Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Merupakan anugrah terindah bagi seorang perempuan jika memiliki suami berwajah tampan paripurna dan pewaris tunggal dari keluarga kaya, paket komplit dengan sifatnya yang pengertian dan bertanggung jawab. Hanya satu hal yang belum membuat Celin puas, yaitu kata 'Aku mencintaimu' belum pernah ia dengar selama dua tahun pernikahannya, Ia memiliki segalanya dari Evan kecuali hatinya. Hak dan kewajiban sebagai istri terpenuhi, tapi perasaan Evan bukan miliknya. Ia tidak pernah melihat cinta di mata Evan. Ia juga ingin tahu siapa yang memiliki hati suaminya, tapi ia takut jika faktanya ada orang lain, Pada akhirnya ia hanya bisa bersabar dan berharap suatu saat hati Evan berpihak padanya dan bersiap-siap seandainya tidak sesuai harapannya. "Aku akan ke luar negeri besok, " ucap Evan seperti biasanya, seolah luar negeri bukan perjalanan jauh lagi baginya, hampir setiap bulan ia mengatakan itu pada Celin, bahkan pernah hanya berselang seminggu saja. "Untuk apa?" "Untuk pekerjaan
Celin baru menumpahkan segalanya saat berada di dalam mobil, saat tidak ada orang yang menertawakan perasaannya.Ia belum pernah merasakan sakit seperih itu, meski dalam hatinya ia selalu menduga adanya wanita lain di sisi Evan tapi ia selalu bisa menghindari pikirannya, namun setelah menghadapi kenyataan bahwa dugaannya benar, ternyata ia tidak sanggup dan sangat ingin lari dari kenyataan. Tiba-tiba teleponnya berdering, tulisan My Beloved husband menari-nari di sana, ia mengabaikannya, sedetik kemudian sebuah pesan masuk, ia hanya membaca di layar kunci, ia tidak berminat membuka apalagi membalasnya. 'Aku tau kau sedang emosi, bahaya saat menyetir,' "Sejak kapan kau peduli?" ucap Celin, rasanya ingin berteriak dan memaki di depan orangnya langsung. Celin mengalah setelah membaca isi pesan itu, sepelik apapun masalahnya, ia harus tetap hidup, jadi ia menepikan mobilnya untuk sedikit menenangkan diri, sambil berpikir kemana ia harus pergi. Ia tidak bisa ke rumah orang tuanya, p
Sepanjang acara makan malam, Celin tidak pernah melirik ke arah Evan, tapi Evan terus memperhatikannya, bukan karena tiba-tiba tertarik setelah melihat penampilannya yang berbeda barusan, tapi ia sedang memikirkan cara untuk mengajak Celin berbicara. Di tengah jamuan makan, Celin izin ke toilet, kebetulan ia juga sudah selesai, ia benar-benar tidak bisa bernafas dengan benar di ruangan itu apalagi kehadiran Evan begitu mengganggunya. Begitu Celin keluar, Evan langsung menarik tangannya, dan membawanya ke tempat sepi. "Pak Evan?" Celin sedikit kaget. "Kenapa kau memanggilku seperti itu?" protes Evan. "Karena kita sedang di luar dan tidak ada yang tau kalau aku istrimu, akan sangat terdengar tidak sopan kalau mereka mendengarku memanggilmu hanya nama," jelas Celin. "Santai saja, kau boleh memanggilku dengan nyaman," "Baik, Pak!" "Masih?" "Karena dengan begitu aku baru merasa nyaman," "Terserah kau saja," Evan menyerah, lagi pula bukan itu tujuannya. "Pulanglah
Evan duduk di samping Celin, ia mencoba bersahabat dengan keadaannya. "Kau sedang apa? pergilah, Van!" Celin menunjukkan penolakannya, dulu ia selalu menginginkan Evan melakukan hal seperti ini barang sejenak saja, tapi sepertinya tidak pernah ada waktu untuknya. "Baiklah, aku akan pergi tapi kamu ikut denganku." Evan berdiri dan langsung menggendong Celin, ia tidak memberi kesempatan pada Celin untuk menolak. "Van, kamu sedang apa? turunkan aku!" Celin meronta agar dilepaskan, ia bahkan memukul dan mencubit tubuh Evan, tapi Evan masih tetap mempertahankan, tubuh kekar Evan mampu mengalahkan semua serangannya. "Aku tidak mau pulang! " Celin belum menyerah, kakinya juga mulai beraksi dengan menghentak-hentakkannya dengan keras. Lagi-lagi Evan berhasil mengunci pergerakannya. "Kita akan bicarakan di sini," Evan memasukkan Celin ke dalam mobilnya dan mengunci pintu. "Aku tidak mau mendengar apapun," Celin menutup telinganya seperti orang bodoh. "Aku tidak akan mengata
Keesokan paginya, Celin terbangun tanpa Evan di sampingnya. Ia gegas menuju kamar mandi lalu bersiap-siap untuk bekerja. Ia keluar setelah rapi dengan penampilannya, ternyata ada Evan di ruang makan sedang bersama Jeni, sepertinya paginya akan sering disuguhi pemandangan yang tidak menyenangkan ini, Evan tengah menyuapi Jeni ketika Celin lewat, Evan juga mengecup kening Jeni dengan penuh cinta, hal yang tidak pernah ia dapatkan di sepanjang pernikahannya. Celin hanya bisa pura-pura tidak melihat. Tapi Evan sudah terlanjur menyadarinya dan merasa sangat tidak nyaman dengan itu, ia pun berinisiatif mendekati Celin. "Ada apa? Aku harus pergi kerja," ucap Celin dengan acuh tak acuh, dulu Celin tidak seperti ini, dulu ia selalu bersemangat menanggapi Evan. Matanya selalu berbinar saat Evan melakukan hal sekecil apapun untuknya, walaupun hanya pertanyaan 'mau kemana?' karena bahkan pernyataan sesimpel itu pun sangat jarang didengarnya dari seorang Evan. "Tunggu sebentar saja," ucap E
Evan terbangun karena merasakan pegal di punggungnya, ia mencoba membuka pintu kamar Celine yang ternyata tidak di kunci, ia memandang punggung istrinya beberapa saat, ia melangkah begitu saja seolah suasana di dalam kamar itu mengundangnya untuk masuk. Ia naik ke tempat tidur lalu meringkuk di atasnya tanpa berani menyentuh Celine. Ia selalu berhati-hati semenjak menyukai Celine, tapi Celine bergerak dan membalikkan badan ke arahnya, Evan secara tiba-tiba meluruskan tubuhnya untuk menyambut uluran tangan Celine yang akan memeluknya, selain tangan, kakinya juga bertengger nyaman di atas paha Evan, seluruh tubuh mereka menempel satu sama lain. Celine membuka mata sambil mengigau, "Kamu tampan sekali, Evan," ia menatap wajah Evan sebentar lalu menutup matanya kembali. "Kalau kamu begini, aku bisa memangsamu kapan saja," gumam Evan yang merasakan sensasi aneh di tubuhnya dan ia sangat mengerti apa itu. Ia mencoba menarik tubuhnya untuk melepaskan diri, untungnya ia berhasil. Ia m
Evan menghampiri Celine setelah semua tamu penting itu pergi, dari tadi ia mengawasi Celine, seandainya istrinya itu meninggalkan acara, ia tidak segang meninggalkan semua tamu pentingnya untuk mengejar Celine, untungnya saat ia melihat gerak-gerik Celine akan kabur, ibunya datang. Ia benar-benar bernafas lega. "Ayo pulang bersama," ucap Evan setelah bergabung dengan ibu dan istrinya. "Iya, sebaiknya begitu," sahut Bu Mery tampak bersemangat. Celine mau tidak mau harus ikut dengan Evan, ia tidak tega merusak wajah bahagia ibu mertuanya. "Sampaikan salam Evan pada papah, papah masih sibuk dengan koleganya," ucap Evan. "Siap," sambut Bu Mery. "Kami pergi dulu, Mah," ucap Celine. "Iya, Sayang," Saat berada di dalam mobil, Evan tidak berani bersuara, Celine juga tampak sangat tenang. "Antarkan aku ke kosan," ucap Celine seadanya. "Baik," Evan hanya bisa menurutinya untuk sementara, tadinya ia sudah membayangkan kehidupan bahagia di rumahnya, tapi karena masalah dengan M
Evan benar-benar hebat, ia sangat mendominasi, Celine masih belum terlalu yakin bahwa ia menikahi laki-laki tampan yang sedang berbicara dan dikagumi oleh semua orang saat ini, ia belum percaya bahwa ia telah dicintai oleh orang yang tidak pernah membalas perasaannya saat kuliah dulu, ia tidak percaya diri bahwa laki-laki itu sudah mengatakan 'aku mencintaimu' beberapa hari terakhir ini, ia masih ingin percaya kalau tadi pagi laki-laki itu mengatakan dirinya cantik untuk pertama kalinya, ia menangis dengan bingung, Evan melihatnya dari atas podium, membuat suaranya sedikit merendah. "Istriku, Celine!" suaranya menggema di seluruh ruangan. Celine dibuat kaget, ia pun buru-buru menyeka air matanya lalu menatap Evan sambil berbisik di dalam hati, 'Kamu belum berhenti juga, Evan, mau sejauh apa kamu membuatku terjebak dalam hidupmu?' "Dia wanita yang tidak pernah sekalipun kusadari ternyata ikut andil dalam berjuang membangun perusahaan ini, saat aku lelah dengan semua keadaan yang
Evan baru saja keluar dari toilet, ia melambat saat melihat Mita tampak menunggunya. Keduanya terlibat saling menatap satu sama lain, Evan menatap dingin sementara Mita tampak menantang untuk berperang. "Aku ingin bicara," ucap Mita. "Silahkan," "Ayo cari tempat sepi," "Baik," Evan berjalan mendahului Mita, karena ia tahu Mita tidak tau tempat itu, ia membawa Mita ke sebuah taman sepi yang baru saja ditanami pohon. "Ada apa?" tanya Evan santai. Mita tidak langsung menjawab, ia mengamati wajah Evan yang tampak datar. "Ternyata semua memang sudah berubah, aku datang terlambat," ujar Mita. "Maksudnya," "Aku datang karenamu, Evan, Maafkan aku karena pergi seperti itu," "Kau memang sangat terlambat, aku sudah menikahi dan mencintai dua wanita di belakangmu, apa kamu pikir masih ada rasa yang tersisa untukmu?" "Evan, aku rela menjadi yang kedua bahkan ketiga, aku masih seperti dulu, aku masih mencintaimu," "Maaf, buang saja rasa cintamu itu, aku sudah melalui bany
Acara ulang tahun Evan dimulai saat malam hari tiba, tamu-tamu penting sudah berdatangan, acara ini dibuat bukan semata-mata untuk ulang tahun, ada maksud tertentu yang dapat menguntungkan dunia bisnis keluarga mereka, selain itu, Evan ingin memperkenalkan Celine kepada dunia. Melihat suasana itu membuat Celine menjadi gugup. Evan dapat merasakannya. "Kenapa? Apa kamu gugup?" "Sedikit," "Santai saja, status mereka semua berada di bawah suamimu ini," ucap Evan berlagak angkuh sambil tersenyum manis pada Celine. Jantung Celine dibuat begitu berdebar, seperti saat pertama kali jatuh cinta pada Evan. Ia bahkan merasa apakah ini mimpi? "Aku takut mengacaukan semuanya," "Selama ada aku semua aman," "Ngomong-ngomong, aku ingin memberimu hadiah tapi aku lupa membawanya masuk, masih tertinggal di dalam mobil," "Tidak apa-apa, kamu adalah hadiah untukku," ucap Evan. 'Kenapa semudah ini jantungku berdebar," sesal Celine di dalam hatinya, ia merasa kesal karena tidak bisa mengend
Evan keluar dari kamar mandi dan mendapati Celine yang sudah rapi dengan penampilannya, Evan terkesima untuk ke sekian kalinya, Celine benar-benar cantik, tapi ia masih canggung untuk memujinya secara terang-terangan, ternyata Celine juga sedang terpesona pada Evan untuk yang kesekian kalinya, dulu ia selalu menantikan penampilan Evan saat keluar dari kamar mandi dengan dada telanjang dan rambut basah yang meneteskan air ke bahunya yang kokoh, pesona Evan tidak pernah pudar dan selalu membuatnya melongo. Mereka menjadi canggung satu sama lain saat menyadari keheningan masing-masing, layaknya remaja yang saling jatuh cinta. "Aku sudah selesai," ucap Celine memecah keheningan. "Oh, oke," balas Evan sambil mengusap tengkuknya karena canggung. "Ini milikmu," Celine menyerahkan paper bag milik Evan. "Terimakasih," ucap Evan. Baru kali ini Celine melihat Evan tampak malu-malu, dahulu Evan adalah manusia egois dan dingin. "Aku akan menunggu di ruang tamu," Celine gegas meninggalkan
Evan menatap Celine sangat dalam dan hangat, Celine begitu salah tingkah karenanya, apa begini rasanya dicintai? Meski cukup terlambat ia menghargainya, ia bahagia, kesalahan selama dua tahun dan perjuangan semasa kuliah terbayarkan tapi ia masih bersikap hati-hati. "Sekarang apa?" ucap Celine tiba-tiba saking gugupnya. Alis Evan terangkat sambil tersenyum penuh makna lalu berkata, "Aku bisa salah paham kalau kamu bertanya seperti itu," goda Evan, biasanya ia akan langsung mengerjai Celine tanpa rasa canggung, sekarang ia begitu berhati-hati dan menghargai perasaan Celine. "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, kenapa jadi gugup begini?" Celine menjadi sangat bingung. "Nggak usah khawatir, aku tidak akan melakukan apa-apa tanpa persetujuan kamu, tapi izinkan aku melakukan sesuatu," ucap Evan. "Ah iya," Celine menjawab secara asal membuat Evan tersenyum dan mendekatinya. Ia mengecup kening Celine cukup lama, membuat aliran darah di tubuh Celine bekerja lebih cepat. "Anggap saja in
Tiga jam kemudian Celine kembali ke ruang tamu untuk mengecek keberadaan Evan, ternyata Evan masih ada dan sedang tidur di atas sofa. Celine mendekat dengan hati-hati, ia berlutut di depan Evan lalu berbisik, "Selamat ulang tahun, Evan!" Evan tiba-tiba membuka matanya, ia memandang tepat ke dalam mata Celine lalu bergumam, "Terimakasih, Celine." Celine sedikit terhenyak karena merasa terpergok mengamati Evan yang sedang tidur. "Akhirnya aku mendengar ucapan yang paling ingin ku dengar, meskipun terlambat dari perkiraanku," Evan berusaha bangun sambil tersenyum simpul. Celine sedikit bingung mendengarnya. "Apakah itu penting?" "Sangat penting, aku belum pernah seantusias ini di hari ulang tahunku, semua berkat kamu, ini sedikit melukai harga diriku tapi kamu harus tau agar kamu sedikit menghargai perasaanku, aku sengaja datang lebih pagi agar mendengar itu pertama kali dari mulutmu," "Terus kalau aku mengatakan itu sejak awal apa manfaatnya untukku, sekarang saja aku s
Celine sangat mengerti segalanya, ia tahu kenapa Evan menjadi diam, tapi ia harus mengungkit tentang Jenny agar Evan menyerah. Kini ia menangis, dulu ia tidak hanya menunggu setiap hari, ia dengan bodohnya memperhatikan setiap gerak gerik Evan barangkali Evan tiba-tiba memberinya kejutan seperti di film-film atau di novel-novel roman yang pernah ia baca, ia paling berharap saat melihat Evan merogoh saku jasnya untuk mengambil sesuatu tapi yang ia keluarkan hanya ponsel, nyatanya cincin yang ia inginkan itu tidak pernah ada. "Alangkah bodohnya kamu, Celine," ucapnya meratapi kebodohannya di masa lalu, apa yang dilakukan Evan hari ini hanya membuatnya mengingat luka lama. Setalah merasa tenang, ia menyalakan mesin mobilnya dan melesat pergi. Saat sedang melakukan rutinitas di malam hari, ia mendapat notifikasi dari grup perusahaan tentang ulang tahun CEO Grup Mahendra, sudah pasti itu adalah Evan Mahendra. Ia tidak ingat apakah Evan pernah merayakan ulang tahunnya saking sibuknya me