"Azzam ulangi sekali lagi. Mengapa Ibu ke sini? Jangan katakan kalau Ibu ingin makan di sini. Karena Azzam tidak akan percaya."
"Kalau Ibu tidak keberatan, Ibu dan Pak Azzam bisa berbicara di belakang. Tapi ya, begitulah. Keadaannya darurat."
Jihan berinisiatif menawarkan Bu Sahila dan Azzam berbicara di ruangan dekat dapur belakang. Walaupun kecil tapi ruangan itu cukup nyaman untuk berbicara berdua. Masalah pribadi memang sebaiknya diselesaikan di tempat yang
"Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Status saya tidak memperbolehkan saya menjawabnya.""Tidak masalah. Saya merasakan perasaan ini sendiri saat ini. Jadi sayalah yang harus bertanggung jawab sendiri karenanya. Namun kalau kamu merasakan hal yang sama, saya bersedia menunggu. Bukan hanya sampai statusmu berubah. Namun sampai hatimu sendiri yang mengatakan ya.""Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Sungguh. Sejak masa pubertas, saya hanya mengenal Tommy seorang. Saya tidak tau apakah saya bisa memberi perasaan istimewa itu pada laki-laki lain. Saya tidak ingin menyakiti Bapak.""Sama. Sejak masa baligh saya, saya hanya mengenal Naima seorang. Kita berdua pada dasarnya sama. Yaitu kita setia dengan pilihan kita. Namun ia kini tiada, dan saya mencoba mendekat pada orang yang membuat saya nyaman, walau dada saya tidak berhenti berdebar. Salah kah?"
"Selamat malam, Han.""Lo lagi, lo lagi!" Tommy berkacak pinggang di belakang Jihan dengan pintu terbuka lebar. Ia jengkel sekali melihat siapa tamu yang datang. Si pembunuh tidak tau diri, Azzam."Lo nggak ada harga dirinya ya jadi manusia? Udah status Jihan masih jadi istri orang. Eh lo masih nyosor aja. Padahal lo tau ada gue di sini."Tommy kembali memaki. Ia yakin kalau Azzam mengetahui keberadaannya di rumah ini. Mobilnya terparkir di sudut jalan. Itu artinya Azzam memang sengaja mencari pasal dengannya."Memang pebinor zaman sekarang udah pada putus urat malunya. Nggak ada akhlak. Balik lo sono!' Tommy merangsek ke depan.Ia bermaksud membanting pintu tepat di depan muka Azzam. Namun gerakan Azzam lebih cepat. Ia menahan pintu dengan tangan kanannya. Sementara kakinya dengan sengaja ia letakkan di sudut pintu. Akibatnya Tommy kesulitan untuk menutupnya.
"Bu, pecel ayamnya tambah empat lagi. Lele gorengnya lima," seru Retno seraya meletakkan baki. Pada saat jam makan siang seperti ini, kesibukan mereka memang luar biasa. Maklum saja, para karyawan dan karyawati tumpah ruah di warungnya. Istimewa sekarang makanan pilihannya semakin banyak. Selain ayam, lele penyet, lele balado dan sebagainya. Kini ditambah dengan stan ayam penyet, sate padang dan juga mie balap. Dengan beragamnya menu pilihan, tentu saja membuat pengunjung makin senang. Dan kesibukan menyenangkan mereka pun semakin bertambah. "Kamu bantu dulu Narti meracik tahu, tempe dan lalapannya, Ret. Jadi setelah semua lauk selesai digoreng, tinggal diletakkan ke masing-masing piring saja," usul Jihan. Retno mengangguk dan bergegas melaksanakan usul majikan mudanya. Melihat kehadiran Retno, Narti pun bergegas membuat minuman. Pekerjaan di warung ini memang serabutan. Artinya saling b
"Kalau nanti kamu ditanya-tanya oleh hakim, sikapi dengan tenang. Dengarkan pertanyaan mereka baik-baik dan jawab dengan akal sehat, bukan dengan emosi. Ingat, poinnya di sini adalah emosi."Jihan mendengarkan segala nasehat Abdi dengan sungguh-sungguh. Jujur, ia sudah tidak sabar untuk bisa secepatnya lepas dari Tommy. Oleh karena itu, ia akan mendengarkan semua nasehat pengacaranya ini dengan sebaik mungkin.Saat ini ia akan menghadiri sidang pembacaan surat gugatan yang akan dibacakan oleh Tommy, atau diwakilkan oleh salah seorang majelis hakim yang ditunjuk. Ia telah melewati masa mediasi karena ia memang tidak menginginkannya. Kata rujuk jauh dari pemikirannya. Satu hal yang Jihan syukuri adalah, Tommy juga tidak mempermasalahkannya. Namun Jihan mempersiapkan mentalnya untuk masalah lain. Tommy pasti tengah merencanakan sesuatu. Jika Tommy bersedia melepas sesuatu, hampir bisa dipastikan ia telah menggigit sesuatu lainnya, yang tentu
Jihan menarik napas panjang saat melihat mobil ayahnya terparkir diujung jalan. Jihan tahu, pasti ayahnya marah karena dirinya tidak bersedia rujuk dengan Tommy. Jihan mengira kabar bahwa dirinya dan Tommy baru saja menjalani sidang pertama perceraian, telah sampai di telinga ayahnya.Namun apapun itu, laki-laki setengah baya yang kini tengah berjalan ke arahnya adalah ayah kandungnya sendiri. Darah dan dagingnya berasal dari laki-laki di depannya ini. Jihan wajib menghormatinya, walaupun sang ayah tidak pernah merasa kalau dirinya menghormati sang ayah."Kamu ini memang benar-benar keras kepala, Han! Kamu tidak pernah sekalipun menuruti kemauan Ayah seperti, kakakmu, Nihan! Kamu mau jadi anak durhaka hah?!" Belum juga menyalim tangan ayahnya, ia sudah lebih dulu diamuk sang ayah."Masuk dulu ke dalam, Yah. Nanti Jihan jelaskan semuanya. Tidak enak dilihat tetangga, Yah." Jihan yang berdiri di ambang pintu, melebarka
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa tiga bulan telah berlalu. Karena pihak Tommy tidak lagi mempersulit perceraian, maka sidang perceraiannya pun berjalan lancar. Dalam kurun waktu tiga bulan saja, mereka berdua telah melalui tahapan persidangan. Dan hari ini adalah sidang terakhir pembacaan keputusan cerainya.Selama menjadi persidangan berikutnya, Tommy tidak sekalipun pernah lagi menghadirinya. Kecuali saat sidang pertama. Tommy telah menguasakan segala urusannya pada pengacaranya. Makanya semua tahapan mereka lalui dengan lancar jaya.Jihan tidak henti-hentinya mengucapkan kata alhamdullilah dalam hati, ketika hakim akhirnya mengetuk palu sebanyak tiga kali. Artinya ia kini telah resmi bercerai dengan Tommy.Jihan masih merasa tidak percaya. Bahkan saat pengacara Tommy menyalaminya, Jihan menyambut dengan air muka datar. Ia masih percaya dan tidak percaya. Bayangkan saja, Tommy yang b
Jihan memindai jam dinding. Waktu telah menunjukkan pukul 16.05 WIB. Sebaiknya sekarang saja ia berbelanja sembako yang telah menipis di rumah. Mumpung hypermart sedang mengadakan promo besar-besaran, sebaiknya ia berbelanja di sana saja. Selama ini kalau kepepet ia akan berbelanja di mini market seberang warung. Tentu saja harganya relatif lebih mahal dari hypermart. Makanya saat ia mempunyai waktu luang dan rezeki berlebih, ia lebih suka berbelanja di hypermart."Ibu tidak jadi belanja?" Retno yang baru saja mengantarkan minuman pada pengunjung menyapanya sekilas."Jadi, Ret. Makanya ini Ibu mau mandi sebentar dulu. Badan Ibu rasanya lengket semua karena minyak dan keringat. Oh ya, Ibu nanti akan langsung pulang setelah selesai berbelanja. Kamu dan Narti saja yang menutup warung nanti ya, Ret?" pesan Jihan seraya berjalan ke kamar mandi."Baik, Bu. Nanti saya dan Narti akan menutup warung. Sesuai pesan Ibu yang biasa, ka
Jihan panas dingin saat mobil Azzam meluncur mulus memasuki satu kompleks perumahan elit. Jihan tahu kalau perumahan eksklusif ini rata-rata dihuni oleh para pejabat dan konglomerat negeri ini. Selain itu ada beberapa artis papan atas yang juga mendiami kompleks ini. Wajar Azzam tinggal di sini mengingat status sosial keluarga Alkatiri. Nadiem Alkatiri, ayah Azzam, memiliki beberapa perusahaan raksasa yang tengah berkembang pesat saat ini.Mobil terus melaju hingga berhenti pada pintu gerbang satu rumah mewah dan megah. Dari relief-relief pagarnya saja, rumah ini seolah-olah meneriakkan kata mahal pada setiap orang yang datang.Saat Azzam meraih remote untuk membuka pagar, Jihan iseng mengamati pagar artistik di depannya. Gerbangnya tinggi menjulang. Pada bagian pagar besi ada pola belah ketupat yang menjadikan pagar terlihat estetik. Hal lainnya yang menjadikan pagar ini mewah adalah bagian gapuranya.Material gapura dibuat menggunak