Elena terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan nyeri di hampir setiap sendinya. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan bahunya yang kaku akibat berjalan terlalu lama di udara dingin semalam.
“Lelahnya… kenapa aku bisa se-nekat itu untuk mengejarnya,” gumamnya sambil mengelus tengkuknya yang tegang. Setelah berjam-jam mengitari daerah Rideau Canal demi mencari pria misterius beraroma musim panas itu, ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa usahanya sia-sia. Pria itu tetap tidak ditemukan. Dengan berat hati, Elena duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dingin yang menusuk semalam tampaknya juga meninggalkan efek menggigil pada tubuhnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur—pukul 06:30 pagi. Masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru saja mengalami pencarian panjang yang tak membuahkan hasil. Namun, hari ini ia tidak bisa berlama-lama berbaring. “Ayo bangun, Elena! Kamu bukan liburan di sini!” ucapnya pada diri sendiri sambil menarik napas panjang. Ia memiliki jadwal penting—pertemuan dengan Mr. Daniel Cartier di sebuah galeri seni terkenal di kota ini. Dengan langkah malas, Elena akhirnya bangkit dan menuju kamar mandi, membiarkan air hangat merendam tubuhnya untuk meredakan rasa nyeri. “Oooh.. Enaknya berendam air hangat,” katanya sambil menyandarkan kepala ke bathtub, membiarkan uap memenuhi ruang kecil itu. Setelah selesai mandi dan bersiap-siap, ia mengenakan setelan krem elegan yang menonjolkan sisi profesionalismenya. Rambutnya ia tata rapi, dan sedikit riasan natural mempertegas fitur wajahnya. Ia berdiri di depan cermin sejenak, memandangi bayangannya sendiri. “Kamu bisa melakukan ini,” katanya pelan. “Ayo fokus dengan pekerjaan hari ini, Elena!” Ia menyemangati dirinya sendiri di depan cermin. Setelah memastikan semua berkas penting sudah tersimpan dalam tasnya, Elena bergegas keluar dari hotel ❀❀❀❀❀ Saat tiba di depan bangunan tempat pertemuannya hari ini, Elena berhenti sejenak. Matanya menelusuri setiap detail arsitektur gedung megah itu. Pilar-pilar tinggi berdiri kokoh di bagian depan, jendela-jendela besar berbingkai kayu memperlihatkan sebagian interior, dan ornamen bergaya Eropa menghiasi fasadnya. Meski bernuansa klasik, sentuhan modern terasa lewat penggunaan kaca dan logam, menciptakan keseimbangan antara masa lalu dan masa kini. Elena menarik napas dalam, membiarkan udara dingin memenuhi dadanya sebelum menghembuskannya perlahan. Jantungnya sedikit berdebar. Ia bukan tipe yang mudah gugup, tapi ada sesuatu dari tempat ini—entah suasananya, atau pertemuan yang akan ia hadapi—yang membuatnya sedikit gelisah. “Tenang saja,” bisiknya pada diri sendiri. “Ini cuma pertemuan biasa. Profesional.” Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk. Pintu besar dari kayu mahoni tertutup perlahan di belakangnya. Begitu masuk, suasana tenang langsung menyambutnya. Pencahayaan lembut menciptakan kesan magis dan dramatis, menyoroti karya seni di dinding dan pijakan khusus. Lukisan-lukisan terpajang rapi, memperlihatkan detail yang mungkin terlewat dengan pencahayaan biasa. Sebagian besar lukisan menggambarkan lanskap alam—pegunungan berkabut, danau yang memantulkan langit senja, dan padang bunga liar berwarna cerah. Ada juga lukisan bunga dalam vas kristal, kelopaknya tampak begitu lembut, serta siluet wanita misterius yang mengundang rasa penasaran. Namun, bukan hanya lukisannya yang menarik perhatian Elena. Aroma ruangan itu juga memikat. Udara dipenuhi perpaduan wewangian yang lembut dan elegan. Ada aroma woody yang hangat, floral yang romantis, dan citrus segar sebagai sentuhan akhir. Wewangian itu menyatu sempurna, menciptakan pengalaman sensorik yang kaya. Bahkan bau cat minyak yang biasanya kuat di galeri seni hampir tak terasa. Tak lama setelah ia mengamati sekeliling, seorang pria jangkung yang berusia sekitar akhir tiga puluhan, dengan rambut hitam berombak yang tampak tertata rapi serta kacamata tipis yang bertengger di hidungnya mulai melangkah mendekat dengan penuh percaya diri. “Miss Elena Hadley?” Suara seorang pria terdengar tegas namun tetap berintonasi tenang, dengan aksen Inggris yang begitu khas. Nada bicaranya menunjukkan bahwa ia adalah seseorang yang terbiasa berbicara dengan penuh wibawa dan keyakinan, memberikan kesan profesional yang kuat sejak pertemuan pertama. Elena mengangkat wajahnya dan langsung menemukan sosok pria jangkung dengan rambut hitam berombak yang tertata rapi, mengenakan kacamata tipis yang semakin menegaskan karisma intelektualnya. Dengan cepat, ia mengukir senyum ramah di wajahnya sebelum mengulurkan tangan dengan sikap percaya diri. “Ya, saya Elena Hadley,” katanya dengan nada hangat namun profesional. “Anda pasti Mr. Daniel Cartier?” Pria itu mengangguk kecil sebelum menyambut jabatan tangannya dengan mantap, tidak terlalu kuat, tetapi cukup menunjukkan bahwa ia menghargai etika profesionalitas. “Senang akhirnya bisa bertemu langsung dengan Anda,” katanya dengan nada yang lebih santai tetapi tetap formal. “Miss Winfrey telah memberi tahu saya bahwa Anda yang akan mewakilinya dalam pertemuan ini.” Elena mengangguk pelan, lalu menjelaskan dengan tenang, “Ya, sebenarnya Miss Winfrey sangat ingin menghadiri pertemuan ini secara langsung, tetapi karena terjadi keadaan darurat dalam keluarganya yang membutuhkan perhatiannya segera, ia tidak dapat hadir dan meminta saya untuk menggantikannya.” Mr. Daniel tampak memahami situasi tersebut dengan baik. Ia mengangguk sekali sebelum menggerakkan tangannya, memberi isyarat agar Elena mengikutinya. “Saya mengerti. Kalau begitu, mari kita langsung membahas proyek ini. Saya ingin mendengar lebih banyak tentang konsep yang Anda bawa.” Mereka berjalan melewati lorong galeri, yang dipenuhi karya seni dari berbagai aliran dan gaya, sebelum akhirnya tiba di sebuah ruangan pertemuan kecil yang dikelilingi rak tinggi berisi buku-buku seni dari berbagai era. Di tengah ruangan, sebuah meja besar dipenuhi dengan sketsa-sketsa desain yang telah dipersiapkan sebelumnya. Elena melangkah mendekat, matanya langsung tertarik pada sketsa-sketsa yang tertata rapi di atas meja. Setiap desain memperlihatkan konsep visual yang begitu detail—garis-garis abstraknya menggambarkan pergerakan, permainan warna yang kaya menampilkan emosi yang dalam, sementara catatan-catatan kecil di sampingnya memberikan penjelasan tentang filosofi di balik setiap karya. Mr. Daniel mengambil salah satu sketsa dan mengamatinya sejenak sebelum menoleh ke arah Elena. “Jadi, proyek ini adalah bentuk kolaborasi antara dunia seni dan parfum?” tanyanya, suaranya terdengar semakin tertarik. Elena tersenyum tipis, senang karena ia bisa melihat ketertarikan pria itu mulai tumbuh. “Tepat sekali, Mr. Cartier,” jawabnya dengan penuh antusias. “Kami ingin menciptakan pengalaman multisensori yang benar-benar bisa memberikan dampak emosional kepada pengunjung, tidak hanya melalui visual tetapi juga melalui aroma. Ide ini berangkat dari konsep bagaimana indra penciuman memiliki hubungan yang kuat dengan ingatan dan emosi manusia. Kami ingin menghubungkan elemen visual dan olfaktori sehingga setiap jenis aroma parfum bisa langsung terlihat hanya dari desain kemasannya.” Mr. Daniel mengusap dagunya, tampak memikirkan sesuatu sebelum akhirnya tersenyum tipis. “Menarik,” katanya sambil menatap Elena dengan penuh perhatian. “Jadi, Anda ingin menciptakan hubungan yang lebih mendalam antara seni, memori, emosi, dan indra penciuman?” Elena mengangguk mantap. “Benar sekali. Dan itulah alasan mengapa Miss Winfrey begitu tertarik untuk bekerja sama dengan para seniman di sini. Kami yakin bahwa pendekatan ini akan membawa pengalaman seni ke tingkat yang lebih personal dan imersif.” Tatapan Mr. Daniel beralih ke salah satu sketsa yang menampilkan rancangan ruangan dengan panel-panel interaktif. Setiap panel memiliki warna dan tekstur tertentu yang dirancang agar dapat memberikan pengalaman sensorik berbeda ketika dipadukan dengan aroma yang tersebar di udara. “Saya dengar lukisan di sini bukan sekadar karya seni biasa,” kata Elena, suaranya dipenuhi rasa ingin tahu. Mr. Daniel mengangkat alis dan tersenyum, seperti seseorang yang baru saja menemukan pendengar yang benar-benar bisa memahami visi uniknya. “Tentu saja, Miss Hadley,” jawabnya dengan bangga. “Lukisan-lukisan di sini tidak hanya menyajikan estetika visual semata, tetapi juga menghadirkan dimensi baru dalam pengalaman berinteraksi dengan seni. Kami telah mengembangkan teknik khusus yang memungkinkan setiap lukisan memiliki aroma tersendiri—aroma yang telah disesuaikan dengan tema dan suasana yang ingin disampaikan oleh senimannya. Jika seseorang berdiri dalam jarak sekitar satu meter dari lukisan tertentu, mereka akan bisa menghirup aroma yang terpancar darinya.” Elena membulatkan matanya dengan takjub dan dengan sedikit candaan. “Jadi, Anda benar-benar menciptakan seni yang bisa ‘dihirup’?” Mr. Daniel terkekeh pelan sebelum mengajak Elena keluar dari ruangan dan membawanya menuju salah satu bagian galeri. Mereka berhenti di depan sebuah lukisan yang memperlihatkan ladang bunga lavender yang luas, dengan siluet seorang wanita berdiri membelakangi penonton, menggenggam seikat bunga lavender di tangannya. Dengan penasaran, Elena melangkah mendekati lukisan tersebut. Dan saat berada dalam jarak sekitar satu meter, ia tiba-tiba merasakan aroma khas lavender memenuhi udara di sekitarnya. Wanginya begitu alami, seakan-akan ia benar-benar berdiri di tengah ladang lavender yang luas di bawah langit biru yang cerah. Mata Elena sedikit terpejam saat ia menghirup aroma itu lebih dalam. Wangi lembut yang menenangkan itu membawanya pada kenangan masa kecilnya—saat ia pernah berlari-lari di ladang bunga bersama ibunya di Provence. Ia hampir bisa merasakan angin sejuk yang membelai kulitnya, sinar matahari yang menghangatkan pipinya, dan suara gemerisik batang bunga yang bergoyang diterpa angin. “Ini… sungguh luar biasa,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara kepada dirinya sendiri. Mr. Daniel tersenyum puas melihat reaksinya. “Itulah esensi dari pameran ini,” katanya. “Kami ingin membawa seni ke tingkat yang lebih mendalam—lebih dari sekadar sesuatu yang bisa dilihat, tetapi juga sesuatu yang bisa dirasakan dan dikenang.” Elena mengangguk, masih terpesona dengan pengalaman yang baru saja ia alami. Proyek ini bukan hanya menarik, tetapi juga sangat revolusioner. Dalam pikirannya, ia mulai membayangkan berbagai kemungkinan yang bisa mereka ciptakan dengan kolaborasi ini.Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya. Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingata
Paris, Perancis. Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat.“El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian.Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.“Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu.Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?”Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak.Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?”Elena
Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu