"Apa kamu yakin tidak mau tahu tentang Pak Nicho? Dia adalah-""Sst. Kok malah ngomongin pria lain. Udah stop. Pria yang seharusnya kamu perbincangkan adalah aku. Hanya aku. Ok?" Dengan cepat Stanley memotong pernyataan Gracia."Karena kamu hanyalah milikku," sambungnya. Ia tersenyum sambil mengelus lembut rambut Ananta."Rambutku bisa berantakan, Ley!" ketusnya.'Kalau memang dia nggak mau tahu siapa itu Nicho. Ya sudahlah. Biarin saja.'"Kamu kenapa diam?""Nggak apa-apa. Aku kan memang pendiam orangnya,""Mau ke rumahku aja?""Apa sambungannya malah ke rumahmu?" Ana bertanya tak mengerti."Nggak. Kan udah lama kamu nggak ke rumah aku,""Ley, kamu lupa apa gimana? Baru kemarin loh. Baru kemarin kita nonton. Fokus saja sama kedaimu. Hanya dengan cinta, kamu tidak akan kenyang.""Iya. Tanpa cinta juga hubungan tidak akan bisa berjalan dengan baik. Lagian kita juga harus bersantai. Supaya otak kita bisa terhindar dari stres,""Iya, Stanley bijak."***"Iih, Nicho. Kamu kenapa sih? Jaha
"Jadi kita mau beli apa untuk Gracia?" Eric bertanya saat mereka sudah keluar dari gang rumah Ananta."Apa kebiasaan malas makan masih jadi kegiatan favoritnya?""Masih. Sudah mendarah daging sepertinya,""Bagaimana kalau kita belikan dia kue dan secangkir kopi hangat. Aku yakin dengan kandungan gula bisa membuatnya lebih bersemangat,""Boleh juga. Kamu memang paling mengerti dia ya?""Nggak juga. Kan kita udah sering bareng dari kecil. Jadi masih tahu,"Mobil Nicho berbelok ke Kedai Koopi. Masih tersedia dua parkiran mobil. Salah satu hal yang menjadi kesenangan Nicho disini adalah halaman parkirnya luas. Jarang ada kedai kopi yang menyediakan parkiran khusus mobil.Padahal motor yang parkir disana lebih banyak."Kamu yakin mau beli disini?" Eric bertanya dengan ragu."Memangnya kenapa?""Kedai ini belum setahun beroperasi. Rasa makanan dan minuman belum terjamin enak atau nggaknya,""Enak kok. Saya sudah pernah minum disini. Lagian tahu gak pemiliknya siapa?""Mana kutahu!"Nicho te
"Nicho! Long time no see. Akhirnya aku ketemu kamu juga," Violla berteriak. Beberapa konsumen kedai mulai tertarik dengan kejadian berikutnya.Nicho yang tidak suka menjadi pusat perhatian, segera menyuruh Violla untuk duduk kembali. Namun, Violla lebih memilih menarik kursinya ke dekat meja Nicho."Hai, Eric!" Violla menyapa dengan tersenyum merekah. Hanya beberapa detik setelah menyapa Eric. Violla kembali memandang Nicho. Senyumnya semakin merekah."Kamu nggak mau ngomong apa-apa?" Violla membuka obrolan."Aku ke toilet dulu ya," Eric beralasan. Ia tak mau jadi nyamuk kali ini. Walaupun mata Nicho menatap tajam padanya, ia tak peduli.Mau nggak mau, dia tetap adalah orang lain di antara hubungan percintaan mereka.Saat Nicho dan Violla tidak memperhatikan ia duduk di salah satu kursi. Kembali bermain permainan di gawai."Nicho, kamu gimana kabarnya?" Matanya berbinar-binar menatap Nicho.Beberapa konsumen lain masih menaruh minat kepada mereka
"Aku pulang dulu ya!" Stanley pamit dari rumah Ananta."Stanley, kenapa semakin lama aku merasa kamu bukan masa depanku ya?" Ana memperhatikan punggung Stanley yang semakin lama semakin menjauh pergi. Menghilang sampai keluar dari gang.***"Hei, Cia! Makan yuk! Ada kue nih di bawah!" Eric berteriak kencang dari bawah."Ric, kok rumahmu nampak sepi. Tante mana? Oh ya, tadi Tante dengar mereka bertengkar dong?" Nicho baru menyadari satu hal. Sesuatu hal yang penting, namun terlewat."Oh iya, astaga. Yah pasti dengar sih. Mereka ngobrolnya udah kayak ayam lagi bertarung. Aku pergi ngecek Mama dulu deh! Kamu duluan naik ke atas aja. Nanti aku nyusul,"Nicho belum mengatakan iya ataupun merespon, tapi Eric sudah berlari kecil masuk ke ruang tengah."Kebiasaan anak itu. Aku belum mengatakan apapun dan dia sudah pergi." Nicho mengambil tas kertas coklat. Berjalan pelan ke dalam. Menaiki satu demi satu anak tangga.Tok. Tok. Tok."Kurir Nicho datang
Sesampainya mereka di mall. Eric dan Gracia saling berlomba untuk yang menjadi pertama."Siapa yang telat sampai di kasir selancar es. Dia yang harus bayar semuanya," Eric berkata dengan lancang."Oke. Aku terima tantanganmu," jawab Gracia dengan mantap.Secara bersamaan mereka menoleh ke samping. Ke arah Nicho. Nicho menggelengkan kepalanya. Nggak. Saya nggak mau ikut."Baiklah. 1..2..3.." seru Eric.Eric dan Gracia mulai berlari lurus ke depan."Saya seperti membawa 2 anak kecil," seru Nicho."Aku duluan sampai, Eric. Aku menang. Kamu kalah.""Kalau saja tadi tidak ada anak kecil yang muncul di depanku. Aku yakin, aku yang menang!" jawab Eric sambil terengah-engah."Kalau kalah, terima aja kali." Gracia tertawa senang."Iya. Iya. Baiklah." Eric melihat ke arah petugas kasir. "3 orang ya, mbak!""Baik, pak!""Wuhuuu..." Gracia berteriak kencang. Ia meluncur dengan cepat di atas es."Hati-hati, Gracia." Nicho berseru khawatir.
"Segalanya telah kuberikan tapi kau tak pernah ada penantian, mungkin kita harus jalani cinta memang cukup sampai disini....," Stanley bernyanyi dengan lantang di ruangan karaoke. Lagu dari grup band D'Masiv terdengar menggema mengitari seisi ruangan."Hei, kedengarannya seperti patah hati saja kau! Kenapa?" Bryan menyeletuk saat Stanley sudah selesai bernyanyi."Yah, emang kalau nggak patah hati, nggak boleh nyanyi lagu itu apa?" Ia menjawab dengan sedikit cepat. Meletakkan mikrofon di meja sambil mencomot kentang goreng. Lalu duduk di samping Bryan.Mereka tidak hanya sedang berdua disana. Ada teman-teman kedai lainnya yang juga ikut berkaraoke. Mereka menyewa satu ruangan besar."Hei, ada yang kurang disini!", Bryan asal menyeletuk."Apa?""Gadis penghibur, bro!""Hei, nggak. Kamu mau nyanyi atau mau ngeras otaknya?""Kalau bisa 2 kenapa 1?""Ingat istri dan anak, Bryan!""Iya. Damai. Damai. Bercanda bah, bos! Stay calm. By the way, ka
"Kamu mau ikut saya ke acara penggalangan dana?" Nicho melontarkan pertanyaan setelah Eric turun dari mobil, sedangkan Gracia masih ada di dalam mobil."Nggak, ah. Ngapain?""Biar ada pendamping dong!""Emang acara itu darimana? Kamu salah satu yang galang dana atau apa?""Bukan. Tapi Bu Pramita yang minta saya untuk hadir,""Bentar. Bentar. Bu Pramita? Jadi ini acara kantor?""Bukan. Lebih tepatnya mengundang perwakilan dari kantor,""Big no. Tetap itu termasuk acara kantor. Tapi bentar deh, kan ini tidak ada di dalam agendamu. Kenapa bisa ada tiba-tiba hari ini?""Bu Pramita tak bisa hadir,""Ooh. Oh iya, aku udah boleh mengundurkan diri dari sekretarismu belum?""Lagi-lagi itu,""Emang kenapa?""Nggak boleh. Hanya kamu yang boleh tahu keseharian saya. Tenang saja, kamu tidak akan lama menjadi sekretaris saya. Setelah Bu Pramita kembali memimpin di tahun depan. Kamu akan terbebas, tapi yah nggak bisa jalan-jalan keluar kota lagi sih,""Iih, Bodoh!"Gracia cepat-cepat membuka pintu m
Para wartawan berlomba-lomba memotret aksi gadis itu yang menggerubungi Violla. Para wartawan lolos dari kejaran pasukan keamanan. Cahaya flash dari kamera mulai terlihat kedip-kedip silih berganti dari satu wartawan ke wartawan lainnya.Namun, hal tersebut tak berjelang lama. Mereka harus menelan pil pahit dari petugas keamanan."Tunggu di luar!""Mbak, terima kasih tapi sebenarnya aku nggak perlu dibela," Violla, Ananta, dan Nicho masih ada di posisi yang sama. Violla memandang dengan acuh pada Ananta."Violla kamu duduk saja disini. Saya akan menasihati gadis ini," Nicho menawari."Baiklah. Jauhkan aku dari dia atau aku akan marah sekarang," Raut muka Violla berubah jauh. Dari yang awalnya senang bertemu Nicho, lalu tak berdaya menghadapi para gadis itu, dan sekarang ia harus menahan pil pahit-dibela orang lain."Sial!" Viola mengumpat dengan suara kecil.Nicho memberi instruksi kepada Ananta untuk mengikutinya."Coba jelaskan, kamu juga jadi anggota pengatur acara? Kamu tahu kan h
"Saya mencintai Ananta. Tetapi, saya juga ada etikanya Stanley. Saya tidak akan merebut pacar orang." Nicho melepaskan genggaman eratnya. Menatap Ananta lamat-lamat."Namun, saya bisa pastikan, saya yang akan jadi orang pertama yang akan merebutnya jika kamu menyiakan-nyiakannya,"Nicho berbicara dengan lantang.Dari jauh, Violla mengintip. Ia tak mungkin akan melewatkan kejadian seru ini. Walaupun kehadirannya memang tidak berarti jika dia ada disana.Tentu saja Nicho akan mengusirnya."Apakah aku memang sudah tidak bisa kembali dengan Nicho?"Drrt. Gawainya bergetar."Hallo, baby! Kamu jadi datang ke pestaku?" Seorang pria meneleponnya."Iya. Aku datang." Violla dengan cepat menjawab. "Aku akan mencoba untuk mencintai pria lain. Selamat tinggal Nicho!""Ana, kamu tidak marah sama atasanmu ini? Lancang sekali dia ngomong begitu." cerca Stanley. Ia mendengus. Kakinya menendang sebuah kursi plastik sampa
Malam ini angin tak berhembus sama sekali. Walaupun Nicho, Stanley, Ananta, dan Gracia berada di tempat terbuka.Ananta masih menahan marah atas tuduhan Stanley yang tidak jelas. Yah, memang dia juga merasa bersalah. Ia mulai ragu dengan dirinya sendiri. Apakah memang harus putus?Stanley tak terima jika ia yang harus terus mengalah. Apalagi ia butuh dukungan emosi karena masih merintis usahanya. Usaha kedai kopi impiannya. Ia ingin segera mendapatkan uang yang banyak supaya bisa menghalalkan Ananta. Tapi, kenapa semakin hari hubungannya dengan Ananta semakin memburuk?Gracia gemas dengan dirinya sendiri. Kenapa tak seorang pun yang mengerti keadaannya. Semua terasa menjauh dan selalu saja membela Ananta. Padahal bukannya dia korban atas kejahatan Ananta?Nicho tak habis pikir, kenapa masalah simpel yang muncul ini bisa seruwet ini. Dari Gracia dan Ananta yang salah paham. Stanley yang protektif dengan Ananta.Padahal semua itu terjadi hanya karena kurang komunikasi. That's it."Nicho
Kantor sudah sepi. Ananta melirik jam tangan yang dikenakannya. Pukul 20.31.Sepanjang jalan ia hanya menemui rumput hijau taman kantor dan lampu kantor di sisi taman."Sepertinya aku tunggu di pos satpam saja." gumamnya.Ia merapatkan jaket yang ia kenakan. Menuju pos satpam yang hanya memerlukan sekitar sepuluh langkah.Sesampainya ia disana, ia tak menemukan seorang pun."Televisi masih nyala. Lampu di pos juga masih nyala. Kemana Bapak satpamnya? Apa mungkin pratoli?"Ananta adalah tipe orang yang positif. Bahkan dalam hal ini saja ia tidak berpikir negatif mengenai keberadaan satpam ada dimana.Ia tak ambil pusing. Menarik salah satu kursi bakso disana dan duduk."Apa Pak Nicho masih lama?" gumamnya."Ananta!" panggil seseorang dari belakang."Stanley? Kenapa kamu selalu muncul tiba-tiba?" Ia menoleh ke belakang. "Dan kamu mengagetkanku,""Yah, tentu saja bisa. Karena pesanku dari tadi saja belum dibaca. Kalau kamu nggak di hotel, yah pasti di kantor," lanjutnya sambil mengambil
Nicho kembali ke meja kerjanya. Setelah minum segelas air gula, ia merasa kondisinya mulai pulih kembali.Dengan langkah yang masih terasa berat dan kepalanya masih terasa sakit, ia bergerak. Berjalan beberapa sentimeter dan duduk dengan mantap di kursi kerjanya.Matanya langsung menangkap benda kecil berwarna merah yang diletakkan di atas laptopnya. Sebuah flashdisk."Ini bukannya flashdisk yang kupinjamkan kepada Ana? Apakah pekerjaannya sudah selesai?"Nicho membuka laptopnya dan memeriksa data yang berada di dalam flashdisk.Ia membaca dengan seksama setiap kata. Setiap kalimat. Setiap paragraf. Matanya berbinar.Ia menegakkan badannya."Ini baru naskah yang ingin kubaca. Tidak salah jika Ananta bisa dijadikan calon kepala divisi penulis. Tetapi sepertinya aku harus mempertimbangkannya lagi. Hubungan dia dan Gracia telah usai. Hal ini pasti akan menjadi hambatan dalam kinerja kerja. Apalagi gosip tidak sedap yang ter
"Aku tanya dan kalian malah bengong disini. Nicho yang kalian maksud itu Nicholas Alexus bukan?" Violla bertanya memastikan. Kini ia menggebu-gebu. Ia harus segera tahu jawabannya.Kali ini siapa lagi yang bisa ambil hati selain Gracia. Tetapi itu nggak mungkin. Jika iya, apakah wanita itu lebih baik daripada Violla?"Kamu seharusnya jawab dulu pertanyaanku," Stanley nggak mau kalah. Jika ia harus menjawab, setidaknya lawan bicaranya dulu yang harus menjawab. Itu yang namanya baru adil."Aku rasa, pertanyaanmu tidak penting. Aku itu punya kaki dan punya uang. Aku bisa kemana aja yang aku mau. Bahkan kalian bisa disini saja, aku tidak perlu harus bertanya panjang lebar, kenapa kalian ada di Jakarta,""Kamu membuntutiku ya? Dan kenapa kamu bisa kenal sama Nicho?" Stanley bertanya lagi. Otaknya kini haus akan jawaban."Jangan menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan yang tidak penting," geramnya.Ia menggeser pandangannya ke arah Gra
"Ini soal apaan sih? Matematika kok malah buat kepala jadi mumet. Nah gini nih, catatan diajarin gimana. Tugasnya kayak gimana. Ini sih Nicho harus kesini. Nggak mau tahu. Masa dia bisa tidur nyenyak dan aku begadang kayak gini,"Eric beranjak duduk ke tempat tidurnya. Duduk disana dan menyentuh layar gawainya. Mencari kontak Nicho."Apaan?" Nicho menjawab dari seberang."Eh, orang kalau angkat telepon itu bilang hallo. Bukan apaan?""Itu untuk orang lain bukan untukmu. Karena kalau kau telepon malam-malam pasti ada maunya,""Tahu aja,""Iya, adanya tahu aja, tempe lagi habis,""Sekarang ke rumah aku!""Nggak,""Cepat banget jawabnya. Sat set tanpa mikir. Mikir dulu kek. Yakin? Nggak mau pikir dua kali?""Kenapa harus pikir 2 kali?""Gracia belum tidur loh!"Nicho tersontak. Yang tadi posisi tidur di atas ranjangnya. Ia bangkit duduk."Lalu, apa. Kenapa. Apa hubungann
Restoran makanan penutup sedang tidak ramai. Selain Gracia dan Stanley. Hanya ada 2 meja yang terisi.Mungkin sekarang kebanyakan orang mencari makanan berat setelah lelahnya bekerja seharian. Mencari rezeki untuk menikmati makanan enak setiap hari.Gracia menatap tajam ke arah Stanley. Tentu saja ia tak bisa menerima pria bucin di depannya ini menghina Nicho. Nicho yang adalah sahabatnya dari kecil dan sebenarnya juga cinta pertamanya.Cinta pertama yang ia sendiri kandaskan begitu saja.Masih ingat dengan kejadian bab 99?Inilah sambungannya.Setelah Eric meninggalkan Nicho dan Gracia di sekolah. Nicho tak langsung mengantar Gracia pulang. Ia mengajak Gracia untuk makan sore terlebih dahulu."Kamu ajak aku makan bakso? Aku nggak ada selera,""Hei, makan selagi kamu masih bisa makan. Kita hidupnya masih enak. Masih bisa makan apa yang kita mau,""Bukan itu maksudnya,""Atau kita makan es krim
"Ananta itu keterlaluan. Sok jodohin aku sama Nicho. Tanya-tanya ke aku, masa nggak cinta sama Nicho. Pret. Busuk itu semua," Gracia mengomel. Ia tak mau lebih lama disana. Sudah 10 menit yang lalu ia pergi dari kantor Nicho.Sekarang ia duduk di sebuah kedai kopi. Seperti biasa ia memilih kopi sebagai pendampingnya."Eh, ada Gracia disini. Aku boleh duduk disini?" Seorang pria mendekat."Stanley? Kok kamu bisa disini?" Gracia bertanya dengan bingung."Pertanyaanku dijawab dulu dong!""Nggak boleh. Duduk di kursi lain aja. Aku lagi pengen sendiri,""Tapi aku lagi mau ngobrol sama kamu. Gimana?""Kalau kamu nggak pergi. Aku yang pergi. Bye." Gracia turun dari kursi tinggi kedai. Mengambil gelas strerofoam yang masih berisikan dengan kopi panas."Hei!" panggil Stanley. Ia menyusul sampai ke luar kedai dan terus membuntuti Gracia.Gracia terus berjalan. Menyeberang di penyeberangan jalan, melewati taman ke
Ananta melihat ke kiri dan ke kanan. Sepi. Di ruangan kerja sebesar itu hanya dia seorang."Kalau aku turun ke bawah, mungkin tidak apa-apa kali ya? Tapi kalau Pak Nicho memang butuh bantuan cepat gimana? Aku cek dulu aja deh."Ia berjongkok. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Nicho sedekat itu. Wajahnya kalem dan tenang. Alisnya tebal dengan bulu mata yang melengkung indah di kedua mata. Bibir semerah buah delima dengan kulit berwarna kulit langsat."Ternyata jika dipandang dekat dan saat tidak sedang berekpresi, muka Pak Nicho lebih bersinar. Apa yang membuatnya memiliki beban sebesar ini?""Pak Nicho!" Ia memanggil dan mengguncangkan tubuh Nicho dengan pelan. Namun, Nicho tak ada pergerakan sama sekali."Maaf pak. Saya izin sentuh kening Bapak ya! Astaga, panas sekali. Ini sih demam. Sebentar pak! Saya panggil satpam untuk bantu ya!" pekiknya.Saat Ananta sudah akan berdiri, Nicho menarik pergelangan tangannya. "Jangan tinggalkan aku! Jangan! Saya mohon, Gracia."Ananta kembali b