Setelah pembicaraan yang menurut Raffael sangat membosankan, dia mengajak Syaqila untuk bicara serius. Mereka berada di belakang rumah, dekat dengan kolam renang. Keadaan mereka menjadi sangat canggung. Terlebih, karena mereka telah dijodohkan secara paksa."Aku hanya ingin memberitahumu, jika aku tidak bisa menerima ini." Raffael langsung bicara ke intinya. Dia tak peduli jika perempuan itu akan terluka karenanya. "Jadi jangan mengharapkan apapun dari kejadian ini. Aku akan mencari cara untuk membatalkan perjodohan sialan ini."Syaqila mengabaikan perasaan nyeri di dada. Tidak diharapkan, ditolak mentah-mentah, harga dirinya terasa dicabik-cabik. Dia mengangguk dengan perlahan. Mencoba berusaha bersikap tenang walau hatinya terasa hancur."Aku tahu," balas Syaqila. Dia berusaha bicara dengan suara normal. Namun suaranya tetap saja terdengar gemetar. Dia harus tegar, menunjukkan pada Raffael jika ia pun sebenarnya tidak menginginkan pria itu. "Aku juga tidak ingin semua ini."Syaqila
Hari ini mood Raffael sedikit memburuk. Selain karena kejadian semalam yang dibuat kakeknya, Raffael mulai merasakan perasaan tak nyaman setiap kali dia berpapasan dengan Syaqila. Terlebih, saat ini perempuan itu seolah memusuhinya. Entah apa yang membuat perempuan itu bersikap seperti ini padanya, Raffael berusaha mengerti. Mungkin kejadian semalam membuat perempuan itu tertekan hingga bersikap demikian.Namun mereka tinggal seatap. Mereka juga pergi ke kampus yang sama. Intensitas pertemuan mereka akan sering terjadi, secara tidak disengaja. Hal itu membuat keduanya kesulitan untuk menjauh."Kau kenapa?" Freya menyadari jika ada yang berbeda dengan pria yang baru-baru ini menjadi temannya itu. Dia tidak setenang biasanya. "Ada masalah?""Jika kau memang sedang ada masalah, ceritalah pada kami," ucap Rui, ikut bicara. Bagaimana pun, mereka sudah cukup dekat. Seharusnya Raffael tidak begitu tertutup pada mereka. Mereka akan membantu sebisa mungkin jika dibutuhkan."Jangan selalu memen
Lihatlah pria itu!Syaqila berdesis kesal melihat interaksi antara Raffael dan Jeslyn yang tertangkap indra penglihatannya. Dia tidak ingin bertemu pria itu saat ini, namun kenapa dia selalu ada dimana pun? Syaqila rasanya ingin melemparinya dengan batu!"Kau kenapa? Apa yang kau lihat?" Diandra bertanya dengan mulut penuh, mengunyah. Dia mengikuti arah pandang sahabatnya itu.Saat ia mengetahuinya, Diandra tak bisa untuk tidak tersenyum jahil."Rupanya kau cemburu," godanya.Syaqila mendelik tak terima. "Siapa yang cemburu?" Dia memalingkan wajah dengan kesal. Rona merah menjalar di wajahnya. Namun ia tak tahu apakah ini karena marah atau malu? Syaqila sendiri tidak mengerti dengan perasaannya."Tidak perlu malu." Diandra mencolek lengan sahabatnya itu, senyum jahil di wajahnya masih belum menghilang. "Aku ini sahabatmu, katakan saja, Syaqil. Kau tidak perlu berbohong padaku. Wajahmu menjelaskan semuanya.""Sialan." Syaqila mendesis, melayangkan tatapan penuh kekesalan pada sahabatny
Syaqila memilih pergi daripada menghadapi sikap Diandra yang menjadi sangat menyebalkan. Sahabatnya itu masih terus mendesaknya untuk mengatakan masalah yang saat ini membebaninya. Namun Syaqila menolak jika Diandra masih bersikap seperti itu. Bukannya memberikan solusi, sahabatnya itu justru terasa menyudutkannya. Syaqila merasa ia tidak akan mendapatkan jalan keluar dengan emosi Diandra yang seperti itu. Biarlah mereka bicara nanti saat sahabatnya tidak lagi dilanda emosi mengesalkan. Saat di belokan, Syaqila yang memang tengah banyak berpikir tidak memperhatikan jalannya dengan benar hingga dia menubruk seseorang karena kecerobohannya. Dua tangan pria itu menahan pundaknya supaya Syaqila tidak terjatuh. "Maafkan aku." Syaqila terkejut dengan kecerobohannya sendiri. Bagaimana dia bisa tidak berhati-hati? Saat dia menatap seseorang yang bertubrukan dengannya, Syaqila terkejut. "Gunakan matamu juga saat berjalan," ketus Raffael, menatap tak suka pada Syaqila yang masih saja seper
Raffael menoleh pada seseorang yang menepuk pundaknya. Itu adalah Rui, yang diikuti Freya dan Ando di belakangnya. Ketiga orang itu duduk di kursi, bergabung bersama Raffael yang saat ini menyibukkan diri dengan tumpukan buku di perpustakaan."Kukira kalian tidak akan kemari.""Aku berubah pikiran," ujar Rui. Pria itu mengambil satu buku dari rak yang berada di belakangnya. Tanpa melihat buku apa itu, dia membuka dan membiarkannya berdiri di depan wajah. Sementara Rui langsung menenggelamkan kepalanya diantara lipatan lengan. "Aku ingin bersembunyi."Ando terkekeh melihat wajah kusut temannya itu. "Dia terlihat tertekan.""Ada apa?" Raffael merasa dia telah melewatkan sesuatu. "Apa ada yang terjadi?""Hanya tentang Jeslyn," balas Freya, seraya mengibaskan tangannya dengan acuh. Ini bukan sesuatu yang begitu penting untuk dibicarakan. "Bukan masalah besar.""Dia hanya tak bisa memendam perasaan geram. Rui cenderung menahannya daripada harus beradu mulut dengan perempuan itu," jelas And
Syaqila masih tidak bisa bertemu dengan Diandra. Karena itu, dia memiliih untuk bersembunyi. Sahabatnya itu masih marah seperti seorang induk yang kehilangan telurnya. Setiap kali melihat dirinya, dia seolah menumbuhkan tanduk di kepalanya. Syaqila memilih untuk menghindar sementara waktu daripada harus menghadapi emosi Diandra yang masih tidak stabil."Kenapa dia begitu marah?" gumam Syaqila menggerutu. Saat ini dia tengah memilih jajaran buku dari sebuah rak di perpustakaan. Syaqila rasa ini tempat yang cocok untuk bersembunyi. "Padahal aku tidak melakukan kesalahan apapun. Dia terlalu berlebihan."Setelah menemukan buku yang dia inginkan, Syaqila pun berjalan menuju salah satu bangku. Ia menaruh tasnya dan duduk di kursi.Suasana tenang ini sedikit memperbaiki suasana hatinya yang memburuk sejak tadi pagi. Setiap kejadian tidak menyenangkan yang mengacaukan moodnya kini sedikit mereda."Seharusnya aku ke sini sejak tadi." Syaqila menyesal baru pergi ke tempat ini sekarang. Jika tah
Mimpi apa dia semalam? Syaqila tidak mengira jika dia akan bergabung bersama teman-teman Raffael. Pria itu bahkan duduk di sampingnya. Memastikan jika kedua temannya tak akan lagi mengganggu dirinya. Raffael hanya tak ingin jika Syaqila kembali cedera karena tingkah absurd dua temannya."Apa yang kau baca?" tanya Freya, mengintip isi buku yang dipegang Syaqila. Dahinya mengkerut, kemudian mendengus kecil. "Kenapa kau mau membaca buku membosankan seperti itu? Apa kepalamu tidak pusing?""Tidak." Syaqila menjawab dengan jujur. Dia justru senang dengan buku semacam ini."Apa gunanya itu?" tanya Freya, benar-benar terlihat tidak menyukai bacaan Syaqila. "Itu hanya pantas dibaca oleh orang dewasa. Sebaiknya kau membaca novel saja. Itu lebih menarik untuk anak seusia kita.""Apa kau masih pantas disebut anak?" sindir Ando. Dia merasa kalimat yang diucapkan Freya tidak tepat."Kita juga sudah dewasa," ujar Rui, ikut menimpali. "Jadi tak salah jika Syaqila menyukai bacaan seperti itu. Dia 'ka
"Katakan sekali lagi."Raffael hampir tak percaya dengan laporan yang diberikan Zain padanya. Anak buahnya yang ia tugaskan untuk menjaga Syaqila itu memberikan laporan yang tidak terduga. Membuat perutnya seolah digelitik oleh tangan tak kasat mata.Ia merasa perlu untuk membersihkan telinganya, jika memang dia benar-benar salah menangkap maksud sebenarnya dari ucapan anak buahnya itu."Nona Syaqila sering menguntit Tuan akhir-akhir ini." Zain mengulang kembali ucapannya, dengan kalimat yang masih sama persis seperti sebelumnya. Dia bicara terus terang.Bertugas menjaga perempuan yang berstatus sebagai kakak tiri tuannya itu membuat Zain menjadi awas akan segala sesuatu di sekitar perempuan itu. Dan gerak geriknya tak lepas dari pengawasan Zain.Bukannya mendapati orang lain yang mencurigakan di sekitar Syaqila, tingkah perempuan itu sendiri yang justru membuat dia curiga.Zain menyipit, penuh selidik. Untuk apa perempuan itu terus mengikuti tuannya? Dia hanya ingin memastikan tujuan
"Kau tahu? Katanya anak itu masuk rumah sakit lagi.""Maksudmu anak aneh itu?" tanya Romeo, menatap istrinya."Namanya Raffael," Emily meluruskan. Meski tingkah Raffael memang sedikit aneh, rasanya tak pantas jika mereka menyebutnya seperti itu. "Jangan panggil dia begitu. Bagaimana pun, dia masih cucu kita.""Sekarang, apa lagi?" Romeo sudah mendengar sebelumnya tentang apa yang terjadi. Dia cukup prihatin dengan kehidupan cucu laki-lakinya itu. Dia sangat tertutup. Dan tingkahnya juga sedikit aneh. Romeo sempat mendengar jika putranya memanggil psikiater untuk bocah tersebut. Sepertinya memang dia memiliki gangguan dalam psikisnya."Entahlah." Emily menghela napas. "Kudengar dari Utari, dia menemukan Raffael tak sadarkan diri saat ia hendak mengantarkan makan malam untuknya.""Sepertinya dia terlalu banyak mengonsumsi obat." Romeo mendengus, tampak tak senang. "Bukankah Fabian sudah mengawasinya? Mengapa anak itu masih sempat-sempatnya memiliki obat itu?""Dia tidak akan mudah berhe
"Aku menyerah."Syaqila sudah berusaha untuk bertahan. Tapi waktu yang dia lalui tidak menghasilkan apapun selain rasa sakit dan kecewa. Dia semakin menyadari, jika Raffael tak bisa memberikan apapun.Perempuan itu mengangkat wajahnya, menatap kakek dan neneknya dengan raut wajah bersalah."Maaf jika mengecewakan kalian. Tapi, aku sudah tak bisa lagi meneruskan ini."Emily menghela napas. Meski sedikit kecewa, dia berusaha mengerti posisi Syaqila. Menghadapi sikap Raffael memang menguras banyak kesabaran. Cucu laki-lakinya itu memiliki banyak sifat yang menyebalkan. Sangat wajar rasanya jika pada akhirnya Syaqila memilih untuk menyerah daripada terus berjuang hanya untuk semakin melukai hatinya."Kami tidak marah." Emily berusaha menghiburnya. Dia tak akan menyalahkan Syaqila. Mereka sendiri yang membebaskannya untuk mengambil keputusan. Saat Syaqila datang menemui mereka untuk mengakhiri ini semua, mau tidak mau mereka harus menerimanya."Apa dia sudah sangat keterlaluan?" Romeo hany
Syaqila menghela napas malas. Rencana yang sudah ia susun rapi tak bisa ia jalankan. Sore tadi neneknya menghubunginya. Ia disuruh untuk datang ke sebuah restoran. Kakek dan neneknya memaksanya untuk menghabiskan waktu makan malam bersama Raffael. Ini bisa disebut kencan secara paksa. Syaqila sama sekali tak merasa senang menyambut saat ini.Disaat ibunya dengan heboh memilihkan pakaian yang tepat untuknya, Syaqila tak merasa bersemangat sedikit pun.Tadinya dia ingin pergi bersama Diandra, pergi ke pusat perbelanjaan untuk menghabiskan uang. Tapi, rencana itu harus batal karena perintah dari kakeknya. Syaqila tak bisa menolak. Dia yakin Raffael pun akan setuju dengan terpaksa.Syaqila memiliki waktu dua jam sebelum acara dimulai. Dia sudah menimbulkan kehebohan di rumah hanya untuk persiapan. Dan tentunya yang bersemangat menyiapkan semuanya bukanlah dirinya, melainkan ibunya."Pakai yang ini saja." Utari memberikan sebuah gaun berwarna navy pada putrinya itu. Dia rasa, gaun itu adal
Melihat Rui berhasil dan kembali akrab dengan Raffael, Freya merasa iri. Dia memang biasa-biasa saja pada awalnya, karena ia sendiri masih tak yakin apakah Rui akan berhasil atau tidak. Tapi, setelah melihat akhir ini, Freya pun merenggut. Dia merasa tidak terima."Apa aku juga harus minta maaf?" Freya meminta pendapat Ando. Jawaban yang diberikan pria itu mungkin bisa membantunya. Karena sebelumnya, Rui pun meminta pendapat mereka sebelum memutuskan untuk menemui Raffael.Ando mengedikkan bahu. "Itu terserah kau, Freya."Ando tahu, dibanding Rui, Freya masih menyimpan perasaan kesal pada Raffael. Karena melihat bagaimana pria itu memperlakukan seorang perempuan dengan buruk, membuat Freya ikut tersinggung karenanya.Sebagai sesama perempuan, Freya hanya berusaha menyadarkan Raffael untuk lebih bisa menghargai mereka."Rasanya tidak rela." Freya menghela napas kasar. Berat rasanya ketika dia dipaksa mengakui dirinya bersalah, padahal menurutnya ia sudah melakukan sesuatu yang benar. N
"Hei."Jeslyn berdecak, merasa risih dengan tindakan Rui yang sengaja menusuk lengannya dengan pulpen."Bagaimana kau bisa masih baik-baik saja dengan Raffael?" Rui merasa ini tidak adil. Dia sudah membela Jeslyn saat itu, tapi yang terkena dampaknya justru hanya mereka. Perempuan itu sendiri tampak tidak terpengaruh. Dia masih bisa mendekati Raffael. Hubungannya dengan Raffael tidak ada yang berubah. Kontras sekali perbedaan antara mereka."Memang kenapa?" balas Jeslyn, sewot. "Apa kau berharap dia menjauhiku juga?""Ini terasa tidak adil." Rui merenggut kesal. "Kenapa dia marah pada kami, sedangkan padamu tidak?""Hei! Kau berkata seolah ingin aku juga dimusuhi olehnya!" protes Jeslyn. Dia tidak akan mau jika sampai Raffael benar-benar melakukannya."Memang benar. Bukankah Raffael tidak sepantasnya memperlakukan kita seperti ini?" Freya ikut menanggapi. Dia menatap teman-temannya dan kembali bicara, "Jika dia bisa tetap bersikap biasa pada Jeslyn, seharusnya dia tak perlu memusuhi k
"Bagaimana?" Diandra bertanya antusias. "Apakah ada perkembangan tentang hubunganmu dengannya?"Dia selalu bersemangat untuk menanyakan hal ini. Tapi tidak dengan Syaqila. Dia justru enggan membahasnya. Ia sudah bosan mendengar orang lain bertanya tentang hal serupa. Akhir-akhir ini, orang-orang di sekitarnya seakan penasaran tentang apa yang terjadi antara dirinya dan Raffael. Kadang, Syaqila merasa terganggu dengan semua ini."Aku tidak tahu," jawab Syaqila acuh. Dia memilih fokus mencatat, tak mau repot-repot menoleh pada sahabatnya. "Bisa tidak usah bicarakan tentangnya? Aku bosan."Tidak dimana pun, Syaqila seakan terus mendengar seseorang bertanya tentang pria itu. Telinganya sudah bosan."Tapi aku penasaran," rengek Diandra. Mana bisa dia diam saja memendam banyak pertanyaan di kepalanya? Sedangkan saat ini jawaban dari semua rasa penasarannya sudah ada di depan mata. Diandra hanya perlu mengulik sedikit supaya Syaqila mau sedikit berbagi cerita padanya. "Ayolah! Kau mana tega
Raffael baru keluar dari lift. Dia menemukan Jeslyn yang tengah duduk menunggunya. Dalam hati Raffael merasa heran, bagaimana perempuan itu tahu tempat dia bekerja?"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Raffael, berjalan menghampirinya."Menemuimu." Jeslyn tersenyum. Perempuan itu mendekat padanya dan berbisik, "Aku baru menemukan satu hal yang menarik. Kuyakin kamu pasti terkejut."Raffael melengos, mendorong Jeslyn dengan perlahan. Dia tetap menjaga sikapnya supaya tidak menyakiti perempuan itu. Terlebih, saat ini mereka berada di kantor tempat ia bekerja."Apa yang kamu inginkan?""Kau harus mendengar dulu apa yang akan aku katakan." Jeslyn memegang lengan pakaian pria itu. Dia sedikit memaksa.Raffael sebenarnya enggan. Tapi dia merasa jika Jeslyn saat ini tidak berpura-pura. Dia mungkin benar-benar memiliki hal yang harus didengar olehnya. Entah itu kabar baik atau buruk, Raffael harus memastikannya."Baiklah." Raffael memilih untuk mengalah saat ini. "Ikut aku."Dia membawa Jesl
"Bagaimana harimu?"Utari menyambut antusias saat melihat putrinya kembali dari kampus. Dia menarik Syaqila, mengajaknya untuk duduk di ruang tamu.Sebelumnya dia sudah mendengar jika putrinya itu menerima permintaannya untuk menjalin hubungan dengan Raffael. Awalnya Utari merasa keberatan. Tapi, setelah dipikirkan kembali, tidak ada salahnya membiarkan putrinya untuk menjadi salah satu cucu menantu Romeo. Syaqila tidak akan kesusahan. Dengan harta yang diwarisi Raffael nanti, dia bisa hidup dengan harta bergelimang.Memikirkan semua itu membuat Utari semakin bersemangat untuk menyuruh putrinya melakukan banyak cara supaya Raffael semakin mudah tertarik padanya."Hariku berjalan seperti biasa." Syaqila menjawab dengan memandang ibunya heran. Tidak biasanya ibunya itu bertanya. "Ada apa, Ma?""Apa kau bertemu Raffael hari tadi?"Utari hanya ingin memastikan sejauh mana hubungan mereka berkembang. Semakin cepat akan semakin baik terdengar. Karena dengan itu, Romeo akan puas dengan usaha
Romeo dan Emily seolah sengaja memberikan waktu bagi Raffael dan Syaqila untuk berbincang-bincang. Tapi apakah itu berguna? Sedangkan sejak tadi Raffael bersikap acuh tak acuh. Pria itu lebih senang menatap handphone-nya daripada bicara dengan Syaqila. Menurutnya, perempuan itu tidak asik diajak bicara.Syaqila yang merasa jenuh menghela napas kasar. Dia merasa kesal, tapi tak ada yang bisa dia lakukan. Sikap Raffael memang seperti ini.Syaqila menginginkan kehadiran neneknya yang entah pergi kemana bersama kakeknya. Syaqila lebih senang jika orang tua itu ada di sini. Daripada menghabiskan waktu dengan Raffael yang sama sekali tak menganggap kehadirannya.Syaqila melirik jam di tangannya. Ini sudah lima belas menit, dan neneknya sampai sekarang tidak kembali."Ada apa denganmu?" tanya Raffael. Merasakan kegelisahan perempuan di sisinya itu membuat dirinya terganggu."Aku hanya bingung, kemana nenek? Kenapa dia tidak kunjung kembali?" balas Syaqila, mengutarakan keresahannya."Tidak p