Syaqila masih tidak bisa bertemu dengan Diandra. Karena itu, dia memiliih untuk bersembunyi. Sahabatnya itu masih marah seperti seorang induk yang kehilangan telurnya. Setiap kali melihat dirinya, dia seolah menumbuhkan tanduk di kepalanya. Syaqila memilih untuk menghindar sementara waktu daripada harus menghadapi emosi Diandra yang masih tidak stabil."Kenapa dia begitu marah?" gumam Syaqila menggerutu. Saat ini dia tengah memilih jajaran buku dari sebuah rak di perpustakaan. Syaqila rasa ini tempat yang cocok untuk bersembunyi. "Padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Dia terlalu berlebihan."Setelah menemukan buku yang dia inginkan, Syaqila pun berjalan menuju salah satu bangku. Ia menaruh tasnya dan duduk di kursi.Suasana tenang ini sedikit memperbaiki suasana hatinya yang memburuk sejak tadi pagi. Setiap kejadian tidak menyenangkan yang mengacaukan moodnya kini sedikit mereda."Seharusnya aku ke sini sejak tadi." Syaqila menyesal baru pergi ke tempat ini sekarang. Jika tah
Mimpi apa dia semalam? Syaqila tidak mengira jika dia akan bergabung bersama teman-teman Raffael. Pria itu bahkan duduk di sampingnya. Memastikan jika kedua temannya tak akan lagi mengganggu dirinya. Raffael hanya tak ingin jika Syaqila kembali cedera karena tingkah absurd dua temannya."Apa yang kau baca?" tanya Freya, mengintip isi buku yang dipegang Syaqila. Dahinya mengkerut, kemudian mendengus kecil. "Kenapa kau mau membaca buku membosankan seperti itu? Apa kepalamu tidak pusing?""Tidak." Syaqila menjawab dengan jujur. Dia justru senang dengan buku semacam ini."Apa gunanya itu?" tanya Freya, benar-benar terlihat tidak menyukai bacaan Syaqila. "Itu hanya pantas dibaca oleh orang dewasa. Sebaiknya kau membaca novel saja. Itu lebih menarik untuk anak seusia kita.""Apa kau masih pantas disebut anak?" sindir Ando. Dia merasa kalimat yang diucapkan Freya tidak tepat."Kita juga sudah dewasa," ujar Rui, ikut menimpali. "Jadi tak salah jika Syaqila menyukai bacaan seperti itu. Dia 'ka
"Katakan sekali lagi."Raffael hampir tak percaya dengan laporan yang diberikan Zain padanya. Anak buahnya yang ia tugaskan untuk menjaga Syaqila itu memberikan laporan yang tidak terduga. Membuat perutnya seolah digelitik oleh tangan tak kasat mata.Ia merasa perlu untuk membersihkan telinganya, jika memang dia benar-benar salah menangkap maksud sebenarnya dari ucapan anak buahnya itu."Nona Syaqila sering menguntit Tuan akhir-akhir ini." Zain mengulang kembali ucapannya, dengan kalimat yang masih sama persis seperti sebelumnya. Dia bicara terus terang.Bertugas menjaga perempuan yang berstatus sebagai kakak tiri tuannya itu membuat Zain menjadi awas akan segala sesuatu di sekitar perempuan itu. Dan gerak geriknya tak lepas dari pengawasan Zain.Bukannya mendapati orang lain yang mencurigakan di sekitar Syaqila, tingkah perempuan itu sendiri yang justru membuat dia curiga.Zain menyipit, penuh selidik. Untuk apa perempuan itu terus mengikuti tuannya? Dia hanya ingin memastikan tujuan
Syaqila tidak tahu apa yang membuat Raffael tiba-tiba berubah padanya. Sikap kasar pria itu memang sudah tak asing, karena begitulah pria itu terlihat saat pertama kali dia datang. Tapi, bukankah hubungan mereka sudah mulai membaik? Seharusnya, dia tidak seperti itu. Dia kembali pada dirinya yang lama. Memandang Syaqila layaknya makhluk paling dia benci dalam hidupnya.Kesalahan yang dimiliki Syaqila memang bukan hal sepele. Namun dia sudah meminta maaf dengan tulus. Dia sudah terlalu banyak menunjukkan perasaan sesal padanya. Raffael yang mulai merasa jengah pun akhirnya memilih untuk menerima maaf darinya, juga mengakhiri dendam masa lalu yang dianggap tak berguna.Tapi kenapa sekarang menjadi seperti ini?Syaqila terus bertanya-tanya dalam hati. Apa yang salah darinya? Mengapa pria itu menjadi seperti ini? Kesalahan apa yang dia perbuat?Raffael tak mungkin hanya berpura-pura berdamai dengannya. Karena Syaqila tahu jika pria itu sudah mulai melupakan semuanya. Tatapannya itu tidak
"Nenek."Raffael menyapa neneknya yang tampak duduk di kursi teras. Wanita tua itu tersenyum, membiarkan cucunya meraih tangannya dan mencium punggung tangannya."Apa kabar, Nenek?" Raffael berjongkok, mencoba mengajak bicara neneknya tanpa bangun dari posisinya. "Nenek kelihatannya lebih kurus dari terakhir kali.""Aku selalu sehat, Cucuku," balas Emily. Dia mengusap kepala cucunya itu penuh sayang. "Bukan aku yang menjadi kurus, tapi kau yang menjadi lebih berisi.""Nek, ayolah." Raffael memutar bola matanya, ekspresinya merajuk. Sehingga mengundang tawa Emily.Raffael paling tidak suka jika ada yang menyinggung tentang berat badannya. Karena dulu dia bekerja keras untuk membuat kurus tubuhnya. Dia yang dulu sangat gemuk dan jelek. Sosok yang pernah dijadikan bahan rundungan dimana pun. Bahkan hal itu pula yang membuat 'kakaknya' sendiri tidak menyukainya, dan memilih untuk mengusirnya.Raffael menyadari jika setiap manusia akan lebih dihargai jika dirinya terlihat pantas. Karena it
Emily mengusap rambut Raffael. Cucu laki-lakinya itu menangis cukup lama. Dia tidak ingin pergi meski Emily sudah mengusirnya. Dia memeluk perutnya dengan erat, enggan melepaskannya walau sesaat. Dia sangat takut jika Emily tidak akan mau lagi menemuinya.Raffael berjuang keras untuk mendapatkan maafnya. Dia terus memohon maaf dan menangis di depannya.Romeo yang baru pulang kerja dibuat kebingungan melihat semua itu. Menatap wajah istrinya yang meringis tak enak, karena tak bisa menyambut suaminya seperti biasa. Dan Raffael yang memeluk perut Emily sembari menangis seperti bocah. Ini pemandangan langka yang membuat Romeo merasa ingin tertawa."Ada apa dengan bocah itu?" tanya Romeo.Mereka berada di kamar Raffael dulu. Kamar yang masih menjadi milik pria muda itu. Romeo menyuruh anak buahnya untuk mengangkat Raffael ke kamar setelah cucunya itu tertidur karena terlalu lama menangis.Dia menangis tanpa mendapatkan jawaban apapun dari neneknya."Dia datang untuk menemui ku. Tapi pertem
Syaqila merasa heran karena sejak tadi dia tak melihat Raffael. Waktu sudah menunjukkan waktu makan malam. Tapi, setelah ia duduk di meja makan, Raffael tak datang. Keluarganya menikmati makan malam tanpa menunggu pria itu."Ada apa?" Fabian bertanya, karena sejak tadi ia melihat putrinya hanya termenung memandangi piringnya. "Kenapa tidak makan?"Utari mengangkat wajahnya, menatap suaminya, lalu beralih pada putrinya. Dia bahkan tidak sadar jika putrinya sejak tadi belum menyentuh makanannya sama sekali."Ada apa, Nak? Apa ada yang kamu pikirkan?" tanya Utari khawatir."Tidak." Syaqila menggelengkan kepalanya. Dia mencoba terlihat baik-baik saja meski hal itu sia-sia. Setiap sikap dan gerak-geriknya mampu terbaca dengan sangat jelas. Syaqila adalah tipe orang yang sulit menyembunyikan emosinya sendiri.Fabian dan Utari saling melempar pandangan. Mereka tentu menyadari ada banyak perubahan yang terasa dari putri mereka itu. Hanya saja, mereka memilih untuk berpura-pura tidak tahu.Sya
Bagaimana Diandra bisa marah setelah melihat betapa rapuh sahabatnya itu sekarang?Diandra memutuskan segera menemui Syaqila setelah menyadari ada yang tidak benar. Dan dugaannya tidak salah sama sekali. Ketika dia melihat Syaqila pertama kali, sahabatnya itu tampak sembam, seperti habis menangis dalam waktu yang lama. Pakaiannya juga berantakan. Tidak seperti dia yang biasanya.Diandra tak mengatakan apapun. Dia juga tak meminta penjelasan lagi seperti waktu itu. Kini memilih untuk tetap berada di samping sahabatnya, menemani di saat dia tengah berada di keadaan terpuruknya. Diandra hanya ingin dia ada saat sahabatnya itu membutuhkannya."Kau mau susu?" tawar Diandra. Dia baru kembali dari dapur, menghangatkan susu yang dia bawa sebelumnya. Dia menyimpan dua gelas susu itu di atas meja. "Ini mungkin bisa membuatmu lebih baik."Diandra tahu jika sahabatnya menyukai rasa manis. Karena itu dia membuat susu untuknya. Siapa tahu perasaannya akan sedikit membaik karena itu.Diandra juga me