"Segalanya telah kuberikan tapi kau tak pernah ada penantian, mungkin kita harus jalani cinta memang cukup sampai disini....," Stanley bernyanyi dengan lantang di ruangan karaoke. Lagu dari grup band D'Masiv terdengar menggema mengitari seisi ruangan."Hei, kedengarannya seperti patah hati saja kau! Kenapa?" Bryan menyeletuk saat Stanley sudah selesai bernyanyi."Yah, emang kalau nggak patah hati, nggak boleh nyanyi lagu itu apa?" Ia menjawab dengan sedikit cepat. Meletakkan mikrofon di meja sambil mencomot kentang goreng. Lalu duduk di samping Bryan.Mereka tidak hanya sedang berdua disana. Ada teman-teman kedai lainnya yang juga ikut berkaraoke. Mereka menyewa satu ruangan besar."Hei, ada yang kurang disini!", Bryan asal menyeletuk."Apa?""Gadis penghibur, bro!""Hei, nggak. Kamu mau nyanyi atau mau ngeras otaknya?""Kalau bisa 2 kenapa 1?""Ingat istri dan anak, Bryan!""Iya. Damai. Damai. Bercanda bah, bos! Stay calm. By the way, ka
"Kamu mau ikut saya ke acara penggalangan dana?" Nicho melontarkan pertanyaan setelah Eric turun dari mobil, sedangkan Gracia masih ada di dalam mobil."Nggak, ah. Ngapain?""Biar ada pendamping dong!""Emang acara itu darimana? Kamu salah satu yang galang dana atau apa?""Bukan. Tapi Bu Pramita yang minta saya untuk hadir,""Bentar. Bentar. Bu Pramita? Jadi ini acara kantor?""Bukan. Lebih tepatnya mengundang perwakilan dari kantor,""Big no. Tetap itu termasuk acara kantor. Tapi bentar deh, kan ini tidak ada di dalam agendamu. Kenapa bisa ada tiba-tiba hari ini?""Bu Pramita tak bisa hadir,""Ooh. Oh iya, aku udah boleh mengundurkan diri dari sekretarismu belum?""Lagi-lagi itu,""Emang kenapa?""Nggak boleh. Hanya kamu yang boleh tahu keseharian saya. Tenang saja, kamu tidak akan lama menjadi sekretaris saya. Setelah Bu Pramita kembali memimpin di tahun depan. Kamu akan terbebas, tapi yah nggak bisa jalan-jalan keluar kota lagi sih,""Iih, Bodoh!"Gracia cepat-cepat membuka pintu m
Para wartawan berlomba-lomba memotret aksi gadis itu yang menggerubungi Violla. Para wartawan lolos dari kejaran pasukan keamanan. Cahaya flash dari kamera mulai terlihat kedip-kedip silih berganti dari satu wartawan ke wartawan lainnya.Namun, hal tersebut tak berjelang lama. Mereka harus menelan pil pahit dari petugas keamanan."Tunggu di luar!""Mbak, terima kasih tapi sebenarnya aku nggak perlu dibela," Violla, Ananta, dan Nicho masih ada di posisi yang sama. Violla memandang dengan acuh pada Ananta."Violla kamu duduk saja disini. Saya akan menasihati gadis ini," Nicho menawari."Baiklah. Jauhkan aku dari dia atau aku akan marah sekarang," Raut muka Violla berubah jauh. Dari yang awalnya senang bertemu Nicho, lalu tak berdaya menghadapi para gadis itu, dan sekarang ia harus menahan pil pahit-dibela orang lain."Sial!" Viola mengumpat dengan suara kecil.Nicho memberi instruksi kepada Ananta untuk mengikutinya."Coba jelaskan, kamu juga jadi anggota pengatur acara? Kamu tahu kan h
Ibu Gracia melambaikan tangan kepada Nicho sebagai salam perpisahan sebelum ia dan suaminya masuk ke dalam mobil.Nicho berbalik badan saat mobil mereka sudah keluar dari parkiran mobil.Ia masih berdiri di dekat pintu masuk hotel. Masih ada beberapa tamu yang bergegas turun. Terlalu ramai. Nicho memutuskan untuk duduk di lobi hotel beberapa menit, sampai suasana tidak terlalu ramai."Pak Nicho, bapak belum pulang?" Ananta menghampiri Nicho saat ia melihat Nicho duduk di lobi hotel.Nicho mendongakkan kepalanya. "Iya, belum. Sebentar lagi."Ananta tersenyum sesaat. Lalu, ia berjalan lurus ke depan. Duduk di sofa lain. Ia memilih untuk duduk membelakangi Pak Nicho. Sungguh janggung jika mata mereka bertemu nanti."Bosan sekali menunggu disini? Lalu, kenapa dia belum pulang? Apa pacarnya telat menjemput lagi?" Nicho melihat sekeliling. Sudah tidak terlalu ramai. Namun, malah sekarang terkesan sepi.Ia melihat jam rolex yang melingkar di tangannya. Pukul 23:00."Ini sudah malam dan ini s
Jarak antara hotel dan rumah Ananta tidak terlalu jauh. Kira-kira hanya seratus meter.Sepuluh menit kemudian mobilnya Nicho telah sampai di rumah Ananta."Terima kasih telah mengantar saya pak dan saya mau minta maaf atas perbuatan saya kepada Gracia,""Kenapa minta maaf? Kamu sudah tahu letak kesalahanmu?""Maaf pak. Belum,""Lantas, kenapa kamu minta maaf? Gini ya Ananta. Kita boleh mengucapkan maaf, tetapi jangan terlalu sering karena jika keseringan, orang lain bisa meremehkanmu. Gampang lah sama dia, dia toh bilang maaf yang artinya dia memang salah. Nah, itu menjadi titik lemah kita. Kalau kita memang belum tahu salah dimana atau pun memang kita nggak salah, jangan selalu bilang maaf. Boleh sekali dan tulus. Jangan pernah mengobral kata maaf. Nanti bisa menjadi sesuatu yang tidak dihargai.""Baik, pak. Saya mengerti. Terima kasih nasihatnya. Saya turun dulu ya, pak!""Iya."Nicho memutarkan mobilnya di depan rumah Ananta. Rumah Ananta berada di tengah-tengah gang. Jalanan gang
Alarm yang memekakkan telinga terdengar menggema di dalam kamar Gracia. Dengan keahliannya, dengan mudahnya ia mematikan alarm tanpa melihat keberadaannya."Capek sekali hari ini. Baru bisa tidur jam 3 subuh. Lalu, kadang kebangun. Sekarang udah jam 6. Seandainya aku dikasih waktu untuk bangun lebih siang!"Ia ngedumel pagi-pagi. Namun, tumpukan kerjaan kembali terngiang-ngiang mengitari otaknya."Kerja supaya ada kesibukan, malah sekarang sibuk benaran. Apa mimpi punya penerbitan sendiri harus aku korbankan?""Gracia! Kamu mau jadi apa? Anak gadis harus rajin bangun pagi-pagi!" Seperti biasa Ibu Gracia berteriak dari lantai bawah."Iih, merusak mood aku ma!" Gracia balas berteriak.Ia turun dari tempat tidur. Menarik handuk mandinya.***"Ma, pagi-pagi sarapan apa nih?" Ananta sudah selesai mandi. Tinggal mengusap krim wajahnya, lalu ia akan sangat siap untuk menyantap sarapan pagi."Simpel. Sup kentang dan ikan asin,""Asik. Ikan asin."
Ananta masuk kembali ke ruangan tanpa bicara dengan siapa pun. Seperti yang ia lakukan selama ini."Hei, Ana lagi masuk itu.""Dengar-dengar dia sama Gracia lagi ada konflik. Akhirnya, mata teman kita terbuka juga. Emang ya, orang itu sok baik banget sih. Iya nggak?""Jangan gitu dong. Kasihan kalau dia dengar.""Bagus dong itu. Kalau dia dengar, berarti dia bisa introspeksi diri. Iya nggak sih teman-teman?""Ini kantor bukan tempat gosip." Nicho berbicara dengan lantang.Beberapa karyawan yang berada di sekitar sana memasang mata."Maaf, pak!" Dua orang karyawan wanita itu menjawab berbarengan.Ananta sudah terlalu biasa mendengar pernyataan seperti itu. Awalnya sakit, tapi lama-kelamaan ia jadi kebal.Ia berjalan terus, tanpa melihat ke belakang lagi. Walaupun ia terbiasa mendengar pernyataan itu, tetap saja ia benci. Bahkan Pak Nicho yang membela dirinya pun tidak terdengar olehnya."Kalian berdua ikut saya ke kantor!"Nicho berjalan melewati mereka, berjalan cepat ke kantornya. Du
"Pak Nicho, silakan masuk, pak," Bu Lina mengundang masuk.Ananta reflek mundur ke belakang. Memberi ruang Pak Nicho untuk masuk ke dalam ruangan Bu Lina. Walaupun sebenarnya ruangan Bu Lina tak kecil-kecil amat."Bu, saya permisi dulu ya!" Ananta memutuskan untuk pamit. Ia tidak mau menganggu Pak Nicho dan Bu Lina."Tunggu. Sekalian kamu disini, ada yang perlu saya tanyakan kepada Bu Lina tapi kamu harus mendengarnya juga," Nicho menatap Ananta sesaat lalu kemudian menatap ke arah Bu Lina."Bu Lina, ada yang perlu saya tanyakan. Namun hal ini tidak secara langsung berhubungan dengan pekerjaan, tetapi tetap harus diluruskan. Apakah boleh?""Bo-boleh Pak Nicho. Apapun itu, selagi saya bisa jawab, akan saya jawab," Bu Lina membalas dengan senyuman. Gerakan tangannya berubah, yang awalnya terbuka, kini dikatupkan di depannya, di atas meja.Nicho menarik kursi yang ada di depannya. Mempersilakan Ananta untuk duduk. Lantas kemudian dia juga menarik kursi lainnya."Bu Lina, ibu ini sudah sen