Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada Zarea
Dengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.
Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!"
"Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya.
"Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."
Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan memasang wajah garang.
"Awas saja main-main di belakangku! Aku mutilasi ya kamu!"
Regan langsung bergidik seolah takut dengan ancaman Zarea. "Ih, ngeri banget cantik-cantik mainnya mutilasi."
Zarea hanya tersenyum saja. Dia tahu Regan hanya bercanda. Dan Regan tahu Zarea tak mungkin senekat itu. "Oh iya, udah malam nih, aku pulang dulu ya?"
Zarea mengangguk sambil melemparkan lambaian tangan pada Regan yang berjalan memasuki mobil kembali. Dia belum mau beranjak dari tempat sebelum mobil Regan menghilang dari pandangannya.
Di depan pintu rumah Zarea sudah berdiri seorang laki-laki bertubuh tinggi menyandarkan tubuhnya di kusen pintu.
"Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!, wuek!" ucap laki-laki itu menirukan gaya Zarea dengan kemayu sambil berpura-pura muntah.
Zarea hanya menanggapinya dengan gelengan kepala. Sudah tidak kaget dengan tingkah laku adik semata wayangnya itu. "Dasar anak kecil!" ledek Zarea dengan lewat begitu saja di depan Aslan sambil memalingkan muka.
"Jiah! Mahasiswa semester lima gini masih dibilang anak kecil? Cih! dasar cewek sok tua," jawab Aslan sambil mengekori Zarea masuk ke dalam rumah.
Zarea langsung berbalik dan menatap Aslan dengan tajam. "Ngatain apa tadi? Sok tua? rasain nih."
BUG BUG BUG!
Zarea berkali-kali memukul Aslan menggunakan tasnya hingga membuat laki-laki itu mengaduh sambil minta ampun. "Aduh, kak... ampun... ampun!" teriak Aslan sambil melindungi tubuhnya dengan tangan.
Zarea tertawa puas melihat adiknya itu menyerah. "Makanya jangan ngatain Kakak yang aneh-aneh. Bandel sih kalau dibilangin!"
"Iya iya, Kak... Bercanda doang, mukulnya beneran."
Setelah menghentikan pukulannya, Zarea menatap jam dinding di ruang tamunya menunjukkan tepat pukul sepuluh. "Kamu tumben banget jam segini udah pulang?" tanya Zarea dengan kerutan di kening. Biasanya Aslan pulang pukul dua belas malam untuk bekerja part time sebagai barista di sebuah coffee shop.
Dengan santai Aslan menjawab celotehan kakaknya itu. "Gue izin pulang duluan. "
"Kenapa?" tanya Zarea dengan khawatir. Takutnya adiknya itu sakit atau ada masalah.
"Ya nggak kenapa-kenapa, lagi pengen me time aja." jawab Aslan.
"Kok boleh?"
"Ya boleh lah! Namanya juga cowok ganteng, managernya aku kedipin juga klepek-klepek."
Zarea sudah kebal menanggapi kepercayaan diri adiknya yang terlampau tinggi. "Minus itu mata managermu. Mau-maunya dimanfaatin cowok modelan kacung gini. Ganteng juga nggak, narsis doang digedein!"
Apa yang dikatakan Zarea membuat Aslan seketika memelotot. "Wah, parah lo, Kak! Adiknya sendiri dikatain! Jangan-jangan mata Kakak lagi yang minus sampai nggak bisa melihat ketampanan seorang Aslan." Aslan mengusap dagunya dengan percaya diri.
Zarea sudah jenuh mendengar setiap ucapan narsistik Aslan. Dia kembali ancang-ancang untuk melemparkan tasnya lagi pada adiknya itu.
"STOP!" Belum sempat Zarea melempar tasnya, Aslan langsung menghadapkan kedua telapak tangan di depan Zarea untuk menahan wanita itu melanjutkan aksinya. "Bercanda kali, Kak. Kakak cantik, deh. Hehehe," rayu Aslan sambil cengengesan.
"Nah, bagus!" Akhirnya si adik kurang ajar itu mengakuinya. Tidak penting mengurusi Aslan lagi, Zarea kembali menaiki anak tangga menuju kamarnya.
Sampai di anak tangga paling atas suara Aslan yang mengganggu terdengar lagi melanjutkan kata-katanya. "Tapi Bohong!" teriaknya dari bawah.
BUG!
"AW! pekik Aslan yang duduk di sofa bawah tangga karena terkena lemparan bantal Zarea dari atas.
***
"Selamat pagi, Kakakku sayang..." Dari bawah tangga Delvan berteriak-teriak menuju ke ruang makan dengan membawa tas dan menyampirkan almamater di bahunya. Di dalam ruangan itu terlihat Zarea sedang menyiapkan sarapan di meja makan.
"Selamat pagi, Adikku yang sok kegantengan." Kalau Aslan selalu suka menjaili Zarea, Zarea selalu bisa mematahkan tingkat kepercayaan diri Aslan.
Persetan dengan Zarea, Aslan lebih memilih fokus pada makanan yang tersaji di atas meja "Wih... enak nih kayaknya," puji Aslan sambil mengendus-endus aromanya.
Ketika melihat almamater yang dibawa Aslan, Zarea sekilas ingat kata-kata Regan semalam. "Eh, kamu kapan lulus kuliah, perasaan kok lama baget? Mau jadi mahasiswa abadi?" Zarea bertanya di saat Aslan sedang asik menikmati sarapan. Spontan Aslan pun menyemburkan makannya.
"Ya elah, Kak… baru juga semester lima," jawab Aslan dengan raut masamnya. Masih tidak puas dengan jawaban Aslan, Zarea terus saja mengintrogasinya.
"Memangnya nggak bisa lebih cepat? Jangan-jangan kamu di kampus main-main!"
Aslan merapikan kerahnya dengan gaya sok keren. "Kakak tenang saja, targetku tahun depan harus udah lulus. Kakak do'ain ya,' ucap Aslan dengan keyakinan penuh. sepasang alis tebalnya naik-turun menggoda Zarea.
"Kalau do'a, setiap hari pasti Kakak do'ain. Cuma tinggal kamunya juga. Do'anya kenceng kalau usaha kamu nol ya sama aja bohong."
"Ampun deh, punya Kakak netingnya nggak ketulungan," keluh Aslan.
"Bukannya neting, tapi kalau nggak ditegasin gitu kamu mana ada perjuangan cepet lulus. Katanya mau jadi dokter?"
"Uhuk, uhuk!" Aslan lagi-lagi terbatuk. "Memangnya jadi dokter segampang rebus mie instan? Kalau jadi dokter kan masih lama lah, kak. Belum nanti koas, ujian sertifikasi, internship, panjang lah pokoknya."
Penuturan Aslan membuat Zarea terkekeh. Wajah tertekannya itu sungguh menggemaskan. "Ya nggak usah ngegas gitu dong ngomongnya. Kakak juga tahu kali, kalau jadi dokter nggak gampang. Setidaknya kan kalau kamu udah lulus kuliah Kakak bisa sedikit lega."
Aslan mencebik kesal. "Bilang aja mau cepetan nikah sama Regan. Ya, kan?"
Zarea hanya bisa cengar-cengir karena yang dikatakan Aslan itu ada benarnya. "Sok tahu kamu. Sudah, ah! Cerewet terus dari tadi. Dengerin kamu ngoceh kuping Kakak jadi panas nih"
Aslan mencibir ucapan Zarea. "Perasaan yang dari tadi cerewet lo deh, Kak!"
***
Pagi hari suasana di jalanan kota metropolitan sudah sangat ramai. Aslan bersama kakak perempuannya turut membelah jalanan dengan motor matic hitam kesayangannya. Tujuan pertama adalah mengantar Zarea ke kantor Retro, tempat dimana wanita itu bekerja.
Sampai di depan sebuah gedung tinggi, Aslan menurunkan Zarea dan mengulurkan tangan. Dengan santainya Zarea mengulurkan tangannya juga membuat Aslan mengerutkan kening karena bukan itu maksudnya. "Uang saku, Kak!"
"Heh, kamu udah kerja sendiri masa masih minta uang saku ke Kakak? Nggak ada uang saku uang saku. Kamu cuma boleh minta uang ke Kakak buat bayar kuliah ya!"
"Ya elah, Kak... Buat beli bensin pelit amat sih? Belum gajian, nih."
Zarea mencebik mendengar keluhan Aslan. Dengan mata yang memutar wanita itu mengambil dompetnya dari dalam tas dan memberikan selembar uang bergambar Presiden Ir. Soekarno yang tersenyum lebar. "Punya motor yang dibonceng ke sana sini gebetan, bensin habis mintanya ke Kakak."
Aslan hanya bisa cengar-cengir. "Namanya juga usaha, Kak."
“Zarea!”
Zarea terperanjat karena Tania datang tiba-tiba dan mengejutkannya.
“Tumben nggak bawa mobil?” tanya Zarea.
"Biasa, mobil tua suka mogok," jawab Tania dengan mendengus kesal. Latas pandangannya tertuju pada Aslan yang masih nangkring di atas motor. "Eh Aslan, kan?”
Yang disapa langsung melambaikan tangan pada Tania. “Hai kak, Tan... Masa lupa sih sama gue? Cowok paling ganteng,” ucap Aslan dengan mengedipkan sebelah matanya.
Wajah Tania langsung bersemu merah muda. “Ya nggak mungkin lupa lah aku sama cowok keren kayak kamu," jawab wanita itu dengan terkekeh.
Pujian Tania membuat Aslan menggaruk tengkuknya sambil cengar-cengir. “Bisa saja, Kak Tan. Oh iya gue berangkat dulu ya? Bentar lagi telat nih," ucapnya sambil bersiap menyalakan mesin motornya.
“Iya hati-hati ya, Aslan!” Tania melambaikan tangan dengan antusias.
Dengan secepat kilat Aslan mengecup punggung tangan Zarea untuk berpamitan dan langsung tancap gas.
"Duh... senengnya kalau punya pacar kayak Aslan. Udah ganteng, pinter, berbakti sama orang tua. Sayang aja kakaknya kayak macan."
Zarea mengernyitkan keningnya melihat Tania bicara sendiri memuja-muja Aslan. “Stres!"
Tania tidak terima dengan perkataan Zarea langsung memelototkan mata. "Heh, sembarangan lo, Zar ngatain orang stres!"
"Ingat, Tan... masih bocil main lo embat aja. Nggak takut lo sama Rangga?" sindir Zarea dengan dengan ceplas-ceplos.
Tania hanya cengar-cengir saja. Mau bagaimana lagi, memang kenyataannya Aslan memang tampan. Kalau saja iman Tania kurang kuat, lama-lama bisa goyah. "Yang penting kan dia nggak tahu."
Zarea langsung berdecih menanggapi ucapan Tania. "Dasar tante-tante," ucap Zarea sambil berjalan memasuki kantor. Tidak sadar kalau usia mereka itu terpaut jauh.
Tania bergegas menyejajarkan langkah dengan Zarea. “Enak aja ngatain gue tante-tante! Gue sama lo aja masih lebih tuaan lo ya.”
“Iya, umur emang tuaan gue, tapi muka masih tuaan lo.” Zarea menambah kecepatan jalannya meninggalkan Tania yang tengah mendengus sebal.
“Mentang-mentang bisa jalan cepet ye, temennya main ditinggal aja."
"Salah satu ciri-cira wanita tangguh itu jalannya cepet. Nggak banyak tengak-tengok, fokus ke tujuannya," ucap Zarea sambil berjalan dengan tatapan lurus ke depan tanpa memedulikan Tania yang berusaha mengimbangi langkahnya.
"Salah satu ciri-ciri wanita nggak punya sopan santun itu, kalau bicara nggak mau lihat lawan bicaranya," sindir Tania kembali.
Spontan Zarea menghentikan langkahnya, tapi tetap dengan pandangan lurus ke depan. "Dan salah satu ciri-ciri wanita yang nggak tahu diri, sudah tahu orang yang diajak bicara sibuk, masih saja digaggu."
Tania langsung diam seribu bahasa membiarkan Zarea meninggalkannya dan memasuki lift. Zarea bukan lawan yang setara untuk diajak berdebat. Wanita itu lantas mencebikkan bibir sambil berlari memasuki lift. "Iya deh, emang Bu Bos kalau ngomong nggak pernah mau kalah."
"Bukan nggak mau kalah, Tan... Tapi berprinsip."
Tania sudah bersiap membuka mulutnya untuk menjawab ucapan Zarea, tapi tiba-tiba lupa apa yang ingin dia katakan. Akhirnya dia pun berdecak. "Kan, jadi lupa gue mau ngomong apa."
"Dah lah, nggak usah kebanyakan mikir lo, Tan... Pikirin aja tuh laporan bulanan yang nggak kelar-kelar."
"Iya iya, nih juga ngebut kali, Zar...."
Zarea tersenyum mendengar jawaban Tania. Bersamaan dengan itu lift terbuka dan mereka berdua keluar bergantian.
"Oh, iya katanya nanti mau ada pelantikan CEO baru ya?" tanya Tania sambil berjalan di lorong menuju ruangannya.
"Katanya sih gitu. Semoga aja CEO yang baru nggak nyebelin kayak Pak Baskoro."
"Dendam banget sama Pak Baskoro? Padahal juga dijadiin anak emas."
"Saking emasnya harus ngelakuin tugas di luar dari job desk gue."
Tania tertawa puas sekali. Dia sudah sampai di depan pintu ruangannya, tapi sengaja enggan masuk lebih dulu karena asik bergosip dengan Zarea. Zarea pun juga menghentikan langkahnya. "Tapi, katanya yang gantiin jadi CEO anaknya Pak Baskoro sendiri. Lulusan S2 di Melbourn. Lo lihat aja Pak Baskoro, udah tua gitu masih kelihatan ganteng. Apa lagi anaknya ya?"
"Lo mah kambing dibedakin juga lo bilang ganteng, Tan." Zarea lantas melanjutkan jalannya menuju ruangannya. Meninggalkan Tania yang tengah menghentakkan kakinya dengan kesal.
"Awas ya lo, Zar!"
Tiba-tiba saja Zarea kembali dan justru menarik Tania ke ruangannya.
“Eh, apaan nih tarik-tarik?”
“Lanjut gosip, Say! Di depan banyak yang denger.”
Tania memutar bola matanya dan langsung leha-leha di sofa ruangan Zarea. “Punya gosip apaan lagi, Lo?”
“Lo percaya nggak kalau semalem Pak Baskoro chat gue mau dijodohin sama anakya.”
“Anaknya yang gantiin jadi CEO ntar?”
“Iya lah, siapa lagi. Anaknya Pak Baskoro cuma satu.”
“Eh, anjir! Anak tunggal kaya raya dong? Mau aja, Zar… anaknya Pak Baskoro pasti nggak kalah ganteng lah sama Regan.”
“Lo pikir Regan juga nggak kaya?”
“Ya kaya sih, tapi kayaknya lebih kaya anaknya Pak Baskoro deh. Liat aja Pak Baskoro, perusahaannya di mana-mana ada. Sampai ke luar negri juga malah.”
“Sama lo aja deh kalau gitu, pusing gue tiap hari dengerin Pak Baskoro jodohin gue sama anaknya terus.”
“Kalau orangnya mau sih gas lah.”
Zarea memutar matanya. Tania memang mudah berpaling dari laki-laki. “Inget, Rangga…”
“Rangga mah gampang, kalau anaknya Pak Baskoro mau sama gue, gue putusin sekarang juga.”
“Ih, nggak waras nih anak emang! Bisa-bisanya mutusin anak orang seenak jidat. Kena karma mampus lo!”
“Namanya juga cewek, Zar… mencari pasangan yang terbaik lah. Emangnya lo nggak mau?”
“Nggak lah, gue orangnya setia sampai maut memisahkan.”
“Sok romantis lo! Terus, kalau lo disuruh milih antara resign dan dijodohin sama anaknya Pak Baskoro lo pilih mana?’
Bukan pilihan yang cukup sulit untuk Zarea. “Kalau nggak kena pinalti ya gue milih resign. Regan aja udah siap jamin hidup gue.”
To Be Continue....
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam."Tuh, bukain!"Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata."Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai."Pagi, Sayang...."
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam."Tuh, bukain!"Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata."Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai."Pagi, Sayang...."
Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada ZareaDengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!""Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya."Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan m
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam