"Apa Tommy sudah tau kalau kamu memindahkan sekolah Niko, Han?" Bu Rianti memandangi Niko yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Di sebelahnya Jihan duduk seraya melipat-lipat selimut. Sementara dirinya sendiri, tengah berdiri sembari berayun ke kanan dan ke kiri menggendong Niki. Ia rindu sekali dengan kedua cucunya.
Saat ini ia tengah berada di rumah kontrakan Jihan. Kesehatannya sudah pulih. Makanya ia bisa mengunjungi Jihan dan kedua cucunya. Rencananya ia akan menginap semalam di sini demi melepas rindu. Ia telah membawa kasur lipatnya sendiri. Karena ia tahu keadaan Jihan masih serba darurat.
"Sudah, Bu. Makanya di telepon tadi Mas Tommy terus menyinggung-nyinggung soal hak asuh anak. Katanya Jihan tidak becus mengurus Niko."
Sembari melipat selimut, Jihan menjawab apa adanya. Kepalanya masih pusing akibat baru saja bersitegang dengan Tommy setengah jam lalu. Tommy memang bajinga* sejati. Setelah tarik ulur seki
Jihan baru saja turun dari angkutan umum. Namun ia telah disambut oleh Bu Umi, Bu Iyet dan Bu Tatik di depan pintu warung. Ketiga ibu-ibu tersebut duduk beralaskan koran di depan warung. Sepertinya mereka bertiga telah menunggunya cukup lama. Karena posisi duduk mereka telah menyerupai dengan orang yang sedang piknik saja. Ada rantang empat susun dan juga botol air minum di sana. Melihat kehadirannya ketiga ibu-ibu tersebut bangkit dan menyambutnya."Akhirnya Mbak datang juga. Kami sudah satu jam-an menunggu Mbak di sini." Bu Umi menghampiri Jihan. Diikuti dengan Bu Iyet dan Bu Tatik."Iya, Bu. Kami memang datang ke warung jam segini. Soalnya harus mengurus anak dulu. Oh ya, ibu-ibu pagi-pagi ke sini ada apa? Bukannya janjinya nanti siang ya, ibu-ibu akan mengklarifikasi semuanya?""Iya. Tapi kami ingin menunjukkan pada Mbak Jihan, kalau kami telah lebih dulu melakukan klarifikasi melalui media sosial juga. Kebetulan saya,
"Bu, lelenya tambah tiga lagi. Ayamnya empat. Mbak Retno, kopinya dua, teh manis dinginnya empat dan air mineral satu." Setengah berlari Narti bergegas ke dapur. Ia sangat gembira hari ini. Pelanggan tumpah ruah setelah hampir dua minggu warung sepi. Setelah ibu-ibu yang membuat kekacauan melakukan klarifikasi langsung ke warung kemarin, hari ini para pelanggan telah kembali. Mereka semua sudah tidak was was lagi untuk menyantap makan siang di warung."Lelenya tinggal dua, Nar. Coba tanya orang yang memesan, lelenya diganti ayam saja mau tidak?" Jihan meniriskan lele dan mulai menggoreng ayam. Aroma semerbak bumbu ayam dan lele goreng pun menguar di udara."Iya, ganti ayam saja, Bu. Tadi saya sudah bilang kalau lelenya bisa saja sudah habis. Kata orangnya ganti ayam saja," ujar Narti."Nar, minumannya diantar ke meja berapa?" imbuh Retno dari arah tempat minuman.
"Azzam ulangi sekali lagi. Mengapa Ibu ke sini? Jangan katakan kalau Ibu ingin makan di sini. Karena Azzam tidak akan percaya." Kalimat Azzam tidak langsung direspon oleh Bu Sahila. Alih-alih menjawab, Bu Sahila malah melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya Bu Sahila ingin memastikan kalau perseteruannya dengan Azzam tidak dilihat oleh mata-mata pengunjung warung. Walau keadaan warung sudah tidak seramai seperti saat makan siang tadi, tetapi tetap saja masih ada beberapa pengunjung yang tengah menikmati makan siang. Bu Sahila terlihat tidak nyaman karenanya."Kalau Ibu tidak keberatan, Ibu dan Pak Azzam bisa berbicara di belakang. Tapi ya, begitulah. Keadaannya darurat."Jihan berinisiatif menawarkan Bu Sahila dan Azzam berbicara di ruangan dekat dapur belakang. Walaupun kecil tapi ruangan itu cukup nyaman untuk berbicara berdua. Masalah pribadi memang sebaiknya diselesaikan di tempat yang
"Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Status saya tidak memperbolehkan saya menjawabnya.""Tidak masalah. Saya merasakan perasaan ini sendiri saat ini. Jadi sayalah yang harus bertanggung jawab sendiri karenanya. Namun kalau kamu merasakan hal yang sama, saya bersedia menunggu. Bukan hanya sampai statusmu berubah. Namun sampai hatimu sendiri yang mengatakan ya.""Saya tidak tau harus menjawab apa, Pak. Sungguh. Sejak masa pubertas, saya hanya mengenal Tommy seorang. Saya tidak tau apakah saya bisa memberi perasaan istimewa itu pada laki-laki lain. Saya tidak ingin menyakiti Bapak.""Sama. Sejak masa baligh saya, saya hanya mengenal Naima seorang. Kita berdua pada dasarnya sama. Yaitu kita setia dengan pilihan kita. Namun ia kini tiada, dan saya mencoba mendekat pada orang yang membuat saya nyaman, walau dada saya tidak berhenti berdebar. Salah kah?"
"Selamat malam, Han.""Lo lagi, lo lagi!" Tommy berkacak pinggang di belakang Jihan dengan pintu terbuka lebar. Ia jengkel sekali melihat siapa tamu yang datang. Si pembunuh tidak tau diri, Azzam."Lo nggak ada harga dirinya ya jadi manusia? Udah status Jihan masih jadi istri orang. Eh lo masih nyosor aja. Padahal lo tau ada gue di sini."Tommy kembali memaki. Ia yakin kalau Azzam mengetahui keberadaannya di rumah ini. Mobilnya terparkir di sudut jalan. Itu artinya Azzam memang sengaja mencari pasal dengannya."Memang pebinor zaman sekarang udah pada putus urat malunya. Nggak ada akhlak. Balik lo sono!' Tommy merangsek ke depan.Ia bermaksud membanting pintu tepat di depan muka Azzam. Namun gerakan Azzam lebih cepat. Ia menahan pintu dengan tangan kanannya. Sementara kakinya dengan sengaja ia letakkan di sudut pintu. Akibatnya Tommy kesulitan untuk menutupnya.
"Bu, pecel ayamnya tambah empat lagi. Lele gorengnya lima," seru Retno seraya meletakkan baki. Pada saat jam makan siang seperti ini, kesibukan mereka memang luar biasa. Maklum saja, para karyawan dan karyawati tumpah ruah di warungnya. Istimewa sekarang makanan pilihannya semakin banyak. Selain ayam, lele penyet, lele balado dan sebagainya. Kini ditambah dengan stan ayam penyet, sate padang dan juga mie balap. Dengan beragamnya menu pilihan, tentu saja membuat pengunjung makin senang. Dan kesibukan menyenangkan mereka pun semakin bertambah. "Kamu bantu dulu Narti meracik tahu, tempe dan lalapannya, Ret. Jadi setelah semua lauk selesai digoreng, tinggal diletakkan ke masing-masing piring saja," usul Jihan. Retno mengangguk dan bergegas melaksanakan usul majikan mudanya. Melihat kehadiran Retno, Narti pun bergegas membuat minuman. Pekerjaan di warung ini memang serabutan. Artinya saling b
"Kalau nanti kamu ditanya-tanya oleh hakim, sikapi dengan tenang. Dengarkan pertanyaan mereka baik-baik dan jawab dengan akal sehat, bukan dengan emosi. Ingat, poinnya di sini adalah emosi."Jihan mendengarkan segala nasehat Abdi dengan sungguh-sungguh. Jujur, ia sudah tidak sabar untuk bisa secepatnya lepas dari Tommy. Oleh karena itu, ia akan mendengarkan semua nasehat pengacaranya ini dengan sebaik mungkin.Saat ini ia akan menghadiri sidang pembacaan surat gugatan yang akan dibacakan oleh Tommy, atau diwakilkan oleh salah seorang majelis hakim yang ditunjuk. Ia telah melewati masa mediasi karena ia memang tidak menginginkannya. Kata rujuk jauh dari pemikirannya. Satu hal yang Jihan syukuri adalah, Tommy juga tidak mempermasalahkannya. Namun Jihan mempersiapkan mentalnya untuk masalah lain. Tommy pasti tengah merencanakan sesuatu. Jika Tommy bersedia melepas sesuatu, hampir bisa dipastikan ia telah menggigit sesuatu lainnya, yang tentu
Jihan menarik napas panjang saat melihat mobil ayahnya terparkir diujung jalan. Jihan tahu, pasti ayahnya marah karena dirinya tidak bersedia rujuk dengan Tommy. Jihan mengira kabar bahwa dirinya dan Tommy baru saja menjalani sidang pertama perceraian, telah sampai di telinga ayahnya.Namun apapun itu, laki-laki setengah baya yang kini tengah berjalan ke arahnya adalah ayah kandungnya sendiri. Darah dan dagingnya berasal dari laki-laki di depannya ini. Jihan wajib menghormatinya, walaupun sang ayah tidak pernah merasa kalau dirinya menghormati sang ayah."Kamu ini memang benar-benar keras kepala, Han! Kamu tidak pernah sekalipun menuruti kemauan Ayah seperti, kakakmu, Nihan! Kamu mau jadi anak durhaka hah?!" Belum juga menyalim tangan ayahnya, ia sudah lebih dulu diamuk sang ayah."Masuk dulu ke dalam, Yah. Nanti Jihan jelaskan semuanya. Tidak enak dilihat tetangga, Yah." Jihan yang berdiri di ambang pintu, melebarka
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima