Kegelapan yang menyelubunginya berangsur-angsur memudar dan pada akhirnya menghilang. Bertepatan dengan itu, Jihan membuka matanya. Pemandangan serba putih serta infus yang ada di tangannya memberi satu clue. Ia berada di rumah sakit rupanya.
"Alhamdullilah, kamu sudah sadar, Han."
Suara ibunya.
"Kenapa Jihan ada di sini, Bu?"
"Kamu pingsan di warung, Han. Makanya kamu dibawa ke sini." Jihan mengumpulkan ingatan. Pertengkaran Tommy dan Azzam. Ia mengambil seember air. Selanjutnya kegelapanlah yang ia rasakan. Ia tidak sadarkan diri setelahnya ternyata.
"Perasaanmu bagaimana, Han? Mana yang sakit?" Wajah penuh rasa khawatir ibunya mengait kembali emosi Jihan. Jihan sedih saat teringat pada kelakuan ayahnya dan anak abege di kafe tadi siang. Jihan terisak. Sungguh, bukan sakit fisik yang membuatnya cengeng, tapi sakit hati. Ia menangis untuk ibunya.<
Azzam mengantar kepulangan Jihan dengan pandangan mata. Ia berdiri di sudut pilar. Memperhatikan taksi online yang membawa Jihan dan Retno menjauhi tempat parkir. Azzam menghela napas kasar. Separuh kesal separuh mengagumi perempuan keras hati itu.Jihan adalah benar-benar wanita baik dalam arti yang sebenar-benarnya. Jihan tidak pernah bersedia menggunakan ilmu aji mumpung. Ketika tau bahwa biaya rawat inapnya di rumah sakit gratis, air muka Jihan berubah malu bercampur khawatir. Terlebih lagi saat mengetahui bahwa dirinyalah yang menggratiskannya. Jihan makin serba salah. Dengarlah ucapannya tadi. Kalau ada kata di atas ucapan terima kasih, ia akan memilih kata itu. Jihan sungkan karena merasa telah terlalu menyusahkannya.Padahal itu semua ia lakukan hanya karena kebetulan saja. Bukan karena ia niatkan. Tommy membawa Jihan ke rumah sakit milik orang tuanya. Dan tau, bahwa Jihan tidak akan bersedia kalau biaya perawatannya ditalangi oleh
Jihan duduk melamun di pojok warung. Menatap nelangsa titik-titik air yang turun membasahi bumi. Sudah seminggu ini warungnya sangat sepi. Tepatnya sejak tiga orang ibu-ibu melabrak warungnya tujuh hari yang lalu. Tiga hari setelah kejadian, warungnya sempat kembali ramai. Jihan waktu ia sangat gembira. Ia mengira kalau para pelanggannya telah melupakan kejadian ayam busuk itu. Walaupun ia merasa sedikit aneh. Karena mereka tidak bersedia makan di warung seperti biasanya. Mereka lebih memilih makanannya dibungkus saja.Sekitar satu jam kemudian, barulah Jihan mendapatkan jawabannya. Ternyata para pelanggannya yang sebagian besar adalah karyawan dan karyawati Azzam itu membeli makanannya karena terpaksa. Azzam mentraktir mereka semua makan siang, dengan catatan harus memesan di warungnya. Mereka semua memang membelinya. Namun mereka membuang semua pesanan ke tempat sampah. Mereka sepertinya takut diberikan bangkai ayam, namun mereka tidak berani membantah p
"Lewat sini, Han." Azzam menggerakkan tangannya ke arah ruang Juru Periksa kepolisian. Jihan mengikuti langkah Azzam dengan kepala penuh prasangka. Ia penasaran tentang siapa dalang dibalik keributan di warungnya. Benaknya mengabsen satu demi satu kemungkinan orang-orang yang berniat buruk padanya. Sebelum memasuki ruangan Juru Periksa, Jihan memperhatikan penampilannya. Blusnya yang tadi basah, sudah lumayan kering. Hanya bagian ujung-ujung lengannya yang agak lembab. Penampilannya masih cukup rapi. Baru saja melewati pintu, ia telah disambut tiga orang ibu-ibu yang kemarin dulu mengacau di warungnya. Ketiganya telah dibekuk pihak kepolisian rupanya."Maafkan kami, Mbak. Kami sungguh-sungguh minta maaf. Kami terpaksa melakukan semua ini. Kami menyesal, Mbak!" Jihan nyaris jatuh terjengkang, saat tiga ibu-ibu yang menyabotase warungnya itu, menubruk kakinya secara bersamaan. Untung saja, Azzam dengan cepat menahan bahunya."Astaghfirul
Jihan tiba di kantor Tommy tepat pukul empat sore. Dan ia sedikit gugup saat tiba di depan pintu kaca. Selama enam tahun lebih menjadi istri Tommy, kehadirannya di kantor bisa dihitung dengan jari. Kalau tidak salah hanya sekitar tiga atau empat kali.Kali pertama datang adalah saat ia ingin memberi kejutan di hari ulang tahun Tommy. Kali kedua dan seterusnya, ia datang untuk mengantarkan makan siang Tommy. Waktu itu ia dan Tommy masih dalam suasana pengantin baru dan ia sedang senang-senangnya belajar memasak. Ia tertarik melihat Bu Mirna, juru masaknya yang sangat piawai mengolah bahan makanan apapun menjadi enak untuk disantap.Demi menunjukkan baktinya sebagai seorang istri yang baik, maka ia pun belajar keras dengan arahan Bu Mirna. Bu Mirna dan beberapa ART kerap mengoreksi rasa masakannya, sebelum ia mengantarkannya ke kantor Tommy.Tommy memang mengucapkan terima kasih karena ia telah bersusah payah memasak. Namun
"Apa Tommy sudah tau kalau kamu memindahkan sekolah Niko, Han?" Bu Rianti memandangi Niko yang tengah tertidur pulas di atas ranjang. Di sebelahnya Jihan duduk seraya melipat-lipat selimut. Sementara dirinya sendiri, tengah berdiri sembari berayun ke kanan dan ke kiri menggendong Niki. Ia rindu sekali dengan kedua cucunya.Saat ini ia tengah berada di rumah kontrakan Jihan. Kesehatannya sudah pulih. Makanya ia bisa mengunjungi Jihan dan kedua cucunya. Rencananya ia akan menginap semalam di sini demi melepas rindu. Ia telah membawa kasur lipatnya sendiri. Karena ia tahu keadaan Jihan masih serba darurat."Sudah, Bu. Makanya di telepon tadi Mas Tommy terus menyinggung-nyinggung soal hak asuh anak. Katanya Jihan tidak becus mengurus Niko."Sembari melipat selimut, Jihan menjawab apa adanya. Kepalanya masih pusing akibat baru saja bersitegang dengan Tommy setengah jam lalu. Tommy memang bajinga* sejati. Setelah tarik ulur seki
Jihan baru saja turun dari angkutan umum. Namun ia telah disambut oleh Bu Umi, Bu Iyet dan Bu Tatik di depan pintu warung. Ketiga ibu-ibu tersebut duduk beralaskan koran di depan warung. Sepertinya mereka bertiga telah menunggunya cukup lama. Karena posisi duduk mereka telah menyerupai dengan orang yang sedang piknik saja. Ada rantang empat susun dan juga botol air minum di sana. Melihat kehadirannya ketiga ibu-ibu tersebut bangkit dan menyambutnya."Akhirnya Mbak datang juga. Kami sudah satu jam-an menunggu Mbak di sini." Bu Umi menghampiri Jihan. Diikuti dengan Bu Iyet dan Bu Tatik."Iya, Bu. Kami memang datang ke warung jam segini. Soalnya harus mengurus anak dulu. Oh ya, ibu-ibu pagi-pagi ke sini ada apa? Bukannya janjinya nanti siang ya, ibu-ibu akan mengklarifikasi semuanya?""Iya. Tapi kami ingin menunjukkan pada Mbak Jihan, kalau kami telah lebih dulu melakukan klarifikasi melalui media sosial juga. Kebetulan saya,
"Bu, lelenya tambah tiga lagi. Ayamnya empat. Mbak Retno, kopinya dua, teh manis dinginnya empat dan air mineral satu." Setengah berlari Narti bergegas ke dapur. Ia sangat gembira hari ini. Pelanggan tumpah ruah setelah hampir dua minggu warung sepi. Setelah ibu-ibu yang membuat kekacauan melakukan klarifikasi langsung ke warung kemarin, hari ini para pelanggan telah kembali. Mereka semua sudah tidak was was lagi untuk menyantap makan siang di warung."Lelenya tinggal dua, Nar. Coba tanya orang yang memesan, lelenya diganti ayam saja mau tidak?" Jihan meniriskan lele dan mulai menggoreng ayam. Aroma semerbak bumbu ayam dan lele goreng pun menguar di udara."Iya, ganti ayam saja, Bu. Tadi saya sudah bilang kalau lelenya bisa saja sudah habis. Kata orangnya ganti ayam saja," ujar Narti."Nar, minumannya diantar ke meja berapa?" imbuh Retno dari arah tempat minuman.
"Azzam ulangi sekali lagi. Mengapa Ibu ke sini? Jangan katakan kalau Ibu ingin makan di sini. Karena Azzam tidak akan percaya." Kalimat Azzam tidak langsung direspon oleh Bu Sahila. Alih-alih menjawab, Bu Sahila malah melirik ke kanan dan ke kiri. Sepertinya Bu Sahila ingin memastikan kalau perseteruannya dengan Azzam tidak dilihat oleh mata-mata pengunjung warung. Walau keadaan warung sudah tidak seramai seperti saat makan siang tadi, tetapi tetap saja masih ada beberapa pengunjung yang tengah menikmati makan siang. Bu Sahila terlihat tidak nyaman karenanya."Kalau Ibu tidak keberatan, Ibu dan Pak Azzam bisa berbicara di belakang. Tapi ya, begitulah. Keadaannya darurat."Jihan berinisiatif menawarkan Bu Sahila dan Azzam berbicara di ruangan dekat dapur belakang. Walaupun kecil tapi ruangan itu cukup nyaman untuk berbicara berdua. Masalah pribadi memang sebaiknya diselesaikan di tempat yang
Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t
"Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&
Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber
Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena
Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni
Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera
Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah
06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p
Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima