"Nicho! Long time no see. Akhirnya aku ketemu kamu juga," Violla berteriak. Beberapa konsumen kedai mulai tertarik dengan kejadian berikutnya.Nicho yang tidak suka menjadi pusat perhatian, segera menyuruh Violla untuk duduk kembali. Namun, Violla lebih memilih menarik kursinya ke dekat meja Nicho."Hai, Eric!" Violla menyapa dengan tersenyum merekah. Hanya beberapa detik setelah menyapa Eric. Violla kembali memandang Nicho. Senyumnya semakin merekah."Kamu nggak mau ngomong apa-apa?" Violla membuka obrolan."Aku ke toilet dulu ya," Eric beralasan. Ia tak mau jadi nyamuk kali ini. Walaupun mata Nicho menatap tajam padanya, ia tak peduli.Mau nggak mau, dia tetap adalah orang lain di antara hubungan percintaan mereka.Saat Nicho dan Violla tidak memperhatikan ia duduk di salah satu kursi. Kembali bermain permainan di gawai."Nicho, kamu gimana kabarnya?" Matanya berbinar-binar menatap Nicho.Beberapa konsumen lain masih menaruh minat kepada mereka
"Aku pulang dulu ya!" Stanley pamit dari rumah Ananta."Stanley, kenapa semakin lama aku merasa kamu bukan masa depanku ya?" Ana memperhatikan punggung Stanley yang semakin lama semakin menjauh pergi. Menghilang sampai keluar dari gang.***"Hei, Cia! Makan yuk! Ada kue nih di bawah!" Eric berteriak kencang dari bawah."Ric, kok rumahmu nampak sepi. Tante mana? Oh ya, tadi Tante dengar mereka bertengkar dong?" Nicho baru menyadari satu hal. Sesuatu hal yang penting, namun terlewat."Oh iya, astaga. Yah pasti dengar sih. Mereka ngobrolnya udah kayak ayam lagi bertarung. Aku pergi ngecek Mama dulu deh! Kamu duluan naik ke atas aja. Nanti aku nyusul,"Nicho belum mengatakan iya ataupun merespon, tapi Eric sudah berlari kecil masuk ke ruang tengah."Kebiasaan anak itu. Aku belum mengatakan apapun dan dia sudah pergi." Nicho mengambil tas kertas coklat. Berjalan pelan ke dalam. Menaiki satu demi satu anak tangga.Tok. Tok. Tok."Kurir Nicho datang
Sesampainya mereka di mall. Eric dan Gracia saling berlomba untuk yang menjadi pertama."Siapa yang telat sampai di kasir selancar es. Dia yang harus bayar semuanya," Eric berkata dengan lancang."Oke. Aku terima tantanganmu," jawab Gracia dengan mantap.Secara bersamaan mereka menoleh ke samping. Ke arah Nicho. Nicho menggelengkan kepalanya. Nggak. Saya nggak mau ikut."Baiklah. 1..2..3.." seru Eric.Eric dan Gracia mulai berlari lurus ke depan."Saya seperti membawa 2 anak kecil," seru Nicho."Aku duluan sampai, Eric. Aku menang. Kamu kalah.""Kalau saja tadi tidak ada anak kecil yang muncul di depanku. Aku yakin, aku yang menang!" jawab Eric sambil terengah-engah."Kalau kalah, terima aja kali." Gracia tertawa senang."Iya. Iya. Baiklah." Eric melihat ke arah petugas kasir. "3 orang ya, mbak!""Baik, pak!""Wuhuuu..." Gracia berteriak kencang. Ia meluncur dengan cepat di atas es."Hati-hati, Gracia." Nicho berseru khawatir.
"Segalanya telah kuberikan tapi kau tak pernah ada penantian, mungkin kita harus jalani cinta memang cukup sampai disini....," Stanley bernyanyi dengan lantang di ruangan karaoke. Lagu dari grup band D'Masiv terdengar menggema mengitari seisi ruangan."Hei, kedengarannya seperti patah hati saja kau! Kenapa?" Bryan menyeletuk saat Stanley sudah selesai bernyanyi."Yah, emang kalau nggak patah hati, nggak boleh nyanyi lagu itu apa?" Ia menjawab dengan sedikit cepat. Meletakkan mikrofon di meja sambil mencomot kentang goreng. Lalu duduk di samping Bryan.Mereka tidak hanya sedang berdua disana. Ada teman-teman kedai lainnya yang juga ikut berkaraoke. Mereka menyewa satu ruangan besar."Hei, ada yang kurang disini!", Bryan asal menyeletuk."Apa?""Gadis penghibur, bro!""Hei, nggak. Kamu mau nyanyi atau mau ngeras otaknya?""Kalau bisa 2 kenapa 1?""Ingat istri dan anak, Bryan!""Iya. Damai. Damai. Bercanda bah, bos! Stay calm. By the way, ka
"Kamu mau ikut saya ke acara penggalangan dana?" Nicho melontarkan pertanyaan setelah Eric turun dari mobil, sedangkan Gracia masih ada di dalam mobil."Nggak, ah. Ngapain?""Biar ada pendamping dong!""Emang acara itu darimana? Kamu salah satu yang galang dana atau apa?""Bukan. Tapi Bu Pramita yang minta saya untuk hadir,""Bentar. Bentar. Bu Pramita? Jadi ini acara kantor?""Bukan. Lebih tepatnya mengundang perwakilan dari kantor,""Big no. Tetap itu termasuk acara kantor. Tapi bentar deh, kan ini tidak ada di dalam agendamu. Kenapa bisa ada tiba-tiba hari ini?""Bu Pramita tak bisa hadir,""Ooh. Oh iya, aku udah boleh mengundurkan diri dari sekretarismu belum?""Lagi-lagi itu,""Emang kenapa?""Nggak boleh. Hanya kamu yang boleh tahu keseharian saya. Tenang saja, kamu tidak akan lama menjadi sekretaris saya. Setelah Bu Pramita kembali memimpin di tahun depan. Kamu akan terbebas, tapi yah nggak bisa jalan-jalan keluar kota lagi sih,""Iih, Bodoh!"Gracia cepat-cepat membuka pintu m
Para wartawan berlomba-lomba memotret aksi gadis itu yang menggerubungi Violla. Para wartawan lolos dari kejaran pasukan keamanan. Cahaya flash dari kamera mulai terlihat kedip-kedip silih berganti dari satu wartawan ke wartawan lainnya.Namun, hal tersebut tak berjelang lama. Mereka harus menelan pil pahit dari petugas keamanan."Tunggu di luar!""Mbak, terima kasih tapi sebenarnya aku nggak perlu dibela," Violla, Ananta, dan Nicho masih ada di posisi yang sama. Violla memandang dengan acuh pada Ananta."Violla kamu duduk saja disini. Saya akan menasihati gadis ini," Nicho menawari."Baiklah. Jauhkan aku dari dia atau aku akan marah sekarang," Raut muka Violla berubah jauh. Dari yang awalnya senang bertemu Nicho, lalu tak berdaya menghadapi para gadis itu, dan sekarang ia harus menahan pil pahit-dibela orang lain."Sial!" Viola mengumpat dengan suara kecil.Nicho memberi instruksi kepada Ananta untuk mengikutinya."Coba jelaskan, kamu juga jadi anggota pengatur acara? Kamu tahu kan h
Ibu Gracia melambaikan tangan kepada Nicho sebagai salam perpisahan sebelum ia dan suaminya masuk ke dalam mobil.Nicho berbalik badan saat mobil mereka sudah keluar dari parkiran mobil.Ia masih berdiri di dekat pintu masuk hotel. Masih ada beberapa tamu yang bergegas turun. Terlalu ramai. Nicho memutuskan untuk duduk di lobi hotel beberapa menit, sampai suasana tidak terlalu ramai."Pak Nicho, bapak belum pulang?" Ananta menghampiri Nicho saat ia melihat Nicho duduk di lobi hotel.Nicho mendongakkan kepalanya. "Iya, belum. Sebentar lagi."Ananta tersenyum sesaat. Lalu, ia berjalan lurus ke depan. Duduk di sofa lain. Ia memilih untuk duduk membelakangi Pak Nicho. Sungguh janggung jika mata mereka bertemu nanti."Bosan sekali menunggu disini? Lalu, kenapa dia belum pulang? Apa pacarnya telat menjemput lagi?" Nicho melihat sekeliling. Sudah tidak terlalu ramai. Namun, malah sekarang terkesan sepi.Ia melihat jam rolex yang melingkar di tangannya. Pukul 23:00."Ini sudah malam dan ini s
Jarak antara hotel dan rumah Ananta tidak terlalu jauh. Kira-kira hanya seratus meter.Sepuluh menit kemudian mobilnya Nicho telah sampai di rumah Ananta."Terima kasih telah mengantar saya pak dan saya mau minta maaf atas perbuatan saya kepada Gracia,""Kenapa minta maaf? Kamu sudah tahu letak kesalahanmu?""Maaf pak. Belum,""Lantas, kenapa kamu minta maaf? Gini ya Ananta. Kita boleh mengucapkan maaf, tetapi jangan terlalu sering karena jika keseringan, orang lain bisa meremehkanmu. Gampang lah sama dia, dia toh bilang maaf yang artinya dia memang salah. Nah, itu menjadi titik lemah kita. Kalau kita memang belum tahu salah dimana atau pun memang kita nggak salah, jangan selalu bilang maaf. Boleh sekali dan tulus. Jangan pernah mengobral kata maaf. Nanti bisa menjadi sesuatu yang tidak dihargai.""Baik, pak. Saya mengerti. Terima kasih nasihatnya. Saya turun dulu ya, pak!""Iya."Nicho memutarkan mobilnya di depan rumah Ananta. Rumah Ananta berada di tengah-tengah gang. Jalanan gang