Dua piring kue serta dua cangkir teh tersaji di atas meja. Ruriko dan Kasumi menikmati penganan bagian mereka. Setelah beberapa suap, barulah mereka menyesap secangkir teh hangat. Rasanya mereka merindukan momen ini: ketika keduanya makan bersama seraya berbincang hangat. Padahal dulu mereka adalah sahabat dekat. Setelah lulus, keduanya lalu sibuk meniti karir sampai akhirnya hilang kontak. Beruntung, mereka akhirnya bisa bertemu lagi sekedar untuk saling berbagi cerita. Pastinya banyak hal yang sudah terjadi.
Kasumi meletakkan cangkir tehnya lalu mengarahkan pandangan pada gadis yang masih sibuk mengacak-acak kue red velvet. Senyum lembut wanita itu tersungging melihat tingkah temannya. “Bagaimana kabarmu Ruri-chan? Bekerja di mana sekarang?”
Sosok itu tak bereaksi. Kasumi sedikit heran. Ia pun langsung menepuk punggung tangan Ruriko.
“Ruri-chan!”
“Ah.” Ruriko refleks menengadah. Ia sejak tadi melamun soal pertemuannya dengan si malaikat sampai-sampai tidak menanggapi pertanyaan Kasumi. Ruriko celingak-celinguk lalu menatap Kasumi bingung.
“Kau bekerja di mana?” Kasumi mengulang pertanyaannya.
“Oh! Aku bekerja sebagai pegawai di sekitar sini,” tukas Ruriko canggung .”Kau sendiri?”
“Bekerja paruh waktu di swalayan.” Jawaban Kasumi membuat dahi Ruriko mengernyit. Kasumi dulu terkenal pintar juga populer. Lagipula, ia ingin menjadi aktris. Tapi, kenapa malah berakhir sebagai pekerja paruh waktu?
“Bukankah terakhir kali kau ada tawaran syuting dari agensi?”
Kasumi hanya menggeleng pelan sambil menghela nafas. "Aku berhenti sebagai aktris." Ia agak menunduk saat menjawab.
"Oh, karena kau sedang mengandung?" simpul Ruriko dengan polosnya. Raut wajah Kasumi berubah sedih. Ia tersenyum getir.
"Tidak. Aku benar-benar berhenti total. Jadi aktris itu melelahkan," tukas Kasumi dengan nada kelam. Ruriko yang menangkap perubahan aura wanita itu pun langsung berupaya menghiburnya.
"Ah, aku mengerti. Tak masalah juga, Kasumi. Yang penting senang melihatmu masih sehat. Apalagi kau tengah mengandung. Anak pertamamu, bukan?"
Kasumi tersenyum. Ia menjeda percakapan sejenak sekedar untuk menyantap kue lagi. Keduanya kembali terhanyut dalam keheningan karena masing-masing fokus melihat ke luar jendela.
"Sudah lama ya. Kapan terakhir kita bertemu?" ungkap Kasumi sebelum menyeruput tehnya.
"Mungkin sekitar dua tahun lalu, ya?" Ruriko agak ragu. Ia juga kurang ingat.
"Kau masih tinggal dengan orang tuamu?" tanya Kasumi lagi. Ruriko menatap mata wanita itu sambil mengangguk.
"Ada Hana-chan. Aku membantu ibu mengurusnya karena ayah sering pergi keluar kota." jelas Ruriko sambil menyendok kue lalu memakannya.
"Hana-chan, adik tirimu itu kan?" Kasumi memastikan. Ruriko hanya mengangguk-angguk sambil mengunyah.
"Wah, terakhir kali sepertinya ia masih kecil ya." Sepasang mata Kasumi membulat antusias. Ruriko tertawa pelan.
"Ia sekarang sudah empat tahun. Aktif sekali loh." Ruriko menghela nafas, tapi sorot matanya terlihat lembut. Kasumi meniliknya lalu ikut tersenyum.
"Kalian sepertinya akur, ya." Kasumi bergurau. "Padahal dulu kau sering sekali memarahinya."
"Itu kan dulu!" Ruriko memonyongkan bibirnya. Tak lama kemudian, ia menghela nafas lalu menerawang. Sinar matanya tampak sendu. "Perlahan aku sudah menerimanya, kok. Lagipula, aku seharusnya senang memiliki ibu dan adik. Keluargaku akhirnya bisa lengkap lagi," ungkapnya.
Kasumi hanya diam sambil mengangguk mengerti. Dia-lah saksi dari kehidupan Ruriko. Bagaimana Ruriko pernah dinyatakan meninggal kemudian hidup kembali sampai bagaimana ayah dari gadis itu menikah lagi dengan sosok wanita yang hanya terpaut sepuluh tahun dari usianya. Awalnya Ruriko berkeluh kesah, kenapa ayahnya harus membuat keputusan itu. Padahal, ia tak ingin posisi ibunya tergantikan oleh figur lain. Tetapi, pada akhirnya Ruriko berlapang dada menerima keputusan sang ayah. Bahkan, ia terlihat antusias saat akan memiliki seorang adik.
"Eh, Kasumi. Ngomong-ngomong berapa usia kandunganmu?" Kasumi agak sedikit kaget karena pertanyaan spontan itu. Ia pun langsung mengarahkan pandangan pada perut besarnya. Dielusnya perut itu dengan lembut.
"Sudah jalan delapan bulan."
"Wah, sebentar lagi, ya!" ungkap Ruriko antusias.
"Bayinya laki-laki, loh. Tapi aku belum menentukan namanya." Kasumi tertawa renyah. Ruriko ikut tertawa.
"Kanata saja. Nama senpai yang kau sukai dulu!" gurau Ruriko.
"Ah! Tidak! Tidak keren sama sekali!" Kasumi melambai-lambaikan tangan sambil berjengit. Keduanya kembali tertawa.
"Lalu, mana suamimu? Aku ingin tahu siapa laki-laki yang berhasil menaklukan hatimu!" Ruriko menyerocos untuk meledek wanita itu. Tapi, di luar dugaan, Kasumi malah terkejut. Matanya membulat lalu menerawang. Raut wajahnya tegang. Ruriko yang menemukan perubahan pada siluet wajahnya langsung terkatup. Apa Kasumi tersinggung? Apa hal itu tak ingin ia bahas.
"Kasumi … ma-"
"Tidak apa-apa!" Wanita itu memotong ucapan Ruriko. Ia mencoba tersenyum walau getir. Mukanya juga masih nampak gugup.
"Dia bekerja di luar kota. Jadi jarang pulang." Kasumi menjelaskan dengan agak menggumam.
"Oh. Begitukah. Kau tinggal sendirian, dong?" Ruriko terkejut, namun bersuara pelan-pelan. Ia manggut-manggut, memutuskan untuk tidak membahas lagi, meski ia tak terlalu yakin pada penjelasan Kasumi.
"Kalau begitu, semoga kau dan calon bayimu sehat selalu," ungkap Ruriko.
“Terima kasih, Ruri-chan,” balas Kasumi sambil tersenyum manis. Keduanya pun menghabiskan makanan dan minuman mereka, lalu mengobrol lagi, kali ini membahas masa-masa kuliah. Sampai tak terasa waktu bergulir. Saat Ruriko melirik arlojinya, ia kaget melihat jarum pendek jam telah bergeser ke angka tujuh. Rasanya sudah cukup reuni singkat ini. Kini, saatnya mereka pulang.
Keduanya berpisah di trotoar. Mereka mengambil arah yang berbeda. Ruriko hendak menuju halte, sedangkan Kasumi berjalan ke arah lokasi pertemuan Ruriko dengan si malaikat.
Ah! Ruriko jadi ingat momen itu lagi. Dalam sekejap, suasana hatinya dirundung frustasi. Ruriko harus kembali ke misinya untuk mencari keberadaan malaikat itu. Ia tak ingin usahanya kembali sia-sia. Tapi, malaikat itu adalah makhluk yang misterius, kalau tak mau dibilang pengecut. Mereka bisa pergi dan menghilang sesuka hati, sehingga Ruriko harus menggunakan cara khusus untuk bisa menangkapnya
Tapi, bagaimana? Ruriko tak memiliki pengetahuan soal malaikat. Ia jenis malaikat apa? Kapan ia muncul? Ruriko tak bisa menentukannya.
Gadis itu kembali merogoh tas lalu mengambil gantungan boneka malaikat yang baru ia beli. Siluet boneka itu terefleksi di bola matanya. Beberapa menit ia terpaku sambil mengingat momen demi momen pertemuannya dengan malaikat itu. Ruriko sempat mengikutinya ke suatu tempat, yaitu perumahan penduduk di pinggir kota. Pasti makhluk itu memiliki tujuan tersendiri ke sana.
Mungkin saja lokasi itu bisa memberikan petunjuk lain. Besok, Ruriko berencana kembali ke sana. Ia memang tak terlalu yakin akan dugaannya sendiri, tapi daripada menyerah, lebih baik ia mencoba dulu.
Ya, semua itu demi bertemu dengan malaikat penolongnya. Ruriko menarik nafas lalu mendekap boneka malaikat itu. Ia memejamkan kedua matanya. Bayangan sosok yang tersenyum penuh kehangatan itu terbayang dalam benak Ruriko.
“Aku pasti akan bertemu denganmu.”
Dengan semangat membara, Ruriko melewati kerumunan manusia yang berjejal di trotoar. Sore itu, Ruriko buru-buru pulang dari kantor menuju ke area apartemen di pinggir kota, tempat di mana ia pertama kali bertemu dengan sang malaikat.Sampai di area apartemen, Ruriko mulai memelankan langkahnya. Sambil terus mengedari pandangan, kaki Ruriko menapaki jalanan berpasir. Ia pun berhenti sejenak lalu celingak celinguk. Seperti kemarin, suasana di lokasi ini amat sepi, seolah tidak ada tanda-tanda kehidupan. Ditambah dengan suasana sore. Langit menggelap. Kumpulan gagak berkoak.Ruriko mengusir rasa takutnya. Ia bertekad tak akan pulang sebelum bertemu dengan sang malaikat. Meski ia harus berada di sini sampai tengah malam.Malaikat, ayo tunjukkan dirimu! Sebagai sosok yang terkenal mem
“Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan.”Ruriko menghembuskan nafas lega setelah mendengar ucapan dari sang dokter klinik. Hanya ia yang duduk berhadapan dengan sang dokter di ruang konsultasi. Kasumi masih berbaring di ruang rawat, meski ia sudah siuman. Kondisinya masih lemah sehingga wanita itu perlu beristirahat sebentar.“Selama hamil, sebaiknya jangan bekerja terlalu berat. Mungkin temanmu terlalu memporsirnya sehingga ia kelelahan.” Pria paruh baya itu menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Mungkin saja resep obat. Setelah itu, ia pun menyerahkannya pada Ruriko.“Anda bisa menebusnya di bagian farmasi.”“Terima kasih, Dok.” Menerimanya, Ruriko membungkuk sopan. Setelah mohon diri, ia pun melangkah
Pelaku yang diduga wanita mendorong tubuh Kasumi sampai ia terjatuh dari balkon. Menurut keterangan saksi mata, sempat terdengar suara pertengkaran yang bersumber dari apartemen Kasumi. Sampai akhirnya, terlihat pelaku melesakkan tubuh Kasumi kuat-kuat ke balkon. Wanita itu pun langsung terjatuh dari lantai dua. Sementara itu si pelaku langsung kabur begitu saja. Saat ini, Polisi berusaha melacak keberadaannya.Kasumi sendiri langsung mendapat pertolongan intensif. Ia tengah berada di ruang operasi. Kondisinya cukup parah. Ia mengalami patah tulang dan luka berat di bagian kepala. Yang fatal memang luka di kepalanya, sehingga Kasumi belum juga siuman. Dengan kondisinya yang lemah, nyawa bayi yang dikandungnya juga ikut terancam.Mengurut keningnya, Ruriko berusaha menenangkan diri dari kekalutan. Tetapi, mengetahui kondisi Kasumi serta bayinya
Menu makan malam yang menggiurkan itu bahkan tak mampu menggugah selera Ruriko. Di meja makan, gadis itu hanya melamun sembari memegang sumpit dan mangkuk masing-masing di kedua tangannya. Gelagat Ruriko sontak menimbulkan tanda tanya bagi para penghuni meja makan, namun yang berani menegurnya terlebih dahulu adalah sang ibu.“Kenapa, Ruri-chan?”Gadis itu tersentak seolah suara ibunya berhasil mengembalikannya ke dunia nyata. Setelah itu, Ruriko hanya tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala.“Aku mau ke kamar ya” Meletakkan sumpit dan mangkuk di atas meja, Ruriko pun berdiri. Teguran sang ibu kembali menahannya.“Tidak makan? Kau jadi jarang makan loh,” tukas wanita itu cemas. Ruriko kembali menggoreskan senyum.
Ruriko yang tengah terlelap itu merasa sedikit terusik ketika sebuah benda lembut menyentuh bagian pipinya. Tanpa membuka mata, tangan Ruriko merenggut benda itu lalu membuangnya begitu saja. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali bisa menikmati alam mimpi.Kini, ia tertidur dengan posisi terlentang. Wajah gadis itu kembali berubah gelisah ketika merasakan sebuah benda lembut bermain-main di sekitar hidungnya.Ruriko mengerang. Ia menangkap benda itu lalu membuka matanya. Dengan kesal, ia membuka kepalan tangannya untuk mencari tahu benda apa yang sudah dua kali mengusik tidur damainya. Ekspresi gadis itu seketika berubah heran saat menemukan sehelai bulu sayap berwarna putih pada telapak tangannya.Apakah ia tengah bermimpi? Kenapa ada bulu sayap malaikat di dalam tangkuban tangannya?
Rapalan doa dibacakan oleh pendeta kuil sebagai pengantar bagi jiwa yang telah berpisah dengan raganya, agar bisa meninggalkan dunia dengan tenang.Suasana khidmat terasa kental dalam upacara pemakaman Kasumi Shiraishi. Setelah dinyatakan meninggal dunia, jenazahnya langsung disemayamkan di kuil pada keesokan harinya. Semua kerabat, rekan kerja, bahkan sosok-sosok yang mengenal wanita itu turut hadir untuk memberikan ungkapan bela sungkawa.Ruriko hanyalah segelintir dari puluhan orang yang mengikuti upacara pemakaman. Ia sendiri memilih duduk di barisan paling belakang, seolah menyembunyikan diri entah dari siapa. Mungkin dari sosok Kasumi yang membayanginya lewat foto di altar.Selama upacara berlangsung, tangis dari anggota keluarga memenuhi ruangan. Beberapa orang yang terbawa oleh suasana duka itu j
“Saya mohon untuk mempertimbangkannya lagi.” Ruriko membungkuk formal pada sepasang suami istri berusia tua di hadapannya. Kakek dan nenek itu saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.“Ruriko-san. Aku mengerti perasaanmu sebagai teman dekat. Tapi, bagaimanapun ini masalah keluarga kami. Dan keputusan kami sudah bulat untuk tidak mengurusnya,” ucap pria tua itu.“Tapi, siapa yang akan mengurusnya? Kasihan kalau bayi itu dibiarkan sendirian.” Ruriko menunduk sedih “Ia berhak memiliki keluarga, bukan?” Ucapannya dibuat menggumam.“Untuk masalah ini, kau tak perlu cemas. Kami sudah mempertimbangkan untuk membawanya ke panti asuhan.” Kali ini sosok wanita tua yang mengenakan yukata angkat bicara. Ruriko kaget mendengarny
Kepindahan bayi itu ke panti asuhan sebentar lagi, tinggal menunggu Erina sebagai salah satu pengurus untuk mengisi data-data bayi mendiang Kasumi Shiraishi. Tak ada pihak keluarga yang datang. Hanya Ruriko sendiri yang mendampingi Erina. Itu juga karena ia kebetulan bertemu di waktu yang sama.“Namanya belum diputuskan juga ya?” Erina terlihat kebingungan berhadapan dengan salah satu petugas rumah sakit. Ia harus mengurus terlebih dahulu berkas-berkas kepindahan bayi itu ke Panti Asuhan Yurikago. Tapi, pihak keluarga belum memberikan nama pada bayi itu. Pihak rumah sakit juga sepertinya tidak memiliki wewenang untuk memberi nama. Kalau belum ada nama, pasti akan sulit mendaftarkan si bayi sebagai anggota baru.“Nama?” Sambil menggumam, Ruriko langsung teringat sesuatu. Sebelum meninggal, Kasumi sempat membocorkan nama bayi itu. Sa
Aturan yang pertama, malaikat harus menyelesaikan tugas yang sudah dibebankan kepadanya. Aturan kedua, tiap malaikat tak boleh sering berhubungan dengan malaikat lain, apalagi manusia. Aturan ketiga ...."Ruriko-san!"Konsentrasi Ruriko terpecah oleh sebuah seruan. Tersentak, gadis itu mengedar pandangan untuk mencari siapa yang tengah memanggilnya. Sepasang mata gadis itu tertuju pada kerubungan anak-anak panti asuhan. Tampak Kazu yang berada di luar kerumunan, menyerukan nama Ruriko sembari melambaikan kedua tangannya."Ruriko-san! Michi terluka!"Ruriko yang tadinya menyendiri di salah satu ayunan seketika bergerak mendatangi kerumunan itu. Saat sosok dewasa mendatangi mereka, kerumunan anak-anak panti asuhan mulai renggang, seolah membiarkan Ruriko melihat k
“Jadi begitu. Karena malaikat itu, kau bisa hidup kembali.” Bibir Rio sedikit mengerut saat menggumamkan kesimpulan dari cerita Ruriko. Kontras dengan Mirai, reaksinya lebih kalem. Si malaikat berwujud wanita cantik itu juga tidak langsung menghakimi perbuatan salah satu kaumnya yang sudah berani melawan garis takdir.Sambil melajukan sepedanya perlahan, Ruriko mengangguk-angguk. Pandangan matanya tak lepas dari sosok yang melangkah di sampingnya.Pertemuan mereka tak disengaja. Ruriko tengah mengendarai sepedanya kembali ke rumah setelah menyambangi minimarket untuk berbelanja. Ia melihat sebuah bulu sayap terbang di antara sepasang ibu dan anak yang berjalan di depannya. Untung saja, Ruriko sudah terbiasa dengan penampakan itu sehingga responnya lebih tenang. Ditunggunya perubahan wujud bulu itu sampai menjadi malaikat. Tak disan
Denting piano menggema di penjuru aula, sebagai intro dari lagu yang dibawakan oleh paduan suara anak-anak panti asuhan. Erina sebagai pengiring musik ikut bernyanyi sambil sesekali melirik ke jajaran anak-anak berseragam merah. Mereka tampak menghayati lagu meski penontonnya hanya sedikit.Ada orang tua angkat Rio duduk berdampingan di barisan terdepan. Rio dipangku oleh sang ibu. Di belakang mereka, terdapat para pengurus panti asuhan. Sisanya, di baris terbelakang hanyalah kursi-kursi kosong. Sebenarnya, Ruriko yang menempatinya, tetapi ia malah ditunjuk menjadi seksi dokumentasi dadakan. Sejak tadi, Ruriko berpindah-pindah tempat untuk membidik gambar dari sudut terbaik, meski ia bukanlah fotografer profesional. Yang penting momen-momen penting ini bisa terekam.Sembari menjalankan tugasnya, sesekali mata Ruriko mengedari sekitar ruangan, mencar
Jika para manusia menganggap malaikat adalah makhluk superior, maka mereka salah besar. Mereka hanya sosok-sosok yang hidup untuk menjalankan tugas, soliter, bahkan tak berarti. Kehidupan mereka juga bergantung pada keberhasilan dalam melaksanakan tanggung jawab. Jika gagal, mereka akan menerima hukuman. Jika berhasil, ada tugas berikutnya yang menanti. Alur itu berulang terus sampai keberadaan sang malaikat lenyap secara perlahan tergerus oleh aliran waktu. Saat menjalani hidup sebagai malaikat, tugasnya adalah untuk menjaga ikatan manusia. Ketika manusia berselisih paham dengan manusia lain, ia berusaha untuk menyatukannya kembali. Caranya dengan mempengaruhi manusia melalui bisikan-bisikannya, yang dikenal oleh manusia sebagai nurani. Terkadang malaikat itu sering merasakan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mempengaruhi p
Sudah hampir tengah malam, tetapi sosok Rio belum juga ditemukan. Ruriko, Erina, serta Kazu pun mulai putus asa. Padahal, Kazu sudah mencarinya ke tempat-tempat favorit Rio yang hanya ia ketahui, tetapi hasilnya tetap saja nihil. “Apa kita lanjutkan besok saja? Ada bantuan dari pihak keamanan juga. Mereka pasti tengah mencari Rio. Kita tunggu kabar dari mereka saja, ya,” usul Erina sambil melirik arlojinya. Mereka bertiga sudah sama-sama kelelahan sehingga ingin rasanya segera pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Tetapi, mereka takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Rio kalau mereka menjeda pencarian ini. “Tapi, Rio-chan. Aku cemas,” ucap Ruriko murung. Erina langsung menyentuh tangan Ruriko lalu menggeleng pelan. Ia sebenarnya juga takut, tetapi ia tak mau berpikir macam-macam. “Semua akan b
Ranting pohon adalah kuasnya. Pekarangan adalah kanvas kosongnya. Dua media itu sudah cukup untuk menuangkan kreativitas si anak berkuncir dua.Sambil berjongkok, sepasang mata kelerengnya bersorot serius menciptakan sebuah gambar berupa dua sosok berdampingan. Tangan berupa garis lurus itu terlihat tumpang tindih, seolah mereka sedang berpegangan erat. “Rio dan Kazu.” Ia bergumam. Tak lama kemudian, ia diam. Menggunakan ranting pohon, ia langsung menghapus gambar sosok yang berperawakan lebih besar. “Kazu membenci Rio,” bisik anak itu. Sorot matanya berubah sendu. Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. “Pergi saja sendiri! Aku tak akan ikut!” “Tapi, bukankah kau mau bersama Rio-chan? Mereka akan mengadopsimu juga.”
“Dua manusia itu ya?” Si malaikat kembali menggumam saat Ruriko mengajaknya bicara di tempat lain yang lebih sepi. Mereka menuju ke halaman belakang, dekat gudang. Tempat yang jarang dijamah orang itu rasanya cocok untuk berdiskusi. “Ya. Rio-chan ingin diadopsi, bukan? Tapi, Kazu sebenarnya tak setuju.” Ruriko berusaha menjelaskan meski ia sebenarnya yakin si malaikat pasti lebih tahu seluk beluknya. Malaikat itu bersedekap lalu mengangguk pelan. Ia menghembuskan nafasnya lamat-lamat. “Sebenarnya mereka hanya salah paham. Anak laki-laki itu cukup keras kepala untuk menemui anak perempuan itu.” Mata Ruriko memandangi si malaikat. Meski tugasnya sudah jelas untuk memperbaiki hubungan Kazu dan Rio, Ruriko sampai saat ini ia masih belum tahu ia jenis malaikat apa. Memang ada ya malaikat yang bertuga
Kemunculan malaikat tak pernah bisa diprediksi. Ketika Ruriko seharian berada di panti asuhan, ia tak menemukan Mirai. Tapi, saat Ruriko sedang sendirian di kamarnya, malaikat itu malah muncul. Tapi, Ruriko yang sedang galau tak sempat untuk terkejut. Ia bahkan mengabaikan kehadiran makhluk itu, lebih memilih fokus pada pemikirannya tentang kejadian sore tadi. “Tak biasanya kau terlihat murung.” Merasa diabaikan, makhluk yang berada persis di samping Ruriko pun menegurnya. Gadis yang duduk di atas ranjangnya hanya melirik singkat dengan muka masam. Setelah itu, ia kembali menerawang. Hembusan nafas malaikat itu terdengar. Sepertinya manusia di sampingnya sedang tak minat untuk diajak ngobrol. Daripada keberadaannya tak diacuhkan, lebih baik ia pergi saja. “Aku berusaha membantu malaikat itu.” Ruriko m
Keesokan harinya, Ruriko mengadakan kunjungan lagi ke panti asuhan. Ia memang sudah berjanji untuk berkunjung minimal seminggu satu kali, entah di hari sabtu, minggu, atau libur nasional. Tapi, tak ada salahnya juga berkunjung dua hari berturut-turut. Ia sedang tak ada janji bepergian, lagipula Ruriko ingin mengakrabkan diri dengan penghuni panti asuhan lainnya.Dimulai dari mendekati sosok Rio yang sedang bermain bersama teman-temannya di pekarangan. Gadis kecil itu langsung menyapa semangat saat melihat sosok familiar mendatanginya. Ruriko membalas lambaian tangannya lalu berjongkok di dekat anak itu.“Sedang apa, Rio-chan?” tanya Ruriko ramah.“Kejar-kejaran,” Rio menjawab singkat. Setelah itu ia berteriak lalu berlari saat seorang anak berusaha menangkapnya. Derai tawa mereka