"Hai!"
Heni mencebik ketika mendapati Karina sudah muncul di depan pintu kamar kostnya. Di tangan Karina ada beberapa plastik, salah satunya dengan logo donat favorit orang se-Indonesia. Hal yang membuat Heni lantas membuka pintu lebar-lebar sambil nyengir."ASTAGA, HEN! ITU TANGAN SAMPAI KAYAK GITU?" teriak Karina terkejut mendapati bekas parut panjang di tangan Heni.Heni menghela napas panjang, menarik Karina masuk dan menutup pintu rapat-rapat."Iya! Gila nggak tuh dokter somplak? Ini ntar biaya buat ngilangin bekas luka sama bayar rumah sakitnya tadi mahalan buat ngilangin bekasnya, Rin!" Gerutu Heni sambil menatap tangan kirinya."Kau simpan nomor dokter itu? Minta tanggung jawab lah suruh bawa ke klincan kalo gitu. Laser kek, atau apa kek." Karina langsung duduk di karpet bulu milik Heni, meletakkan plastik-plastik yang dua bawa.Ada donat, dua cup boba dan jangan lupa ada takoyaki juga. Komplit untuk menemani mereka"Dasar! Rasain sekarang!"Tawa Karina belum mau berhenti, ia masih terkekeh geli membayangkan bagaimana ekspresi Heni tadi. Berapa merah wajah sahabatnya dan jangan lupa muka cemberut Heni yang macam bebek ketinggalan barisan.Karina naik ke atas mobil, ia harus segera pulang. Ada mertua yang stay di rumah dan jangan lupa, beberapa jam lagi suaminya pulang. Yudha sudah Mewanti-wanti untuk tidak pulang terlalu sore, bukan? Karina langsung membawa mobilnya pergi. Di jok samping masih ada sekotak donat yang sengaja dia beli khusus untuk Ningsih. Sebuah oleh-oleh sederhana yang tidak boleh dilupakan jika mama mertua sedang berkunjung. "Aku jadi penasaran sama dokter somplak si Heni. Tapi bagaimana mau cari tahu kalau nama dokter itu saja Heni tidak tahu?" Desis Karina yang jujur heran dengan kelakuan Heni.Senyum masih merekah di wajah Karina, dengan santai ia membawa mobilnya melaju membelah jalanan. Setelah ini apa yang hendak dia lakukan
Heni tergagap, wajahnya memanas dan langsung ia tundukkan sambil memegangi plastik berisi belanjaannya. "Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni lirih. "Sama-sama." Jawabnya sambil melangkah menuju pintu keluar minimarket. Heni mengekor, mengajarkan langkahnya di sisi lelaki itu. Dilihat dari pakaiannya, agaknya tempat tinggal lelaki menyebalkan ini tidak jauh dari minimarket. Dia terlihat begitu santai dengan outfitnya. Ah! Heni lupa, outfit para lelaki memang selalu simpel begini, kan? "Masih sakit?"Heni kembali tersentak, ia menatap lelaki itu dengan saksama. Dia masih mengkhawatirkan Heni? Atau hanya basa-basi tanya? "Lumayan, nyerinya masih." Jawab Heni apa adanya. "Obatnya jangan lupa di minum. Kau pake jaket begitu nggak sakit di lukanya?"Dokter ini cerewet sekali! Tapi bukankan itu memang naluri yang harus dimiliki seorang dokter? "Dikit, Mas. Habis mau bagaimana lagi? Panas kalo nggak pa
"Keterlaluan kamu, Sayang!"Yudha menggerutu begitu ia dan istrinya masuk ke dalam kamar. Bagaimana nasib dua kuning telur tadi? Tentu sudah tandas masuk ke dalam perut Yudha. "Kau tau, kan, Sayang? Di dalam kuning telur mentah itu ada bakterinya? Kenapa kamu tega melihat dan membiarkan suamimu makan itu?"Karina terkikik, ia menjatuhkan diri ke atas kasur. Sementara Yudha, nampak ia melepaskan atasan scrub-nya, duduk di tepi ranjang yang lain sambil mencoba merasakan perutnya yang mual. "Lah gimana, tadi aku juga dipaksa ibu minum jamu. Jadi biar impas Mas juga minum dong!" Gerutu Karina dengan bibir mencebik. Yudha lantas menoleh, menatap wajah istrinya yang cemberut. "Kamu makan kuning telur mentah juga, Rin?" Tentu Yudha terkejut luar biasa, memang tidak semua akan berakhir buruk, tapi makan kuning telur mentah bisa menyebabkan keracunan di beberapa kasus. "Ya nggak sih, tapi pahit!" Gumam Karina lirih. Yudha me
“Masss ....” Karina merengek begitu mereka masuk ke dalam kamar. “Aku belum siap hamil, serius nggak bohong.”Yudha melirik sang istri yang lansung menjatuhkan pantat di tepi kasur. Wajahnya cemberut dan matanya sedikit memerah. Yudha menutup dan mengunci pintu kamar mereka, mendekati sang istri lalu ikut menjatuhkan diri di samping istrinya itu.Tangannya segara merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan. Kalau dilihat, mereka tidak seperti suami-istri, lebih mirip kakak-beradik karena tinggi badan yang begitu jomplang dan tentu saja umur mereka yang cukup jauh.“Biar nanti Mas ngomong sama ibu, oke? Kamu jangan khawatir.” Bisik Yudha sabar, tangannya mengelus kepala istrinya penuh kasih.“Kenapa nggak sekalian tadi ngomongnya?” protes Karina yang nampak anteng dalam dekapan tubuh Yudha, ia melirik sang suami, kan bisa tadi Yudha bicara terus terang perihal ketidaksiapan Karina jika disuruh hamil di saat-s
Yudha tersenyum lebar sambil menutup pintu kamarnya. Ia menang banyak malam ini dan Karina sama sekali tidak punya kesempatan untuk lolos darinya. Yudha melangkah turun dari lantai dua rumahnya. Jika ibunya tidak menonton tv di lantai atas, maka sudah bisa dipastikan Ningsih menonton tv bersama Mbok Dar di lantai bawah.Ada hal yang ingin Yudha bicarakan dengan ibunya malam ini juga. Apalagi kalau bukan keinginan sang ibu yang berbanding terbalik dengan keinginan sang istri. Lalu bagaimana dengan keinginan Yudha? Dia sih ikut istrinya, bagaimanapun yang akan mengalami dan menjalani semua proses menabjubkan itu adalah Karina, bukan Yudha.Karina yang akan banyak berkorban, mulai dari perubahan fisik, emosional dan segala macam perubahan yang mungkin dia belum benar-benar siap untuk mengalami hal dan progres itu terjadi begitu cepat kepadanya.Benar saja, senyum Yudha merekah ketika mendapati Ningsih sedang asyik menyimak sinteron kesayangan emak-emak se-Indonesia
"Siap koas, Sayang?"Yudha memeluk istrinya yang sudah rapi dengan setelan scrub itu dari belakang. Memeluk erat-erat tubuh itu sambil menghirup rambut beraroma floral kesukaan Yudha. Hari ini, perjalanan Karina untuk meraih gelar dokternya kembali di mulai. Ia sudah mulai aktif kepaniteraan klinik mulai hari ini. "Siap! Jangan galak-galak kayak kemarin pas aku di stase bedah nanti! Awas nggak aku kasih jatah nanti!" Ancam Karina sambil melirik gemas ke arah sang suami. Yudha sontak terkekeh, "Kau memaksa suamimu menjalankan praktik nepotisme, Sayang?""Pokoknya awas galak-galak! Tidur luar!" Karina membalikkan badan, menatap Yudha dengan tatapan setengah mengancam. Yudha yang dapat tatapan mengintimidasi macam itu sontak nyengir lebar dan garuk-garuk kepala. Kalau ancamannya itu, mana bisa Yudha tahan? Tidur sambil memeluk Karina dan menyembunyikan wajah di ceruk leher Karina adalah sebuah kebiasaan baru Yudha yang tidak bisa diganggu
“Heni, langsung ikut saya ke IGD ya.”Heni membelalak, baru pertama koas juga dan dia langsung diajak residen anak tahun ke dua itu untuk ikut dia ke IGD? Ah ... rasanya visiting bangsal lebih ia butuhkan untuk sekedar mengingat dan hafal ruang per ruangan sekaligus kenalan sama perawat di poli, tapi kenapa ini ... ah! Heni tidak bisa berkutik, bisa apa keset rumah sakit macam dia ini?“Ba-baik, Dokter.”Wanita dengan paras ayu dan kulit kuning langsat itu tersenyum. Dari wajahnya bisa Heni lihat kalau dokter Yona orangnya sabar dan tidak banyak bicara. Beda dengan penanggung jawab Karina, wajahnya jutek, judes persis seperti suami Karina! Apes memang si Karin, agaknya dia memang dikelilingi orang-orang yang bermuka dingin.Heni mengekor di belakang dokter Yona. Di sana pasti bakal banyak koas juga, entah yang baru masuk seperti dia atau koas senior yang sudah mau lulus. Harapan Heni tentu supaya mereka bisa diajak kerja sama dan t
"Jahit dulu lukanya, Dek!" Titah salah seorang perawat IGD pada Heni. Heni hanya mengangguk, handscoon sudah terpasang di kedua tangan, siap melakukan perintah yang diberikan untuk menjahit luka robek di dahi anak sepuluh tahun itu. Beginilah nanti kerja Heni sampai beberapa tahun ke depannya mungkin. Tapi apapun itu, demi gelar yang begitu dia impikan selama ini, apapun akan Heni lakukan. Heni tengah serius, beberapa koas yang lain masing-masing punya pasien yang harus mereka pegang dan urus untuk kemudian mereka konsulkan, ada beberapa bahkan yang langsung didampingi residen sambil menunggu konsulen datang ke IGD. IGD penuh hari ini! Saat ini! Kutukan macam apa ini? Baru pertama kali koas dan kondisi IGD macam ini?Heni begitu serius, di saat yang sama sosok lelaki dengan snelli lengan panjang dan setelan scrub warna biru melangkah masuk ke dalam IGD. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga kemudian matanya membelalak ketika m
Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
"Ini bagus!" Brian menunjuk setelan piyama lengan panjang merek ternama dengan warna biru dan motif roket yang ada di tangan Heni. Mereka berdua tengah sibuk memilih perintilan perbayian untuk isi parcel hadiah lahiran dari Heni untuk Karina. Operasi berjalan lancar. Bayi laki-laki dengan BBL 3700 gram itu lahir tanpa kurang suatu apapun. Sehat, lengkap, normal dan lahir dengan penuh cinta. Karina sudah mengirimkan foto Arjuna Putra Yudhistira, nama anak Karina yang menurut Heni sedikit rancu dan bisa mengacaukan cerita pewayangan. Bagaimana tidak? Dalam kisah pewayangan, bapak dari Arjuna itu Prabu Pandudewanata! Bukan Yudhistira! Yudhistira itu saudara laki-laki Arjuna, bukan bapaknya! Tapi mau protes pun sia-sia. Sudah Heni lancarkan protes itu dan kau tahu apa jawaban Karina? "Ya itu kan Arjuna di cerita wayang, ini Arjuna versi aku sama Mas Yudha. Jadi ya jangan di samakan!"Begitulah pembelaan dari Dewi Karina, ibu dari Arjuna versinya sendiri dan Prabu Yudha Anggara Yudhist
Yudha berlari dengan sedikit tergesa begitu selesai menerima telepon dari Anwar. Kebetulan sekali, jadwal operasinya mundur terdesak cito operasi pasien kecelakaan yang langsung ditangani oleh spesialis bedah saraf. Jadi tanpa membuang banyak waktu Yudha segera meluncur ke VK, tempat di mana istrinya sekarang berada. Keringat sebesar biji jagung sudah membasahi wajah Yudha. Ia begitu panik dan khawatir. Bukan apa-apa, hanya saja pemeriksaan yang terakhir sedikit mengkhawatirkan. Posisi kepala janin memang sudah di bawah, yang jadi masalah tentu adalah kepala janin yang tidak mau turun ke panggul! Padahal, saat mendekati HPL harusnya posisi kepala janin sudah dibawah dan masuk ke panggul. Tapi tidak dengan jagoan Yudha. Hal yang membuat jantung Yudha takikardia karena kalau sampai kontraksi dan lain-lain lantas tidak bisa membuat kepala janin masuk panggul, tentu sudah tahu opsi apa yang harus Karina ambil, bukan? "Gimana, War?" Tanya Yudha begitu sampai di VK. Napasnya terengah-eng
"Udah sering konpal, Rin?"Heni melirik Karina yang duduk di kursi, ia trenyuh melihat perut membukit Karina yang terkadang menjadi alasan Karina sedikit kesusahan bergerak. "Dikit, kenapa?" Karina menoleh, nampak tersenyum simpul menatap Heni yang memperhatikan dirinya dari tempat Heni duduk. "Gimana rasanya, Rin? Aku lihat kayaknya kamu bahagia banget gitu." Heni menopang dagu, masih memperhatikan Karina yang sibuk mengelus perut membukitnya.Karina menatap Heni, senyumnya merekah ikut menopang dagu dan membalas tatapan kepo Heni yang tersorot sejak tadi. "Mau tau? Yakin?" Goda Karina sambil menaikkan kedua alis. Heni mencebik, ia mengangkat wajahnya, menegakkan kepala sambil mengerucutkan bibir. Ia tahu kemana arah bicara Karina, tahu apa yang akan dikatakan Karina perihal jawaban dari pertanyaan yang tadi ia lontarkan kepada Karina. "Nggak jadi kepo deh!" Heni melipat dua tangannya di dada. Pandangannya lurus ke depan, menatap pintu IGD yang tertutup dan sama sekali tidak ter
"Nah kelihatan sekarang, Yud!" Teriak Anwar yang hampir membuat Yudha melonjak. Yudha menyipitkan mata, menatap layar monitor guna melihat apa yang terpampang di sana. Sedetik kemudian senyum Yudha melebar, nampak matanya berbinar bahagia. "Jangan kau ajari baku hantam, Yud! Cukup bapaknya yang bar-bar, anaknya jangan!" Gumam Anwar sambil melirik Yudha yang masih tersenyum lebar. "Iya tuh, Dok! Takut saya diajarin macam-macam sama bapaknya nanti!" Gumam Karina yang nampak speechless dengan mata berkaca-kaca. Akhirnya kelihatan juga! Setelah beberapa kali Yudha junior itu enggan menunjukkan bagian paling sensitif miliknya, kini terlihat begitu jelas di layar monitor! Laki-laki! Anak mereka laki-laki! Sesuai dengan harapan Yudha yang ingin anak pertama lelaki. Supaya bisa membantu Yudha menjaga adik perempuan dia nantinya!"Yang jelas nggak bakalan diajarin main cewek, Rin. Aku jamin itu! Bapaknya aja kuper, nggak jago deketin cewek!" Ledek Anwar yang spontan membuat Yudha meliri
Minggu ini rumah Yudha begitu sepi. Mbok Dar izin pulang kampung. Jadilah hanya Yudha dan Karina yang ada di rumah. Semoga di hari minggu ini mereka bisa lebih tenang. Tidak ada oncall atau cito atau apapun lah itu! Yudha tengah duduk santai bersandar di sofa lantai bawah ketika Karina muncul dan langsung duduk, melingkarkan kedua tangan ke tubuh Yudha dan memeluknya erat-erat. Yudha tersenyum, sudah tidak kaget lagi dia kalau Karina seperti ini. Bukankah istrinya ini memang manja? Terlebih ketika kemudian positif hamil. "Hari ini mau kemana? Pengen ngapain?" Tanya Yudha sambil mengelus-elus puncak kepala Karina. "Nggak pengen kemana-mana. Pengen kelon aja seharian." Jawabnya singkat dengan kepala bersandar di dada.Yudha terkekeh. Semenjak hamil, bisa Yudha rasakan kalau Karina begitu berbeda. Bahkan untuk urusan 'orang dewasa', Karina lebih on dari biasa. Padahal Yudha harus hati-hati betul agar anak mereka tidak kenapa-kenapa, eh malah ibunya yang terkadang terlalu 'liar' dan b
Karina dengan melangkah dengan sedikit susah payah ketika sosok itu tiba-tiba muncul dan berdiri di hadapan Karina. Sejenak Karina tertegun, namun langkah Tasya yang mantab yang jelas mendekatinya membuat Karina segera sadar dari rasa terkejutnya. Menantikan apa yang hendak Tasya katakan atau sampaikan kepadanya. "Selamat pagi, Dok!" Sapa Karina begitu Tasya sudah berdiri tepat di hadapannya. "Jangan sekaku itu sama saya, Rin. Santai saja." Gumam Tasya sambil tersenyum. Kini Karina terkejut, pasti Tasya punya sesuatu hal yang penting sampai-sampai dia menemui Karina seperti ini. Tapi apa? Apakah ada hubungannya dengan suaminya? Atau malah dengan Dinda? "Rin ...." Panggil suara itu ketika Karina hanya membisu. "Iya, Dok?" Alis Karina berkerut, fix! Tasya ada perlu dengan dirinya kalau begini! "Saya tadi ketemu suami kamu, mau minta tolong tapi dia bilang saya harus ketemu dan ngomong langsung ke kamu, Rin." Ujarnya lirih. Mata Karina membelalak, Tasya menemui suaminya? Untuk apa
"Yud!"Itu suara Andreas, Yudha menghela napas panjang. Kenapa lagi dokter anestesi itu? Suka banget sih menganggu Yudha? Heran! Yudha memperlambat langkahnya, nampak Andreas terengah-engah melangkah di sisinya. Yudha hanya melirik sekilas, apa lagi yang hendak dia bicarakan? Mengajak ghibah lagi? Atau apa? "Kenapa?" Tanya Yudha yang terus melangkahkan kaki. "Itu mantanmu si blackpink itu, dia mengundurkan diri, Yud!" Gumam Andreas dengan sangat serius. Alis Yudha terangkat. Benarkah? Tasya mengundurkan diri? Jadi dia sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit ini? Alhamdulillah, kenapa rasanya hati Yudha begitu lega? Itu artinya dia tidak perlu was-was dan Karina bisa tenang di masa kehamilannya! "Oh ya? Serius? Aku seneng dengernya, And!" Desis Yudha dengan senyum lebar. "Ah kamu!" Andreas mencebik. "Nggak ada yang bening-bening lagi, Yud!" Desis Andreas lemas. Yudha terbahak, bening? Andreas tidak tahu saja bagaimana wujud Tasya dulu. Ketika dia dan Tasya masih sama-sama berjua
Sebulan kemudian ... "Rin! Ayolah!" Yudha menarik tangan Karina, berharap sang istri yang masih terbaring di atas ranjang mau bangkit dan turun dari kasur. Karina melepaskan tangan Yudha, menggeleng dengan mantab tanpa berniat bangun dari posisi rebahan asyiknya hari itu. Yudha menghela napas panjang, ia menggeleng perlahan, sangat gemas setengah mati dengan istrinya ini. Perut Karina sudah mulai menyembul. Terlihat menggemaskan sekali di mata Yudha. Membuat Yudha rasanya ingin terus mengelus lembut perut itu kapanpun. Masalahnya cuma satu! Semenjak hamil, Karina jadi malas banget buat mandi! Dia selalu muntah parah tiap mencium aroma sabun. Semua merek dan jenis sabun sudah Yudha beli, hasilnya nihil! Bahkan sabun yang satu itu, sabun yang biasanya digunakan anak-anak untuk membersihkan cadaver juga Yudha belikan saking gemas bagaimana caranya supaya Karina mau mandi. Dan hasilnya, sama sekali tidak membuat Karina lantas mau membersihkan diri. "Sayang, mandi gih! Apa mau ke spa?