Karina mengerjapkan mata, lengan dan tangan Yudha begitu berat dan erat memeluknya. Dengan susah payah Karina membuka mata, mendapat tubuhnya tampak begitu kecil dan mungil di dalam pelukan Yudha. Senyum Karina tersungging, tangannya terulur mengelus rahang dan pipi itu.
"Semenyebalkan apapun kamu, nggak tau kenapa aku kok bisa sayang banget sama kamu, Mas?" Bisik Karina lirih, matanya menatap wajah Yudha yang begitu damai tertidur di balik selimut.Cinta dan benci itu beda tipis, sebuah hal yang Karina sadari dan alami saat ini. Bagaimana dari kebencian Karina yang teramat sangat pada lelaki ini, berubah drastis menjadi sebuah perasaan cinta yang teramat sangat juga.Karina mencoba melepaskan dirinya, gesekan kulit polos mereka sebenarnya begitu nyaman, hanya saja rasa lengket yang ditimbulkan dari aktivitas fisik mereka tadi membuatnya gerah dan sedikit tidak nyaman."Mas lepas!" Rengek Karina ketika tangan Yudha malah mempererat pelukan ituHeni tertegun, sosok itu nampak memandanginya dengan saksama. Ini makhluk dari mana? Kenapa ganteng sekali? Heni membeku di tempatnya sampai kemudian lelaki itu mengibaskan tangannya di depan muka Heni. "Dek? Kenapa?""Ah ... Ng-nggak, Mas. Nggak apa-apa." Desis Heni sambil nyengir menahan malu, entah mengapa rasa pedih dan sedikit nyeri di beberapa bagian tubuhnya lenyap seketika. "Serius? Nggak ada yang sakit?" Mata itu membulat, sebuah pemandangan luar biasa Indah di mata Heni. "I-iya!" Jawab Heni dengan wajah memerah dan hati berdesir. "Kau itu! Hati-hati dong! Untung tadi aku bawa mobilnya pelan, coba kalau kenceng! Nggak bisa bayangin aku gimana nanti nasib kamu!" Omel lelaki itu yang sontak melunturkan rasa kagum yang ada di hati Heni. Heni membelalakkan mata, kenapa jadi dia yang disalahkan? Perasaan Heni tidak melanggar lampu, rambu apapun. Dia juga dalam kecepatan stabil dan sedang. Bukan salah dia dong! Pasti lela
Heni tertegun ketika masuk ke dalam mobil lelaki ini. Nampak ada atasan scrub warna biru dan snelli tergantung dengan hanger di belakang jok. Jadi lelaki menyebalkan ini seorang dokter? Astaga, dokter model apa kelakuannya macam itu? "Kau pagi buta udah pecicilan, mau kemana emang?" Tanya sosok itu yang sudah duduk dan nampak tengah mengenakan seat belt. Heni kembali mendengus, "Kepo amat sih? Mau ngapain nanya-nanya?" Balas Heni judes. Heni tengah memasang wajah jutek ketika ia mendadak kepalan tangan itu mendarat di kepalanya, menjitak kepala Heni dengan sedikit keras. "Kau itu! Tentulah aku penasaran, kau bikin aku hampir kena masalah hukum!" Desisnya sambil melirik tajam ke arah Heni. "Eh! Kau hampir bikin aku kehilangan nyawa, Mas! Atau mungkin cacat? Yang jelas nih lihat, aku lecet-lecet! Pokoknya di sini bukan cuma kamu yang merasa dirugikan, aku juga!" Heni ikut melotot, kalau saja dia tidak butuh tumpangan ke kantor polisi g
Heni benar-benar tidak menyangka Mas Dokter menyebalkan ini ternyata baik juga. Kini mereka duduk berhadapan dengan seporsi nasi dan ayam goreng yang baunya sungguh benar-benar menggoda iman Heni. Heni menatap lelaki itu dari tempatnya duduk, kalau sedang diam dan kalem macam ini, kenapa pesona yang terpancar dari pribadi itu benar-benar luar biasa? Tapi kalau lagi mode on cerewet ... Jangan tanya! Heni saja rasanya ingin kabur dan malas berhubungan dengan lelaki ini. "Makan dulu, ntar baru aku anter ke kantor buat ambil motor sama barang kau!" Titahnya sambil mulai menyuapkan nasi dan suwiran ayam ke dalam mulut. Agaknya cowok ngeselin itu lapar juga. Bisa Heni lihat dari bagaimana dia makan. Tapi sialnya, cacing perut Heni yang nggak ada akhlak! Kenapa pakai bunyi segala sih? Dua kali pula! Tengsin setengah mati jadinya. "Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni akhirnya dengan suara lirih. Ia mulai menyuapkan nasi jatahnya. Menikmati ayam goreng dengan sambal
"Kau tahu nggak sih, Rin? Dia itu ngeselin banget tau nggak!"Karina menyimak suara itu dengan saksama. Wajahnya menahan geli, ia sudah beres membantu Mbok Dar dan Ningsih memasak. Kini waktunya dia bersantai sejenak sebelum nanti ia harus ke rumah sakit untuk menemui dan mengantarkan makan siang untuk suami tercintanya."Ganteng, kan, tapi?" Goda Karina sambil menahan tawa. Heni sendiri kok tadi yang bilang kalau cowok yang nabrak dia tadi subuh itu ganteng."Ya tapikan kalo ngeselin kayak dia tuh ya, ilang deh gantengnya di mata aku, Rin!" Kembali Heni menggerutu, membuat tawa Karina akhirnya pecah.Karina tertawa terbahak-bahak membayangkan wajah Heni pasti saat ini tengah cemberut dengan bibir monyong lima centi. Sayang sekali dia tidak melihat langsung wajah manyun itu, kalau iya, pasti Karina akan tidak berhenti tertawa."Karin! Jangan gitu ah!" Kembali Heni kembali berteriak, membuat Karina berusaha menghentikan tawanya takut Heni
"Jadi, ibu ngomong apa aja tadi, Sayang?"Operasi sudah usai, Yudha dan Karina tengah mencuci tangan bersih-bersih. Ini kali pertama Karina masuk OK. Padahal dia belum mulai koas, bisa begitu karena jangan lupa bahwa suaminya yang memimpin operasi tadi. Jadilah Karina bisa menyusup ke dalam. Kalau tidak? Mana bisa? "Banyak. Kita ngobrol banyak tadi, Mas." Jawab Karina sambil mengeringkan tangan. "Ada obrolan aneh-aneh?" Kejar Yudha yang yakin, pasti ibunya sudah mulai membuat istrinya sakit kepala. "Mas ...." Desis Karina lirih, "Ibu kayaknya udah pengen banget cucu dari kamu."Sudah Yudha duga! Yudha tersenyum, ia menarik tangan sang istri, membawanya keluar dari sana. Ada obrolan penting dan agak privasi yang tidak bisa mereka bahas di sini, tentu tempat paling tepat adalah ruangan Yudha sendiri, bukan? "Balik ke ruangan Mas, kita belum makan, kan, tadi?"***Heni mencebik, seharian ini mood-nya anjlok. Selain
"Hai!"Heni mencebik ketika mendapati Karina sudah muncul di depan pintu kamar kostnya. Di tangan Karina ada beberapa plastik, salah satunya dengan logo donat favorit orang se-Indonesia. Hal yang membuat Heni lantas membuka pintu lebar-lebar sambil nyengir. "ASTAGA, HEN! ITU TANGAN SAMPAI KAYAK GITU?" teriak Karina terkejut mendapati bekas parut panjang di tangan Heni. Heni menghela napas panjang, menarik Karina masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "Iya! Gila nggak tuh dokter somplak? Ini ntar biaya buat ngilangin bekas luka sama bayar rumah sakitnya tadi mahalan buat ngilangin bekasnya, Rin!" Gerutu Heni sambil menatap tangan kirinya. "Kau simpan nomor dokter itu? Minta tanggung jawab lah suruh bawa ke klincan kalo gitu. Laser kek, atau apa kek." Karina langsung duduk di karpet bulu milik Heni, meletakkan plastik-plastik yang dua bawa. Ada donat, dua cup boba dan jangan lupa ada takoyaki juga. Komplit untuk menemani mereka
"Dasar! Rasain sekarang!"Tawa Karina belum mau berhenti, ia masih terkekeh geli membayangkan bagaimana ekspresi Heni tadi. Berapa merah wajah sahabatnya dan jangan lupa muka cemberut Heni yang macam bebek ketinggalan barisan.Karina naik ke atas mobil, ia harus segera pulang. Ada mertua yang stay di rumah dan jangan lupa, beberapa jam lagi suaminya pulang. Yudha sudah Mewanti-wanti untuk tidak pulang terlalu sore, bukan? Karina langsung membawa mobilnya pergi. Di jok samping masih ada sekotak donat yang sengaja dia beli khusus untuk Ningsih. Sebuah oleh-oleh sederhana yang tidak boleh dilupakan jika mama mertua sedang berkunjung. "Aku jadi penasaran sama dokter somplak si Heni. Tapi bagaimana mau cari tahu kalau nama dokter itu saja Heni tidak tahu?" Desis Karina yang jujur heran dengan kelakuan Heni.Senyum masih merekah di wajah Karina, dengan santai ia membawa mobilnya melaju membelah jalanan. Setelah ini apa yang hendak dia lakukan
Heni tergagap, wajahnya memanas dan langsung ia tundukkan sambil memegangi plastik berisi belanjaannya. "Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni lirih. "Sama-sama." Jawabnya sambil melangkah menuju pintu keluar minimarket. Heni mengekor, mengajarkan langkahnya di sisi lelaki itu. Dilihat dari pakaiannya, agaknya tempat tinggal lelaki menyebalkan ini tidak jauh dari minimarket. Dia terlihat begitu santai dengan outfitnya. Ah! Heni lupa, outfit para lelaki memang selalu simpel begini, kan? "Masih sakit?"Heni kembali tersentak, ia menatap lelaki itu dengan saksama. Dia masih mengkhawatirkan Heni? Atau hanya basa-basi tanya? "Lumayan, nyerinya masih." Jawab Heni apa adanya. "Obatnya jangan lupa di minum. Kau pake jaket begitu nggak sakit di lukanya?"Dokter ini cerewet sekali! Tapi bukankan itu memang naluri yang harus dimiliki seorang dokter? "Dikit, Mas. Habis mau bagaimana lagi? Panas kalo nggak pa
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?