Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya.
Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingatan.” Elena mengangguk, pikirannya mulai memproses informasi itu dengan cepat. Teknologi ini bisa membuka peluang baru dalam industri seni, pemasaran, bahkan dalam dunia parfum yang sedang ia garap. “Sungguh inovatif,” katanya akhirnya, lalu mengamati beberapa lukisan lain di sekitarnya. “Apakah setiap lukisan milik Mr. Rain di sini memiliki aroma tersendiri?” Mr. Daniel tersenyum dan mengangguk. “Tentu saja. Mari saya tunjukkan beberapa di antaranya.” Mereka berjalan melewati deretan lukisan lain. Elena berhenti di depan sebuah kanvas besar yang menggambarkan sebuah pantai saat senja, ombaknya bergulung lembut di bawah langit berwarna jingga keemasan. Begitu ia berdiri lebih dekat, aroma air laut yang asin, dicampur dengan sedikit wewangian kayu, musk dan citrus segar, menguar ke udara. Seolah-olah ia benar-benar sedang berdiri di tepi pantai, mendengarkan debur ombak yang menerpa pasir. “Luar biasa,” gumamnya sambil memejamkan mata sesaat, merasakan bagaimana aroma itu membawa pikirannya ke suatu tempat yang jauh lebih hangat dan damai. “Kami ingin menciptakan hubungan emosional yang lebih dalam antara seni dan audiensnya,” jelas Mr. Daniel. “Sama seperti parfum yang bisa membangkitkan kenangan dengan satu hirupan, seni juga bisa melakukannya. Sekarang, bayangkan jika pengalaman ini diterapkan dalam dunia branding parfum. Setiap kemasan atau iklan tidak hanya menunjukkan visual yang indah, tetapi juga membawa aroma yang langsung menghubungkan konsumen dengan emosi tertentu.” Elena tersenyum, merasakan semangat inovasi yang sama mengalir dalam dirinya. “Itulah yang ingin kami ciptakan dengan proyek ini,” katanya penuh keyakinan. “Kami ingin memperkenalkan cara baru bagi orang-orang untuk mengalami dan mengingat parfum brand kami, bukan hanya sebagai sesuatu yang mereka pakai, tetapi sebagai sesuatu yang mereka rasakan secara mendalam.” Mr. Daniel menatapnya dengan penuh apresiasi. “Saya rasa kita sedang melihat awal dari sesuatu yang benar-benar luar biasa, Miss Hadley.” Elena mengangguk, merasa bahwa pertemuan ini bukan sekadar perbincangan bisnis biasa. Ada gairah, ada visi, dan ada kemungkinan yang tak terbatas di depan mereka. Di sudut pikirannya, ia kembali mengingat pria beraroma musim panas yang tidak berhasil ia temukan lagi. Sebuah ide tiba-tiba muncul dalam benaknya—mungkin, suatu hari nanti, ia bisa menciptakan parfum yang menangkap esensi dari aroma itu, dan membiarkan kenangan itu tetap hidup dalam bentuk yang bisa ia hirup kapan saja. Elena menghela napas panjang, membiarkan aroma laut yang menguar dari lukisan itu mengisi paru-parunya sebelum akhirnya kembali berjalan mengelilinginya galeri bersama Mr. Daniel. Tiba-tiba ada sesuatu yang menggelitik pikirannya—sebuah gagasan yang baru mulai terbentuk dalam benaknya. “Mr. Cartier,” katanya sambil menoleh ke pria itu dengan tatapan penuh keyakinan. “Bagaimana jika kita membawa konsep ini lebih jauh?” Mr. Daniel mengangkat alis, tertarik. “Maksud Anda?” Elena mengambil tablet dari dalam tasnya, ujung jarinya menyentuh desain panel interaktif yang sebelumnya mereka diskusikan. “Bagaimana jika lukisan-lukisan ini diubah menjadi sebuah seni digital? Perusahaan kami bisa menciptakan formula wewangian yang identik dengan aroma yang terinspirasi dari setiap lukisan karya Mr. Rain. Dengan begitu, para konsumen brand parfum kami bisa menikmati seni sekaligus aroma yang membuat mereka merasa relaksasi seperti di dalam gambar yang mereka inginkan tersebut. Mereka akan memilih gambar yang sesuai dengan keinginan, dan saat mereka mengeklik gambar tersebut, parfum dengan aroma yang sesuai gambar itu akan langsung disemprotkan.” Mr. Daniel menatap Elena dengan penuh kekaguman, lalu perlahan tersenyum. “Ini lebih dari sekadar pengalaman multisensori. Ini adalah cara baru untuk membuat seni bisa benar-benar dirasakan secara mendalam.” Elena mengangguk, semangatnya semakin membara. “Bayangkan seseorang yang memiliki kenangan indah tentang pantai saat senja, tetapi tidak bisa sering berkunjung ke sana. Dengan konsep ini, mereka bisa memilih lukisan ombak keemasan, lalu mencium aroma laut yang asin dan hangat, membangkitkan kenangan mereka seolah-olah mereka benar-benar berada di sana.” Mr. Daniel menyilangkan tangannya, matanya berbinar karena gagasan yang begitu revolusioner. “Dan ini bisa diaplikasikan ke lebih banyak aspek sebenarnya. Misalnya, pameran yang memungkinkan pengunjung menciptakan parfum mereka sendiri berdasarkan emosi yang mereka rasakan saat melihat lukisan tertentu.” Elena tersenyum lebar. “Atau bahkan koleksi parfum edisi terbatas yang terinspirasi dari seni. Setiap botol parfum bisa memiliki desain eksklusif yang terhubung dengan satu lukisan. Orang-orang bisa memilih wewangian berdasarkan perasaan yang mereka inginkan—ketenangan, kegembiraan, nostalgia—semuanya berdasarkan interaksi mereka dengan seni.” Mr. Daniel menepuk tangannya perlahan, seolah merayakan sebuah ide brilian. “Saya harus mengakui, ini bukan sekadar proyek seni biasa. Ini adalah evolusi dalam cara orang berinteraksi dengan parfum dan seni secara bersamaan.” Elena merasa ini adalah momen yang tepat. “Saya yakin jika kita bisa menggabungkan keahlian Mr. Rain di sini dengan teknologi yang kami miliki, kita bisa menciptakan pengalaman yang belum pernah ada sebelumnya.” Mereka berdua terdiam sejenak. “Saya sangat mengapresiasi ide brilian dari proyek Miss Hadley. Namun, saya perlu mengonfirmasikannya terlebih dahulu kepada Mr. Rain. Beliau adalah seorang pelukis anonim yang tidak ingin terlalu banyak terekspos dalam publikasi.” “Ah... Baiklah. Saya akan meninggalkan proposalnya kepada Anda, Mr. Cartier. Tolong sampaikan kepada Mr. Rain,” Elena meminta tolong kepada Mr. Daniel dengan sopan dan tulus. “Tentu, Miss Hadley. Saya akan memastikan beliau menerima proposal ini dan menyampaikannya dengan sebaik mungkin. Jika ada tanggapan dari beliau, saya akan segera menginformasikannya kepada Anda atau Miss Winfrey.” Elena mengangguk dengan penuh rasa terima kasih. “Saya menghargai bantuan Anda, Mr. Cartier.” Ia melirik sekilas ke arah lukisan-lukisan di sekitarnya, pikirannya masih dipenuhi dengan berbagai kemungkinan yang bisa terwujud dari proyek ini. Mr. Daniel tersenyum tipis. “Senang bisa menjadi penghubung untuk sesuatu yang berpotensi besar. Jika Mr. Rain tertarik, saya yakin ini bisa menjadi kolaborasi yang luar biasa.” “Terima kasih banyak, Mr. Cartier. Saya pamit undur diri.” Mr. Daniel mengangguk sopan. “Sama-sama, Miss Hadley. Saya akan mengantar Anda keluar.” “Oh! Tidak perlu Mr. Cartier. Saya baik-baik saja sendiri.” Elena tersenyum kecil, lalu melangkah menuju pintu keluar galeri dengan tenang. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi ke arah lukisan-lukisan di dalam ruangan itu. Lukisan ladang bunga lavender dengan siluet gadis itu adalah sebuah lukisan yang paling membekas dalam ingatannya. Seperti ada sesuatu dalam karya-karya Mr. Rain yang terasa begitu akrab, begitu dekat, seolah-olah ia sedang membaca kembali halaman-halaman kenangan yang hampir terlupakan. Saat sedang melamun melihat lukisan, tiba-tiba, aroma itu datang lagi. Hangat, manis, dengan sedikit sentuhan citrus yang segar—aroma yang selama ini menghantuinya. Elena menoleh cepat, matanya mencari ke seluruh ruangan. Kali ini, perasaannya lebih kuat. Ia tahu pria itu ada di sini. Namun pikirannya masih dipenuhi pertanyaan. Apakah ini hanya kebetulan? Atau… apakah pria itu ada di sini, di tempat yang sama dengannya? Ia menghirup udara sekali lagi, mencoba menangkap jejak aroma itu sebelum menghilang sepenuhnya. Dan, aroma itu telah menghilang tanpa bisa menemukan jejak pria itu lagi.Paris, Perancis. Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat.“El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian.Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.“Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu.Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?”Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak.Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?”Elena
Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu