sejak tiga orang ibu-ibu melabrak warungnya tujuh hari yang lalu. Tiga hari setelah kejadian, warungnya sempat kembali ramai. Jihan waktu ia sangat gembira. Ia mengira kalau para pelanggannya telah melupakan kejadian ayam busuk itu. Walaupun ia merasa sedikit aneh. Karena mereka tidak bersedia makan di warung seperti biasanya. Mereka lebih memilih makanannya dibungkus saja.
Sekitar satu jam kemudian, barulah Jihan mendapatkan jawabannya. Ternyata para pelanggannya yang sebagian besar adalah karyawan dan karyawati Azzam itu membeli makanannya karena terpaksa. Azzam mentraktir mereka semua makan siang, dengan catatan harus memesan di warungnya. Mereka semua memang membelinya. Namun mereka membuang semua pesanan ke tempat sampah. Mereka sepertinya takut diberikan bangkai ayam, namun mereka tidak berani membantah p
"Lewat sini, Han." Azzam menggerakkan tangannya ke arah ruang Juru Periksa kepolisian. Jihan mengikuti langkah Azzam dengan kepala penuh prasangka. Ia penasaran tentang siapa dalang dibalik keributan di warungnya. Benaknya mengabsen satu demi satu kemungkinan orang-orang yang berniat buruk padanya. Sebelum memasuki ruangan Juru Periksa, Jihan memperhatikan penampilannya. Blusnya yang tadi basah, sudah lumayan kering. Hanya bagian ujung-ujung lengannya yang agak lembab. Penampilannya masih cukup rapi. Baru saja melewati pintu, ia telah disambut tiga orang ibu-ibu yang kemarin dulu mengacau di warungnya. Ketiganya telah dibekuk pihak kepolisian rupanya."Maafkan kami, Mbak. Kami sungguh-sungguh minta maaf. Kami terpaksa melakukan semua ini. Kami menyesal, Mbak!" Jihan nyaris jatuh terjengkang, saat tiga ibu-ibu yang menyabotase warungnya itu, menubruk kakinya secara bersamaan. Untung saja, Azzam dengan cepat menahan bahunya."Astaghfirul
Jihan tiba di kantor Tommy tepat pukul empat sore. Dan ia sedikit gugup saat tiba di depan pintu kaca. Selama enam tahun lebih menjadi istri Tommy, kehadirannya di kantor bisa dihitung dengan jari. Kalau tidak salah hanya sekitar tiga atau empat kali.Kali pertama datang adalah saat ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun Tommy. Kali kedua dan seterusnya, ia datang untuk mengantarkan makan siang Tommy. Waktu itu ia dan Tommy masih dalam suasana pengantin baru dan ia sedang senang-senangnya belajar memasak. Ia tertarik melihat Bu Mirna, juru masaknya yang sangat piawai mengolah bahan makanan apapun menjadi enak untuk disantap.Demi menunjukkan baktinya sebagai seorang istri yang baik, maka ia pun belajar keras dengan arahan Bu Mirna. Bu Mirna dan beberapa ART kerap mengoreksi rasa masakannya, sebelum ia mengantarkannya ke kantor Tommy.Tommy memang mengucapkan terima kasih karena ia telah bersusah payah memasak. Namun
"Apa Tommy sudah tau kalau kamu memindahkan sekolah Niko, Han?" Bu Rianti memandangi Niko yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Di sebelahnya Jihan duduk seraya melipat-lipat selimut. Sementara dirinya sendiri, tengah berdiri sembari berayun ke kanan dan ke kiri menggendong Niki. Ia rindu sekali dengan kedua cucunya.Saat ini ia tengah berada di rumah kontrakan Jihan. Kesehatannya sudah pulih. Makanya ia bisa mengunjungi Jihan dan kedua cucunya. Rencananya ia akan menginap semalam di sini demi melepas rindu. Ia telah membawa kasur lipatnya sendiri. Karena ia tahu keadaan Jihan masih serba darurat."Sudah, Bu. Makanya di telepon tadi Mas Tommy terus menyinggung-nyinggung soal hak asuh anak. Katanya Jihan tidak becus mengurus Niko."Sembari melipat selimut, Jihan menjawab apa adanya. Kepalanya masih pusing akibat baru saja bersitegang dengan Tommy setengah jam lalu. Tommy memang bajinga* sejati. Setelah tarik ulur seki
Jihan baru saja turun dari angkutan umum. Namun ia telah disambut oleh Bu Umi, Bu Iyet dan Bu Tatik di depan pintu warung. Ketiga ibu-ibu tersebut duduk beralaskan koran di depan warung. Sepertinya mereka bertiga telah menunggunya cukup lama. Karena posisi duduk mereka telah menyerupai dengan orang yang sedang piknik saja. Ada rantang empat susun dan juga botol air minum di sana. Melihat kehadirannya ketiga ibu-ibu tersebut bangkit dan menyambutnya."Akhirnya Mbak datang juga. Kami sudah satu jam-an menunggu Mbak di sini." Bu Umi menghampiri Jihan. Diikuti dengan Bu Iyet dan Bu Tatik."Iya, Bu. Kami memang datang ke warung jam segini. Soalnya harus mengurus anak dulu. Oh ya, ibu-ibu pagi-pagi ke sini ada apa? Bukannya janjinya nanti siang ya, ibu-ibu akan mengklarifikasi semuanya?""Iya. Tapi kami ingin menunjukkan pada Mbak Jihan, kalau kami telah lebih dulu melakukan klarifikasi melalui media sosial juga. Kebetulan saya,
"Bu, lelenya tambah tiga lagi. Ayamnya empat. Mbak Retno, kopinya dua, teh manis dinginnya empat dan air mineral satu." Setengah berlari Narti bergegas ke dapur. Ia sangat gembira hari ini. Pelanggan tumpah ruah setelah hampir dua minggu warung sepi. Setelah ibu-ibu yang membuat kekacauan melakukan klarifikasi langsung ke warung kemarin, hari ini para pelanggan telah kembali. Mereka semua sudah tidak was was lagi untuk menyantap makan siang di warung."Lelenya tinggal dua, Nar. Coba tanya orang yang memesan, lelenya diganti ayam saja mau tidak?" Jihan meniriskan lele dan mulai menggoreng ayam. Aroma semerbak bumbu ayam dan lele goreng pun menguar di udara."Iya, ganti ayam saja, Bu. Tadi saya sudah bilang kalau lelenya bisa saja sudah habis. Kata orangnya ganti ayam saja," ujar Narti."Nar, minumannya diantar ke meja berapa?" imbuh Retno dari arah tempat minuman.
"Azzam ulangi sekali lagi. Mengapa Ibu ke sini? Jangan katakan kalau Ibu ingin makan di sini. Karena Azzam tidak akan percaya." Kalimat Azzam tidak langsung direspon oleh Bu Sahila. Alih-alih menjawab, Bu Sahila malah melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya Bu Sahila ingin memastikan kalau perseteruannya dengan Azzam tidak dilihat oleh mata-mata pengunjung warung. Walau keadaan warung sudah tidak seramai seperti saat makan siang tadi, tetapi tetap saja masih ada beberapa pengunjung yang tengah menikmati makan siang. Bu Sahila terlihat tidak nyaman karenanya."Kalau Ibu tidak keberatan, Ibu dan Pak Azzam bisa berbicara di belakang. Tapi ya, begitulah. Keadaannya darurat."Jihan berinisiatif menawarkan Bu Sahila dan Azzam berbicara di ruangan dekat dapur belakang. Walaupun kecil tapi ruangan itu cukup nyaman untuk berbicara berdua. Masalah pribadi memang sebaiknya diselesaikan di tempat yang
"Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Status saya tidak memperbolehkan saya menjawabnya.""Tidak masalah. Saya merasakan perasaan ini sendiri saat ini. Jadi sayalah yang harus bertanggung jawab sendiri karenanya. Namun kalau kamu merasakan hal yang sama, saya bersedia menunggu. Bukan hanya sampai statusmu berubah. Namun sampai hatimu sendiri yang mengatakan ya.""Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Sungguh. Sejak masa pubertas, saya hanya mengenal Tommy seorang. Saya tidak tau apakah saya bisa memberi perasaan istimewa itu pada laki-laki lain. Saya tidak ingin menyakiti Bapak.""Sama. Sejak masa baligh saya, saya hanya mengenal Naima seorang. Kita berdua pada dasarnya sama. Yaitu kita setia dengan pilihan kita. Namun ia kini tiada, dan saya mencoba mendekat pada orang yang membuat saya nyaman, walau dada saya tidak berhenti berdebar. Salah kah?"
"Selamat malam, Han.""Lo lagi, lo lagi!" Tommy berkacak pinggang di belakang Jihan dengan pintu terbuka lebar. Ia jengkel sekali melihat siapa tamu yang datang. Si pembunuh tidak tau diri, Azzam."Lo nggak ada harga dirinya ya jadi manusia? Udah status Jihan masih jadi istri orang. Eh lo masih nyosor aja. Padahal lo tau ada gue di sini."Tommy kembali memaki. Ia yakin kalau Azzam mengetahui keberadaannya di rumah ini. Mobilnya terparkir di sudut jalan. Itu artinya Azzam memang sengaja mencari pasal dengannya."Memang pebinor zaman sekarang udah pada putus urat malunya. Nggak ada akhlak. Balik lo sono!' Tommy merangsek ke depan.Ia bermaksud membanting pintu tepat di depan muka Azzam. Namun gerakan Azzam lebih cepat. Ia menahan pintu dengan tangan kanannya. Sementara kakinya dengan sengaja ia letakkan di sudut pintu. Akibatnya Tommy kesulitan untuk menutupnya.