Paris, Perancis.
Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat. “El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian. Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu. “Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu. Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?” Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak. Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?” Elena menatap Shannon, hendak membantah, tapi akhirnya ia menghela napas dan mengakui. “Benar tapi—” Mata Shannon langsung membesar. “Ya Tuhan?! Benarkah?! Padahal aku hanya asal bicara! Wow… Apa ini akan menjadi tahun romansa dalam hidupmu?” ucapnya heboh. Elena buru-buru menoleh ke kanan dan kiri, memastikan tak ada orang yang terlalu dekat sebelum mendesis, “Ssst! Pelankan suaramu.” Shannon terkekeh, tapi tetap menatapnya penuh rasa ingin tahu. “Jadi siapa pria itu? Apa kau jatuh cinta pada pandangan pertama?” Elena mendesah dan menggeleng. “Tidak, ini bukan tentang cinta. Aku hanya penasaran dengan parfum yang dipakai pria itu. Itu saja. Bukan debaran cinta yang konyol.” Shannon menatapnya dengan tatapan jahil. “Apa kau wanita cabul?” godanya. “Bagaimana bisa seorang wanita asing tiba-tiba menanyakan, ‘Permisi, parfum apa yang Anda pakai?’ kepada seorang pria asing?” Elena mendengus, mengambil sebagian barangnya dari tangan Shannon. “Tinggal aku jelaskan saja situasiku dan pekerjaanku kepadanya, beres bukan? Lagipula, aroma milik pria itu sesuai dengan yang kuinginkan untuk launching parfum musim panas ini.” Mereka berbincang sambil berjalan menuju parkiran mobil. Shannon membuka pintu bagasi dan memasukkan koper Elena sebelum mereka berdua masuk ke dalam mobil. Saat perjalanan, Shannon membeli beberapa sandwich dan cola dari drive-thru. Ia menyerahkan satu set kepada Elena, yang menerimanya dengan senang hati. “Terima kasih,” ucap Elena sebelum mulai memakan sandwich dengan lahap. “Jadi bagaimana pertemuanmu dengan Mr. Daniel? Berjalan lancar?” Elena mengangguk, meneguk cola sebelum menjawab. “Sangat lancar. Mr. Daniel sangat sopan dan informatif.” Shannon mengangguk puas. “Bagus kalau begitu. Jadi, semuanya berjalan sesuai rencana?” Elena mendesah. “Untuk sebagian, ya. Tapi keputusan ada di tangan Mr. Rain. Dia pelukis anonim yang tidak menyukai publisitas.” Shannon menghela napas panjang. “Hah... Aku sudah menduga ini. Mr. Rain dari awal debutnya sebagai pelukis tidak pernah menampakkan wajahnya sama sekali. Bahkan dia menolak semua tawaran dari galeri terkenal di dunia.” Elena mengangguk setuju. “Ya, dan dia hanya memamerkan karyanya di Ottawa.” Shannon menepuk setir mobil. “Mungkin karena lukisannya butuh penanganan yang tepat. Bisa jadi itu alasan dia menolak tawaran untuk dipajang di berbagai galeri lain.” Elena berpikir sejenak, lalu menoleh dengan ekspresi penasaran. “Tunggu... kebetulan galeri itu milik keluarga Davis juga, bukan?” Shannon tersenyum kecil. “Benar sekali.” Elena terkekeh. “Kalau begitu, kita bisa meminta tolong kepada Mrs. Davis.” Mereka berdua tertawa bersama, membayangkan betapa konyolnya ide itu. “Yah, semoga dia setuju untuk berkolaborasi dengan kita. Aku harap begitu,” kata Elena akhirnya. “Semoga saja,” Shannon menimpali. Mobil melaju cepat menuju apartemen Elena, sementara di dalam pikirannya, ia masih terbayang akan aroma misterius pria itu. Mungkinkah ini lebih dari sekadar pencarian parfum yang sempurna? ❀❀❀❀❀ Mobil Shannon berhenti di depan apartemen Elena. Dengan sigap, Elena membuka pintu dan turun, menarik napas dalam-dalam, menikmati udara malam yang sejuk. Shannon ikut turun dan membantunya mengeluarkan koper dari bagasi. “Ayo masuk sebentar,” ajak Elena. “Aku akan membuatkan teh atau kopi untukmu.” Shannon mengangkat alis. “Kau sudah mengenalku selama bertahun-tahun dan masih bertanya? Tentu saja kopi!” Elena tertawa kecil dan membuka pintu apartemennya. Interior modern dengan sentuhan minimalis menyambut mereka. Shannon melempar jaketnya ke sofa sementara Elena menuju dapur, menyalakan mesin kopi. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya?” tanya Shannon, duduk di stool bar dekat dapur. Elena menuangkan kopi ke dalam dua cangkir sebelum menjawab. “Hmm... Pertama aku akan tinggal di Kanada selama dua bulan untuk mengawasi pengembangan produk baru, karena bahan bakunya yang rentan oksidasi, jadi pembuatannya harus di laboratorium di sana. Kedua, aku akan mulai menyusun anggaran untuk koleksi parfum musim panas ini.” Shannon menerima cangkir kopi yang disodorkan kepadanya, meniup permukaannya sebelum menyesapnya pelan. “Dan bagaimana dengan pria misterius itu? Kau akan mencarinya lagi?” tanyanya dengan nada menggoda. Elena menggeleng sambil tersenyum. “Bukan pria itu yang kucari, Shan. Aku hanya ingin menemukan aroma yang ia pakai. Itu saja.” Shannon menatapnya tajam, lalu menyeringai. “El, kau perfeksionis, dan aku tahu kau tidak akan berhenti sampai kau menemukannya.” Elena mendesah dan menyandarkan tubuhnya pada meja dapur. “Mungkin kau benar. Aku merasa aroma itu bisa menjadi kunci untuk menciptakan sesuatu yang benar-benar unik. Tapi masalahnya, aku bahkan tidak tahu siapa dia.” Shannon mengetuk jari di bibirnya, berpikir. “Benar juga, mencari teman yang telah lama hilang kontak saja susah sekali. Apalagi ini, hanya orang asing. Elena mengangguk. Suara dering pesan masuk dari ponsel Shannon berbunyi nyaring di apartemennya. Shannon membaca pesan itu dengan wajah tidak suka. “Maaf, El. Aku harus pergi, si brengsek itu minta di belikan makanan. Sungguh merepotkan! Dia yang berulah, tapi aku yang kena getahnya! Sial!” Runtuh Shannon dengan amarah yang menggebu-gebu. Elena tertawa dengan gembira melihat temannya begitu emosi mengurus kembarannya. Shannon berdiri dengan kasar, menyambar jaketnya dari sofa. “Aku harus pergi sebelum dia mengeluh lagi. Sepertinya aku lahir untuk terjebak menjadi budak Sean sepanjang hidupku,” gerutunya sambil berjalan menuju pintu. Elena masih tertawa kecil. “Kasihan sekali dirimu. Seharusnya kau biarkan saja dia kelaparan supaya belajar bertanggung jawab.” “Ha! Kau pikir aku tidak ingin? Tapi kalau itu terjadi, ibuku yang akan marah padaku. Dan percayalah, aku lebih memilih menghadapi Sean yang rewel daripada omelan panjang ibuku.” Shannon membuka pintu dengan kesal. “Aku akan meneleponmu besok. Jangan membuat keputusan gila untuk mencari pria misterius itu tanpa aku, oke?” Elena mengangkat tangan, pura-pura bersumpah. “Aku janji.” Setelah Shannon pergi, Elena menutup pintu dan kembali ke dapur. Ia menyesap kopinya yang mulai dingin, lalu berjalan ke balkon apartemennya. Kota masih sibuk meskipun malam sudah semakin larut. Lampu-lampu kendaraan yang melaju di jalanan menciptakan jejak cahaya yang tak berujung. Di kepalanya, pikiran tentang pria beraroma musim panas itu kembali mengusik. Ia bukan seseorang yang percaya pada takdir, tapi ada sesuatu tentang pertemuan singkat itu yang tak bisa ia lupakan. Elena menarik napas dalam-dalam, membayangkan aroma yang tersisa dalam ingatannya. Segar, sedikit sentuhan woody, dengan sentuhan hangat yang membuatnya nyaman. “Aku harus menemukannya.” Bukan pria itu. Tapi aromanya. Ia memutuskan untuk mencoba memulai membuat formula aroma itu dari ingatannya, hal yang paling sederhana: riset. Mungkin, jika ia bisa mempersempit komposisi aromanya, ia akan bisa menciptakan versinya sendiri. Dengan semangat baru, Elena kembali masuk ke dalam apartemen dan membuka laptopnya. Jari-jarinya mulai mengetik kata kunci di mesin pencari, mencari referensi parfum dengan karakteristik yang serupa.Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu