Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.
Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.
“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
“Hm.” Hanya itu yang keluar dari mulut Edward Tanpa ada sepatah kata lain yang dia ucap dan berlalu begitu saja dengan menggenggam ponsel di tangan kirinya dan memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celana. Tatapannya tajam dan pandangannya lurus ke depan.
Zarea melunturkan senyum ketika Edward berjalan mendahuluinya. Sekuat hati perempuan itu menahan geraman yang tertahan di mulutnya dan menutupinya dengan menarik napas panjang. Kalau saja bukan atasannya, sudah pasti akan dia tegur habis-habisan.
Meksipun kesal setengah mati dengan bos barunya, Zarea tidak menunjukkan wajah suram ketika berpapasan dengan karyawan lain. Imagenya selalu baik di mata banyak orang. Jangan sampai hanya karena kesal dengan Edward image itu tak berlaku lagi.
Karena belum memiliki mobil, Zarea selalu memesan taksi online setiap pulang kantor. Hanya terkadang saja meminta Aslan atau Regan untuk menjemput. Itu pun sebulan sekali juga belum tentu. Selain mereka yang cukup sibuk, Zarea tidak ingin merepotkan orang lain untuk sesuatu yang bisa dia lakukan sendiri.
Cukup mengherankan seorang general manager andalan tidak memiliki mobil. Tapi, memang begitulah keadaan Zarea. Ada kebutuhan yg lebih penting dari hanya sekadar membeli mobil.
"Mana sih ini mobilnya? Kok malah muter-muter aja."
Sampai di depan kantor Zarea mengedarkan pandangan untuk mencari keberadaan taksi pesanannya seraya memeriksa rute driver itu dari ponsel.
Sementara itu, Edward yang baru keluar dari garasi dengan mobil sport hitam melihat Zarea dari kejauhan dengan seringaian remeh. "Oh, jadi wanita penjilat itu nggak punya mobil? Kita liat aja, sampai kapan general manager andalan papa itu bertahan di perusahaan ini."
Tak lama kemudian Edward melaju dengan kencang menggunakan mobil sport hitamnya di depan Zarea begitu saja.
***
Sampai di rumah Zarea melihat Aslan yang sedang tiduran di sofa dengan wajah tertutup buku dan kakinya di naikkan di atas punggung sofa. Baru saja pulang dengan rasa lelahnya, adik semata wayangnya itu membuatnya menghela napas jenuh. Tangannya berkacak pinggang sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Is, anak ini, kelakuannya...."
Zarea menggoyang-goyangkan tubuh Aslan dengan kencang untuk membangunkannya.
“Aslan, bangun! Pamali tidur magrib-magrib!”
Aslan terperanjat mendengar suara nyaring Zarea dan langsung duduk untuk mengumpulkan nyawanya.
“Berisik banget sih, Kak!" keluh Aslan sambil mengusap-usap wajahnya.
Zarea terkekeh melihat reaksi Aslan yang lucu ketika merajuk. Meskipun umurnya sudah dua puluh tahunan, sikapnya masih seperti anak kecil ketika di hadapan kakaknya.
“Siapa suruh magrib-magrib tidur? Kalau kata orang tua zaman dulu, 'pamali' ntar mati muda kapok lo.”
"Ck, mitos aja dipercaya. Percaya tuh sama Tuhan, bukan sama tahayul!"
"Mitos atau nggak, yang namanya tidur magrib-magrib itu nggak baik, Aslan ganteng....
“Aduh, Kak... Bikin orang makin pusing aja kerjaannya,” jawab Delvan sambil memijit pelipisnya.
Zarea yang tidak percaya langsung memeperhatikan wajah Aslan dengan curiga dan menempelkan punggung tangannya di dahi adiknya itu. “Ih, gak panas, pusing apaan?”
"Ya elah, Kak... pusing, bukan panas!" keluh Aslan seraya menepis tangan Zarea.
"Cih, Lebay banget jadi cowok!"
"Dah lah, Kak... pulang-pulang tuh nggak usah ngomel aja. Mendingan masak, gih buat makan malem!"
Layaknya seorang majikan menyuruh pembantunya, Aslan mendorong Zarea dengan kasar. Tapi, Zarea tetap berdiri kokoh. Tak goyah meskipun dirorong begitu kuatnya.
"Emangnya kamu nggak kerja?"
"Nggak. Malam ini gue mau self healing."
"Gegayaan self healing self healing segala. Sok paling mentaliness banget."
"Kak, nggak boleh ya bilang gitu, mental orang tuh beda-beda. Kakak nggak tahu kalau aku hidup sama Kakak sebenarnya penuh tekanan. Cuma, selama ini aku pura-purabaik-baik saja," ucap Aslan dengan nada yang didramatisir. Sayangnya Zarea tahu kalau adik semata wayangnya itu hanya sok-sokan saja.
"Dah lah, dengerin curhatan alay kamu yang ada Kakak sendiri yang kena mental."
Dengan angkuh Zarea berlalu meninggalkan Aslan yang mencibirnya dari belakang.
Baru saja sampai di dalam kamar, ponsel Zarea terus saja berbunyi karena ada banyak pesan masuk. Ketika melihat pengirimnya, Zarea langsung menghela napas lelah. Edward, bos barunya itu mengirim banyak file.
"Perbaiki semua laporan ini. Saya tunggu sampai besok pagi. Hard copynya harus sudah ada di meja saya sebelum saya datang."
Zarea menggeram kesal seraya meremas ponselnya. Baru saja satu hari menggantikan Pak Baskoro, sudah banyak protes.
To be continue....
Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam."Tuh, bukain!"Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata."Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai."Pagi, Sayang...."
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada ZareaDengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!""Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya."Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan m
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Setelah menghubungi dokter perusahaan, Edward melihat Zarea yang masih mengaduh kesakitan. Penasaran sekali, hanya terkilir saja terlihat sesakit itu. Pria itu mencoba memegang kaki Zarea dan membuat empunya spontan memekik. "Aw!" teriak Zarea seraya menangkis tangan Edward."Oh maaf. Sakit ya?" tanya Edward dengan wajah polos. Hanya melihat bengkak di kaki Zarea saja seharusnya Edward tahu kalau itu sangat sakit."Sepertinya saya nggak perlu menjawab, Pak Edward sudah tahu jawabnnya. Ya Sakit lah, Pak!" bentak Zarea dengan nada sedikit kesal. Sudah tahu sakit, pakai di tanya.Keberanian Zarea membuat Edward terbelalak. Berani-beraninya general manager membentk CEO. "Ehem!" Tidak mau terlihat kalah darI Zarea, Edward berdeham untuk menunjukkan wibawanya kembali.Zarea peka dengan kode yang di tunjukkan E
Seperti biasa Zarea berkutat dengan dokumennya setiap jam kantor dimulai hingga selesai. Namun, seketika suara telepon membuatnya berhenti sejenak."Zarea, ke ruangan saya sekarang!" Dari suaranya Zarea cukup hafal. Itu suara Edward yang berucap dengan dingin."Baik, Pak," jawab Zarea semanis mungkin untuk berpura-pura baik di depan bos barunya. Dan yang lebih menyebalkan lagi, Edward menutup teleponnya tiba-tiba membuat Zarena menahan geramannya. Untung saja bos.***Di dalam ruangan Edward, Zarea duduk berhadapan dengan bos barunya yang sedang serius membaca dokumen di tangannya. Tiba-tiba saja menyunggingkan senyum tipis."Ternyata benar kata P
Pagi-pagi sekali bel rumah Zarea sudah berbunyi. Sementara itu, dua pemilik rumahnya tengah menikmati sarapan pagi mereka. Zarea seketika menghentikan gerakan tangannya dan menatap Aslan dengan tajam."Tuh, bukain!"Tentu saja permintaan Zarea membuat Aslan memutar mata."Ogah! Buka aja sendiri. Lagian siapa suruh pagi-pagi ke rumah orang."Menyuruh Aslan hanya membuat Zarea menghela napas jenuh dan terpaksa angkat kaki dari meja makan. "Ck, emang susah nyuruh bocil!"Aslan tak peduli dengan sindiran Zarea dan tetap menikmati makan paginya dengan santai."Pagi, Sayang...."
Yang paling disukai Zarea dari pekerjaannya adalah jam pulang. Dengan semangat wanita karir itu membereskan dokumen-dokumenya di atas meja dan bergegas keluar ruangan seraya menenteng tas jinjingnya yang berwarna hitam. Kaki jenjangnya yang berbalut sepatu high heels itu melangkah memasuki lift, lantas mengetuk-ngetuk lantai menunggu pintu lift terbuka di lantai dasar.Wajah semangatnya perlahan memudar ketika berpapasan dengan Edward di lobi kantor. Wajah datar pria itu terkesan angkuh hingga membuat Zarea ragu untuk menyapa. Tapi, karena sudah kebiasaannya selalu bersikap ramah pada semua orang, Zarea mengenyahkan segala pemikiran buruk tentang atasannya itu.“Sore, Pak Edward,” Senyum manis Zarea ketika menyapa Edward tak mendapat respon dengan baik.
Sejak pagi Zarea sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen yang bertumpuk di atas meja. Karena sudah memasuki akhir bulan, seperti biasa pekerjaannya sama sekali tidak bisa diajak bercanda. Di tengah kesibukannya yang tidak ada celah istirahat, Zarea harus menghentikannya lantaran mendengar suara ketukan pintu ruangannya. Lia, sekretaris CEO memanggil untuk meeting."Bu Zarea, sudah ditunggu Pak Baskoro di ruang meeting."Zarea menutup laptopnya dan bergegas menuju ruang meeting dengan berjalan cepat. Makhlum saja, dia perempuan penganut 'time is money'. Sedetik saja waktunya terbuang sia-sia, dia bisa kehilangan peluang emas.Di ruangan meeting itu sudah penuh dengan jajaran-jajaran tinggi Retro yang duduk melingkari sebuah meja besar.Pandangan pertama Zarea tertuju pada sosok laki-laki berusia dua puluh lima tahunan yang duduk di sebelah Pak Baskoro dengan memakai setelan jas abu-abu tua. Dia yakin laki-laki itulah yang akan menggantikan Pak Basko
Regan memarkirkan mobilnya di depan rumah Zarea dan membukakan pintu untuk tunangannya itu ala putri kerajaan. "Silakan, Tuan Putri Zarea Amarta," ucap Regan seraya mengulurkan tangan pada ZareaDengan senang hati Zarea menerima uluran tangan Rega dan turun dari mobil dengan hati-hati. "Terima kasih, Regan," jawabnya sambil tersenyum manis.Regan mengacungkan ibu jarinya. "Sip, jangan tidur malam-malam!""Kamu juga hati-hati di jalan. Sampai rumah langsung tidur juga! Jangan main game apa lagi ngechat-ngechat cewek lain!" ancam Zarea dengan picingan matanya."Cemburuan banget? Nggak dong, Sayang... aku nggak bakal ngechat cewek lain. Tapi, kalau di-chat dulu ya aku bales." Regan terkikik dengan ucapannya sendiri membuat Zarea langsung memelotot. "Serem banget mukanya? Bercanda doang kali. Nggak mungkin aku macem-macem kalau pawangnya aja kayak gini."Regan menggoda Zarea dengan mencolek dagunya. Namun, perempuan itu justru menahan senyumannya dan m
Jarum jam menunjukkan tepat pada angka delapan malam. Di sebuah ruangan penuh dengan manusia berpakaian formal, tak sedikit yang berjas dan berdasi duduk mengelilingi sebuah meja yang besar. Seorang wanita berambut hitam kecokelatan sepunggung dengan memakai dress putih dan berbalut blazer hitam yang juga mengalungkan tanda nama Zarea Amarta berkali-kali melirik jam yang melingkar di tangan kanannya. Kakinya tak berhenti mengetuk-ngetuk lantai bersamaan dengan jari-jemari yang juga menari di atas meja. Terlihat sangat gelisah menunggu acara di dalam ruangan itu selesai. "Cukup sekian meeting malam hari ini. Bisa pulang ke rumah masing-masing dan hati-hati di jalan. Selamat malam," ucap seorang pria paruh baya yang memimpin jalannya rapat itu. Pria itu merupakan CEO sebuah perusahaan besar di mana Zarea bekerja. Zarea, wanita berusia dua puluh empat tahun yang dipercaya menjabat sebagai general manager di perusahaan Retro. Bukan dengan mudah wanita itu mendapatkan posisinya. Semenjak
Malam itu hujan turun sangat deras seiring air mata Zarea yang berjatuhan membasahi pipi. Dia menangis di bawah guyuran hujan bersama Regan yang berlutut di hadapannya.“Zarea, aku mohon. Jangan ambil keputusan sepihak seperti ini. Hubungan kita tinggal selangkah lagi, Za… aku nggak mau berakhir sia-sia.”Zarea menghapus air mata yang bercampur hujan di wajahnya. Pandangannya samar-samar menatap laki-laki di hadapannya itu.“Maaf, Regan… aku nggak bisa. Wasiat orang tuaku lebih penting dari apa pun.”Suara yang terhalau petir itu masih jelas terdengar di telinga Regan. “Kita cari jalan keluarnya sama-sama, Za… aku yakin dalam hati kecil kamu masih ingin kita bersama, kan? Ayo, Za… kita cari solusi. Bukan memutuskan untuk berpisah!”“Sekali lagi maaf, Re… Aku udah nggak cinta sama kamu. Selama ini kamu juga terganggu dengan pekerjaanku yang nggak bisa luangin waktu buat kam