Syaqila memilih pergi daripada menghadapi sikap Diandra yang menjadi sangat menyebalkan. Sahabatnya itu masih terus mendesaknya untuk mengatakan masalah yang saat ini membebaninya. Namun Syaqila menolak jika Diandra masih bersikap seperti itu. Bukannya memberikan solusi, sahabatnya itu justru terasa menyudutkannya. Syaqila merasa ia tidak akan mendapatkan jalan keluar dengan emosi Diandra yang seperti itu. Biarlah mereka bicara nanti saat sahabatnya tidak lagi dilanda emosi mengesalkan. Saat di belokan, Syaqila yang memang tengah banyak berpikir tidak memperhatikan jalannya dengan benar hingga dia menubruk seseorang karena kecerobohannya. Dua tangan pria itu menahan pundaknya supaya Syaqila tidak terjatuh. "Maafkan aku." Syaqila terkejut dengan kecerobohannya sendiri. Bagaimana dia bisa tidak berhati-hati? Saat dia menatap seseorang yang bertubrukan dengannya, Syaqila terkejut. "Gunakan matamu juga saat berjalan," ketus Raffael, menatap tak suka pada Syaqila yang masih saja seper
Raffael menoleh pada seseorang yang menepuk pundaknya. Itu adalah Rui, yang diikuti Freya dan Ando di belakangnya. Ketiga orang itu duduk di kursi, bergabung bersama Raffael yang saat ini menyibukkan diri dengan tumpukan buku di perpustakaan."Kukira kalian tidak akan kemari.""Aku berubah pikiran," ujar Rui. Pria itu mengambil satu buku dari rak yang berada di belakangnya. Tanpa melihat buku apa itu, dia membuka dan membiarkannya berdiri di depan wajah. Sementara Rui langsung menenggelamkan kepalanya diantara lipatan lengan. "Aku ingin bersembunyi."Ando terkekeh melihat wajah kusut temannya itu. "Dia terlihat tertekan.""Ada apa?" Raffael merasa dia telah melewatkan sesuatu. "Apa ada yang terjadi?""Hanya tentang Jeslyn," balas Freya, seraya mengibaskan tangannya dengan acuh. Ini bukan sesuatu yang begitu penting untuk dibicarakan. "Bukan masalah besar.""Dia hanya tak bisa memendam perasaan geram. Rui cenderung menahannya daripada harus beradu mulut dengan perempuan itu," jelas And
Syaqila masih tidak bisa bertemu dengan Diandra. Karena itu, dia memiliih untuk bersembunyi. Sahabatnya itu masih marah seperti seorang induk yang kehilangan telurnya. Setiap kali melihat dirinya, dia seolah menumbuhkan tanduk di kepalanya. Syaqila memilih untuk menghindar sementara waktu daripada harus menghadapi emosi Diandra yang masih tidak stabil."Kenapa dia begitu marah?" gumam Syaqila menggerutu. Saat ini dia tengah memilih jajaran buku dari sebuah rak di perpustakaan. Syaqila rasa ini tempat yang cocok untuk bersembunyi. "Padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Dia terlalu berlebihan."Setelah menemukan buku yang dia inginkan, Syaqila pun berjalan menuju salah satu bangku. Ia menaruh tasnya dan duduk di kursi.Suasana tenang ini sedikit memperbaiki suasana hatinya yang memburuk sejak tadi pagi. Setiap kejadian tidak menyenangkan yang mengacaukan moodnya kini sedikit mereda."Seharusnya aku ke sini sejak tadi." Syaqila menyesal baru pergi ke tempat ini sekarang. Jika tah
Mimpi apa dia semalam? Syaqila tidak mengira jika dia akan bergabung bersama teman-teman Raffael. Pria itu bahkan duduk di sampingnya. Memastikan jika kedua temannya tak akan lagi mengganggu dirinya. Raffael hanya tak ingin jika Syaqila kembali cedera karena tingkah absurd dua temannya."Apa yang kau baca?" tanya Freya, mengintip isi buku yang dipegang Syaqila. Dahinya mengkerut, kemudian mendengus kecil. "Kenapa kau mau membaca buku membosankan seperti itu? Apa kepalamu tidak pusing?""Tidak." Syaqila menjawab dengan jujur. Dia justru senang dengan buku semacam ini."Apa gunanya itu?" tanya Freya, benar-benar terlihat tidak menyukai bacaan Syaqila. "Itu hanya pantas dibaca oleh orang dewasa. Sebaiknya kau membaca novel saja. Itu lebih menarik untuk anak seusia kita.""Apa kau masih pantas disebut anak?" sindir Ando. Dia merasa kalimat yang diucapkan Freya tidak tepat."Kita juga sudah dewasa," ujar Rui, ikut menimpali. "Jadi tak salah jika Syaqila menyukai bacaan seperti itu. Dia 'ka
"Katakan sekali lagi."Raffael hampir tak percaya dengan laporan yang diberikan Zain padanya. Anak buahnya yang ia tugaskan untuk menjaga Syaqila itu memberikan laporan yang tidak terduga. Membuat perutnya seolah digelitik oleh tangan tak kasat mata.Ia merasa perlu untuk membersihkan telinganya, jika memang dia benar-benar salah menangkap maksud sebenarnya dari ucapan anak buahnya itu."Nona Syaqila sering menguntit Tuan akhir-akhir ini." Zain mengulang kembali ucapannya, dengan kalimat yang masih sama persis seperti sebelumnya. Dia bicara terus terang.Bertugas menjaga perempuan yang berstatus sebagai kakak tiri tuannya itu membuat Zain menjadi awas akan segala sesuatu di sekitar perempuan itu. Dan gerak geriknya tak lepas dari pengawasan Zain.Bukannya mendapati orang lain yang mencurigakan di sekitar Syaqila, tingkah perempuan itu sendiri yang justru membuat dia curiga.Zain menyipit, penuh selidik. Untuk apa perempuan itu terus mengikuti tuannya? Dia hanya ingin memastikan tujuan
Syaqila tidak tahu apa yang membuat Raffael tiba-tiba berubah padanya. Sikap kasar pria itu memang sudah tak asing, karena begitulah pria itu terlihat saat pertama kali dia datang. Tapi, bukankah hubungan mereka sudah mulai membaik? Seharusnya, dia tidak seperti itu. Dia kembali pada dirinya yang lama. Memandang Syaqila layaknya makhluk paling dia benci dalam hidupnya.Kesalahan yang dimiliki Syaqila memang bukan hal sepele. Namun dia sudah meminta maaf dengan tulus. Dia sudah terlalu banyak menunjukkan perasaan sesal padanya. Raffael yang mulai merasa jengah pun akhirnya memilih untuk menerima maaf darinya, juga mengakhiri dendam masa lalu yang dianggap tak berguna.Tapi kenapa sekarang menjadi seperti ini?Syaqila terus bertanya-tanya dalam hati. Apa yang salah darinya? Mengapa pria itu menjadi seperti ini? Kesalahan apa yang dia perbuat?Raffael tak mungkin hanya berpura-pura berdamai dengannya. Karena Syaqila tahu jika pria itu sudah mulai melupakan semuanya. Tatapannya itu tidak
"Nenek."Raffael menyapa neneknya yang tampak duduk di kursi teras. Wanita tua itu tersenyum, membiarkan cucunya meraih tangannya dan mencium punggung tangannya."Apa kabar, Nenek?" Raffael berjongkok, mencoba mengajak bicara neneknya tanpa bangun dari posisinya. "Nenek kelihatannya lebih kurus dari terakhir kali.""Aku selalu sehat, Cucuku," balas Emily. Dia mengusap kepala cucunya itu penuh sayang. "Bukan aku yang menjadi kurus, tapi kau yang menjadi lebih berisi.""Nek, ayolah." Raffael memutar bola matanya, ekspresinya merajuk. Sehingga mengundang tawa Emily.Raffael paling tidak suka jika ada yang menyinggung tentang berat badannya. Karena dulu dia bekerja keras untuk membuat kurus tubuhnya. Dia yang dulu sangat gemuk dan jelek. Sosok yang pernah dijadikan bahan rundungan dimana pun. Bahkan hal itu pula yang membuat 'kakaknya' sendiri tidak menyukainya, dan memilih untuk mengusirnya.Raffael menyadari jika setiap manusia akan lebih dihargai jika dirinya terlihat pantas. Karena it
Emily mengusap rambut Raffael. Cucu laki-lakinya itu menangis cukup lama. Dia tidak ingin pergi meski Emily sudah mengusirnya. Dia memeluk perutnya dengan erat, enggan melepaskannya walau sesaat. Dia sangat takut jika Emily tidak akan mau lagi menemuinya.Raffael berjuang keras untuk mendapatkan maafnya. Dia terus memohon maaf dan menangis di depannya.Romeo yang baru pulang kerja dibuat kebingungan melihat semua itu. Menatap wajah istrinya yang meringis tak enak, karena tak bisa menyambut suaminya seperti biasa. Dan Raffael yang memeluk perut Emily sembari menangis seperti bocah. Ini pemandangan langka yang membuat Romeo merasa ingin tertawa."Ada apa dengan bocah itu?" tanya Romeo.Mereka berada di kamar Raffael dulu. Kamar yang masih menjadi milik pria muda itu. Romeo menyuruh anak buahnya untuk mengangkat Raffael ke kamar setelah cucunya itu tertidur karena terlalu lama menangis.Dia menangis tanpa mendapatkan jawaban apapun dari neneknya."Dia datang untuk menemui ku. Tapi pertem