“Bagaimana rasanya kalian mendapatkan satu bintang lagi?” tanya Seven penasaran dengan perasaan kedua sahabatnya, Aurel dan Jhon.
Aurel hanya tersenyum manis sembari melihat-lihat tiga bintang yang sudah dikumpulkan, sedangkan Jhon menjawab sembari tersenyum ramah, “Biasa saja.”
Seven menggelengkan kepalanya, lalu menyindir mereka berdua yang terlalu kesenangan mendapatkan tiga bintang. “Ingat! Perjalanan kalian masih panjang. Suatu saat kalian akan menjadi tangan kanan dan kiriku.”
Aurel dan Jhon kompak menjawab siap. Setelah itu, mereka bertiga tertawa bersama-sama mengingat-ingat beberapa pertarungan yang pernah hadapi sebelumnya. Ya, mereka bertiga selalu bersama sejak kecil. Itulah mengapa Aurel dan Jhon menjadi kesatria I dan II dengan mudah.
Ketiga orang ini seperti burung-burung merpati yang tidak bisa dipisahkan. Selalu bersama-sama di mana pun berada. Tidak pernah berpisah sama sekali, kecuali jika ada hal yang penting seperti masalah keluarga. Barulah mereka berpisah untuk menyelesaikan masalah keluarganya masing-masing.
“Aurel bagaimana dengan kekuatan sihir anginmu?” Seven bertanya tiba-tiba membuat Aurel sedikit terkejut.
Aurel menundukan kepalanya. “A-aku belum bisa meningkatkan kekuatan serangan sihir anginku. Padahal aku sudah berusaha keras selama latihan.”
Seven hanya mendengus lemah mendengar jawaban Aurel, lalu dia bertanya pada Jhon, “Bagaimana denganmu, Jhon?”
Sama halnya dengan Aurel, Jhon menundukan kepalanya. “Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan lagi. Walaupun banyak membaca, sepertinya aku kesulitan memahami dan menerapkan apa yang telah aku baca.”
Seven merasa khawatir mereka berdua tidak berkembang. Jika terus begini, dua sahabatnya bakal ketinggalan jauh darinya. Selain itu, mereka berdua tidak akan bisa mengimbangi pertarungannya. Dia hanya bisa berharap kedua sahabatnya bisa berkembang denga meningkatkan keahliannya masing-masing.
Beberapa menit kemudian suara ketukan pintu terdengar. Seven mempersilakan orang yang mengetuk untuk masuk.
Setelah mendapatkan izin, laki-laki berambut hitam pekat membuka pintunya dengan pelan, lalu melangkah masuk ke dalam. Seorang wanita berambut pirang menyusul dari belakang mengikuti laki-laki ini.
Seven terkejut dengan kedatangan dua orang beda jenis kelamin. Dia tahu siapa laki-laki berambut hitam. “Julian mengapa kau ke sini? Lalu itu siapa? Bukannya kau masuk ke kerajaan sendirian?”
Julian terkekeh, lalu menjawab dengan santai, “Bukannya ini tempat khusus para kesatria berkumpul? Oh, ini adikku. Silakan perkenalkan diri, Dik.”
Wanita berambut pirang ini membungkukkan tubuhnya sembari memperkenalkan dirinya, bernama Juli. Dia merupakan adik angkat Julian. Walaupun bukan satu ayah dan ibu, dia sudah menganggap Julian sebagai kakaknya, karena ia telah menolongnya dari kematian. “Aku di sini sebagai kesatria keempat.”
Seven sedikit kesal dengan kedatangan mereka berdua. Dia sama sekali tidak menerima kehadiran orang lain, selain kedua sahabatnya. Seharusnya Julian memberitahunya terlebih dahulu sebelum masuk ke ruangan khusus para kesatria.
Selain itu, Seven tidak menyangka ayahnya tidak memberitahu anaknya kalau ada kesatria baru satu lagi. “Apa-apaan maksud semua ini? Dasar ayah sialan!” geramnya dalam hati. Kedua tangannya sudah mengepal sedari tadi.
Aurel buru-buru memegang tangan kanan Seven. Dia menggelengkan kepalanya, agar tidak melakukan perkelahian di ruangan ini. Seven menepis tangan Aurel agar melepaskannya. Tangan kanannya menunjuk Julian dengan wajah emosi. “K-kau sialan! Mengapa ayahku tidak memberitahuku?”
Julian hanya terkekeh. Juli melangkah mendekati Seven, wajahnya tersenyum sinis. Mulutnya membisikkan satu kalimat pada telinganya. “Mungkin ayahmu sudah tidak menganggapmu sebagai anaknya.”
Dengan cepat Seven mendorong dada Juli. Dia sudah terpancing emosi. “Jangan berkata macam-macam kau!”
Juli kembali tersenyum, kedua tangannya memegang wajah Seven dengan lembut. “Buktinya ayahmu tidak memberitahumu tentang kedatanganku.”
“Argh!” geram Seven. Kedua kakinya melangkah keluar dari ruanga kesatria. Dia melangkah cepat menuju singgasana kerajaan. Dia harus menuruni satu tangga, agar bisa sampai di singgasana karena tempatnya berada di lantai dua. Sedangkan ruangan khusus kesatria berada di lantai tiga.
Perasaan kesal bergejolak dalam hatinya. Di sisi lain, ia berusaha menahan emosinya agar tidak pecah. Bisa-bisanya seorang ayah tidak memberitahu anaknya, jika ada orang baru dalam kerajaan. Apakah benar dia sudah tidak dianggap sebagai anaknya. Apa gara-gara dua ibu tirinya, membuat sang ayah melupakan dirinya.
Langkahnya semakin ke sini semakin cepat, sehingga hanya dalam beberapa menit ia sudah berada di depan pintu singgasana kerajaan. Dengan nada tegas, ia menyuruh dua penjaga membuka pintunya dengan cepat.
Ketika pintunya sudah dibuka, raja Fedrin terlihat sedang bersantai bersama dua primaisurinya. Seluruh tubuhnya mendapatkan pijatan dari kedua primaisuri. Tak ketinggalan buah-buahan menjadi konsumsinya setiap hari.
Seven berteriak memanggil ayahnya dengan suara keras. Fedrin dan kedua primaisurinya terkejut mendengar panggilan keras dari sang anak. Dia meminta dua perimaisurinya pergi dari sini.
Akan tetapi, mereka berdua menolak. Dua perimaisuri ini ingin memarahi Seven yang sudah tidak sopan memanggil ayahnya. Fedrin berusaha membujuk keduanya agar pergi dari sini. “Biarkan aku yang mengurusi dia.”
“Tapi sayang, anakmu sudah tidak sopan.”
“Betul! Apalagi dia sudah memanggilmu dengan suara keras.”
Fedris membuang napasnya dengan kasar. “Aku tahu dia tidak sopan, tapi biarkan aku yang mengurusinya. Aku mohon.” Dia terus memohon kedua perimaisuinya agar pergi dari sini.
Kedua perimaisuri saling menatap satu lain seperti meminta pendapat masing-masing. Hingga akhirnya setelah kata-kata romantis keluar dari mulut Fedrin, mereka berdua menuruti ucapannya. Keduanya bersama-sama melangkah keluar dari singgasana kerajaan.
Setelah kedua perimaisurinya tidak ada. Fedrin turun dari singgasana kerajaan. Tanpa ampun dia menampar anaknya dengan keras. “Lain kali kalau memanggil ayahmu dengan suara lembut!” gertaknya tidak kalah keras dengan suara sang anak.
Seven yang sudah tersulut emosi tidak diam saja. Dia balas membentak sang ayah. “Mengapa ayah tidak memberitahuku ada orang baru lagi selain Julian, hah!?”
Fedrin terkejut apa yang ditanyakan oleh anaknya. “Apa? Orang baru selain Julian? Tidak ada orang baru selain Julian di kerajaan.”
“Ayah pasti bohong! Buktinya ada kesatria keempat bernama Juli. Dia mengaku sebagai adik angkat julian.”
Pada saat itu, kebetulan Julian muncul dari balik pintu singgasana kerajaan. Mendengar kata adik angkat, tentu saja dia tidak terima dengan ucapan Seven. “Sebaiknya anda berhati-hati jika berbicara, Pangeran. Aku tidak punya adik angkat, tapi adik sungguhan. Adik sekandung!”
Seven melihat seorang wanita yang bersembunyi dibalik punggung Julian. “Nah, itu dia orangnya!” ucapnya sembari menunjuk ke arah seorang wanita.
Fedrin kembali menampar anaknya dengan keras. “Jaga ucapanmu, Seven! Ayah tahu Julian mempunyai seorang adik. Namun, dia tidak mengatakan adik angkat dan ayah tidak mengangkat adiknya sebagai kesatria keempat, melainkan sebagai kapten pasukan pemanah divisi satu. Paham?!”
Seven tidak bisa membalas bentakan ayahnya lagi. Apalagi jika ayahnya sudah begitu emosi hingga menamparnya sebanyak dua kali. “La-lalu yang terjadi di ruangan kesatria itu ....”
“Yang Mulia!”
Fedrin, Seven, Julian, dan Juli sama-sama berlari menuju tempat berkumpulnya para kesatria. Perasaan khawatir pada dua sahabatnya muncul, Seven berharap mereka berdua tidak apa-apa. Diam-diam kedua matanya melirik ke arah Julian dan Juli, memperhatikan setiap ekspresi dan gerak-gerik keduanya. Tidak ada yang aneh, keduanya sama-sama mengkhawatirkan apa yang terjadi di ruang berkumpulnya para kesatria. Hanya dalam hitungan belasan menit, tiga laki-laki dan satu wanita sudah berada di dalam ruangan berkumpulnya para kesatria. Hening. Ya, tidak ada suara apa pun yang terdengar. Tidak ada bau yang aneh. Semuanya sunyi tidak ada hal yang aneh. Seorang prajurit yang ketinggalan baru saja sampai di depan pintu. Ia terkejut melihat keadaan ruangan menjadi sepi dan sunyi ini. Sebelumnya, ia mendengar ada suara pertarungan dan teriakan seorang wanita. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raja Fedrin sembari melirik ke arah sang prajurit. Sang prajurit menjelaskan
“Ingat, Julian! Aku masih belum percaya padamu,” ujar Seven dengan nada kesal. Julian hanya mengangguk tanpa mengucapkan satu kata pun. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa mendapatkan dari seluruh prajurit Kerajaan Malvevis. Kedua kakinya tetap melangkah ke depan hingga melangkah di depan Seven yang masih kesel bercampur khawatir dengan keadaan dua sahabatnya. Sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundak Seven. Reflek Seven memutar tubuhnya ke belakang, tangan kanannya memegang tangan yang menepuk pundaknya. Dia bersiap menjungkir balikan orang tersebut. Akan tetapi, dia berhenti saat melihat siapa yang menepuk pundaknya. Seven meminta maaf, lalu bertanya, “Ada apa?” Juli hanya tersenyum memperlihatkan betapa imut dan manis wajahnya saat ini. Ternyata dia hanya mengucapkan satu kalimat untuk menenangkan Seven agar tidak terlalu khawatir dengan dua sahabatnya. “Tetap saja. Aku selalu khawatir dengan mereka berdua.” “Apa itu artinya kau tidak pe
Merasa terdengar ada suara yang kesakitan dan meminta tolong, perlahan Seven membuka kelopak matanya. Penglihatannya masih samar-samar, dia hanya melihat sebuah pecutan yang memecut seorang manusia dengan sekilas. “Seven! Bangun!” teriak Julian ketiga kalinya berusaha membangunkan Seven. Hingga sekarang sama sekali belum sadarkan diri, wajahnya terlihat tersenyum seperti masih nyaman dengan mimpi indahnya. Juli sedari tadi hanya melirik ke sana-sini melihat setiap sudut yang ada di singgasana kerajaan ini. Pikirannya traveling memikirkan hal-hal rumit. Menutup kedua matanya dan otaknya berusaha bekerja memikirkan sebuah rencana. “Seven!!! Oi, Seven! Bangun!” Julian kembali berteriak memanggil Seven, tetapi semua ini terasa percuma saja Seven tidak bangun-bangun. Karena Seven tidak bangun-bangun, dia melirik ke samping kanan meminta pendapat pada Aurel. Aurel dengan tempat Julian dan Seven hanya berjarak satu meter. Dengan begini, mereka bisa memikirkan s
“Kaminari kokuryu kiri!” Seven kembali memasukan pedangnya ke dalam serangkanya. Partikel-partikel hitam bergerak bak kilat petir menebas-nebas tubuh musuh dalam sekejap. Ratusan prajurit yang mengepung istana Kerajaan Megorold berteriak histeris kesakitan. Mereka tidak dapat menahan rasa sakit tebasan secepat kilat ini. Rasanya seperti tusukan ribuan pedang. Sanzhes berdecak kesal, matanya melirik ke sana-sini mencari keberadaan Seven. Seven berusaha mempertahan hawa keberadaan dirinya yang menghilang. Tak ada pilihan lain, Sanzhes menancapkan pedangnya pada lantai. Mulutnya bergerak mengucapkan satu kalimat untuk mengeluarkan kekuatannya. “Aminosan Poizunrein!” Perlahan muncul sebuah awan dari atas. Cairan-cairan hitam pekat keluar dari awan, dan menetes secara perlahan ke lantai. Semakin lama keluar, semakin banyak cairan yang menetes ke bawah mengenai siapa saja. Julian berusaha keras melindungi tiga orang sekaligus. Ratusan prajurit yang sudah merasaka
Raja Fedrin tidak percaya kalau anaknya mengalahkan Raja Kerajaan Megorold dengan mudah, apalagi ia juga berhasil mengalahkan pembunuh bayaran, Sanzhes. Masih tidak percaya, sang raja kembali bertanya, “Apa kau yakin dengan informasinya, Hilda?” Hilda membungkukkan tubuhnya untuk memberikan hormat pada sang raja, lalu dia kembali berdiri tegak dan menjawab, “Benar, Yang Mulia Raja. Aku mendapatkan informasinya langsung dari Julian.” Setelah mendengar jawaban yang meyakinkan, sekilas Fedrin dengan masa lalunya. Masa lalu kelam yang penuh dengan darah, dia takut anaknya mengalami hal yang sama seperti dirinya. Namun, dia cukup yakin karena Pedang Naga Hitam ini sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Jadi, tidak akan ada hal aneh yang terjadi pada diri Seven. “Sekarang bagaimana kabar mereka?” Raja Fedrin masih khawatir dengan keadaan para kesatrianya, apalagi anaknya sendiri. Hilda menjelaskan situasi saat ini pada sang raja denga
Tahun 1200 fire ... Kehidupan damai, aman, dan tentram terjadi di salah satu wilayah Kerajaan Malvevis. Wilayah ini bernama kota Crucio, merupakan salah satu wilayah paling berpengaruh bagi Kerajaan Malvevis. Salah satunya sebagai penghasil rempah-rempah. Rempah-rempah ini akan di ekspor ke beberapa wilayah Kerajaan Malvevis dan di impor ke berbagai kerajaan. Pagi hari di bawah sinar matahari para penduduk kota Crucio seperti biasa sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang pergi ke sekolah, ada yang pergi berbelanja, ada yang sibuk menyiapkan sarapan pagi, dan masih banyak lagi. Kebanyakan dari mereka sedang bersiap untuk menjual hasil pertanian, pertenakan, dan perkebunan. Hari ini terlihat senyuman yang memancar dari wajah manusia yang sedang sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Padahal salah seorang peramal pernah meramalkan kalau kota Crucio akan diserang oleh puluhan prajurit dan penyihir pada tahun ini. Namun, kebanyakan penduduk kota Cruc
Sebagian prajurit yang diperintahkan oleh Patrick sudah berada di sekitar Seven dan Jhon. Mereka melihat keduanya sudah tidak berdaya. Empat orang prajurit melangkah dengan pelan untuk membawa tubuh Seven dan Jhon. Tubuh Jhon dengan mudah berhasil diangkat oleh dua orang prajurit. Lain halnya dengan tubuh Seven, dua orang prajurit kesulitan mengangkatnya. Tubuh Seven beratnya seperti sebuah benda yang beratnya 50 kilogram. Dua orang prajurit meminta teman-temannya untuk mengangkat tubuh Seven. Ketika dua orang prajurit datang membantu, tubuh Seven tetap saja tidak bisa diangkat. Mereka kembali meminta tambahan personil untuk mengangkat tubuh Seven. Hingga sepuluh prajurit masih kesusahan mengangkat tubuh Seven. Entah apa yang terjadi pada tubuh Seven. Tak lama kemudian, Patrick datang dengan wajah kesal. “Dasar tidak berguna! Mengangkat satu orang saja tidak bisa.” Seorang prajurit menyahut, “Silakan Komandan untuk mengangkat sendiri.” Patrick
Patrick terkejut melihat seorang Seven masih berdiri. Matanya melihat satu pedang hitam menyerap semua ratusan serangan sihir. “Sial! Bagaimana bisa dia menahan ratusan serangan sihir?” Seven kembali menggelengkan kepalanya. Dalam hitungan detik tubuhnya melesat seperti kilat. Dengan kasar kedua tangannya mengayunkan pedang berwarna hitam. Satu tebasan mengenai dada Patrick, satu tebasan lagi mengenai perutnya, dan terakhir punggungnya terkena tebasan yang begitu cepat dan tajam. Seketika tulang-tulang dalam tubuhnya terasa patah semua. Saat ini, Patrick tidak bisa bergerak sama sekali. Perlahan tubuhnya terjatuh ke tanah dibarengi dengan suara retakan tulang dalam tubuhnya. Melihat pemimpin mereka tumbang, penduduk kota Crucio dengan penuh keberanian melawan sepuluh prajurit dan penyihir yang menyerang mereka. Jhon yang sudah sembuh membantu melawan mereka. Begitu juga dengan Aurel yang ikut membantu. Tak membutuhkan waktu lama, seluruh prajurit dan
Raja Fedrin tidak percaya kalau anaknya mengalahkan Raja Kerajaan Megorold dengan mudah, apalagi ia juga berhasil mengalahkan pembunuh bayaran, Sanzhes. Masih tidak percaya, sang raja kembali bertanya, “Apa kau yakin dengan informasinya, Hilda?” Hilda membungkukkan tubuhnya untuk memberikan hormat pada sang raja, lalu dia kembali berdiri tegak dan menjawab, “Benar, Yang Mulia Raja. Aku mendapatkan informasinya langsung dari Julian.” Setelah mendengar jawaban yang meyakinkan, sekilas Fedrin dengan masa lalunya. Masa lalu kelam yang penuh dengan darah, dia takut anaknya mengalami hal yang sama seperti dirinya. Namun, dia cukup yakin karena Pedang Naga Hitam ini sudah bertahun-tahun tidak dipakai. Jadi, tidak akan ada hal aneh yang terjadi pada diri Seven. “Sekarang bagaimana kabar mereka?” Raja Fedrin masih khawatir dengan keadaan para kesatrianya, apalagi anaknya sendiri. Hilda menjelaskan situasi saat ini pada sang raja denga
“Kaminari kokuryu kiri!” Seven kembali memasukan pedangnya ke dalam serangkanya. Partikel-partikel hitam bergerak bak kilat petir menebas-nebas tubuh musuh dalam sekejap. Ratusan prajurit yang mengepung istana Kerajaan Megorold berteriak histeris kesakitan. Mereka tidak dapat menahan rasa sakit tebasan secepat kilat ini. Rasanya seperti tusukan ribuan pedang. Sanzhes berdecak kesal, matanya melirik ke sana-sini mencari keberadaan Seven. Seven berusaha mempertahan hawa keberadaan dirinya yang menghilang. Tak ada pilihan lain, Sanzhes menancapkan pedangnya pada lantai. Mulutnya bergerak mengucapkan satu kalimat untuk mengeluarkan kekuatannya. “Aminosan Poizunrein!” Perlahan muncul sebuah awan dari atas. Cairan-cairan hitam pekat keluar dari awan, dan menetes secara perlahan ke lantai. Semakin lama keluar, semakin banyak cairan yang menetes ke bawah mengenai siapa saja. Julian berusaha keras melindungi tiga orang sekaligus. Ratusan prajurit yang sudah merasaka
Merasa terdengar ada suara yang kesakitan dan meminta tolong, perlahan Seven membuka kelopak matanya. Penglihatannya masih samar-samar, dia hanya melihat sebuah pecutan yang memecut seorang manusia dengan sekilas. “Seven! Bangun!” teriak Julian ketiga kalinya berusaha membangunkan Seven. Hingga sekarang sama sekali belum sadarkan diri, wajahnya terlihat tersenyum seperti masih nyaman dengan mimpi indahnya. Juli sedari tadi hanya melirik ke sana-sini melihat setiap sudut yang ada di singgasana kerajaan ini. Pikirannya traveling memikirkan hal-hal rumit. Menutup kedua matanya dan otaknya berusaha bekerja memikirkan sebuah rencana. “Seven!!! Oi, Seven! Bangun!” Julian kembali berteriak memanggil Seven, tetapi semua ini terasa percuma saja Seven tidak bangun-bangun. Karena Seven tidak bangun-bangun, dia melirik ke samping kanan meminta pendapat pada Aurel. Aurel dengan tempat Julian dan Seven hanya berjarak satu meter. Dengan begini, mereka bisa memikirkan s
“Ingat, Julian! Aku masih belum percaya padamu,” ujar Seven dengan nada kesal. Julian hanya mengangguk tanpa mengucapkan satu kata pun. Bagaimanapun caranya, dia harus bisa mendapatkan dari seluruh prajurit Kerajaan Malvevis. Kedua kakinya tetap melangkah ke depan hingga melangkah di depan Seven yang masih kesel bercampur khawatir dengan keadaan dua sahabatnya. Sebuah tangan tiba-tiba menepuk pundak Seven. Reflek Seven memutar tubuhnya ke belakang, tangan kanannya memegang tangan yang menepuk pundaknya. Dia bersiap menjungkir balikan orang tersebut. Akan tetapi, dia berhenti saat melihat siapa yang menepuk pundaknya. Seven meminta maaf, lalu bertanya, “Ada apa?” Juli hanya tersenyum memperlihatkan betapa imut dan manis wajahnya saat ini. Ternyata dia hanya mengucapkan satu kalimat untuk menenangkan Seven agar tidak terlalu khawatir dengan dua sahabatnya. “Tetap saja. Aku selalu khawatir dengan mereka berdua.” “Apa itu artinya kau tidak pe
Fedrin, Seven, Julian, dan Juli sama-sama berlari menuju tempat berkumpulnya para kesatria. Perasaan khawatir pada dua sahabatnya muncul, Seven berharap mereka berdua tidak apa-apa. Diam-diam kedua matanya melirik ke arah Julian dan Juli, memperhatikan setiap ekspresi dan gerak-gerik keduanya. Tidak ada yang aneh, keduanya sama-sama mengkhawatirkan apa yang terjadi di ruang berkumpulnya para kesatria. Hanya dalam hitungan belasan menit, tiga laki-laki dan satu wanita sudah berada di dalam ruangan berkumpulnya para kesatria. Hening. Ya, tidak ada suara apa pun yang terdengar. Tidak ada bau yang aneh. Semuanya sunyi tidak ada hal yang aneh. Seorang prajurit yang ketinggalan baru saja sampai di depan pintu. Ia terkejut melihat keadaan ruangan menjadi sepi dan sunyi ini. Sebelumnya, ia mendengar ada suara pertarungan dan teriakan seorang wanita. “Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Raja Fedrin sembari melirik ke arah sang prajurit. Sang prajurit menjelaskan
“Bagaimana rasanya kalian mendapatkan satu bintang lagi?” tanya Seven penasaran dengan perasaan kedua sahabatnya, Aurel dan Jhon. Aurel hanya tersenyum manis sembari melihat-lihat tiga bintang yang sudah dikumpulkan, sedangkan Jhon menjawab sembari tersenyum ramah, “Biasa saja.” Seven menggelengkan kepalanya, lalu menyindir mereka berdua yang terlalu kesenangan mendapatkan tiga bintang. “Ingat! Perjalanan kalian masih panjang. Suatu saat kalian akan menjadi tangan kanan dan kiriku.” Aurel dan Jhon kompak menjawab siap. Setelah itu, mereka bertiga tertawa bersama-sama mengingat-ingat beberapa pertarungan yang pernah hadapi sebelumnya. Ya, mereka bertiga selalu bersama sejak kecil. Itulah mengapa Aurel dan Jhon menjadi kesatria I dan II dengan mudah. Ketiga orang ini seperti burung-burung merpati yang tidak bisa dipisahkan. Selalu bersama-sama di mana pun berada. Tidak pernah berpisah sama sekali, kecuali jika ada hal yang penting seperti masalah kelua
Bulan Januari Tahun 1200 fire ... Pagi hari di bawah sinar matahari yang cerah, Kerajaan Malvevis mengadakan acara pemberian penghargaan dan penghormatan pada beberapa prajurit yang telah menorehkan prestasi dalam tugasnya. Prajurit Kerajaan Malvevis selalu berlomba-lomba melaksanakan tugasnya dengan baik, agar bisa mendapatkan bintang dari raja kelima Kerajaan Malvevis. Apalagi jika bintangnya diberikan secara langsung oleh sang raja. Hal ini, membuat mereka menyerahkan jiwa raganya untuk Kerajaan Malvevis. Ribuan penduduk Kerajaan Malvevis sudah menunggu di depan istana Kerajaan Malvevis. Wajah-wajah senang dan bahagia begitu terpancar dari wajah mereka. Seorang laki-laki gagah tersenyum melihat tersebut. Beberapa prajurit dan petinggi kerajaan sudah berdiri di atas balkon yang berada di lantai kedua istana. Sembari menunggu sang raja muncul, mereka melirik ke sana-sini melihat wajah sumringah penduduk kerajaan. Bahkan, mereka juga memperlihatkan s
Patrick terkejut melihat seorang Seven masih berdiri. Matanya melihat satu pedang hitam menyerap semua ratusan serangan sihir. “Sial! Bagaimana bisa dia menahan ratusan serangan sihir?” Seven kembali menggelengkan kepalanya. Dalam hitungan detik tubuhnya melesat seperti kilat. Dengan kasar kedua tangannya mengayunkan pedang berwarna hitam. Satu tebasan mengenai dada Patrick, satu tebasan lagi mengenai perutnya, dan terakhir punggungnya terkena tebasan yang begitu cepat dan tajam. Seketika tulang-tulang dalam tubuhnya terasa patah semua. Saat ini, Patrick tidak bisa bergerak sama sekali. Perlahan tubuhnya terjatuh ke tanah dibarengi dengan suara retakan tulang dalam tubuhnya. Melihat pemimpin mereka tumbang, penduduk kota Crucio dengan penuh keberanian melawan sepuluh prajurit dan penyihir yang menyerang mereka. Jhon yang sudah sembuh membantu melawan mereka. Begitu juga dengan Aurel yang ikut membantu. Tak membutuhkan waktu lama, seluruh prajurit dan
Sebagian prajurit yang diperintahkan oleh Patrick sudah berada di sekitar Seven dan Jhon. Mereka melihat keduanya sudah tidak berdaya. Empat orang prajurit melangkah dengan pelan untuk membawa tubuh Seven dan Jhon. Tubuh Jhon dengan mudah berhasil diangkat oleh dua orang prajurit. Lain halnya dengan tubuh Seven, dua orang prajurit kesulitan mengangkatnya. Tubuh Seven beratnya seperti sebuah benda yang beratnya 50 kilogram. Dua orang prajurit meminta teman-temannya untuk mengangkat tubuh Seven. Ketika dua orang prajurit datang membantu, tubuh Seven tetap saja tidak bisa diangkat. Mereka kembali meminta tambahan personil untuk mengangkat tubuh Seven. Hingga sepuluh prajurit masih kesusahan mengangkat tubuh Seven. Entah apa yang terjadi pada tubuh Seven. Tak lama kemudian, Patrick datang dengan wajah kesal. “Dasar tidak berguna! Mengangkat satu orang saja tidak bisa.” Seorang prajurit menyahut, “Silakan Komandan untuk mengangkat sendiri.” Patrick