"Kau tahu nggak sih, Rin? Dia itu ngeselin banget tau nggak!"
Karina menyimak suara itu dengan saksama. Wajahnya menahan geli, ia sudah beres membantu Mbok Dar dan Ningsih memasak. Kini waktunya dia bersantai sejenak sebelum nanti ia harus ke rumah sakit untuk menemui dan mengantarkan makan siang untuk suami tercintanya."Ganteng, kan, tapi?" Goda Karina sambil menahan tawa. Heni sendiri kok tadi yang bilang kalau cowok yang nabrak dia tadi subuh itu ganteng."Ya tapikan kalo ngeselin kayak dia tuh ya, ilang deh gantengnya di mata aku, Rin!" Kembali Heni menggerutu, membuat tawa Karina akhirnya pecah.Karina tertawa terbahak-bahak membayangkan wajah Heni pasti saat ini tengah cemberut dengan bibir monyong lima centi. Sayang sekali dia tidak melihat langsung wajah manyun itu, kalau iya, pasti Karina akan tidak berhenti tertawa."Karin! Jangan gitu ah!" Kembali Heni kembali berteriak, membuat Karina berusaha menghentikan tawanya takut Heni"Jadi, ibu ngomong apa aja tadi, Sayang?"Operasi sudah usai, Yudha dan Karina tengah mencuci tangan bersih-bersih. Ini kali pertama Karina masuk OK. Padahal dia belum mulai koas, bisa begitu karena jangan lupa bahwa suaminya yang memimpin operasi tadi. Jadilah Karina bisa menyusup ke dalam. Kalau tidak? Mana bisa? "Banyak. Kita ngobrol banyak tadi, Mas." Jawab Karina sambil mengeringkan tangan. "Ada obrolan aneh-aneh?" Kejar Yudha yang yakin, pasti ibunya sudah mulai membuat istrinya sakit kepala. "Mas ...." Desis Karina lirih, "Ibu kayaknya udah pengen banget cucu dari kamu."Sudah Yudha duga! Yudha tersenyum, ia menarik tangan sang istri, membawanya keluar dari sana. Ada obrolan penting dan agak privasi yang tidak bisa mereka bahas di sini, tentu tempat paling tepat adalah ruangan Yudha sendiri, bukan? "Balik ke ruangan Mas, kita belum makan, kan, tadi?"***Heni mencebik, seharian ini mood-nya anjlok. Selain
"Hai!"Heni mencebik ketika mendapati Karina sudah muncul di depan pintu kamar kostnya. Di tangan Karina ada beberapa plastik, salah satunya dengan logo donat favorit orang se-Indonesia. Hal yang membuat Heni lantas membuka pintu lebar-lebar sambil nyengir. "ASTAGA, HEN! ITU TANGAN SAMPAI KAYAK GITU?" teriak Karina terkejut mendapati bekas parut panjang di tangan Heni. Heni menghela napas panjang, menarik Karina masuk dan menutup pintu rapat-rapat. "Iya! Gila nggak tuh dokter somplak? Ini ntar biaya buat ngilangin bekas luka sama bayar rumah sakitnya tadi mahalan buat ngilangin bekasnya, Rin!" Gerutu Heni sambil menatap tangan kirinya. "Kau simpan nomor dokter itu? Minta tanggung jawab lah suruh bawa ke klincan kalo gitu. Laser kek, atau apa kek." Karina langsung duduk di karpet bulu milik Heni, meletakkan plastik-plastik yang dua bawa. Ada donat, dua cup boba dan jangan lupa ada takoyaki juga. Komplit untuk menemani mereka
"Dasar! Rasain sekarang!"Tawa Karina belum mau berhenti, ia masih terkekeh geli membayangkan bagaimana ekspresi Heni tadi. Berapa merah wajah sahabatnya dan jangan lupa muka cemberut Heni yang macam bebek ketinggalan barisan.Karina naik ke atas mobil, ia harus segera pulang. Ada mertua yang stay di rumah dan jangan lupa, beberapa jam lagi suaminya pulang. Yudha sudah Mewanti-wanti untuk tidak pulang terlalu sore, bukan? Karina langsung membawa mobilnya pergi. Di jok samping masih ada sekotak donat yang sengaja dia beli khusus untuk Ningsih. Sebuah oleh-oleh sederhana yang tidak boleh dilupakan jika mama mertua sedang berkunjung. "Aku jadi penasaran sama dokter somplak si Heni. Tapi bagaimana mau cari tahu kalau nama dokter itu saja Heni tidak tahu?" Desis Karina yang jujur heran dengan kelakuan Heni.Senyum masih merekah di wajah Karina, dengan santai ia membawa mobilnya melaju membelah jalanan. Setelah ini apa yang hendak dia lakukan
Heni tergagap, wajahnya memanas dan langsung ia tundukkan sambil memegangi plastik berisi belanjaannya. "Terima kasih banyak, Mas." Desis Heni lirih. "Sama-sama." Jawabnya sambil melangkah menuju pintu keluar minimarket. Heni mengekor, mengajarkan langkahnya di sisi lelaki itu. Dilihat dari pakaiannya, agaknya tempat tinggal lelaki menyebalkan ini tidak jauh dari minimarket. Dia terlihat begitu santai dengan outfitnya. Ah! Heni lupa, outfit para lelaki memang selalu simpel begini, kan? "Masih sakit?"Heni kembali tersentak, ia menatap lelaki itu dengan saksama. Dia masih mengkhawatirkan Heni? Atau hanya basa-basi tanya? "Lumayan, nyerinya masih." Jawab Heni apa adanya. "Obatnya jangan lupa di minum. Kau pake jaket begitu nggak sakit di lukanya?"Dokter ini cerewet sekali! Tapi bukankan itu memang naluri yang harus dimiliki seorang dokter? "Dikit, Mas. Habis mau bagaimana lagi? Panas kalo nggak pa
"Keterlaluan kamu, Sayang!"Yudha menggerutu begitu ia dan istrinya masuk ke dalam kamar. Bagaimana nasib dua kuning telur tadi? Tentu sudah tandas masuk ke dalam perut Yudha. "Kau tau, kan, Sayang? Di dalam kuning telur mentah itu ada bakterinya? Kenapa kamu tega melihat dan membiarkan suamimu makan itu?"Karina terkikik, ia menjatuhkan diri ke atas kasur. Sementara Yudha, nampak ia melepaskan atasan scrub-nya, duduk di tepi ranjang yang lain sambil mencoba merasakan perutnya yang mual. "Lah gimana, tadi aku juga dipaksa ibu minum jamu. Jadi biar impas Mas juga minum dong!" Gerutu Karina dengan bibir mencebik. Yudha lantas menoleh, menatap wajah istrinya yang cemberut. "Kamu makan kuning telur mentah juga, Rin?" Tentu Yudha terkejut luar biasa, memang tidak semua akan berakhir buruk, tapi makan kuning telur mentah bisa menyebabkan keracunan di beberapa kasus. "Ya nggak sih, tapi pahit!" Gumam Karina lirih. Yudha me
“Masss ....” Karina merengek begitu mereka masuk ke dalam kamar. “Aku belum siap hamil, serius nggak bohong.”Yudha melirik sang istri yang lansung menjatuhkan pantat di tepi kasur. Wajahnya cemberut dan matanya sedikit memerah. Yudha menutup dan mengunci pintu kamar mereka, mendekati sang istri lalu ikut menjatuhkan diri di samping istrinya itu.Tangannya segara merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan. Kalau dilihat, mereka tidak seperti suami-istri, lebih mirip kakak-beradik karena tinggi badan yang begitu jomplang dan tentu saja umur mereka yang cukup jauh.“Biar nanti Mas ngomong sama ibu, oke? Kamu jangan khawatir.” Bisik Yudha sabar, tangannya mengelus kepala istrinya penuh kasih.“Kenapa nggak sekalian tadi ngomongnya?” protes Karina yang nampak anteng dalam dekapan tubuh Yudha, ia melirik sang suami, kan bisa tadi Yudha bicara terus terang perihal ketidaksiapan Karina jika disuruh hamil di saat-s
Yudha tersenyum lebar sambil menutup pintu kamarnya. Ia menang banyak malam ini dan Karina sama sekali tidak punya kesempatan untuk lolos darinya. Yudha melangkah turun dari lantai dua rumahnya. Jika ibunya tidak menonton tv di lantai atas, maka sudah bisa dipastikan Ningsih menonton tv bersama Mbok Dar di lantai bawah.Ada hal yang ingin Yudha bicarakan dengan ibunya malam ini juga. Apalagi kalau bukan keinginan sang ibu yang berbanding terbalik dengan keinginan sang istri. Lalu bagaimana dengan keinginan Yudha? Dia sih ikut istrinya, bagaimanapun yang akan mengalami dan menjalani semua proses menabjubkan itu adalah Karina, bukan Yudha.Karina yang akan banyak berkorban, mulai dari perubahan fisik, emosional dan segala macam perubahan yang mungkin dia belum benar-benar siap untuk mengalami hal dan progres itu terjadi begitu cepat kepadanya.Benar saja, senyum Yudha merekah ketika mendapati Ningsih sedang asyik menyimak sinteron kesayangan emak-emak se-Indonesia
"Siap koas, Sayang?"Yudha memeluk istrinya yang sudah rapi dengan setelan scrub itu dari belakang. Memeluk erat-erat tubuh itu sambil menghirup rambut beraroma floral kesukaan Yudha. Hari ini, perjalanan Karina untuk meraih gelar dokternya kembali di mulai. Ia sudah mulai aktif kepaniteraan klinik mulai hari ini. "Siap! Jangan galak-galak kayak kemarin pas aku di stase bedah nanti! Awas nggak aku kasih jatah nanti!" Ancam Karina sambil melirik gemas ke arah sang suami. Yudha sontak terkekeh, "Kau memaksa suamimu menjalankan praktik nepotisme, Sayang?""Pokoknya awas galak-galak! Tidur luar!" Karina membalikkan badan, menatap Yudha dengan tatapan setengah mengancam. Yudha yang dapat tatapan mengintimidasi macam itu sontak nyengir lebar dan garuk-garuk kepala. Kalau ancamannya itu, mana bisa Yudha tahan? Tidur sambil memeluk Karina dan menyembunyikan wajah di ceruk leher Karina adalah sebuah kebiasaan baru Yudha yang tidak bisa diganggu