Flashback, lima bulan yang lalu.
Musim dingin. Ottawa, Kanada Elena Hadley duduk tegak di kursinya. Tangannya dengan lembut menggenggam sebuah botol kecil berisi cairan bening yang memancarkan aroma segar dan elegan. Wajahnya memancarkan ketenangan dan keyakinan saat ia menatap Mrs. Davis, seorang wanita dengan penampilan anggun dan profesional, yang duduk di seberangnya. “Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap perusahaan kami, Mrs. Davis. Saya berjanji akan mengolah bibit parfum ini menjadi sesuatu yang tidak hanya mewah, tetapi juga menyegarkan dan memiliki ciri khas tersendiri bagi para konsumen,” ucap Elena dengan tulus, suaranya penuh keyakinan. Mrs. Davis tersenyum tipis, menyilangkan jemarinya di atas meja sambil mengangguk pelan. “Saya pun menantikan hasil akhirnya, Miss Hadley. Saya sangat yakin bahwa bibit parfum dari perusahaan kami memiliki keunggulan dan nilai eksklusif yang tak tertandingi,” jawabnya dengan nada percaya diri. Sejenak, suasana di dalam ruang pertemuan terasa tenang. Beberapa rekan kerja Mrs. Davis yang ikut hadir dalam pertemuan itu juga terlihat puas dengan diskusi yang telah mereka lakukan. Aroma samar dari berbagai ekstrak bunga dan pepohonan dari hutan boreal Kanada yang sebelumnya mereka uji coba masih tercium di udara, menambah nuansa elegan pada ruangan modern dengan dinding kaca besar yang memperlihatkan pemandangan kota di sore hari. Elena tersenyum lembut sambil mengangguk sebagai tanda kesepakatan. “Saya akan memastikan bahwa proyek ini berjalan dengan sempurna. Konsumen tidak hanya akan mendapatkan parfum yang harum, tetapi juga pengalaman emosional yang berkesan dari setiap semprotannya,” tambahnya penuh semangat. Mrs. Davis mengulurkan tangan, dan Elena menyambutnya dengan jabatan erat yang penuh keyakinan. “Kami menaruh harapan besar pada kerja sama ini, Miss Hadley,” ucap Mrs. Davis. “Saya juga, Mrs. Davis. Ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa,” jawab Elena dengan antusias. Setelah berpamitan dengan sopan kepada Mrs. Davis dan seluruh timnya, Elena bangkit dari kursinya dan melangkah keluar dari ruang pertemuan. Saat ia berjalan melewati koridor kantor Natura Davis Ltd., ia menarik napas panjang, membiarkan dirinya meresapi momen keberhasilan negosiasi yang baru saja terjadi. Natura Davis adalah perusahaan global yang dikenal sebagai produsen sabun, sampo, dan pengharum ruangan berkualitas tinggi. Mereka juga memproduksi bibit parfum unggulan yang dijual secara terbatas di berbagai negara. Produk-produk Natura Davis diminati karena bebas dari paraben dan bahan kimia berbahaya, serta menggunakan bahan alami dan organik yang aman dan bermanfaat. Sementara itu, perusahaan tempat Elena bekerja adalah merek parfum ternama yang dikenal akan keharuman mewah dan eksklusif. Sebagai Manajer R&D, Elena bekerja keras untuk memenangkan tender kerja sama dengan Natura Davis, meski harus bersaing dengan banyak perusahaan lain yang juga mengincar bibit parfum unggulan tersebut. Setelah berbagai upaya dan strategi, Elena akhirnya berhasil. Mrs. Davis dan timnya memilih perusahaan Elena sebagai mitra kolaborasi. Kesepakatan ini menjadi pencapaian besar, menandakan pengakuan terhadap kualitas dan visi mereka. Bagi Elena, ini bukan hanya kemenangan profesional, tetapi juga peluang besar untuk menghadirkan inovasi parfum yang lebih eksklusif bagi pecinta wewangian di seluruh dunia. Begitu keluar dari gedung, angin musim dingin sore menyambutnya. Dengan senyum puas di wajahnya, Elena merasa lega dan semakin yakin bahwa proyek ini akan menjadi langkah besar dalam kariernya di industri parfum. Elena melangkah menuju mobilnya, pikirannya masih dipenuhi oleh kegembiraan atas keberhasilannya dalam pertemuan tadi. Ia membuka pintu mobil, tetapi sebelum masuk, ponselnya bergetar di dalam tas. Dilihatnya nama yang muncul di layar: Shannon Winfrey. Elena segera mengangkat telepon dan menaruhnya di dudukan mobil, menyambungkan panggilan ke sistem speaker. Ia menyalakan mesin mobil dan mulai berkendara keluar dari gedung Natura Davis Ltd. “Shannon!” Elena menyapa dengan nada bersemangat. “Aku baru saja keluar dari pertemuan dan tebak apa? Aku berhasil! Natura Davis resmi bekerja sama sebagai pemasok perusahaan kita!” Dari speaker mobil, terdengar suara Shannon yang langsung berseru gembira. “Elena! Serius? Astaga, itu luar biasa! Aku tahu kalau kau pasti bisa meyakinkan mereka. Ini suatu pencapaian besar! Kau telah bekerja keras, darling.” Elena terkekeh, merasa puas dengan reaksinya. “Ya, akhirnya semua kerja keras ini terbayar. Aku tidak sabar untuk mulai proyek ini.” “Aku yakin hasilnya akan luar biasa, seperti biasa,” kata Shannon dengan nada kagum. “Kita harus merayakannya saat kau kembali pulang ke Paris!” Elena tersenyum, tetapi kemudian mengingat sesuatu. “Ah, benar! Shannon, bukankah kau datang ke Kanada besok? Aku ingat kau ada urusan di sini lusa.” Elena mengingat hal itu karena Shannon, yang bekerja sebagai desainer grafis, memiliki janji dengan galeri seni di sana untuk bertemu dengan kurator pameran dan mendiskusikan kemungkinan kolaborasi dalam proyek desain visual mereka. Terdengar helaan napas dari Shannon di ujung telepon sebelum akhirnya ia menjawab dengan nada sedikit muram. “Ah... masalahnya, Elena. Aku tidak bisa datang...” Elena mengernyit. “Kenapa? Apa telah terjadi sesuatu?” Shannon terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada penuh kekesalan. “Sean. Dia mengalami kecelakaan saat bekerja.” Elena terkejut. “Tunggu, apa? Kecelakaan? Seberapa parah?” “Beruntungnya dia hanya mengalami beberapa patah tulang saja. Si brengsek itu harusnya bersyukur tidak ada cedera yang lebih serius, tapi tetap saja, aku benar-benar kesal!” Suara Shannon terdengar frustrasi. “Aku sudah bilang berkali-kali kalau pekerjaannya sebagai pembalap motor itu berbahaya! Dan lihat sekarang, dia harus istirahat berminggu-minggu. Jadi aku harus tetap di sini untuk mengurusnya.” Elena menghela napas, memahami perasaan sahabatnya. “Shannon, aku mengerti kamu kesal, tapi yang penting sekarang adalah Sean selamat. Dia hanya butuh waktu untuk pulih.” “Ya, aku tahu...” Shannon menggerutu. “Tapi tetap saja, ini menyebalkan.” Elena tersenyum kecil. “Itu saudara kembarmu, Shannon. Mau sekeras apa pun kamu marah, kamu tetap peduli padanya.” “Hah... ya, kamu benar,” Shannon akhirnya menyerah, suaranya mulai melembut. “Aku hanya frustrasi, Elena. Aku ingin dia berhenti melakukan hal-hal yang bisa mencelakainya, tapi dia keras kepala.” “Itu sudah sifatnya,” kata Elena menenangkan. “Yang bisa kamu lakukan sekarang adalah membantunya pulih.” Shannon menghela napas panjang. “Ya... kau benar. Ngomong-ngomong, karena aku tidak bisa datang, bisakah kau menggantikanku ke galeri seni itu lusa? Kumohon, Elena...” “Tentu,” jawab Elena tanpa ragu. “Aku bisa mengurusnya.” “Terima kasih, bestie. Aku berutang padamu.” Elena tertawa. “Kalau begitu, kau bisa membayarnya dengan mentraktirku makan di restoran mewah saat aku kembali.” Shannon ikut tertawa. “Tidak masalah! Aku akan mentraktirmu di restoran terbaik di Paris. Aku janji!” “Aku pegang janjimu itu,” kata Elena dengan nada main-main. “Baiklah, baiklah,” Shannon terkekeh. “Dan terima kasih sudah mendengar ocehanku tadi.” “Kapan pun, Shannon,” kata Elena tulus. “Titip salamku kepada Sean. Semoga dia cepat pulih.” “Oke, aku harus pergi sekarang. Kita akan bicara lagi nanti!” “Oke, sampai nanti!” Elena menutup telepon, masih tersenyum. Ia merasa puas. Hari ini bukan hanya hari penuh kemenangan, tetapi juga momen yang mengingatkannya betapa pentingnya hubungan dan dukungan dari orang-orang di sekelilingnya. Dengan perasaan ringan, Elena melanjutkan perjalanannya menuju hotel. Saat mobilnya melaju mulus di jalanan Ottawa yang mulai dipenuhi cahaya lampu kota, Elena masih merasakan euforia dari negosiasi penting yang baru saja ia selesaikan. Rasa bangga dan puas atas pencapaian itu masih hangat dalam dirinya. Namun, pikirannya mulai berpindah ke pertemuan selanjutnya di sebuah galeri seni ternama—tanggung jawab baru yang harus ia tangani. Shannon, sahabatnya, telah mempercayakan tugas ini padanya. Meski begitu, Elena sadar bahwa dunia seni bukanlah keahliannya. Ia lebih terbiasa dengan dunia bisnis, angka, dan negosiasi, bukan kanvas dan diskusi tentang makna karya seni. Meski merasa asing, ia tetap bertekad melakukan yang terbaik. Saat berhenti di lampu merah, Elena membuka pesan dari Shannon yang dikirim beberapa jam lalu. Di dalamnya terdapat detail penting soal pertemuan: alamat galeri, nama kurator yang akan ia temui—Mr. Daniel Cartier—dan beberapa catatan tentang proyek yang akan dibahas. Ia membaca cepat poin-poin penting, lalu kembali fokus saat lampu hijau menyala dan mobil kembali melaju menuju hotel. Sesampainya di kamar hotel yang hangat dan tenang, malam telah menyelimuti Ottawa dengan udara dingin khas musim dingin. Elena melepas mantelnya, menyalakan lampu di sudut ruangan, lalu duduk sambil membuka laptop. Ia memutuskan mencari tahu lebih banyak tentang Mr. Daniel Cartier. Namanya terdengar familiar, dan rasa penasarannya pun makin besar seiring dengan hasil pencariannya di internet. “Daniel Cartier... Kenapa namanya terdengar familiar?” Setelah beberapa saat menggulirkan layar, ia menemukan bahwa Mr. Daniel Cartier bukanlah sembarang kurator seni, melainkan seorang figur ternama dalam dunia seni yang pernah bekerja di berbagai galeri prestisius, termasuk Galeri Seni Paris, tempat ia dikenal karena pendekatan avant-garde-nya yang inovatif dan penuh keberanian dalam dunia seni visual. Kini, ia bekerja sama dengan Galeri Seni Ottawa, membawa perspektif uniknya ke dalam dunia seni di Kanada. “Ah, pantas saja namanya terasa familiar. Ternyata, beliau adalah kurator di Galeri Seni Paris yang terkenal itu.” Mr. Daniel Cartier adalah seseorang yang dihormati di dunia seni karena kejeliannya dalam menilai sebuah karya. Artinya, Elena harus lebih mempersiapkan diri. Ia tidak bisa datang ke pertemuan besok tanpa setidaknya memahami sedikit tentang cara berpikir orang-orang dalam bidang kesenian. Menemukan fakta tersebut membuat Elena semakin tertarik dan merasa bahwa pertemuannya besok akan menjadi sesuatu yang menarik sekaligus penuh tantangan. Sambil tersenyum kecil, ia meletakkan ponselnya di atas meja dan mengambil segelas anggur merah dari minibar hotel, menikmati setiap tegukan yang perlahan menghangatkan tubuhnya yang mulai lelah. Setelah menyimpan semua informasi penting yang ia temukan, Elena memutuskan untuk memanjakan dirinya dengan berendam air hangat di bathtub kamar hotelnya. Sensasi relaksasi langsung menyelimuti tubuhnya saat ia meresapi kehangatan air yang menenangkan, membiarkan pikirannya beristirahat sejenak setelah berbagai hal yang memenuhi kepalanya sepanjang hari. Setelah berendam, Elena mengenakan jubah mandi dan duduk di sofa dekat jendela kamar hotel. Ia memperhatikan beberapa brosur yang tadi diambil dari lobi, berisi info tentang festival budaya yang sedang berlangsung di kota. Dari sana, ia tahu bahwa Ottawa sedang mengadakan Winterlude, festival musim dingin terkenal yang selalu menarik banyak pengunjung. Karena besok hanya ada satu pertemuan di galeri seni, Elena memutuskan untuk menyempatkan diri mengunjungi festival itu. Brosur menyebutkan berbagai atraksi menarik: pahatan es, arena seluncur di Kanal Rideau, pertunjukan seni, hingga makanan khas musim dingin yang menggoda. “Sepertinya seru. Mumpung di sini, kenapa tidak coba pengalaman barunya,” gumamnya. Dengan semangat baru untuk menjelajah sisi lain Ottawa, Elena menyimpan brosur di meja, lalu merebahkan diri di tempat tidur. Malam ini, ia akan beristirahat dengan tenang—siap menghadapi pertemuan penting besok dan menikmati festival musim dingin yang penuh keseruan.Udara pagi di Ottawa terasa segar, dingin, dan penuh semangat. Cahaya matahari musim dingin yang samar memantul di atas salju yang menutupi trotoar, menciptakan suasana yang hampir magis. Di dalam kamar hotelnya, Elena telah bersiap-siap untuk menikmati hari yang sudah lama ingin ia rasakan kembali—hari tanpa pekerjaan, tanpa tekanan, hanya dirinya sendiri dan kesenangan sederhana menikmati festival musim dingin terbesar di kota ini, Winterlude.Ia melilitkan syal hangat di lehernya, memastikan jaket tebalnya telah menutup tubuhnya dengan sempurna. Rambut merahnya sengaja ia biarkan terurai agar lehernya tetap hangat, sementara topi dan penutup telinga menambah perlindungan dari angin dingin yang berembus. Sepasang sarung tangan tebal ia kenakan sebelum mengambil tas kecilnya dan memeriksa bahwa semua yang ia butuhkan sudah dibawa."Oke, ini sudah cukup hangat. Karena aku akan berada di luar seharian, jadi lebih baik tidak kedinginan," gumamnya sambil memeriksa dirinya sekali lagi.
Elena terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan nyeri di hampir setiap sendinya. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan bahunya yang kaku akibat berjalan terlalu lama di udara dingin semalam. “Lelahnya… kenapa aku bisa se-nekat itu untuk mengejarnya,” gumamnya sambil mengelus tengkuknya yang tegang. Setelah berjam-jam mengitari daerah Rideau Canal demi mencari pria misterius beraroma musim panas itu, ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa usahanya sia-sia. Pria itu tetap tidak ditemukan. Dengan berat hati, Elena duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dingin yang menusuk semalam tampaknya juga meninggalkan efek menggigil pada tubuhnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur—pukul 06:30 pagi. Masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru saja mengalami pencarian panjang yang tak membuahkan hasil. Namun, hari ini ia tidak bisa berlama-lama berbaring. “Ayo bangun, Elena! Kamu bukan liburan di sini!” ucapnya pada diri sendiri sambil menar
Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya. Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingata
Paris, Perancis. Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat.“El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian.Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.“Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu.Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?”Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak.Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?”Elena
Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
Setelah beristirahat dan berbincang dengan Shannon, Elena kembali ke kantornya dengan langkah yang lebih ringan. Namun, saat masuk, ia menyadari ruangan masih sepi. Belum ada rekan kerja yang kembali dari istirahat. Suasana hening ini terasa agak asing baginya.Satu-satunya yang terlihat hanyalah Mr. Caiden, tetap bekerja di dalam ruangannya meski jam istirahat. Pria itu memang dikenal sebagai bos yang sangat serius. Dari luar, ia bisa melihat Mr. Caiden duduk di belakang meja, fokus pada layar komputer, jari-jarinya mengetik cepat. Biasanya, bosnya memang tidak keluar saat makan siang, hanya menyantap sandwich dan jus yang dia bawa sendiri atau dibelikan asistennya.Kali ini, Elena membawa sendiri sebuah paper bag berisi sandwich dan jus segar. Bukan kebiasaannya, tapi ia ingin mengucapkan terima kasih. Meskipun hubungan mereka hanya profesional, Elena merasa perlu menunjukkan apresiasinya atas bantuan Mr. Caiden selama ini.Sebenarnya, Elena agak enggan bertemu langsung dengannya
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu