Saat di rumah, Evan masih setia menemani Celin yang tampak cuek, ia terus berusaha mengakrabkan diri, "Kamu tidak membutuhkan sesuatu? Ini aku sudah siap siaga loh!" ucap Evan yang merasa tidak berguna di sekitar Celin. "Kalau aku butuh aku akan melakukannya sendiri," "Kau sungguh mandiri, Celin." Evan benar-benar jengah dibuatnya. Celin ingin mengambil sesuatu di rak paling atas di dalam lemarinya, Evan dengan sigap membantunya. "Biar aku saja," ucap Evan buru-buru. "Baiklah, Evan. Lakukan sesukamu," akhirnya Celin menyerah. Ia menerima kain yang diambilkan Evan lalu membawanya ke kamar mandi. Celin keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, Evan dengan sigap mengambilkan hairdryer dan mendudukkan Celin di depan meja rias dan melayani bak seorang ratu, ia ingin mengeringkan rambut Celin. Ia melakukan semuanya dengan cepat agar Celin tidak sempat menolak. "Ada apa sih, Evan? Kenapa kamu jadi begini?" Celin bertanya dengan heran. "Kau tidak boleh masuk angin, tidak ba
Celin tidur setelah melakukan pergumulan yang melelahkan, ia tertidur hingga sore. Saat bangun ia langsung merasa sangat lapar. Mungkin bawaan bayi di perutnya. Saat ia hendak mencari makan, Evan sudah berada di meja makan sedang sibuk dengan tabletnya. Ia menoleh saat menyadari kehadiran Celin, ia pun tersenyum pada istrinya itu, Celin merasa bingung karena tidak terbiasa. "Ayo, makan! Aku sudah memasak semuanya untukmu," Celin melongo tidak percaya, apakah Evan benar-benar bisa memasak semua makanan itu? Setidaknya ada enam jenis makanan di atas meja, belum terhitung buah yang sudah dipotong-potong dan disajikan dengan apik. "Dia benar-benar memasak semua ini, Bi?" Celin. bertanya pada Bi Asih yang sedang menyiapkan air minum. "Iya, Bu! Saya saja tidak percaya dengan kemampuan memasak Tuan Evan," puji Bu Asih. "Dulu aku kuliah di luar negeri, ayah tidak ingin memanjakanku, ia menyuruhku melakukan semuanya sendiri, kalau aku merasa bosan dengan delivery order, ya aku memasa
Sudah lima hari Evan menemani Jeni di rumah sakit, sejak menerima telepon bahwa Jeni mengalami perkembangan drastis ia langsung meninggalkan Celin di rumah. Ia hanya datang sesekali dan sangat sebentar untuk mengecek Celin lalu pergi lagi. Tentu saja Celin merasa kecewa, tapi mau bagaimana lagi, Jeni adalah istri dan cintanya Evan, tentu Jeni lebih prioritas dari segalanya. Celin yang merasa sudah lebih baik, kembali bekerja, ia merasa sangat suntuk berada di rumah sendirian, bahkan sudah hampir stress. Perasaannya kembali normal begitu menginjakan kaki di kantornya, tidak sengaja seseorang yang sedang buru-buru menabraknya saat berjalan menuju lift, ia tidak sampai jatuh, tapi tas selempang orang itu berayun dan mengenai perutnya sedikit keras, sepertinya isinya laptop. Ia reflek memegangi perutnya, untungnya tidak terjadi apa-apa. Pada jam istirahat, Perut Celin tiba-tiba terasa kram, ia juga merasakan sesuatu merembes di dalamannya, jadi ia ke kamar mandi untuk memastikan, tern
Celin sudah sadar, semua orang boleh masuk untuk melihatnya, Evan segera masuk mendahului yang lain, tapi wajah Celin datar saja saat melihatnya, ketika Piya dan Pak Yanto yang masuk, ia berusaha menyunggingkan senyum begitu juga pada Dev. "Syukurlah, kau tidak apa-apa, Celin," ucap Piya tampak bersuka cita. "Bagaimana perasaanmu?" tanya Pak Yanto. "Aku sudah merasa lebih baik, Pak. Maaf sudah merepotkan anda," "Tidak masalah, Celin. Jaga kesehatanmu dan kandunganmu, aku akan memberimu cuti beberapa hari," Pak Yanto terdengar bijak. "Terima kasih, Pak." "Aku senang, kau baik-baik saja," ucap Dev penuh pengertian. "Maaf ya, Pak Dev. Tadi aku hanya asal menelpon saking putus asanya." "Tidak masalah, aku malah senang kalau kamu meminta bantuanku, kau boleh melakukannya kapan pun," ucap Dev dengan ramah. Evan yang merasa tidak dianggap tiba-tiba berdehem, Celin menjadi murung hanya dengan mendengar suaranya. Ia tampak tidak berminat untuk bicara lagi. "Kalau begitu k
Evan masih menunggu di luar pintu, entah untuk apa, ia hanya ingin dekat dengan Celin, siapa tahu Celin tiba-tiba butuh bantuan, ia ingin menjadi yang pertama menolongnya. Ia berada di sana sampai teleponnya berdering, dokter yang menjaga Jeni menghubunginya, ia mengatakan Jeni bisa mengucapkan satu suku kata, ia benar-benar bahagia dengan perkembangan Jeni, ia segera menemui wanita yang ia cintai itu. Semetara itu, Celin juga sudah membaik, ia boleh pulang setelah istirahat beberapa jam kemudian, ia hanya mengandalkan dirinya sendiri, ia takut kecewa kalau menghubungi Evan lagi. Ia hanya harus melakukan semuanya dengan hati-hati agar tetap baik-baik saja. Evan kembali ke kamar Celin, saat Jeni tertidur, ia sangat kecewa saat mendapati kamar Celin kosong. Entah kenapa hatinya sangat sakit diabaikan Celin. Ia kembali ke rumah untuk berbicara dengan Celin. "Kamu pulang dengan siapa?" Ucapnya begitu menemukan Celin sedang berbaring di dalam kamarnya sambil memainkan ponselnya, Celi
Beberapa Minggu berlalu, Celin menerima semua perlakuan baik Evan, tapi ia berusaha untuk tidak menempatkannya di dalam hati, ia sangat berhati-hati setelah ada Jeni, ia tidak ingin berusaha lagi, tapi tidak berniat menolak juga, mau bagaimanapun ia sudah terlanjur hamil. Entah kenapa Evan sangat memperhatikan dirinya sejak hamil, terutama saat tahu kehamilan Celin cukup lemah. Ia memenuhi semua kebutuhan Celin, dan hanya sekali-kali menemani Jeni di rumah sakit. "Kamu butuh sesuatu?" Ucap Evan. Hampir setiap saat ia menanyakan itu. "Tidak ada, kok. Semua kebutuhanku sudah terpenuhi, aku malah takut semua keperluan yang kamu siapkan ini tidak terpakai." balas Celin, sambil menatap barang-barang yang tertata rapi di sekitarnya. Mulai dari bantal, alat pijat dan sebagainya. "Pasti terpakai aku sudah mencari tahu semuanya sebelum membelinya," Evan tampak yakin. "Ini sangat berlebihan, Van. Tidak semua keperluan ibu hamil itu sama." Keluh Celin. "Terima saja, aku hanya ingin
Beberapa hari telah berlalu, Evan masih sering menghubunginya untuk menanyakan hal sepele, Celin hanya menjawab sewajarnya, ia tidak seperti dulu yang akan tersenyum lebar seperti orang bodoh. Akhir-akhir ini Celin sering mengalami nyeri yang tidak berarti di perutnya, tapi itu hal normal untuk ibu hamil yang memiliki lemah kandungan, tapi kali ini perutnya tiba-tiba melilit dan keluar darah dari jalan lahir. tidak sewajar nyeri sebelumnya, ia memanggil Bi Asih agar menemaninya ke rumah sakit. ternyata bayinya tiba-tiba turun dan hampir berada di jalan lahir. Celin juga sudah pingsan karena tidak sanggup menahan sakit berlebihan. Dokter menyarankan agar Celin melakukan perawatan di rumah sakit selama mengandung jika ingin bayinya tetap selamat. Tentu saja ia menerima saran itu meskipun rumah sakit adalah tempat yang paling ia benci di dunia ini. Ia hanya ditemani Bi Asih, wanita paruh baya itu tidak pernah beranjak dari sisinya barang sedikit pun. Bi Asih memberitahu Evan tapi E
Celin mengamati wajah tampan Evan yang tampak damai, ia mengagumi wajah itu sejak pertama kali melihatnya di masa kuliah, ia berharap anaknya nanti mengikuti wajah Evan, seandainya hubungannya kandas di tengah jalan, ada anaknya yang bisa mengobati lukanya. Ia sudah mempersiapkan diri seandainya Jeni sehat dan Evan meninggalkannya. 'Apa memang semenyedihkan ini menjadi istri yang dimanfaatkan, mana statusnya hanya istri kedua, parahnya lagi kenapa aku mau-maunya bertahan hingga terjebak seperti ini,' pikirnya menghela nafas sambil mengelus perutnya. "Nafasmu berisik sekali," tegur Evan sembari memeluk pinggang Celin. "Kau ini kenapa? Tidur sajalah," ucap Celin sambil menepis tangan Evan. "Jangan terlalu kasar, bagaimana kalau nanti anak kita kasar juga?" "Anak kita?" "Aku tidak ingin berdebat, aku lelah, istirahatku sedikit selama menjaga Jeni," Celin menatap Evan dengan kesal, ia lalu berkata "Kalau begitu tidurlah di tempat Jeni, kenapa kau malah merepotkan orang l