Share

Chapter 3

Author: Suzy Wiryanty
last update Last Updated: 2021-07-20 12:00:26

"Mengapa kamu belum pulang juga? Kamu bodoh sekali. Memberikan singgasana kamu begitu saja kepada orang lain yang cuma kebetulan singgah. Perempuan itu pasti bagaikan mendapatkan lotere sekarang. Pakai otakmu, Jihan!"

Syahnan yang bermaksud mengecek apakah Jihan sudah pulang ke rumahnya sendiri, naik pitam saat mendapati putrinya itu masih ada di rumahnya.  Jihan ini keras kepala sekali. Hanya karena memergoki suaminya bersama dengan wanita lain, anak perempuannya ini langsung patah arang. Putrinya ini naif sekali. Laki-laki sesekali mencari kesenangan di luar rumah itu biasa. Namanya juga laki-laki. Yang penting mereka tetap pulang ke rumah.

Syahnan yakin, Tommy tidak mencintai selingkuhannya itu. Tommy hanya iseng saja, seperti dirinya dan semua laki-laki kaya di muka bumi ini. Menantu laki-lakinya itu memiliki segalanya. Harta, karir, nama besar keluarga, dan juga pernikahan yang sempurna. Makanya Syahnan yakin, Tommy hanya sekedar iseng saja. Sudah menjadi rahasia umum kalau lagi-laki kelas premium itu mempunyai gaya hidup yang berbeda dengan laki-laki kebanyakan. Karena memiliki segalanya, mereka juga ingin menikmati semuanya. Mereka salah? Tidak juga. Jiwa seorang laki-laki memang seperti itu. Petualang dan pemburu. Mereka tidak akan pernah puas terhadap wanita, sama seperti wanita yang tidak pernah puas akan uang. Perkara ini memang sudah ada dari zaman dahulu. Bedanya dulu dilakukan dengan terang-terangan karena dilegalkan. Sementara sekarang dilakukan secara sembunyi-sembunyi, karena banyaknya lembaga-lembaga yang membela kaum perempuan. Tetapi prakteknya toh sama saja. Laki-laki tetap memenuhi hasratnya dengan berbagai cara. Intinya apapun usaha yang dilakukan perempuan untuk mengekang kegemaran mereka, hasilnya tetap nihil. Jadi untuk apa ambek-ambekan bukan? Prinsipnya hanya satu. Yang penting suami tetap pulang dan menafkahi. Habis cerita.  Mau mencoba merubah insting dasar mereka itu, ibarat seperti mengharap matahari terbit dari barat dan tenggelam di timur. Alias tidak mungkin! Ada laki-laki yang ingin membantah? Berarti selain pembohong, ia juga munafik. Titik.

"Rumah tangga bukan perusahaan, Yah. Bisa dihitung untung dan ruginya secara signifikan. Tapi tentang cinta dan kepercayaan. Kalau dua hal itu sudah tidak dimiliki, jadi apa nantinya rumah tangga kami?"

Jihan berupaya memberi pengertian pada ayahnya. Sembari melipat selimut, ia menjawab pertanyaan ayahnya sekedarnya. Sedari belum menikah pun, ia memang tidak pernah sependapat dengan ayahnya. Pandangan mereka berdua jauh berbeda.

Sudah seminggu ini Jihan menginap di rumah kedua orang tuanya. Jihan memang tidak mau lagi pulang ke rumah, setelah memergoki perselingkuhan Tommy. Keputusannya sudah bulat untuk meninggalkan Tommy. Sebenarnya pada hari pertamanya minggat, ia masih mempunyai  pemikirannya untuk berbaikan pada Tommy. Apalagi saat ibunya mengingatkan tentang kandungannya. Bulan depan ia akan segera melahirkan. Jadi ia tidak boleh egois hanya memikirkan dirinya sendiri. Ada anak-anak yang juga harus diperjuangkan masa depannya. Menurut ibunya beri saja Tommy satu kesempatan lagi, dan ia pun setuju.

Tetapi setelah seminggu di sini dan Tommy tidak pernah menginjakkan kakinya untuk meminta maaf secara langsung, Jihan pun merubah semua rencana hidupnya. Jihan merasa tidak ada gunanya lagi untuk melanjutkan rumah tangganya. Karena Tommy tidak merasa apa yang dilakukannya adalah sesuatu hal yang salah. Tommy menyebutnya dengan kata khilaf. Klarifikasi Tommy pun hanya melalui sambungan telepon saja, setelah Tommy gagal mengejarnya di kafe tempo hari. Jihan sekarang benar-benar sadar bahwa ternyata dirinya tidak sepenting itu bagi Tommy. Ia sekarang sudah melek.

"Resiko menikahi pria mapan, ya seperti itu, Jihan. Kamu pikir pejabat, pebisnis, dan para tokoh terkenal itu tidak punya selingkuhan?  Semuanya juga punya, Jihan. Jumlahnya puluhan atau berapa pun tidak ada yang tau. Hanya saja, di atas kertas dan dalam bermasyarakat, mereka tetap setia pada satu istri. Istri-istri mereka juga tau, Jihan. Istri-istri mereka hanya berpikir, yang penting suami-suami mereka tetap pulang dan uang bulanan tidak kurang. Sudah sampai di situ saja. Kamu tidak percaya dengan kata-kata Ayah?"

Syahnan terus mengomeli putrinya di ambang pintu. Ia kesal melihat Jihan yang sedari dulu tidak pernah akur dengannya. Beda sekali dengan Nihan, kakaknya. Yang selalu menuruti nasehat-nasehatnya. Makanya hidup Nihan dan keluarga kecilnya selalu adem ayem saja.

"Percaya sekali, Yah. Ibu adalah salah satu contoh nyata dari wanita-wanita itu. Dan Jihan adalah saksi hidup, bagaimana Ibu terus menangis setiap kali Ayah menyambangi madu-madu Ayah, atau perempuan mana pun itu untuk memuaskan nafsu. Dan Jihan bersumpah kalau Jihan tidak mau menjadi bagian dari wanita-wanita itu. Jihan muak melihat bagaimana seorang suami yang seharusnya menyayangi dan melindungi istrinya, malah jadi orang yang paling menyakitinya. Jihan tidak mau mengalami nasib yang sama seperti Ibu, Yah!" terang Jihan dengan dada sesak.

Ia miris melihat kaumnya yang tidak bisa melawan karena memang tidak berdaya. Status sebagai ibu rumah tangga yang hanya mengandalkan uang suami, serta malu karena nama baik menjadi buruk di masyarakat, membuat ibunya dan banyak perempuan-perempuan lain rela menahan luka batin.  Dan ia tidak mau ikut masuk ke dalam barisan sakit hati itu.

"Kalau begitu, menikahlah dengan laki-laki kere yang hanya untuk memberi makan mulutnya sendiri saja susah, apalagi menyuapi mulut perempuan lain. Tapi dengan satu catatan juga. Kalau suatu saat mereka kaya, pasti mereka akan mencari makanan lain juga. Ingatlah Jihan, laki-laki itu hanya setia kalau mereka sedang susah. Coba kalau sudah sugih, pasti mereka akan bertingkah juga. Percayalah pada Ayah. Ayah sudah hidup setua ini!" bentak Syahnan emosi.

Sungguh, ia sama sekali tidak mengira, kalau putrinya bisa sekeras kepala ini. Entah apa yang merasuki pikirannya. Putrinya ini belum tau betapa sulitnya hidup sebagai seorang janda. Apalagi dengan dua orang anak yang masih kecil-kecil. Terlebih lagi Jihan ini sudah terbiasa hidup enak sedari kecil. Mana mungkin putrinya ini bisa survive hidup sendiri? Ujung-ujungnya pasti akan menyusahkannya juga. Belum lagi mereka akan menjadi bahan omongan tetangga. Baru menikah beberapa tahun sudah bercerai. Aib ini akan mencoreng nama baik keluarga mereka tentu saja.

Jihan memandang ayahnya dingin. Sedari kecil ia telah dicekoki dengan perlakuan ketidakadilan terhadap kaum perempuan. Keluarga ayahnya menerapkan sistem patriakri dan feodalisme. Di mulai dari kakeknya, Syahrul Jayawijaya yang masih keturunan ningrat, kemudian ayahnya, Syahnan Jayawijaya hingga dua orang pamannya. Mereka semua masih memperlakukan budaya perseliran. Adalah hal yang biasa jika para laki-laki di keluarga ini, memiliki istri simpanan, baik sah secara agama, ataupun hanya sekedar jajan-jajan saja. Mereka menganggap hal tersebut wajar-wajar saja, selama mereka tidak menelantarkan anak dan istri mereka. Pokoknya selama keluarga intinya cukup sandang, pangan, papan, maka mereka harus tunduk pada suami. Dan Jihan muak dengan segala ketidakadilan zaman feodal ini.

"Mungkin saja yang Ayah katakan itu benar. Istimewa karena Ayah berkelakuan sama seperti mereka, makanya Ayah berpikir kalau semua orang sepemikiran dengan Ayah. Tetapi laki-laki yang baik juga banyak, Yah. Jihan tidak suka menyamaratakan orang. Satu hal yang pasti  Jihan tidak sudi memunguti serpihan sisa-sisa cinta dari laki-laki jahat penyiksa psikologis perempuan. Maaf, Jihan tidak bisa bersikap seperti Ibu, yang selalu tersenyum walau telah Ayah perlakukan seperti keset wellcome."

Air muka ayahnya menghitam saat mendengar argumennya. Tangan kanan ayahnya seketika terangkat ke udara. Jihan memejamkan matanya. Siap-siap menerima perlakuan kasar ayahnya. Sikap ayahnya selalu seperti ini. Menggunakan kekerasan apabila ayahnya tidak bisa membantah kebenaran argumennya. Satu hal yang tidak Jihan duga adalah ibunya tiba-tiba saja menerobos ke dalam kamar. Sepertinya ibunya sudah cukup lama berdiri di balik pintu kamar yang memang terbuka separuh.

"Jangan pernah menyakiti Jihan lagi, Mas! Jihan sedang susah. Sebagai orang tua, seharusnya Mas mendukung Jihan. Bukannya terus menekannya."

Rianti menyerbu masuk ke dalam kamar, dan menahan laju tangan suaminya. Sudah cukup selama ini ia menjadi korban keegoisan suaminya. Ia tidak mau kalau putrinya juga ikut teraniaya. Sekarang ia sudah tua. Ia sudah tidak takut apapun lagi. Ia sudah muak dengan segala urusan duniawi. Hanya saja, selama ia masih hidup, ia akan terus berusaha melindungi anak-anaknya.

"Aku bertahan selama ini, demi anak-anak dan nama baik keluarga kita. Tetapi kalau Mas kembali main tangan seperti ini, Aku tidak akan mengalah lagi, Mas."

Jihan terkesima. Untuk kali pertama, Jihat melihat ibunya berani menentang ayahnya. Tatapan ibunya juga berbeda. Jika biasanya ibunya mengalah dan manut-manut saja, kali ini tatapan ibunya membara. Ibunya bersikap galak seperti seekor induk ayam yang melindungi anak-anaknya. Ayahnya sejenak tertegun, sebelum mendengus kesal.

"Baik! Kalau kamu tidak mau menerima nasihat Ayah, terserah! Tapi ingat, jangan menyusahkan Ayah dan mencari perlindungan di rumah ini. Pokoknya, selama Tommy tidak mengantarkan kamu pada Ayah, Ayah tidak akan menerima kehadiranmu. Ayah tidak suka kalau kamu sedikit-sedikit minggat dari rumah. Seperti tidak diajari tata krama oleh orang tua saja!"

Syahnan bergegas keluar dari kamar setelah memperingati putrinya. Perempuan sekarang memang banyak maunya. Tidak seperti perempuan di zamannya dulu. Semua hal mereka pasrahkan kepada orang tua. Apalagi kali ini, Rianti ikut-ikutan menentangnya. Entah mengapa akhir-akhirnya ini anak-anak dan istrinya banyak tingkah. Sebaiknya ia ke rumah madunya saja. Di sana ia akan disambut seperti raja dan diperlakukan penuh cinta.

Akan hal Rianti, ia hanya bisa menarik napas panjang, saat suaminya berlalu sembari membanting pintu. Dulu ia selalu mengalah mengingat anak-anaknya yang masih kecil-kecil. Ia takut kalau ia tidak mampu membesarkan anaknya dengan layak, kalau ia menentang Syahnan. Ia hanyalah seorang ibu rumah tangga, yang mengandalkan uang suami. Menentang artinya tidak makan. Makanya ia terus bersabar walau hatinya berdarah-darah. Namun kini tidak lagi. Ia sudah tua. Usianya pun mungkin tidak akan panjang lagi. Oleh karena itu, selama ia masih hidup, ia akan terus mendukung anak-anaknya. Untuk itulah ia harus kuat, agar bisa membagi kekuatan pada putrinya. Karena Syahnan tidak memperbolehkan Jihan tinggal di rumah ini, Rianti pun mempersiapkan sebuah rencana. Intinya ia akan selalu mensupport Jihan, sampai batas kemampuannya.

***

Irama musik EDM menghentak-hentak penuh gairah di Exodus. Pada dini hari seperti ini, memang waktunya para pecinta dunia malam beraksi. Di dance floor, para wanita berpakaian seksi bergoyang panas dengan gaya sensual. Mereka sedang berlomba-lomba mencari perhatian para pria hidung belang berkantong tebal, atau sekedar bergembira ria melepas kepenatan. Sementara para executive muda yang sedang dugem, tertawa mesum sembari mengamati para penjaja cinta semalam yang bisa mereka booking. Sejurus kemudian para executive muda itu telah memindai wanita-wanita incaran mereka. Dan kini kedua kubu saling membutuhkan itu, tengah melakukan transaksi jual beli syahwa*.

Di tengah para penikmat dunia malam itu, Tommy duduk sendirian di bartender. Di depannya tersaji tiga gelas whiskey yang telah kosong, dan satu yang masih terisi setengahnya. Tommy menikmati minuman beralkohol itu untuk menghilangkan bayangan Jihan dan Niko. Namun semakin ia mabuk, bayangan istri dan anaknya itu malah semakin terbayang-bayang di benaknya.

Karena efek alkohol tidak jua bisa membuatnya tenang, Tommy meraih sebatang rokok. Setelah rokok dibakar, Tommy menghisap rokoknya dalam-dalam. Kemudian ia menghembuskan asapnya dalam bentuk bulatan-bulatan berwarna kecil putih. Ia terus melakukannya berulang-ulang, demi membunuh rasa bosan.

Tanpa Tommy sadari, sesosok tubuh langsing langsung memindainya, saat masuk ke dalam club. Sosok itu mengembangkan seulas senyum bahagia, saat melihat pria pujaannya duduk sendirian di bartender. Sepertinya sang pria pujaannya itu belum berbaikan dengan istrinya. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Ini adalah saat yang tepat untuk mencoba peruntungannya. Dan wanita itu pun perlahan berjalan menghampiri sosok Tommy. Waktunya berjudi dengan keadaan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Cilon Kecil
pantesan bapaknya Jihan helain Tommy orang kelakuannya sama aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 4

    "Aku tau kamu pasti di sini,"Tommy menoleh saat merasakan elusan-elusan lembut di bahunya. Penampakan jemari lentik bercat kuku merah muda di bahunya, terus meraba dan menggoda. Gerakan-gerakan abstrak itu terus merambat maju mundur hingga mengelus rahang. Tanpa menoleh pun Tommy tau siapa wanita ini. Diana Paramitha."Lantas?" tanya Tommy pendek. Ia sedang tidak mood untuk bermain tebak-tebakan saat ini. Ia sedang punya kegiatan menarik lainnya saat ini. Yaitu menghisap tembakau dalam-dalam, sembari membayangkan wajah anak dan istrinya. Ia merindukan kehadiran keluarga kecilnya."Lantas apa kamu tidak mau bersenang-senang sedikit malam ini, heh? Toh Jihan sudah tau soal affairs kita." Diana kembali mengelus rahang persegi Tommy. Rahang jantan dengan bulu-bulu kasar sehari itu, membuat gairahnya bangkit seketika. Ia sudah cukup lama memimpikan saat-saat seperti itu. Saat di mana dirinya dan Tomm

    Last Updated : 2021-07-20
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 5

    "Apa kamu yakin bisa tinggal di sini hanya dengan Niko, dan Retno, Han? Kalian berdua itu perempuan. Mana Niko masih balita dan kamu tengah hamil besar. Ibu khawatir, Han."Rianti yang tengah duduk di atas sehelai tikar, miris melihat rumah kontrakan sangat sederhana yang dipilih oleh Jihan. Perseteruan hebat Jihan dengan Syahnan kemarin dulu, berujung pada pengusiran Syahnan pada putrinya sendiri. Syahnan marah besar karena Jihan tidak bersedia kembali pada Tommy. Dan konsekuensinya adalah Jihan harus keluar dari rumah, karena telah berani membangkang. Akibatnya ya seperti ini. Jihan mengontrak rumah sendiri.Dan hari ini Jihan pindah ke rumah kontrakannya. Sedari pagi tadi, dirinya dan Retno, salah seorang ART di rumahnya, membantu Jihan pindahan. Tidak repot memang karena putrinya memang tidak membawa apapun dari rumahn

    Last Updated : 2021-07-20
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 6

    Jihan ingin sekali membalikkan tubuh, saat melihat mobil Tommy berada di depan rumah kontrakannya. Namun akhirnya Jihan mengurungkan niatnya. Jihan berpikir, sejauh apapun ia berlari, Tommy tetap akan menjadi bagian dari hidupnya. Apapun yang terjadi dalam rumah tangga mereka, Tommy tetaplah ayah dari anak-anaknya. Makanya Jihan memutuskan untuk tidak lagi menghindari Tommy. Mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Sudah seharusnya kalau mereka bisa duduk berdua dan menyelesaikan masalah mereka secara baik-baik.Saat Jihan kian mendekati mobil yang terparkir, ternyata mesin mobil dalam keadaan menyala. Itu artinya Tommy saat ini menunggunya di dalam mobil. Dan bukan di rumahnya. Pasti Retno tidak mengizinkan Tommy masuk. ART ibunya itu, ternyata memang bisa diandalkan."Kamu dari mana saja, Han?" Melihat kehadirannya, Tommy segera keluar dari mobil."Ada urusan sebentar," jawab Jihan singkat. Ia malas berhandai-handai dengan

    Last Updated : 2021-07-20
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 7

    Jihan memandang seantero warung dengan puas. Tidak sia-sia ia menuruti pemilik warung yang lama yang meminta waktu seminggu penuh untuk merenovasi warung. Karena warung yang tadinya hanya warung sederhana, kini tampak lebih artistik dan asri. Tidak dipungkiri, pelanggan zaman sekarang menyukai tempat yang cantik, agar lebih menarik saat mereka berselfie ria. Makanan lezat bukan lagi satu-satunya daya tarik sekarang.Jihan berjalan sedikit ke luar warung. Memindai penampakan warung dari jarak yang lebih jauh. Memang warung ini tampak jadi lebih artistik. Konsep yang ditampilkan Pak Imran ini adalah konsep seperti sedang makan di rumah sendiri. Warung yang lumayan luas ini di bagi menjadi dua bagian. Di bagian depan dengan meja dan kursi biasa. Sementara di belakangnya di buat lesehan. Delapan pasang kursi-kursi kayu berikut mejanya sudah tersusun rapi. Begitu juga tikar lebar dan meja-meja kecil untuk lesehan. Jujur, Jihan merasa uang sewa yang dit

    Last Updated : 2021-07-20
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 8

    Hari kedua berjualan. Sedari pagi Jihan dengan semangat mengajari Retno meracik bumbu, mengoreng lele serta ayam. Kandungannya sudah semakin tua. Dan bulan depan ia sudah akan melahirkan. Dengan begitu otomatis warung akan menjadi tanggung jawab Retno. Makanya ia mengajari Retno cara memasak, agar terbiasa saat nanti ia tinggal."Ingat ya, Ret. Saat melakukan proses ungkep, masak ayamnya cukup sampai mendidih saja. Tidak perlu sampai matang. Kemudian matikan kompor dan biarkan dingin. Jika sudah dingin, masukkan ayam bersama dengan kuahnya kedalam kulkas semalaman. Tapi ingat, jangan disimpan di freezer. Cukup di tempat biasa saja. Nah, setelah semalaman didinginkan, masak lagi hingga ayam matang dan airnya menyusut. Baru ayamnya bisa kamu goreng setelah ada pelanggan. Jadi selain gurih, pelanggan akan makin berselera makan karena ayamnya disajikan panas-panas. Mengerti, Ret?"

    Last Updated : 2021-07-20
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 9

    "Siapa laki-laki ini, Bu Jihan?" Azzam melirik Tommy sekilas. Ia sangat mengenal Tommy. Seorang old money klan Wiranata. Bisnis mereka meliputi bidang otomotif, garmen dan perhotelan. Tommy juga dikenal sebagai seorang pengusaha yang jarang membawa pasangannya ke publik. Makanya ia bertanya hanya untuk menegaskan, apakah benar Tommy adalah suami Jihan."Dia... Tommy, suami saya Pak Azzam, Pak Imran," jawab Jihan gagap."Pak Imran adalah pemilik warung ini, Mas. Dan Pak Azzam adalah rekan Pak Imran. Jihan hanya menyewa di sini," Jihan mengucapkan kata menyewa sembari menatap Tommy penuh arti. Secara tersirat ia meminta Tommy untuk tidak berbuat macam-macam di sini. Semoga saja Tommy mengerti. Sungguh ia malu kalau Tommy sampai mengamuk dan menjadikan masalah pribadi mereka dikonsumsi oleh orang lain. Bagaimanapun tidak baiknya hubungannya saat ini dengan Tommy, ia tidak suka bila ada mata dan telinga lain yang ikut mendengarnya. Se

    Last Updated : 2021-07-31
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 10

    Waktu telah menunjukkan pukul 08.05 WIB. Jihan bersiap-siap menutup warung. Dagangannya laris manis hari ini. Alhamdullilah. Jihan memasukkan sisa bahan makanan ke dalam kulkas. Membuang sampah, memeriksa kompor gas dan keran air. Setelah memastikan semuanya aman, barulah Jihan mematikan lampu-lampu dan mengunci pintu warung. Hari ini pulang sendirian. Retno telah lebih dulu pulang karena kurang enak badan. Setelah memeriksa pintu sekali lagi, Jihan berjalan ke seberang warung. Ia bermaksud singgah ke supermaket sebentar. Susu Niko sudah hampir habis, begitu juga dengan sembako di rumah.Karena hari ini ia mendapat rezeki berlebih, Jihan ingin berbelanja sebutuhnya dulu. Pendapatannya hari ini tidak boleh ia habiskan. Ia masih membutuhkan modal untuk berjualan. Sekarang ia sangat berhati-hati dalam menghitung pemasukan dan pengeluaran. Tommy benar-benar tidak menafkahinya lagi. Makanya setiap ia mempunyai rezeki, yang pertama ia beli adalah susu N

    Last Updated : 2021-07-31
  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 11

    Sudah hampir dua minggu ini Jihan berjualan. Selama itu pula Jihan belajar untuk memahami pasar. Bahwa terkadang orang bosan karena menu yang itu-itu saja. Untuk itulah hari ini Jihan mencoba beberapa menu baru. Namun ia tidak mau menghilangkan ciri khas warungnya, yaitu lele dan ayam. Jihan hanya mengubah variasi rasanya. Jika selama ini ia hanya mengandalkan menu lele plus sambal dan lalap. Kini Jihan menvariasikannya dengan membuat lele saus padang, lele saus tiram, serta lele goreng mentega. Jihan berusaha membangun komunitas pencinta lele untuk memperkuat pasarnya. Dengan mempunyai ciri khas tersendiri, Jihan berharap pembeli akan mengingat warungnya sebagai pengolah ikan lele berbagai rasa.Sedari pagi, Jihan, Retno dan Narti, pelayan yang baru ia pekerjakan seminggu lalu, sibuk mempersiapkan ketiga menu baru tersebut. Jihan tidak berani menyetok banyak. Ia hanya mencoba-coba selera pasar saja dulu. Jika responnya baik, baru ia akan menjadikan ketiga

    Last Updated : 2021-07-31

Latest chapter

  • Asa diujung Sajadah#book2   Extra Part

    Enam tahun kemudian.Seorang pria berusia awal empat puluhan, duduk termenung di atas kursi rodanya. Sesekali ia mengucek-ucek dan mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia berharap kabut yang membayangi pandangannya segera berlalu.Tatkala semua usahanya tidak berhasil, sosok itu menghembuskan napas kasar sambil memaki-maki. Ia kesal karena tidak bisa memandangi ikan-ikan hias kesayangannya di kolam dengan jelas. Akhir-akhir ini pandangannya semakin lama semakin buram. Jika biasanya ia bisa menonton televisi dengan jelas, kini tidak lagi. Dan sekarang melihat ikan-ikan kesayangannya pun semakin lama semakin kabur."Ah sial!" Sosok itu kembali marah-marah. Tingkah laki-laki ringkih yang duduk di kursi roda itu, diamati dalam diam oleh seorang anak laki-laki. Kesal karena keinginannya tidak terpenuhi, sosok itu kemudian menggerakkan kursi roda elektriknya. Namun sepertinya rodanya tersangkut sesuatu. Makanya kursi roda elektriknya t

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 52 (end)

    "Tidak disangka ya, Han. Ternyata ayah meninggalkan seluruh warisannya hanya pada kita berdua. Lebih tidak disangka lagi, ternyata Johan bukan saudara kita."Nihan baru bersuara setelah Pak Bahtiar dan rekan-rekannya kembali ke kantor. Ibunya sudah lebih dulu permisi kembali ke kamar untuk beristirahat. Nihan tahu sebenarnya ibunya bukan ingin beristirahat. Melainkan ibunya sedih karena teringat kembali dengan almarhum ayahnya."Iya, Mbak. Jihan juga tidak menyangka. Karena biasanya Ayah sangat dingin terhadap kita," imbuh Jihan takjub. Kalau terhadap Nihan, ayahnya memang sedikit lunak. Tetapi terhadap dirinya, jangan harap. Ayahnya selalu bersikap antipati padanya dalam hal apapun. Intinya, apapun yang ia lakukan tidak pernah benar di mata ayahnya."Surat wasiat ayahmu tadinya bukan seperti ini." Kali ini Om Syahril yang bersuara. Jihan dan Nihan mengalihkan pandangan pada kakak tertua ayahnya itu.&

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 51

    Suasana di tempat pemakaman telah sepi. Para kerabat, handai tolan, maupun relasi-relasi yang ikut mengantarkan ayahnya ke peristirahatan terakhir, telah kembali ke kediaman mereka masing-masing. Yang tersisa hanya dirinya, Azzam, ibu, kakaknya Nihan, dan suaminya, Bram. Kedua anak Nihan, tidak ikut pulang ke tanah air. Mereka tengah mengikuti ujian nasional.Sementara ketiga istri siri ayahnya, berikut Johan sudah pulang lebih dulu. Ibunya benar. Ia melihat perubahan sikap Johan begitu signifikan. Biasanya Johan sangat betah mencari muka. Bersikap seolah-olah ia adalah orang yang paling penting dalam kehidupan ayahnya, karena berjenis kelamin laki-laki. Begitu juga dengan Rania, istrinya. Namun kali ini mereka hanya datang sebentar saja. Setelah ayahnya dimakamkan, mereka berdua langsung menghilang. Masih mendingan sikap ibunya, Tante Rahmah. Ia sempat meraung-raung pilu terlebih dahulu sebelum berlalu. Ada apa ini sebenarnya? Namun Jihan tidak sempat ber

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 50

    Dan di sinilah dirinya berada. Di meja makan besar keluarga, di mana ia menghabiskan masa kecil, remaja hingga dewasa mudanya. Di meja besar ini ada dua belas kursi. Tujuh di antara kursi ini kosong. Hanya lima yang terisi. Dan kelima orang yang menduduki kursi-kursi itu adalah dirinya, Azzam, Niko, ayah dan juga ibunya. Sementara Niki tengah bermain di taman belakang yang luas bersama Bu Marni. Anak yang sedang belajar berjalan seperti Niki memang tidak bisa duduk diam dalam waktu lama. Setiap ada kesempatan, Niki akan merengek ingin berjalan.Suasana di meja makan sangat hening. Masing-masing orang yang duduk mengelilingi meja, menyantap makanan dalam diam. Benak mereka sibuk dengan pikiran masing-masing. Sedari tadi hanya denting peralatan makan yang terdengar. Walaupun Jihan tahu, masing-masing penghuni meja sesungguhnya juga tidak menikmati cita rasa makanan, kecuali Niko. Begitulah anak kecil dengan kepolosannya.Jihan mena

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 49

    Empat bulan kemudian.Jihan merasakan laju mobil yang ia tumpangi semakin memelan dan akhirnya berhenti. Saat ini ia berada di dalam mobil bersama dengan Azzam dan kedua buah hatinya. Azzam ingin memberinya dan anak-anak kejutan. Untuk itulah Azzam menutup matanya dengan sehelai kain. Niko yang duduk di baby care seat belakang bersama dengan Niki tertawa geli. Ia lucu melihat mata bunda ditutup katanya."Kita ada di mana ini, Mas?" tanya Jihan penasaran. Sedari matanya ditutup oleh Azzam pikirannya telah mengembara ke mana-mana. Memikirkan kejutan apa yang akan suaminya berikan padanya. Ya, Suaminya. Ia telah menikah dengan Azzam dua bulan yang lalu.Dan selama dua bulan ini ia dan kedua buah hatinya tinggal bersama dengan keluarga besar Azzam. Bu Sahila, ibu mertuanya memang memintanya sementara tinggal di sana. Bu Sahila kesepian katanya. Selain itu Bu Sahila sangat menyukai Niki yang kini sudah semakin besar. Ni

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 48

    Jihan memasuki ruang IGD dengan jantung berdebar. Bukan hal mudah baginya melihat keadaan seseorang dalam tubuh penuh selang dan luka. Bagaimanapun Tommy pernah tujuh tahun lebih menjadi suaminya. Ia pernah sedekat nadi dengan Tommy dan berbagi hal paling rahasia dengannya. Ada rasa kasihan berbalut prihatin di hatinya.Yang pertama ia lihat dalam ruangan IGD ini adalah berbagai peralatan-peralatan medis khusus untuk pasien-pasien yang kritis. Dan di atas bed pasien, terlihat Tommy terbaring diam. Ia dikelilingi olehbed site monitor, blood gas analysis on site, oxygen, dan entah apa lagi sebutan untuk berbagai alat-alat penunjang hidupnya.Jihan menghampiri bed. Berdiri dan memandangi Tommy dari balik selang-selang dan cairan infus di lengannya. Kepala Tommy diperban besar. Seperti yang dikatakan oleh dokter tadi, yang terluka cukup parah adalah bagian kepalanya. Tubuh Tommy hanya mengalami luka-luka kecil yang tidak bera

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 47

    Azzam memandang lama nisan Naima. Setelah dua tahun lebih, ia baru berani mengunjungi makam ini, di hari ini. Setelah ia memutuskan untuk memaafkan semuanya. Menurut Jihan mulai hari ini ia harus belajar untuk berkompromi dengan keadaan. Menerima semua kejadian masa lalu, dan menjadikannya pelajaran. Agar ke depannya ia tidak akan terjatuh di lubang yang sama. Dan untuk itulah, hari ini ia khusus mendatangi makam Naima. Disadari atau pun tidak. Diakui ataupun tidak, sesungguhnya ia juga berhutang maaf pada Naima. Karena secara tidak langsung, ia membuat Naima tidak mempunyai pilihan, selain menerimanya sebagai suami di waktu lalu. Dan hari ini, dengan besar hati, ia akan meminta maaf pada Naima.Azzam menurunkan tubuhnya dalam posisi jongkok. Ia menaburi kelopak-kelopak mawar yang harum, dan menyiramnya dengan air. Setelah berdoa, Azzam mulai berbicara."Apa kabar, Ima?" Azzam berbicara pada semilir angin sepoi-sepoi di sore hari. Dan entah

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 46

    06 Januari 2013Dia tertawa dan aku terpesona. Entah mengapa setiap melihatnya gembira, aku seribu kali lebih gembira.12 Mei 2013Aku kesal! Dia selalu dikelilingi perempuan. Aku kepingin sekali menggampar wajah Sita yang sok kecantikan atau Nindy yang kecentilan. Apalagi Ribka yang sok manja itu. Tapi aku siapanya? Aku nggak punya kuasa untuk itu. Tapi setidaknya aku bisa terus bersamanya. Ya begini pun tak mengapa. Aku harus sabar. Aku yakin penantianku ini pada saatnya akan berbuah manis.27 Desember 2014Aku capek mencintai dalam diam dan memendam perasaan rindu sendirian. Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Tapi bagaimana kalau ia marah dan malah menjauhiku? Ah, aku bingung!15 Maret 2015Kuputuskan dekat dengan Azzam. Dengan begitu aku akan selalu berada di sekelilingnya. Di dekatnya. Lagi pula Azzam sangat baik. Azzam adalah p

  • Asa diujung Sajadah#book2   Chapter 45

    Melihat air muka Azzam yang kosong di depan lemari, membuat Jihan tidak tega. Wajah Azzam memang datar-datar saja. Namun matanya menyiratkan begitu banyak pertanyaan. Ada sinar kekecewaan, kemarahan, kesedihan dan ketidakpercayaan, yang bercampur baur di sana."Kalau Mas tidak nyaman melihat barang-barang ini, sebaiknya Mas duduk saja kembali. Biar saya yang memeriksa barang-barang lainnya."Jihan baru kembali bersuara setelah ia mampu mengendalikan keterkejutannya. Ia sama kagetnya seperti Azzam, saat mengetahui bahwa semua hadiah-hadiah ini manis ini sesungguhnya berasal dari Ammar. Ada begitu banyak pertanyaan yang ingin Ia lontarkan pada Azzam. Namun ia ingin memberi waktu pada Azzam untuk bisa menerima kenyataan ini. Saat ini Azzam tampak gamang."Tidak usah, Han. Saya tidak apa-apa. Hanya sedikit kaget saja. Banyak hal yang seperti tidak masuk akal di sini. Namun saya kira sudah saatnya saya belajar menerima

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status