Share

BAB 7

last update Last Updated: 2025-04-17 14:49:37

Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya.

Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap.

Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi.

Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan.

Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang bersinar begitu terang—terlalu terang untuk kota tempat tinggalnya. Ia tidak bisa melihat lampu-lampu jalanan, tidak ada suara lalu lintas, tidak ada kehidupan modern yang biasa ia temui.

Jantungnya berdegup lebih cepat.

‘Tunggu... Apa yang terjadi? Di mana aku?’

Ia berusaha mengingat kejadian terakhir sebelum tidur. Ia yakin baru saja menyelesaikan riset untuk pekerjaannya. Ia ingat bagaimana dirinya merasa kelelahan setelah membaca berjam-jam, lalu beranjak ke tempat tidur. Namun, mengapa saat ini ia terbangun di tempat yang begitu asing?

Elena mencoba bergerak, dan saat itulah ia merasakan sesuatu yang lebih mengejutkan.

Tubuhnya terasa hangat karena diselimuti kain yang lembut, tapi... tidak ada sehelai benang pun yang menutupi dirinya di balik selimut itu.

“Apa-apaan ini?” bisiknya dengan suara serak, hampir tidak percaya.

Refleks, ia menarik selimut lebih erat ke dadanya, merasakan bulu kuduknya meremang.

Pikiran pertamanya adalah bahwa ia telah diculik. Namun, itu tidak masuk akal. Apartemennya memiliki sistem keamanan tinggi, dan ia tidak merasakan ada tanda-tanda paksaan di tubuhnya. Tidak ada rasa sakit, tidak ada bekas luka, tidak ada indikasi bahwa ia telah dibawa ke sini secara paksa.

Hanya ada satu kemungkinan—bahwa ini mimpi.

Namun, segala sesuatu terasa terlalu nyata. Ia bisa merasakan kelembutan kain selimut yang menyentuh kulitnya, aroma kayu mahoni yang memenuhi ruangan, serta kesejukan angin malam yang bertiup dari jendela. Semua ini terlalu detail untuk sekadar mimpi biasa.

Jantungnya semakin berdegup kencang. Dengan gugup, ia menoleh ke samping.

Saat itulah ia melihatnya.

“Oh!” Refleks, ia menutup mulutnya dengan tangan, menahan suara yang hampir lolos dari bibirnya.

Jantungnya berdebar seperti genderang perang.

‘Siapa pria ini?’ pikirnya panik. ‘Apa yang terjadi telah terjadi sebenarnya?’

Seorang pria sedang tidur di sebelahnya.

Elena terdiam, napasnya tertahan. Pria itu tidur membelakanginya, punggungnya telanjang dan berotot, bergerak naik turun dengan ritme yang stabil saat bernapas. Rambut hitamnya sedikit berantakan, dan tubuhnya memancarkan kehangatan yang dapat ia rasakan bahkan dari jarak sejauh ini.

Sekali lagi, Elena mencium aroma segar seperti dedaunan musim panas bercampur dengan wangi maskulin yang khas.

‘Aroma ini...’ pikirnya, merasa aneh karena mengenalinya.

Ia menggeser sedikit badannya, berusaha menenangkan diri, tetapi tubuhnya justru semakin tegang.

Ia mencoba menggali ingatannya, mencari petunjuk. Tidak ada. Tidak ada ingatan tentang dirinya bertemu dengan pria ini, apalagi tidur satu ranjang dengannya.

Elena mengamati pria itu lebih dekat. Bahunya lebar, kulitnya terlihat sehat, napasnya pria itu tenang, seolah tidak terganggu oleh keberadaan Elena yang kini tengah dilanda kepanikan.

Pria itu tiba-tiba membalikkan badan menghadapnya, dengan mata yang masih terpejam, wajah pria itu terlihat tampan, rahang tegas, alis tebal yang tajam, dan janggut tipis yang menambah kesan maskulin. Dada bidangnya bergerak perlahan seiring napasnya yang stabil, seakan dunia ini baik-baik saja. Namun bagi Elena, semuanya adalah kekacauan.

'Apa aku mulai gila, karena sering mengonsumsi obat sakit kepala? Mimpi macam apa ini? Bagaimana bisa rasanya begitu nyata.’

Saat Elena masih sibuk dengan pikirannya, pria itu bergerak. Tubuhnya yang semula telentang kini berguling, dan dalam sekejap mata, pria itu berbalik menghadapnya. Elena terpaku. Matanya membelalak saat pria itu membuka matanya, menatapnya dengan sorot tajam yang penuh pesona.

“Kau puas melihatnya?”

Suara bariton rendah itu bergetar di udara, menelusup ke dalam kesadarannya seperti magnet yang menarik semua atensinya.

Elena tersentak mundur, bibirnya terbuka hendak menjawab, tetapi tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak liar.

Pria itu menyeringai, wajahnya mendekat hingga napas hangatnya menyapu pipi Elena. “Aku tanya, kau puas melihat tubuhku?”

Sebelum Elena sempat memahami situasi, pria itu tiba-tiba menggulingkan tubuhnya hingga ia berbaring, dan tubuh kokoh pria itu kini menindihnya. Dekat. Terlalu dekat. Elena bisa merasakan detak jantungnya yang menggila.

“Apa kau menginginkannya lagi, sayang?” bisiknya di telinga Elena.

Elena terbelalak. Sayang?

Otaknya berputar, mencoba menyusun potongan-potongan memori yang hilang. Tetapi nihil. Semua yang tersisa hanya kehampaan.

Ia merasakan tubuhnya bergerak dengan refleks, kedua tangannya mendorong dada pria itu. Terlalu keras, terlalu kokoh. Meski dengan seluruh tenaga, hanya ada sedikit celah yang berhasil ia ciptakan di antara mereka.

“Maaf, Pak. Apa Anda tahu kita sedang berada di mana? Dan kenapa kita saling tidak berpakaian?” tanyanya dengan suara yang sedikit bergetar.

Pria itu memiringkan kepala, menyeringai dengan tatapan yang menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. “Pak?” ulangnya, seolah menikmati kata itu. “Apa kau ingin bermain peran denganku sekarang ini, sayang?”

Elena menggigit bibir, semakin bingung dan waspada.

Sebelum Elena sempat mengeluarkan satu kata pun sebagai jawaban, pria itu dengan cepat menangkap wajahnya di antara kedua telapak tangannya yang besar dan hangat. Dalam sekejap, bibirnya yang penuh dan sedikit terbuka langsung dilumat dengan kasar, seolah pria itu tak ingin memberinya kesempatan untuk berpikir atau melawan.

Sentuhan bibir mereka begitu panas, begitu mendalam, membuat Elena tersentak, tapi bukan karena keterkejutan—melainkan karena sensasi luar biasa yang langsung menjalar dari bibirnya ke seluruh tubuhnya.

Pria itu bukan hanya sekadar mencium, tapi dia mengklaim bibir Elena. Bibirnya menekan kuat, menghisap dengan intensitas yang hampir membuat Elena kehilangan keseimbangan, tangan pria itu merayap ke tengkuknya, menariknya semakin dekat hingga tubuh mereka bertaut tanpa celah. Ia bisa merasakan otot keras pria itu menempel di tubuhnya, suhu panas yang memancar dari kulitnya, seolah membakar bagian tubuhnya yang bersentuhan.

“Akh! Tun-ggu, tid-ak!”

Elena mencoba bertahan, mencoba menolak dominasi pria itu dengan tidak membuka mulutnya, tapi usaha itu sia-sia. Lidah pria itu dengan gigih mendesak, menggesek celah bibirnya, menuntut akses yang tak bisa ia tahan lebih lama lagi. Hingga akhirnya, dalam satu desahan yang tanpa sadar lolos dari tenggorokannya, pertahanannya runtuh. Bibirnya terbuka, dan dalam hitungan detik, lidah pria itu menerobos masuk, menari di dalam mulutnya dengan gerakan yang panas dan mendominasi.

Elena tersentak, sensasi itu begitu intens. Lidah mereka bertemu dalam tarian yang basah dan penuh gairah, bergulat dalam permainan yang tidak ingin ia akui telah membuat lututnya melemas. Pria itu menghisap lidahnya dengan kuat.

“Mmmmgh... Hei...”

Tangan pria itu semakin erat di tengkuknya, sementara tangan lainnya melingkari pinggangnya, menariknya lebih dalam ke dalam ciuman yang semakin panas. Bibir mereka menyatu dalam ritme yang semakin intens, gerakan pria itu semakin dalam dan menuntut, membuat Elena terhanyut dalam gelombang kenikmatan yang ia sendiri tak bisa lawan.

Udara terasa semakin tipis di antara mereka, tapi pria itu tidak mengendurkan ciumannya. Bahkan saat Elena mulai kehilangan napas, dia masih terus melumat bibirnya, menghisapnya seakan tidak ingin melepaskannya. Napas mereka menyatu, panas, memburu, memenuhi udara di antara mereka.

Elena merasa tubuhnya semakin lemas, tangannya yang tadi terangkat untuk menahan dada pria itu kini beralih mencengkeram bahunya, seolah mencari pegangan agar tidak tenggelam lebih dalam dalam pusaran hasrat yang baru saja dimulai.

Tangan pria itu melanjutkan pergerakannya dengan perlahan namun penuh kepastian, jemarinya yang besar dan hangat menelusuri setiap lekuk tubuhnya dengan gerakan yang terasa menguasai, seolah sedang menghafal dan mengklaim setiap inci kulitnya. Dimulai dari tengkuknya yang sensitif, sentuhan itu mengalir turun dengan lembut, melintasi bahunya yang telanjang, lalu menyusuri tulang selangkanya yang halus dengan penuh kesabaran, seakan pria itu menikmati setiap detik eksplorasi ini.

“Ugh... Ber-henti...”

Jemarinya yang besar dan hangat kemudian menangkup payudara Elena. Sentuhan itu bukan lagi sekadar belaian lembut, melainkan remasan lembut yang membuat Elena mengejang kecil dan tanpa sadar mengeluarkan erangan tertahan. Pria itu yang mengerti titik sensitifnya, karena jemarinya langsung tertuju pada putingnya yang menegang. Ia memilin dengan gerakan pelan namun menggoda, yang membuat Elena semakin terengah-engah.

Tangan pria itu yang lain tidak tinggal diam. Ia melanjutkan perjalanannya ke bawah, melewati perut rata Elena. Jemarinya kemudian menyentuh lembut celana dalam Elena, membelainya dengan gerakan halus tapi penuh tekanan. Elena merasakan bagian bawahnya semakin basah.

“Aaaaah...” Elena terbuai oleh sentuhan seorang pria asing ini.

Tanpa terduga, salah satu jari pria itu menyelusup masuk ke dalam celana dalamnya. Elena tersentak oleh invasi tiba-tiba itu, dilanjut dengan mengusap klitorisnya, dan salah satu jari pria itu mencoba masuk ke lubang vaginanya. Merasakan sakit akibat peregangan dari jari pria itu mencoba masuk ke dalam lubang vaginanya.

Elena menahan napas, tubuhnya menegang dalam kebingungan antara keterkejutan dan sensasi asing yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Rasa sakit akibat masuknya jari-jari tersebut membuat kesadaran Elena tersentak seperti disiram air es.

“Berhenti!” serunya dengan nada panik dan penuh ketegasan, seketika melawan keterkejutan yang sempat melumpuhkannya.

Tanpa berpikir lebih jauh, ia mengerahkan seluruh tenaganya dan dengan gerakan refleks, kedua tangannya mendorong dada bidang pria itu dengan kuat. Dorongan itu cukup untuk membuat pria tersebut terlepas dari tubuhnya, berguling ke sisi ranjang, meskipun ekspresi terkejut di wajahnya hanya bertahan sesaat sebelum berubah menjadi seringai penuh arti.

Elena akan membuka mulutnya untuk berbicara, tapi tiba-tiba suara deringan telepon memenuhi pendengarannya, detik itu juga sesuatu seperti menyedot kesadarannya, dan semuanya menghitam——

Terkesiap!

Kesadarannya kembali, Elena dengan napas memburu mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan, setelah melihat ke seluruh ruangan dan mengetahui ia sedang berada di kamar miliknya, Elena bernapas dengan lega.

“Syukurlah, jadi itu tadi benar-benar mimpi?”

Elena mengerang, ia segera memegang mulutnya yang masih bisa merasakan rasa panas dari mulut pria itu, hembusan napasnya, dan tangan panas pria itu yang menjelajahi tubuhnya juga. Memiliki mimpi erotis yang terasa nyata seperti ini benar-benar hal yang tidak terduga.

Tring! Tring! Tring!

Nada dering ponselnya terus berbunyi dari tadi.

“Halo, Mr. Caiden?” Elena mengangkat telepon dari bosnya.

—“Miss Hadley, maaf meneleponmu saat pagi buta seperti ini. Ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Kau nanti tidak perlu datang bertemu dengan Mr. Roney, itu sudah di selesaikan. Jadi, langsung saja datang bekerja ke kantor.” Suara bariton dengan kesan dingin bosnya memberi tahu Elena tentang inormasi tersebut.

“Baik, Mr. Caiden. Terima kasih atas informasinya,” jawab Elena dengan sopan.

—“Oke.”

Telepon di matikan.

Elena melihat jam yang menunjukkan pukul 05:10, jika itu di suasana hatinya yang sedang normal, Elena mungkin akan marah dan menggerutu sepanjang harinya karena harus menerima telepon pagi buta seperti ini.

Tapi sekarang, ia berterima kasih kepada Mr. Caiden yang telah meneleponnya dan membuat ia terbangun dari mimpi konyol miliknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 8

    Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me

    Last Updated : 2025-04-18
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 9

    Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s

    Last Updated : 2025-04-18
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 10

    Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya

    Last Updated : 2025-04-19
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 11

    Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu

    Last Updated : 2025-04-19
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 12

    Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa

    Last Updated : 2025-04-20
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 13

    Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni

    Last Updated : 2025-04-20
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 14

    "Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia

    Last Updated : 2025-04-21
  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 15

    Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari

    Last Updated : 2025-04-21

Latest chapter

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 19

    André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 18

    Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 17

    Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 16

    Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 15

    Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 14

    "Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 13

    Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 12

    Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa

  • Aroma Dalam Mimpi   BAB 11

    Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status