Saat di lobi, Celin iseng menanyai petugas resepsionis apakah dia melihatnya digendong seseorang semalam? Jawaban petugas resepsionis membuatnya terhenyak, ternyata Evan memang menggendongnya. "Ayo!" Seru Evan begitu melihat Celin yang sedang menunggunya di lobi, Celin tidak berani menatap Evan. "Kita makan dulu, habis itu ke rumah sakit," ucap Evan. Celin diam saja dan mengikuti arahannya. "Kau butuh sesuatu?" Evan menoleh pada Celin yang kelagapan, responnya tampak sangat berlebihan. Ditambah petugas resepsionis yang senyum-senyum masam membuatnya curiga. "Tidak ada," jawab Celin. "Ada apa denganmu?" "Aku tidak apa-apa. Ayo jalan kasihan Jeni," ucap Celin. Evan tersenyum miring melihatnya, sepertinya ia paham apa yang terjadi. "Sepertinya kau sudah menemukan bukti kalau aku memang menggendongmu semalam," pancing Evan. Kini mereka sudah berada di dalam mobil. "Kamulah yang berbohong pertama kali, jadi aku bingung harus percaya yang mana." Celin tidak mau mengalah.
Celin sudah setengah hari menunggu di luar seperti orang bodoh yang tidak punya tujuan, ia juga mulai lapar, tapi Evan belum juga keluar, ia akhirnya mencari makan sendiri di sekitar rumah sakit. Saat ia kembali, ia mengintip ke dalam, Evan masih sibuk dengan Jeni, saat ia ingin masuk, tiba-tiba seorang perawat datang dan menyuruhnya tetap menunggu di luar. Ia sadar apa yang harus ia lakukan, harusnya ia pergi dari tempat itu sejak tadi. Ia sadar Evan tidak mungkin peduli lagi padanya, ia sudah tau langkah apa yang harus ia lakukan, semoga Evan akan lebih mudah menyetujui perceraiannya setelah Jeni lebih sehat. Kini Ia merasa telah menjadi wanita paling bodoh sedunia. Mau-maunya membantu kesembuhan rivalnya Evan tampak bahagia melihat kondisi Jeni, apalagi Jeni sudah bisa tersenyum samar padanya, ia tidak pernah lepas memegangi tangannya dan mengecupnya berkali-kali, ia mengurusnya dengan telaten sampai lupa siapa yang berjasa untuk Jeni. Hari sudah berganti, Evan masih sibuk ber
Waktu berlalu sangat cepat, proyek yang ditangani perusahaan Setiawan akhirnya selesai, hari ini mereka mengadakan acara launching, tentu semua investor akan hadir. Sayangnya Evan sudah mencabut investasinya, sudah pasti ia tidak akan datang. Celin kurang bersemangat karena memikirkan hal itu. Ia masih menyimpan rindu meskipun ia sudah bulat dengan rencananya, ia merasa yakin, pasti bisa mengatasi perasaannya. Selagi memikirkannya, para pembesar memasuki ruangan, Celin mengerutkan keningnya saat melihat ada Evan di rombongan mereka, bahkan Evan terlihat paling memimpin. "Ada apa? Harusnya dia sudah tidak punya urusan lagi," gumam Celin. Tidak hanya hadir dan tampak mendominasi, ia juga yang memotong pita peresmiannya. Setelah mendengar penjelasan Pak Seto, Ternyata Evan telah mengakuisisi proyek. "Wah luar biasa, calon mantan suamiku." Celin kembali bergumam. Setelah acara peresmian selesai, semua undangan diperbolehkan menyantap hidangan yang disajikan. Celin mengambil b
Celin kembali duduk di sofa sambil mengangkat kedua kakinya dan memeluk lututnya, ia tidak tau harus berbuat apa? Ia sudah sejauh ini melangkah tapi Evan tidak ingin berpisah. Perasaannya menjadi terombang-ambing. Evan di kamar menunggu Celin untuk datang, ia ingin meminta maaf karena tidak kembali selama hampir dua bulan, ia pikir Celin marah dan ingin berpisah karena hal itu. Sudah tiga puluh menit menunggu, tapi Celin belum juga masuk, akhirnya ia keluar untuk mengecek, ia mendapati Celin meringkuk di sofa sambil memegangi berkas perceraiannya. Evan berpikir, apakah Celin memang suka tidur dengan sebuah berkas di tangan. Evan mendekati Celin, ia merapikan anak rambutnya sambil menatapnya beberapa detik lalu menggendongnya ke kamar. Ia meletakkan Celin di atas tempat tidur dengan hati-hati, ia ikut berbaring di sampingnya, ia mencoba mendapatkan hatinya untuk Celin, ia mengangkat kepala Celin ke pundaknya kemudian memeluknya. "Maafkan aku, Celin. Aku benar-benar akan berusa
Celin sudah berada di dalam mobilnya, ia tiba-tiba merasa tidak nyaman dengan aroma di dalam mobilnya dan memaksanya untuk mual, perutnya bergejolak tanpa sebab. Ia buru-buru turun dan berlari ke wastafel terdekat untuk memuntahkan isi perutnya. Evan yang melihatnya, mengernyitkan kening, ia mendekati Celin dan berkata, "Kamu sakit?" Celin menggeleng sambil menenangkan perasaan dan perutnya. "Sepertinya kamu sedang masuk angin." Evan terdengar sangat perhatian. "Aku tidak apa-apa, Evan. Tidak usah pedulikan aku. Aku sudah sering sakit yang lebih parah dari ini, nyatanya aku bisa melewatinya tanpa perhatianmu." Celin berkata dengan begitu sinisnya, ia memang sering sakit sampai demam, ia hanya bisa mengandalkan asisten rumah tangga. Sialnya, ia selalu sakit saat Evan yang memang jarang di rumah sedang pergi. Tapi Evan ada pun sepertinya sama saja. "Kau butuh sesuatu? Mungkin ke rumah sakit? Aku akan mengantarmu," tawar Evan dengan hati-hati. "Sudah kubilang aku tidak apa
Saat di rumah, Evan masih setia menemani Celin yang tampak cuek, ia terus berusaha mengakrabkan diri, "Kamu tidak membutuhkan sesuatu? Ini aku sudah siap siaga loh!" ucap Evan yang merasa tidak berguna di sekitar Celin. "Kalau aku butuh aku akan melakukannya sendiri," "Kau sungguh mandiri, Celin." Evan benar-benar jengah dibuatnya. Celin ingin mengambil sesuatu di rak paling atas di dalam lemarinya, Evan dengan sigap membantunya. "Biar aku saja," ucap Evan buru-buru. "Baiklah, Evan. Lakukan sesukamu," akhirnya Celin menyerah. Ia menerima kain yang diambilkan Evan lalu membawanya ke kamar mandi. Celin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, Evan dengan sigap mengambilkan hairdryer dan mendudukkan Celin di depan meja rias dan melayani bak seorang ratu, ia ingin mengeringkan rambut Celin. Ia melakukan semuanya dengan cepat agar Celin tidak sempat menolak. "Ada apa sih, Evan? Kenapa kamu jadi begini?" Celin bertanya dengan heran. "Kau tidak boleh masuk angin, tidak ba
Celin tidur setelah melakukan pergumulan yang melelahkan, ia tertidur hingga sore. Saat bangun ia langsung merasa sangat lapar. Mungkin bawaan bayi di perutnya. Saat ia hendak mencari makan, Evan sudah berada di meja makan sedang sibuk dengan tabletnya. Ia menoleh saat menyadari kehadiran Celin, ia pun tersenyum pada istrinya itu, Celin merasa bingung karena tidak terbiasa. "Ayo, makan! Aku sudah memasak semuanya untukmu," Celin melongo tidak percaya, apakah Evan benar-benar bisa memasak semua makanan itu? Setidaknya ada enam jenis makanan di atas meja, belum terhitung buah yang sudah dipotong-potong dan disajikan dengan apik. "Dia benar-benar memasak semua ini, Bi?" Celin. bertanya pada Bi Asih yang sedang menyiapkan air minum. "Iya, Bu! Saya saja tidak percaya dengan kemampuan memasak Tuan Evan," puji Bu Asih. "Dulu aku kuliah di luar negeri, ayah tidak ingin memanjakanku, ia menyuruhku melakukan semuanya sendiri, kalau aku merasa bosan dengan delivery order, ya aku memasa
Sudah lima hari Evan menemani Jeni di rumah sakit, sejak menerima telepon bahwa Jeni mengalami perkembangan drastis ia langsung meninggalkan Celin di rumah. Ia hanya datang sesekali dan sangat sebentar untuk mengecek Celin lalu pergi lagi. Tentu saja Celin merasa kecewa, tapi mau bagaimana lagi, Jeni adalah istri dan cintanya Evan, tentu Jeni lebih prioritas dari segalanya. Celin yang merasa sudah lebih baik, kembali bekerja, ia merasa sangat suntuk berada di rumah sendirian, bahkan sudah hampir stress. Perasaannya kembali normal begitu menginjakan kaki di kantornya, tidak sengaja seseorang yang sedang buru-buru menabraknya saat berjalan menuju lift, ia tidak sampai jatuh, tapi tas selempang orang itu berayun dan mengenai perutnya sedikit keras, sepertinya isinya laptop. Ia reflek memegangi perutnya, untungnya tidak terjadi apa-apa. Pada jam istirahat, Perut Celin tiba-tiba terasa kram, ia juga merasakan sesuatu merembes di dalamannya, jadi ia ke kamar mandi untuk memastikan, tern
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me