Share

BAB 3

last update Last Updated: 2025-03-24 15:31:16

Udara pagi di Ottawa terasa segar, dingin, dan penuh semangat. Cahaya matahari musim dingin yang samar memantul di atas salju yang menutupi trotoar, menciptakan suasana yang hampir magis. Di dalam kamar hotelnya, Elena telah bersiap-siap untuk menikmati hari yang sudah lama ingin ia rasakan kembali—hari tanpa pekerjaan, tanpa tekanan, hanya dirinya sendiri dan kesenangan sederhana menikmati festival musim dingin terbesar di kota ini, Winterlude.

Ia melilitkan syal hangat di lehernya, memastikan jaket tebalnya telah menutup tubuhnya dengan sempurna. Rambut merahnya sengaja ia biarkan terurai agar lehernya tetap hangat, sementara topi dan penutup telinga menambah perlindungan dari angin dingin yang berembus. Sepasang sarung tangan tebal ia kenakan sebelum mengambil tas kecilnya dan memeriksa bahwa semua yang ia butuhkan sudah dibawa.

"Oke, ini sudah cukup hangat. Karena aku akan berada di luar seharian, jadi lebih baik tidak kedinginan," gumamnya sambil memeriksa dirinya sekali lagi. “Baiklah, hari ini khusus jadwalnya bersenang-senang,” tambahnya dengan senyum kecil.

Keluar dari hotel, Elena segera mencari kendaraan pesanannya. Jalanan terlihat lebih sibuk dari biasanya, tak mengherankan karena ini adalah hari pertama Winterlude dan bertepatan dengan akhir pekan. Orang-orang berbondong-bondong menuju festival, siap menikmati atraksi musim dingin yang hanya hadir sekali dalam setahun. Ia bersyukur telah memutuskan untuk tidak membawa mobil sendiri karena pastilah sulit menemukan tempat parkir di tengah keramaian ini.

Ia memesan kendaraan melalui aplikasi dan menunggu di depan hotel. Mobil yang dipesannya tiba, dan ia segera masuk, menikmati kehangatan dari mesin penghangat dalam mobil.

“Good morning,” sapa Elena kepada pengemudi.

“Good morning, Miss,” kata sopir itu ramah. “Tujuan ke Kanal Rideau, benar?”

“Ya, benar. Sepertinya akan sangat ramai hari ini,” jawab Elena sambil tersenyum.

“Pastinya. Ini hari pertama festival diselenggarakan, dan juga akhir pekan. Orang-orang dari luar kota bahkan datang hanya untuk Winterlude,” kata sopir sambil menjalankan mobil dengan hati-hati di tengah kemacetan.

Elena menatap keluar jendela, melihat deretan toko dan gedung yang tertutup lapisan tipis salju. Ia mengingat kapan terakhir kali ia bermain ice skating.

‘Sudah berapa tahun sejak terakhir kali aku bermain skating?’ pikirnya, mengingat kembali kapan terakhir ia benar-benar meluangkan waktu untuk sesuatu yang ia sukai. ‘Dua tahun? Mungkin lebih.’

Kesibukan kerja selalu menjadi alasan. Namun, hari ini berbeda. Hari ini, ia ingin menikmati semuanya tanpa terburu-buru.

Ia menghela napas. ‘Liburan ini adalah waktu yang tepat untuk menikmati sesuatu yang menyenangkan tanpa memikirkan negosiasi atau pekerjaan,’ katanya dalam hati.

Sesampainya di Kanal Rideau, Elena segera menyadari bahwa prediksinya benar—tempat ini penuh sesak dengan orang-orang. Keluarga, pasangan, dan kelompok teman tumpah ruah di sekitar kanal, beberapa tengah menyewa perlengkapan, yang lain sudah meluncur di atas es dengan ekspresi penuh kegembiraan.

Dengan sabar, ia mengantre untuk menyewa sepatu skating. Saat akhirnya mendapatkan perlengkapannya, ia berjalan ke tepi kanal, menarik napas panjang, lalu tersenyum.

"Akhirnya," ucapnya pelan, merasakan antusiasme yang sudah lama tidak ia rasakan.

Ia duduk di bangku panjang, melepas sepatu botnya, dan menggantinya dengan sepatu skating. Saat tali sepatu terikat sempurna, Elena berdiri, menguji keseimbangan tubuhnya sejenak sebelum melangkah ke permukaan es. Dengan gerakan ringan, ia mulai meluncur, membiarkan tubuhnya mengikuti aliran gerakan alami yang perlahan kembali ia ingat.

Udara dingin menerpa wajahnya, tetapi ia tidak peduli. Sensasi meluncur di atas es membuatnya merasa bebas, seolah semua beban pikirannya menghilang begitu saja. Ia berputar dengan lincah, menikmati kesendiriannya di tengah keramaian.

Sesekali, ia berhenti sejenak, mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen. Ia mengambil beberapa foto—pemandangan kanal yang dipenuhi skater, pahatan es yang megah di sepanjang tepiannya, dan bahkan swafoto dirinya sendiri dengan senyum puas di wajah. Tanpa ragu, ia mengirim beberapa foto itu ke Shannon.

—[Kau harus melihat ini. Mungkin lain kali kau bisa datang bersamaku.] tulisnya dalam pesan singkat sebelum kembali meluncur.

Di sekelilingnya, suara tawa anak-anak terdengar memenuhi udara, menciptakan suasana hangat di tengah musim dingin. Elena memperhatikan sekelompok anak kecil yang baru belajar bermain skating, tertawa-tawa saat mereka jatuh dan mencoba bangkit kembali.

“Gemasnya,” gumam Elena tanpa sadar melihat tingkah laku mereka yang lucu.

Elena terus menikmati waktunya di atas es, membiarkan dirinya tenggelam dalam kegembiraan sederhana.

❀❀❀❀❀

Langit mulai berubah warna, menciptakan gradasi indah antara jingga dan kebiruan yang membentang luas di atas arena skating. Udara dingin yang menggigit kulit bercampur dengan suara tawa riang, musik festival, serta bunyi benturan sepatu skating yang bergesekan dengan es. Elena mengembuskan napas pelan, uap hangat keluar dari bibirnya saat ia meluncur dengan lincah, menikmati setiap momen kebebasan yang jarang ia rasakan.

Hari ini benar-benar hari yang menyenangkan baginya. Sebagai seseorang yang selalu sibuk dengan pekerjaan dan tuntutan profesionalisme, momen seperti ini terasa begitu berharga. Ia bisa merasakan otot-otot tubuhnya bekerja, membiarkan pikirannya pergi bebas tanpa memikirkan target atau tenggat waktu yang menekannya setiap hari seperti saat berada di kantor.

Meskipun di sekelilingnya banyak pasangan dan keluarga yang berlibur menikmati festival bersama orang-orang terkasih, Elena tidak merasa terganggu dengan kesendiriannya. Justru, ia merasa lebih bebas dan bisa menikmati waktunya tanpa perlu berbagi fokus dengan siapa pun. Sejak menjabat sebagai Manajer R&D di perusahaan parfum ternama, kesempatannya untuk bersantai dan menikmati liburan menjadi semakin langka.

Namun, Elena tahu bahwa setiap kebahagiaan kecil dalam hidup harus dinikmati sebaik mungkin—dan ia berjanji pada dirinya sendiri untuk menikmati sore ini tanpa gangguan.

Di tengah keramaian yang semakin padat, Elena mulai memperlambat lajunya. Ia berniat mengembalikan sepatu skating-nya dan mencari sesuatu yang hangat untuk mengisi perut. Namun, untuk bisa keluar dari area ini, ia harus melewati lautan manusia yang seakan tak ada habisnya.

Dengan penuh kehati-hatian, ia menyelinap di antara orang-orang, mencoba mencari celah agar bisa menepi tanpa harus bertabrakan dengan siapa pun. Tetapi, meskipun ia sudah berusaha semaksimal mungkin, keramaian ini membuatnya kesulitan bergerak dengan leluasa.

Saat akhirnya berhasil mencapai area yang sedikit lebih lapang, Elena mulai menambah kecepatan. Ia berkonsentrasi penuh, memastikan keseimbangan tubuhnya tetap stabil sambil meluncur menuju tempat persewaan sepatu. Namun, di saat yang bersamaan, tiba-tiba dari arah belakang, ia merasakan sebuah tabrakan kuat menghantam tubuhnya.

“Aduh!”

Elena kehilangan keseimbangan seketika.

Dengan cepat, gravitasi menariknya ke bawah, membuatnya tersungkur dan meluncur terduduk di atas permukaan es yang dingin. Benturan itu tidak terlalu keras, tetapi cukup membuatnya terkejut. Sambil mengerutkan dahi, Elena menoleh ke belakang, mencari tahu siapa yang telah menabraknya tanpa peringatan.

“Siapa yang—oh?”

Di hadapannya, seorang anak kecil—berusia sekitar tujuh tahun—berdiri dengan wajah penuh ketakutan, air mata menggenang di pelupuk matanya. Bocah itu tampak begitu panik, seakan takut akan konsekuensi dari perbuatannya. Namun, alih-alih meminta maaf atau membantu Elena, anak itu justru berbalik dan segera berlari menjauh, menghilang di tengah keramaian.

“Hei!” Teriak Elena kesal.

‘Sial, bocah itu bahkan tidak meminta maaf.”

Elena mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Namun, sebelum ia sempat berkata apa-apa, tiba-tiba sebuah tangan kuat meraih lengannya dengan sigap, mengangkatnya kembali ke posisi berdiri.

“Saya meminta maaf atas kejadian tadi, Miss.” Suara pria yang dalam dan tenang terdengar di telinganya. “Keponakan saya tidak sengaja mendorong Anda. Saya harap Anda tidak terluka.”

Elena nyaris tidak sempat merespons. Begitu ia mendongak untuk melihat wajah pria yang baru saja membantunya berdiri, sosok itu sudah melesat pergi dengan cepat, mengikuti arah tempat anak kecil tadi berlari.

“Jason!” teriak pria itu lantang.

Ia hanya sempat melihat sekilas siluetnya—tinggi, tegap, dengan gerakan yang lincah dan percaya diri di atas es.

Dan kemudian, hanya dalam hitungan detik, pria itu telah menghilang.

Namun, yang mengejutkan Elena bukan hanya peristiwa itu, melainkan sesuatu yang jauh lebih tak terduga.

‘Aroma ini...’

"Hei, tunggu!"

Aroma yang tertinggal dari pria itu begitu kuat, memenuhi udara di sekitarnya seperti jejak tak kasatmata.

Sebagai ahli parfum, indra penciuman Elena sangat tajam. Ia bisa mengenali ratusan aroma hanya dalam hitungan detik.

Dan kali ini, aroma itu mengejutkannya.

Wewangian segar, maskulin—seperti dedaunan yang terkena sinar matahari musim panas. Hangat, bersih, dan alami.

“Ini adalah aroma yang aku inginkan.”

Elena terdiam, terkejut oleh kesadaran itu.

Selama berbulan-bulan ia mencari inspirasi untuk parfum edisi musim panas. Ia ingin aroma yang unik—mewah tapi tetap terasa bebas dan alami. Namun belum ada satu pun yang benar-benar pas.

Dan sekarang, di tengah dinginnya musim salju, ia menemukannya. Bukan dari laboratorium, bukan dari sampel parfum—melainkan dari seorang pria asing yang bahkan belum sempat ia lihat jelas.

Elena tak bisa membiarkannya pergi begitu saja. Ia langsung meluncur mengikuti arah pria itu.

Namun keramaian festival menghambat langkahnya. Anak-anak berlarian, suara musik dan tawa bercampur, membuat pencariannya semakin sulit.

“Kemana perginya pria itu.”

Matanya menyapu arena skating dengan penuh harap. Tapi beberapa menit berlalu, dan pria itu tak terlihat lagi.

Ia menghela napas, berdiri diam di tengah keramaian dengan napas terengah.

“Haa...haaa... Sial, dia menghilang.”

Frustrasi mulai muncul. Ia tak tahu siapa pria itu, di mana mencarinya, atau apakah ia bisa menemukan aroma itu lagi.

Tapi satu hal pasti—aroma itu tidak bisa ia lupakan.

Itu bukan hanya wewangian biasa. Itu bisa jadi kunci untuk menciptakan parfum luar biasa.

Elena menatap sekeliling, mengabaikan keramaian festival. Pikirannya hanya tertuju pada satu hal: aroma pria itu.

Ia menarik napas panjang, berusaha tenang. Ia tahu, aroma seunik itu tidak sering datang. Dan ia tidak bisa kehilangannya begitu saja.

“Mungkin saja mereka telah keluar dari area skating,” gumamnya dengan positif.

Dengan cepat, Elena meluncur keluar arena skating. Jika pria itu mengejar keponakannya, mereka mungkin menuju area yang lebih sepi.

Ia melepas sepatu skating-nya, mengenakan boots, lalu bergegas keluar.

Udara dingin langsung menyambutnya. Ia merapatkan mantel, menyapu area festival dengan pandangan tajam. Lampu hias berkelap-kelip di antara kios makanan dan wahana permainan.

Namun, tak ada tanda-tanda pria itu.

“Haa... Tetap tidak menemukan mereka. Semoga bertemu dengan mereka di tempat lain.”

Elena menggigit bibirnya, frustasi.

Sekarang, ia hanya punya satu tujuan—menemukan pria itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Regia Dion
Lanjut dong thor!
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 4

    Elena terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan nyeri di hampir setiap sendinya. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan bahunya yang kaku akibat berjalan terlalu lama di udara dingin semalam. “Lelahnya… kenapa aku bisa se-nekat itu untuk mengejarnya,” gumamnya sambil mengelus tengkuknya yang tegang. Setelah berjam-jam mengitari daerah Rideau Canal demi mencari pria misterius beraroma musim panas itu, ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa usahanya sia-sia. Pria itu tetap tidak ditemukan. Dengan berat hati, Elena duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dingin yang menusuk semalam tampaknya juga meninggalkan efek menggigil pada tubuhnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur—pukul 06:30 pagi. Masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru saja mengalami pencarian panjang yang tak membuahkan hasil. Namun, hari ini ia tidak bisa berlama-lama berbaring. “Ayo bangun, Elena! Kamu bukan liburan di sini!” ucapnya pada diri sendiri sambil menar

    Last Updated : 2025-03-24
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 5

    Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya. Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingata

    Last Updated : 2025-03-25
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 6

    Paris, Perancis. Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat.“El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian.Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.“Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu.Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?”Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak.Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?”Elena

    Last Updated : 2025-04-17
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 7

    Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b

    Last Updated : 2025-04-17
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 8

    Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me

    Last Updated : 2025-04-18
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 9

    Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s

    Last Updated : 2025-04-18
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 10

    Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya

    Last Updated : 2025-04-19
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 11

    Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu

    Last Updated : 2025-04-19

Latest chapter

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 19

    André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 18

    Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 17

    Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 16

    Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 15

    Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 14

    "Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 13

    Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 12

    Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 11

    Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status