“Masss ....” Karina merengek begitu mereka masuk ke dalam kamar. “Aku belum siap hamil, serius nggak bohong.”
Yudha melirik sang istri yang lansung menjatuhkan pantat di tepi kasur. Wajahnya cemberut dan matanya sedikit memerah. Yudha menutup dan mengunci pintu kamar mereka, mendekati sang istri lalu ikut menjatuhkan diri di samping istrinya itu.
Tangannya segara merengkuh tubuh mungil itu ke dalam pelukan. Kalau dilihat, mereka tidak seperti suami-istri, lebih mirip kakak-beradik karena tinggi badan yang begitu jomplang dan tentu saja umur mereka yang cukup jauh.
“Biar nanti Mas ngomong sama ibu, oke? Kamu jangan khawatir.” Bisik Yudha sabar, tangannya mengelus kepala istrinya penuh kasih.
“Kenapa nggak sekalian tadi ngomongnya?” protes Karina yang nampak anteng dalam dekapan tubuh Yudha, ia melirik sang suami, kan bisa tadi Yudha bicara terus terang perihal ketidaksiapan Karina jika disuruh hamil di saat-s
Yudha tersenyum lebar sambil menutup pintu kamarnya. Ia menang banyak malam ini dan Karina sama sekali tidak punya kesempatan untuk lolos darinya. Yudha melangkah turun dari lantai dua rumahnya. Jika ibunya tidak menonton tv di lantai atas, maka sudah bisa dipastikan Ningsih menonton tv bersama Mbok Dar di lantai bawah.Ada hal yang ingin Yudha bicarakan dengan ibunya malam ini juga. Apalagi kalau bukan keinginan sang ibu yang berbanding terbalik dengan keinginan sang istri. Lalu bagaimana dengan keinginan Yudha? Dia sih ikut istrinya, bagaimanapun yang akan mengalami dan menjalani semua proses menabjubkan itu adalah Karina, bukan Yudha.Karina yang akan banyak berkorban, mulai dari perubahan fisik, emosional dan segala macam perubahan yang mungkin dia belum benar-benar siap untuk mengalami hal dan progres itu terjadi begitu cepat kepadanya.Benar saja, senyum Yudha merekah ketika mendapati Ningsih sedang asyik menyimak sinteron kesayangan emak-emak se-Indonesia
"Siap koas, Sayang?"Yudha memeluk istrinya yang sudah rapi dengan setelan scrub itu dari belakang. Memeluk erat-erat tubuh itu sambil menghirup rambut beraroma floral kesukaan Yudha. Hari ini, perjalanan Karina untuk meraih gelar dokternya kembali di mulai. Ia sudah mulai aktif kepaniteraan klinik mulai hari ini. "Siap! Jangan galak-galak kayak kemarin pas aku di stase bedah nanti! Awas nggak aku kasih jatah nanti!" Ancam Karina sambil melirik gemas ke arah sang suami. Yudha sontak terkekeh, "Kau memaksa suamimu menjalankan praktik nepotisme, Sayang?""Pokoknya awas galak-galak! Tidur luar!" Karina membalikkan badan, menatap Yudha dengan tatapan setengah mengancam. Yudha yang dapat tatapan mengintimidasi macam itu sontak nyengir lebar dan garuk-garuk kepala. Kalau ancamannya itu, mana bisa Yudha tahan? Tidur sambil memeluk Karina dan menyembunyikan wajah di ceruk leher Karina adalah sebuah kebiasaan baru Yudha yang tidak bisa diganggu
“Heni, langsung ikut saya ke IGD ya.”Heni membelalak, baru pertama koas juga dan dia langsung diajak residen anak tahun ke dua itu untuk ikut dia ke IGD? Ah ... rasanya visiting bangsal lebih ia butuhkan untuk sekedar mengingat dan hafal ruang per ruangan sekaligus kenalan sama perawat di poli, tapi kenapa ini ... ah! Heni tidak bisa berkutik, bisa apa keset rumah sakit macam dia ini?“Ba-baik, Dokter.”Wanita dengan paras ayu dan kulit kuning langsat itu tersenyum. Dari wajahnya bisa Heni lihat kalau dokter Yona orangnya sabar dan tidak banyak bicara. Beda dengan penanggung jawab Karina, wajahnya jutek, judes persis seperti suami Karina! Apes memang si Karin, agaknya dia memang dikelilingi orang-orang yang bermuka dingin.Heni mengekor di belakang dokter Yona. Di sana pasti bakal banyak koas juga, entah yang baru masuk seperti dia atau koas senior yang sudah mau lulus. Harapan Heni tentu supaya mereka bisa diajak kerja sama dan t
"Jahit dulu lukanya, Dek!" Titah salah seorang perawat IGD pada Heni. Heni hanya mengangguk, handscoon sudah terpasang di kedua tangan, siap melakukan perintah yang diberikan untuk menjahit luka robek di dahi anak sepuluh tahun itu. Beginilah nanti kerja Heni sampai beberapa tahun ke depannya mungkin. Tapi apapun itu, demi gelar yang begitu dia impikan selama ini, apapun akan Heni lakukan. Heni tengah serius, beberapa koas yang lain masing-masing punya pasien yang harus mereka pegang dan urus untuk kemudian mereka konsulkan, ada beberapa bahkan yang langsung didampingi residen sambil menunggu konsulen datang ke IGD. IGD penuh hari ini! Saat ini! Kutukan macam apa ini? Baru pertama kali koas dan kondisi IGD macam ini?Heni begitu serius, di saat yang sama sosok lelaki dengan snelli lengan panjang dan setelan scrub warna biru melangkah masuk ke dalam IGD. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling hingga kemudian matanya membelalak ketika m
"Aku kenal dia, Hen!" Desis Karina perlahan. Kini Heni yang terkejut, ia menoleh dan menatap Karina dengan saksama. Kenal? Bagaimana bisa? "Hah? Kenal di mana?" Kejar Heni yang terkejut mengetahui Karina ternyata kenal dengan lelaki somplak yang dia maksud. "Dia sohib Bang Kelvin. Dari SMA." Jelas Karina lirih. Heni sontak menepuk jidatnya, menggelengkan kepala perlahan sambil menghela napas panjang. Jadi begitu? Apakah abangnya Karina ini sama somplaknya dengan Brian sampai mau berteman bahkan bersahabat dengan lelaki macam Brian begini? "Dah, kalo begini, Rin, aku pilih hamil dan melahirkan lima kali daripada harus berjodoh sama dia!" Tentu Heni ingat betul taruhan mereka. Tidak masalah Heni harus 5 kali hamil dan melahirkan, asal bukan dengan lelaki macam dia Heni menikah dan menyerahkan diri untuk ditiduri! Setengah hari bersama Brian saja Heni sudah sakit kepala dan frustasi, apalagi harus menikah dengan lelaki seperti
"Jadi dia temen kamu, Rin?"Tentu Brian terkejut ketika mendapati Heni tengah duduk dan nampak mengobrol dengan Karina. Gadis yang juga adik dari Kevin, sahabatnya sejak SMA. Gadis yang sudah mematahkan hatinya karena mendadak menikahi lelaki lain. "Iya, Bang. Temen dari semester 1." Jawab Karina sambil tersenyum. Brian mengangguk, ia duduk di bangku yang ada di depan dua gadis itu. Ah ... Satu dari dua gadis itu sudah tidak lagi berstatus gadis! Sudah menjadi istri orang! "Jadi Abang yang kemarin nyerempet Heni?" Mata Karina membulat, sementara bisa Brian lihat Heni melengos, memalingkan muda wajah cemberut. Brian tersenyum, "Salah dia sendiri, tau-tau nongol." Jawab Brian sambil melirik Heni yang sontak membelalak menatapnya. "Eh, apaan? Kau yang nyetir nggak pakai mata, Mas!" Salak Heni galak membuat Brian melotot gemas. Berani sekali gadis ini! Dia lupa kalau strata mereka berbeda di rumah sakit ini? Koas menem
"Sayang!" Yudha menoleh, mendapati sangat istri sudah berdiri di belakangnya dengan senyum manis. Yudha membalikkan badan, mengelus lembut kepala istri mungilnya dengan penuh kasih. "Loh sendiri? Bodyguard kamu mana?" Tanya Yudha sambil mencubit gemas pipi Karina. Alis Karina berkerut. Sementara Yudha masih menatapnya dengan saksama. Bodyguard? Siapa yang Yudha maksud? Sedetikpun kemudian Karina tersenyum ketika tahu siapa yang suaminya itu maksud dengan bodyguard. "Oalah, Heni?" Tanya Karina sambil menahan tawa. "Nongkrong di kantin dianya.""Iya dong, siapa lagi?" Yudha meraih tangan sangat istri, membawa Karina melangkah menuju parkiran. Karina kembali terkekeh, akan ada banyak hal yang hendak Karina ceritakan pada suaminya ini. Entah penting atau tidak, tapi ingin rasanya Karina menceritakan semua itu pada suaminya. "Dia protes tadi pagi, Sayang. Katanya kalau PP ke rumah sakit sama aku terus, kapan dia mau jal
“Kau balik duluan aja deh, Rin. Ini sohib abang kau benar-benar sengaja pengen nyiksa aku!”Heni memijit pelipisnya perlahan-lahan, ini sudah waktunya pulang, tetapi Brian dengan begitu rese menahannya dengan dalih dia harus menemani sosok itu visiting bangsal! Jangan lupa dokter Yona pun memberinya tugas yang sama, ah ... kenapa masa kepaniteraan klinik yang sudah dia bayangkan akan begitu indah malah jadi seperti ini sih?Bukannya prihatin, terdengar suara gelak tawa dari seberang. Heni sontak membelalak, rasanya kalau Karina ada di hadapan dia atau berada tidak jauh darinya, Heni ingin mencekik Karina sampai dia memohon ampun. Sebodoh amat suaminya dosen, Heni tidak peduli!“Rin ... please jangan rese, oke?” desis Heni yang sudah tidak mau lagi ribut-ribut. Dia sudah lelah seharian ribut dengan lelaki tengil yang bernama Brian itu.“Tanda-tanda nih, jodoh!”Mendengar kata itu kembali terucap dari mulut Karina,