Malam terasa menusuk dengan dinginnya, tapi tidak bagi dua insan yang kini tengah terperangkap dalam kehangatan penuh gairah di dalam sebuah ruangan yang didominasi warna putih. Dinding putih, sprei kasur putih, hingga perabotan yang semuanya bewarna seragam menciptakan nuansa steril yang justru kontras dengan panas yang mulai membakar di antara mereka.
Di atas ranjang, tubuh mereka saling melekat erat, napas memburu, dan kulit yang semakin lembab oleh keringat. Aroma hasrat memenuhi udara. Jari-jari mencengkeram erat, tubuh bergetar dalam irama yang semakin menggila. “Ahh...” erangan panjang meluncur dari bibir Elena Hadley, tubuhnya melengkung, dan matanya setengah terbuka dengan pandangan kabur oleh kenikmatan yang tak tertahankan. Pria di bawahnya, yang bertubuh kokoh selayaknya mahakarya pahatan patung yang sempurna, bergerak tanpa ampun. Ketebalan dan panjang penisnya yang luar biasa memenuhi dirinya dengan cara yang begitu menyesakkan, mendominasi ruang sempitnya dengan paksa namun memberi sensasi yang membuat tubuhnya ketagihan. Gerakan itu tidak terburu-buru, tapi dalam, keras, dan penuh kendali, membuat setiap dorongan terasa sampai ke dasar perutnya. Saat kepala penisnya berhenti di pintu masuk vaginanya, Elena menggigit bibir, jari-jarinya mencakar dada pria itu. Tapi sebelum sempat bernapas lega, pria itu kembali menusukkan dirinya dengan dalam, hingga membuatnya menjerit tertahan. “A-Ah! Lebih lambat, ugh...kau terlalu besar...!” keluhnya, tapi tangannya justru semakin erat menggenggam lengan kekar pria itu. Tak ada belas kasihan. Ritme itu terus menghantamnya tanpa henti, menciptakan suara basah yang menggema di ruangan yang sunyi. Plak! Plak! Plak! Tubuh Elena bergetar keras, kepalanya menengadah, dan bibirnya menganga saat sensasi membuncah dari dalam dirinya. Panas yang menekan dinding vaginanya semakin gila, setiap gesekan mempercepat ledakan yang menggerogoti kesadarannya. “Aah... ya... lebih dalam...!” Wajahnya memerah, tubuhnya terasa seolah terbakar, dan kakinya yang sebelumnya gemetar kini mencengkeram erat tubuh pria itu, seakan ingin menahannya lebih lama di dalam. Puncak itu datang deras, menyapu dirinya dalam gelombang kenikmatan yang membutakan. Tubuhnya terkulai lemas, tapi kehangatan di dalamnya masih terasa kokoh. Bahkan setelah ia klimaks berkali-kali, pria itu tetap belum menunjukkan tanda-tanda menyerah. Tangan besar itu meraih wajahnya, lalu bibirnya dilumat dalam ciuman yang liar dan panas. Lidah pria itu menyerbu ke dalam mulutnya, menari di langit-langitnya, menciptakan hisapan yang membuatnya kembali kehilangan kendali. Alih-alih menjauh untuk mengambil napas, Elena malah semakin menenggelamkan dirinya dalam ciuman itu, tangannya mencengkeram rambut pria itu dan menariknya lebih dekat. Kulitnya yang basah oleh keringat terasa licin di bawah sentuhan jemari pria itu, disertai aroma maskulinitas dari pria itu semerbak memasuki indra penciumannya. Aroma hijau yang segar, ringan dan sedikit tajam, mengingatkannya akan aroma udara pagi di pegunungan atau taman setelah hujan— Bip! Bip! Bip! Elena mematikan jam beker tersebut, ia menghela napas panjang, duduk di tepi ranjang sambil meremas pelipisnya yang terasa berdenyut. Keringat dingin masih melekat di kulitnya, dan seperti sebelumnya, bagian bawahnya terasa lembab—sebuah bukti bahwa mimpi itu bukan sekadar ilusi biasa. Matanya melirik jam di meja nakas. 06.30 pagi. Tidur semalaman pun tetap tidak bisa mengusir rasa lelah yang terus menumpuk. Elena mengusap wajahnya yang masih terasa panas, jantungnya berdetak cepat seakan tubuhnya masih mengingat setiap sensasi yang ia alami dalam mimpinya. Tangannya turun ke leher, lalu ke dadanya yang naik-turun dengan napas memburu. Aroma segar seperti dedaunan itu yang selalu tertinggal setelah mimpi masih terasa di hidungnya—aroma maskulin yang asing, namun entah bagaimana, terasa begitu akrab. “Brengsek...” gumamnya, menjatuhkan diri kembali ke tempat tidur. Ia memejamkan mata, mencoba mengingat detail wajah pria itu, tapi seperti biasa, setelah bangun dari mimpinya sosok wajah pria itu menjadi buram dalam ingatannya. Hanya bentuk bibir dan tubuhnya yang kokoh, suaranya yang dalam, sentuhannya yang begitu nyata yang selalu tersisa dalam ingatannya dan aroma jejak yang pria itu tinggalkan. Elena menghela napas panjang. Selama lima bulan, mimpi ini terus menghantuinya. Setiap malam, tubuhnya terperangkap dalam kehangatan pria itu, tenggelam dalam gelombang gairah yang menguasai seluruh dirinya. Dan setiap pagi, ia terbangun dengan tubuh berkeringat, paha bergetar, serta rasa frustrasi yang semakin menumpuk. Seluruh rangkaian kejadian aneh yang terus-menerus menghantuinya, mulai dari mimpi-mimpi yang begitu nyata dan menggoda hingga perasaan frustrasi yang semakin menumpuk setiap kali ia terbangun, semuanya mulai terjadi tepat setelah kepulangannya dari Kanada lima bulan yang lalu, seolah ada sesuatu yang tertinggal di sana, sesuatu yang masih berusaha menghubungkan dirinya dengan sesuatu yang belum sepenuhnya ia pahami. Semua itu berawal saat ia bertabrakan dengan seorang pria asing di tengah festival musim dingin di Ottawa. Bukan wajah pria itu yang membekas, tapi aromanya—hangat, segar, dan maskulin, seperti sinar matahari yang menyinari padang rumput di musim panas. Aroma itu terus menghantuinya. Hadir dalam mimpi, terbayang dalam ingatan, dan tak mau hilang. Padahal ia bahkan tak tahu siapa pria itu. Lima bulan telah berlalu, tapi kesan itu justru semakin kuat.Flashback, lima bulan yang lalu. Musim dingin. Ottawa, Kanada Elena Hadley duduk tegak di kursinya. Tangannya dengan lembut menggenggam sebuah botol kecil berisi cairan bening yang memancarkan aroma segar dan elegan. Wajahnya memancarkan ketenangan dan keyakinan saat ia menatap Mrs. Davis, seorang wanita dengan penampilan anggun dan profesional, yang duduk di seberangnya. “Terima kasih atas kepercayaan Anda terhadap perusahaan kami, Mrs. Davis. Saya berjanji akan mengolah bibit parfum ini menjadi sesuatu yang tidak hanya mewah, tetapi juga menyegarkan dan memiliki ciri khas tersendiri bagi para konsumen,” ucap Elena dengan tulus, suaranya penuh keyakinan. Mrs. Davis tersenyum tipis, menyilangkan jemarinya di atas meja sambil mengangguk pelan. “Saya pun menantikan hasil akhirnya, Miss Hadley. Saya sangat yakin bahwa bibit parfum dari perusahaan kami memiliki keunggulan dan nilai eksklusif yang tak tertandingi,” jawabnya dengan nada percaya diri. Sejenak, suasana di da
Udara pagi di Ottawa terasa segar, dingin, dan penuh semangat. Cahaya matahari musim dingin yang samar memantul di atas salju yang menutupi trotoar, menciptakan suasana yang hampir magis. Di dalam kamar hotelnya, Elena telah bersiap-siap untuk menikmati hari yang sudah lama ingin ia rasakan kembali—hari tanpa pekerjaan, tanpa tekanan, hanya dirinya sendiri dan kesenangan sederhana menikmati festival musim dingin terbesar di kota ini, Winterlude.Ia melilitkan syal hangat di lehernya, memastikan jaket tebalnya telah menutup tubuhnya dengan sempurna. Rambut merahnya sengaja ia biarkan terurai agar lehernya tetap hangat, sementara topi dan penutup telinga menambah perlindungan dari angin dingin yang berembus. Sepasang sarung tangan tebal ia kenakan sebelum mengambil tas kecilnya dan memeriksa bahwa semua yang ia butuhkan sudah dibawa."Oke, ini sudah cukup hangat. Karena aku akan berada di luar seharian, jadi lebih baik tidak kedinginan," gumamnya sambil memeriksa dirinya sekali lagi.
Elena terbangun dengan tubuh yang terasa pegal dan nyeri di hampir setiap sendinya. Ia mengerang pelan, mencoba menggerakkan bahunya yang kaku akibat berjalan terlalu lama di udara dingin semalam. “Lelahnya… kenapa aku bisa se-nekat itu untuk mengejarnya,” gumamnya sambil mengelus tengkuknya yang tegang. Setelah berjam-jam mengitari daerah Rideau Canal demi mencari pria misterius beraroma musim panas itu, ia akhirnya harus menerima kenyataan bahwa usahanya sia-sia. Pria itu tetap tidak ditemukan. Dengan berat hati, Elena duduk di tepi ranjang, menekan pelipisnya yang sedikit berdenyut. Dingin yang menusuk semalam tampaknya juga meninggalkan efek menggigil pada tubuhnya. Ia melirik jam di meja samping tempat tidur—pukul 06:30 pagi. Masih terlalu pagi untuk seseorang yang baru saja mengalami pencarian panjang yang tak membuahkan hasil. Namun, hari ini ia tidak bisa berlama-lama berbaring. “Ayo bangun, Elena! Kamu bukan liburan di sini!” ucapnya pada diri sendiri sambil menar
Elena masih terpaku di depan lukisan itu, matanya menelusuri setiap detail sapuan kuas yang begitu halus, menciptakan ilusi tekstur kelopak lavender yang seakan-akan bisa ia sentuh. Aroma yang menguar dari kanvas semakin membuatnya tenggelam dalam suasana, membangkitkan kenangan yang selama ini terkubur di sudut pikirannya. Ia menoleh ke arah Mr. Daniel, yang masih mengamatinya dengan ekspresi penuh kepuasan. “Teknologi seperti apa yang memungkinkan untuk membuat lukisan bisa seperti ini?” tanyanya, suaranya penuh kekaguman sekaligus rasa ingin tahu. Mr. Daniel menyilangkan tangannya di depan dada. “Mr. Rain—pelukis gambar ini, mengembangkan teknik mikroenkapsulasi aroma yang dapat dilepaskan saat ada perubahan suhu atau ketika seseorang bergerak mendekat. Partikel wewangian ini ditanamkan ke dalam pigmen cat khusus yang digunakan oleh para seniman. Hasilnya, lukisan ini tidak hanya berbicara melalui warna dan bentuk, tetapi juga melalui aroma yang membangkitkan emosi dan ingata
Paris, Perancis. Elena keluar dari pintu kedatangan bandara dengan langkah mantap, menghela napas panjang saat udara kota menyambutnya. Matanya langsung menangkap sosok Shannon yang melambaikan tangan dengan semangat.“El!” suara Shannon terdengar nyaring di tengah keramaian.Elena tersenyum lebar dan mempercepat langkahnya. Mereka berdua langsung berpelukan erat seperti dua sahabat yang sudah lama tidak bertemu.“Bagaimana dengan Sean? Apa tidak masalah kau meninggalkannya seperti ini?” tanya Elena setelah melepaskan pelukan, matanya penuh rasa ingin tahu.Shannon mengangkat bahu santai. “Ibuku yang merawatnya, jadi semuanya aman. Sekarang, ceritakan padaku! Bagaimana perjalanan bisnismu? Apa kau menikmati festivalnya?”Elena mengangguk. “Sangat menyenangkan. Yah, meskipun ada sesuatu yang kucari, tapi...” ia menggantungkan kalimatnya, matanya menerawang sejenak.Shannon mempersempit matanya curiga. “Tunggu... sesuatu yang kau cari? Maksudmu...kau mencari seorang pria?”Elena
Elena membuka matanya perlahan. Pandangannya sedikit kabur, dan pikirannya masih dalam kabut antara tidur dan sadar. Namun, satu hal yang segera ia sadari—ini bukan kamarnya. Matanya menyapu ruangan yang di dominasi warna putih dengan hati-hati, memerhatikan setiap detail. Cahaya temaram dari lampu meja berlapis kuningan memantulkan kilauan lembut di atas permukaan meja rias mahoni yang mengilap. Cermin besar dengan ukiran halus di bingkainya menangkap bayangan kain putih yang menjuntai dari tempat tidur berkanopi, mengayun perlahan oleh hembusan angin malam yang menyelinap dari jendela berteralis besi. Lantai kayu parket yang tersusun rapi mencerminkan bias hangat dari lampu gantung kristal yang tergantung di langit-langit tinggi. Dinding ruangan dihiasi lukisan-lukisan berbingkai emas, sementara di meja kecil samping ranjang, beberapa buku berbahasa asing tergeletak seolah baru saja digunakan. Di luar jendela, langit malam terbentang pekat, bertabur bintang-bintang yang b
Sesampainya di kantor, Elena berjalan dengan gontai menuju lift. Langkahnya terasa berat, matanya masih terasa panas karena kurang tidur. Ia mengusap lehernya yang sedikit kaku, berusaha mengusir kantuk yang masih tersisa.Di depan lift, ia melihat Shannon berdiri dengan kedua tangan sibuk memainkan ponselnya. Saat Elena semakin dekat, Shannon mengangkat wajahnya dan langsung mengerutkan kening.“El, kau baik-baik saja?” tanyanya dengan nada khawatir.Elena menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Hanya jetlag. Aku tidak bisa tidur nyenyak semalam.”Shannon menatapnya dengan mata menyipit. “Kau harusnya ambil cuti satu hari. Lihatlah wajahmu, lingkar matamu tebal seperti panda.”Elena terkekeh kecil, meskipun lelah, ia masih bisa menghargai usaha Shannon untuk membuatnya tertawa. “Aku baik-baik saja. Aku harus menyelesaikan pekerjaan yang tertinggal.”“Tapi bukankah Mr. Caiden sudah menyelesaikannya?”Ia menoleh ke Shannon dengan ekspresi terkejut. “Apa? Mr. Caiden telah me
Sepanjang hari, Elena berusaha keras untuk tetap fokus pada pekerjaannya. Tangannya otomatis mengetik di atas keyboard, matanya menatap layar komputer penuh angka dan laporan, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Ia masih terjebak dalam mimpi aneh yang dialaminya semalam—mimpi yang terasa begitu nyata hingga masih membekas sampai sekarang.Sejak pagi, ia terus mencoba mengingat wajah pria dalam mimpinya. Pria asing yang membuatnya kehilangan kendali dalam ciuman panas yang menggoda. Tapi semakin ia berusaha mengingat, semakin samar bayangan pria itu. Yang tertinggal hanya sensasi bibir pria itu di bibirnya, aroma segar maskulinnya yang lembut, dan helaian rambut hitam yang jatuh rapi di dahinya. Setiap kali ia mencoba fokus pada wajahnya, pikirannya terasa seperti tertutup kabut tebal.Elena menghela napas panjang dan menunduk dengan frustrasi. Tangannya mencengkeram rambut, berharap sedikit rasa sakit bisa membantunya mengingat mimpi yang begitu membekas itu. “Kau baik-baik s
André menunduk, tubuhnya sedikit gemetar. Keringat mulai membasahi pelipisnya, dan napasnya terdengar berat. Tatapan tajam dari Elena, Mrs. Marianne, dan Mr. Caiden membuatnya merasa seolah-olah dinding di sekelilingnya semakin menyempit. Lalu, seakan tak sanggup lagi menahan beban yang mengimpitnya, André jatuh berlutut. Tangannya mengepal di lantai, dan suaranya terdengar bergetar ketika akhirnya ia berbicara. “Saya… saya mengaku bersalah,” katanya dengan suara serak. “Saya minta maaf telah mencampurkan zat itu ke dalam botol neroli. Tapi saya terpaksa melakukannya.” Elena menegang, sementara Mr. Caiden menatapnya tajam. “Terpaksa?” André menelan ludah, matanya berkabut oleh rasa malu dan ketakutan. “Saya mempunyai… hutang judi. Jumlahnya terlalu besar. Saya tidak tahu harus bagaimana lagi. Lalu seseorang menawari sebuah jalan keluar—bayaranku akan lunas jika saya melakukan ini.” Mrs. Marianne bersedekap, ekspresinya dingin. “Siapa yang menyuruhmu?” André menggeleng pela
Lucien Durand sedang berada di ruangan uji sensorik, sebuah ruangan dengan pencahayaan lembut dan dinding berlapis kayu, tempat para perfumer menguji berbagai aroma untuk memastikan keseimbangan yang sempurna. Pria itu, berusia sekitar awal empat puluhan, tampak tenang saat mencium secarik kertas blotter yang telah disemprot dengan salah satu sampel parfum. Ketika Elena dan Mrs. Marianne masuk, ia mengangkat alisnya sedikit. “Apa ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan nada sopan, meskipun ada sedikit kewaspadaan dalam sorot matanya. Elena langsung ke inti pembicaraan. “Kami menemukan ketidaksesuaian dalam takaran neroli pada batch terakhir. Data menunjukkan ada perbedaan antara sistem digital dan catatan manual. Dan Anda adalah satu-satunya yang bertanggung jawab dalam tahap pencampuran.” Mr. Lucien meletakkan blotter di atas meja dan menghela napas, lalu melipat tangannya di depan dada. “Saya tidak pernah mengubah takaran bahan tanpa alasan yang jelas,” ujarnya. “Jika ada p
Setelah meninggalkan restoran hotel, Elena dan Mr. Caiden langsung berangkat menuju laboratorium parfum yang terletak di pusat kota Grasse. Bangunan itu tampak klasik dengan arsitektur khas Prancis, dinding batu berwarna krem, dan jendela besar yang memungkinkan cahaya alami masuk dengan leluasa. Aroma bunga dan rempah menguar begitu ia melangkah ke dalam, menciptakan suasana yang khas dan menenangkan. Seorang wanita paruh baya dengan rambut pendek rapi dan jas laboratorium putih menyambutnya di pintu. “Selamat pagi, Miss Hadley,” sapanya ramah dengan aksen Prancis yang kental. “Saya Marianne, kepala analis di laboratorium ini. Mr. Caiden memberi tahu saya bahwa Anda akan datang untuk mengevaluasi masalah di batch terbaru.” Elena tersenyum sopan dan menjabat tangannya. “Terima kasih, Mrs. Marianne. Saya ingin melihat langsung formula yang bermasalah dan mencium sampelnya.” Mrs. Marianne mengangguk dan segera mengajak Elena masuk lebih dalam ke laboratorium. Ruangan itu dipenu
Keesokan paginya, Elena bangun dengan perasaan lebih segar daripada malam sebelumnya. Cahaya matahari pagi masuk melalui celah tirai, menyinari kamar hotelnya dan menciptakan suasana tenang. Ia melihat ke luar jendela dan terpaku pada taman bunga yang indah di bawah. Bunga-bunga berwarna-warni tampak kontras dengan dedaunan hijau. Elena menghirup udara pagi yang segar dan merasa lebih tenang. Ia menggeleng pelan untuk mengusir bayangan mimpi semalam, lalu bangkit dari tempat tidur. Dengan langkah ringan, ia masuk ke kamar mandi dan menikmati mandi air hangat sambil menyiapkan diri untuk hari penting ini. Setelah selesai, ia mengenakan blus putih elegan dan rok pensil krem, lalu menata rambutnya dengan gaya sederhana tapi tetap rapi. Ketika sudah siap, Elena mengambil tas tangan dan keluar kamar, menuju lobi hotel untuk sarapan. Di restoran hotel, matanya langsung melihat Mr. Caiden yang sudah duduk di dekat jendela. Pria itu tampak rapi, memakai setelan abu-abu tua dan dasi biru t
Saat pesawat akhirnya mendarat di kota Grasse, Elena menghela napas lega. Perjalanan yang seharusnya hanya memakan waktu singkat menjadi lebih lama akibat delay, membuatnya merasa lelah dan sedikit jenuh. Ia melirik ke arah Mr. Caiden yang tampak tetap tenang dan fokus, seolah waktu tambahan di udara tadi bukanlah masalah besar baginya. Begitu mereka keluar dari bandara, Elena segera merasakan perbedaan suasana dibandingkan dengan Paris. Udara di Grasse terasa lebih hangat dan segar, membawa aroma samar bunga yang khas. Kota ini memang terkenal sebagai pusat parfum dunia, dan kini Elena bisa merasakan sendiri keistimewaannya. Jalanan tidak sepadat di Paris, dan suasana di sekelilingnya jauh lebih santai dan tradisional. Mr. Caiden melirik arlojinya sebelum menatap Elena. “Kita langsung ke hotel, pertemuannya di lakukan besok pagi.” Elena mengangguk, merasa lega bahwa mereka punya waktu untuk beristirahat sebelum pertemuan penting esok hari. Perjalanan yang lebih panjang dari
"Miss Hadley, bangun," suara berat Mr. Caiden memasuki pendengarannya bertimpangan dengan suara kru kabin yang sedang mengumumkan sesuatu. Elena terperanjat dari tidurnya yang nyenyak, matanya terbuka lebar dengan wajah terkejut bercampur bingung. Ia mendapati Mr. Caiden berdiri di sampingnya , sosoknya yang tinggi dan tegap tampak begitu dekat. Jantung Elena berdegup kencang, ia berusaha menenangkan diri dan memahami apa yang sedang terjadi, namun sisa-sisa mimpi itu masih berputar-putar di benaknya, membuatnya sulit membedakan antara khayalan dan kenyataan. Tiba-tiba, suara lain terdengar, memecah keheningan yang menyesakkan. "Kencangkan sabuk pengamannya, pesawat segera take off." Elena yang masih setengah sadar akibat mimpinya, tanpa pikir panjang mengikuti instruksi pramugari. Tangannya yang gemetar meraih sabuk pengaman dan mengencangkannya. Seakan ia masih berada dalam mimpi tadi. Ia menoleh ke jendela, melihat lampu-lampu bandara yang berkelap-kelip. Baru saat itu ia
Ren sama sekali tidak memedulikan keterkejutan yang terpancar jelas dari wajah Elena. Dengan gerakan kasar namun penuh hasrat, pria itu meremas payudara Elena, sementara bibirnya melumat bibir Elena dengan ciuman yang dalam dan menuntut. Akibat jawaban Elena yang membuatnya kehilangan kendali, Ren menjatuhkan diri ke atas kasur, menarik Elena bersamanya dalam pelukan erat. Sentuhan Ren terus menjelajahi tubuh Elena, membangkitkan gelombang gairah yang melanda wanita itu hingga ia terbuai dalam kenikmatan. Tangannya perlahan turun, menyibak kain pakaian dalam Elena yang tipis, dan dengan lembut menyentuh puncak kelembutan di antara kedua pahanya. Gerakan jari-jarinya yang lihai terus menggosok klitoris Elena, menciptakan gesekan yang membakar. “Ah... Hmm...” Erangan tertahan keluar dari bibir Elena yang sedang dilumat dalam ciuman yang panas. Ia ingin berteriak, melepaskan segala hasrat yang membuncah, namun bibir pria itu terus membungkamnya, menenggelamkannya dalam gelombang keni
Duduk di dalam pesawat dengan tenang, setelah kejadian yang begitu kilat sebelumnya. Ini adalah sebuah perjalanan yang begitu mendadak yang pernah terjadi dalam sepanjang hidupnya ini. Tapi ia tidak menyangka akan duduk di business class alih-alih ekonomi. Mr. Caiden memang terkenal perfeksionis orangnya, dengan perjalanan bisnis yang begitu tiba-tiba tapi dia masih bisa memesan business class.Elena melihat di sampingnya, Mr. Caiden telah tertidur. Pesawat belum lepas landas dikarenakan delay setelah boarding akibat cuaca buruk. Melihat begitu tenangnya Mr. Caiden tertidur, sepertinya dia belum tidur sama sekali. Elena juga merasakan kantuk yang berat, karena ia belum bisa beristirahat dengan nyenyak setelah pulang dari Kanada.“Hari ini sibuk sekali rasanya.”Saat ia bersandar di kursinya, mencoba untuk rileks, pikirannya kembali melayang pada perjalanan yang tidak terduga ini. Pekerjaannya memang menuntutnya untuk selalu siap dalam kondisi apapun, tapi kali ini, segalanya terasa
Elena tersenyum lega saat membuka matanya dan menyadari bahwa kali ini ia tidak mengalami mimpi apa pun. Tidak ada bayangan pria asing, tidak ada ciuman panas yang membuatnya terbangun dengan debaran jantung yang tak terkendali. Hanya tidur yang nyenyak dan pagi yang tenang. "Akhirnya," gumamnya pelan sambil meregangkan tubuh di atas ranjang. Ia benar-benar bersyukur karena doa-doanya terkabul. Ia tak perlu lagi mengalami mimpi aneh yang membuatnya gelisah sepanjang hari. Dengan perasaan lebih ringan, Elena beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan menuju kamar mandi. Pancuran air dingin yang menyentuh kulitnya memberikan sensasi segar, menghapus sisa-sisa kantuk yang masih tersisa. Setelah selesai mandi dan mengenakan pakaian santai, ia melangkah ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Seperti biasa, ia membuat roti panggang dengan selai favoritnya dan secangkir kopi hitam. Aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan, memberinya ketenangan sebelum memulai hari. Rutinitas paginya selalu