Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam.
"Tuh, bukain!"
Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata.
"Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."
Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"
Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai.
"Pagi, Sayang...."
Baru saja membuka pintu, Zarea dikagetkan kedatangan Regan yang mengejutkannya dengan membawa bouquet mawar putih.'
"Regan? Tumben pagi-pagi ke sini? Ngapain?"
Bukannya menyambut dengan antusias, Zarea justru meresponnya dengan kening yang mengerut.
"Mau nganter kamu berangkat kerja. Gimana, udah siap, kan?"
Mendengar itu Zarea berubah semakin antusias. Jelas saja senang bukan main jika diantar sang pujaan hati. Terlebih dia tidak harus adu mulut dengan Aslan yang suka kebut-kebutan di jalan. Tinggal duduk manis di dalam mobil menikmati pemandangan kota bersama tunangannya.
"Oh, udah kok. Bentar ya aku ambil tas dulu sama sekalian ngasih tahu Aslan."
Zarea bergegas kembali masuk ke rumah meninggalkan Regan yang masih berdiri mematung di depan pintu. Pria itu lantas menraik tangan Zarea.
"Ini bunganya disimpan dulu, dong, Sayang... Kan aku beliin buat kamu. Masa aku bawa pulang lagi?"
Senyuman manis Zarea terbit seiring menerima bouquet mawar putih dari Regan yang menjadi bunga kesukaannya.
"Oh iya, makasih ya, Re...."
"Sama-sama, Sayang."
Kaki jenjang Zarea melangkah dengan cepat menuju kamar untuk mengambil tas dan dokumen-dokumen pentingnya.
"Aslan, Kakak berangkat dulu. Kalau udah selesai jangan lupa diberesin, pintunya jangan lupa dikunci, naik motornya jangan ngebut-ngebut!" Meskipun terkesan buru-buru, area tak lupa memberi pesan pada adik semata wayangnya yang cukup susah diatur.
"Lah, berangkat sama siapa lo, Kak?" Dari ruang makan pun Aslan menjawabnya dengan teriakan tak kalah nyaring dari Zarea.
"Sama Regan. Duluan ya?"
"Eh, tunggu, Kak!" Zarea spontan menghentikan langkahnya dan menunggu Aslan yang berlari ke arahnya.
Zarea mengerutkan kening ketika Aslan tiba-tiba mengulurkan tangannya. "Kemarin kan udah Kakak kasih seratus ribu!"
Tanpa banyak bicara Aslan menarik tangan Zarea dan mengecupnya. "Salim, Kak. Elah... Nething mulu jadi orang."
Interaksi mereka tak luput dari pandangan Regan yang melihat dengan tersenyum. Meskipun sering bertengkar meributkan hal-hal kecil, kakak beradik itu sangat manis dan terlihat saling menyayangi satu sama lain.
***
Selama di dalam mobil Regan berkali-kali melirik Zarea yang duduk di sebelahnya. Tatapannya membuat Zarea berkali-kali merapikan rambut.
"Regan, ngapain sih lihatin aku kayak gitu? Kalau nyetir itu fokus sama jalannya, bukan ke aku!"
Regan terkekeh. Masih saja perempuanya itu salah tingkah di hadapnnya. "Gimana aku bisa fokus kalau di sampingku aja ada bidadari yang bikin lupa diri." Rayuan gombal sudah sering diucapkan Regan pada Zarea. Dia memang romantis, tapi tidak pandai merangkai kata-kata gombal layaknya pujangga. Hanya bisa plagiat kata-kata yang lewat di beranda sosial medianya.
Zarea pun juga ikut terbahak oleh rayuan klise Regan. "Udah deh, Re... kamu nggak usah gombal-gombal segala. Garing tahu nggak."
"Ck, kamu, Za... namanya juga usaha. Sekali-kali baper lah sama rayuanku."
"Nggak, Re... kamu tuh nggak cocok gombal-gombaan segala. Jatuhnya malah jadi alay kayak Alsan!"
Keduanya tertawa lepas dengan ucapan Zarea itu. "Salah lagi? Terus, gimana aku bisa bikin baper kamu kalau digombalin aja nggak mau?"
"Kata-kata itu nggak penting, Regan... yang terpenting itu tindakan."
"Oh, maksudnya kamu mau langsung dicium gini?" tanya Regan spontan melempar wajahnya menghadap Zarea, namun perempuan itu segera menghindar.
"Ih, nggak gitu juga kali, Re... Kamu itu mesum aja otaknya. Maksudnya tindakan itu ya pengorbanan kamu. Gimana kamu perjuangin aku," jawab Zarea sambil menertwakan Regan hingga mengacak rambutnya.
"Hah! bener ya kata orang kalau pria memang selalu salah, wanita dimana-mana membingungkan, dilamar nggak mau, dicium nggak boleh. Apa minta diselingkuhin aja kayaknya." Regan mencoba memancing kecemburuan Zarea dan berhasil.
Perempuan itu melotot dengan tangan yang mengepal di depan wajah Regan. "Awas aja kamu berani selingkuh!"
Regan justru terkekeh dengan puas mendengar ancaman Zarea. "Bercanda, Sayang... Tapi, kalau sering-sering cemburu nggak apa-apa kok. Kapan lagi dicemburuan tunangan sendiri."
"Ck, nggaK lucu!"
"Lucu kok. Itu buktinya ketawa."
Regan memang tak pandai menggombal, tapi dia pandai membuat Zarea tertawa dengan apa pun yang dia lakukan. Yah, namanya juga cinta. Mau bagaimana lagi. Hal sesederhana apa pun bisa saja membuat bahagia.
"Oh iya, siang ini aku harus ke Bandung buat handle restoran yang di sana, kira-kira sampai sebulan. Kamu nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar?"
Zarea tiba-tiba mengerucutkan bibirnya. "Kok lama banget sampai sebulan?" tanyanya.
Regan cukup mengerti kekecewaan Zarea. Mereka sudah jarang bertemu dan sekarang harus berpisah. "Iya, soalnya management disana kacau banget, Za... aku harus handle sampai bener-bener stabil lagi. Tahan dulu ya kangennya?"
"Aku sih kuat-kuat aja buat nggak kangen sama kamu, yang terpenting kamunya jaga mata, jaga hati juga!" Ancaman Zarea kembali membuat Regan semakin terkekeh.
"You are the one and only my Zarea, nothing else," ucapnya.
Zarea seketika mengacungkan telunjuknya untuk mengikat ucapan Regan. "Okay, Keep your promise!"
To be continue....
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada ZareaDengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!""Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya."Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan m
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam."Tuh, bukain!"Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata."Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai."Pagi, Sayang...."
Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada ZareaDengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!""Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya."Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan m
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam