“Dia baik-baik saja. Hanya kelelahan.”
Ruriko menghembuskan nafas lega setelah mendengar ucapan dari sang dokter klinik. Hanya ia yang duduk berhadapan dengan sang dokter di ruang konsultasi. Kasumi masih berbaring di ruang rawat, meski ia sudah siuman. Kondisinya masih lemah sehingga wanita itu perlu beristirahat sebentar.
“Selama hamil, sebaiknya jangan bekerja terlalu berat. Mungkin temanmu terlalu memporsirnya sehingga ia kelelahan.” Pria paruh baya itu menuliskan sesuatu di atas secarik kertas. Mungkin saja resep obat. Setelah itu, ia pun menyerahkannya pada Ruriko.
“Anda bisa menebusnya di bagian farmasi.”
“Terima kasih, Dok.” Menerimanya, Ruriko membungkuk sopan. Setelah mohon diri, ia pun melangkah ke luar ruangan.
Sembari menelusuri koridor menuju ke bagian farmasi, pandangan mata Ruriko tertuju pada secarik kertas dalam pegangannya. Pikirannya melayang pada momen satu jam lalu, ketika menyaksikan Kasumi kehilangan kesadaran. Ruriko amat panik sehingga ia hanya menangis sambil memanggil-manggil nama sahabatnya itu. Beruntung, ada seorang pria melintas lalu membantu Ruriko membopong Kasumi ke klinik terdekat. Tak lama dibaringkan di kamar rawat, Kasumi pun akhirnya siuman.
Ruriko mencapai bagian farmasi lalu menyerahkan kertas resep itu. Ia pun duduk di kursi ruang tunggu. Saat melihat jam, ternyata sudah tengah malam. Bus kota yang membawa Ruriko ke rumahnya pasti sudah berhenti beroperasi sehingga mau tak mau ia harus naik taksi.
Tapi …. Ruriko memikirkan lagi keputusannya. Rasanya ia tak tega meninggalkan Kasumi sendirian, apalagi dalam kondisi pemulihan pasca siuman. Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada wanita itu di apartemennya? Pasti tak akan ada yang bisa menolongnya karena Kasumi tinggal sendirian.
Sudah diputuskan! Ruriko akan menginap semalam di apartemen wanita itu. Sekedar untuk menjaganya sampai kondisinya membaik.
“Pasien atas nama Shiraishi Kasumi!” Terdengar suara dari apoteker. Ruriko langsung datang lalu mengambil obat yang disiapkan. Setelah itu, ia menuju ke ruang rawat. Sambil melangkah, Ruriko mengetik pesan untuk ibunya, mengabari kalau malam ini ia tak pulang ke rumah karena ada urusan pekerjaan.
Ya, urusan pekerjaan saja. Ia tak mau wanita itu ikut cemas dan berpikiran macam-macam. Padahal Ruriko sudah dewasa sehingga bisa menjaga diri..
Kasumi masih berbaring sambil memandangi langit-langit ruang rawat ketika Ruriko masuk. Panggilan gadis itu menyentakkannya. Kasumi langsung berpaling lalu tersenyum lemah. Ia memperhatikan sosok penuh semangat yang melangkah agak tergesa sambil membawa bungkusan plastik berisi obat.
“Ruriko, maaf ya merepotkanmu,” tukas Kasumi lemah. Ruriko tersenyum sambil menggeleng pelan. Ia menduduki kursi yang berada di samping ranjang pasien.
“Tidak apa-apa. Ngomong-ngomong, aku akan menginap di apartemen-mu ya. Aku cemas kau kenapa-kenapa.”
“Ah, tidak perlu!” respon Kasumi sungkan. Wanita itu yang malah mencemaskan Ruriko. “Keluargamu bagaimana? Lagipula, besok kau harus bekerja, bukan?”
“Tak masalah. Besok pagi aku akan pulang.” Ruriko menjelaskan sambil tersenyum lebar. “Setelah itu, kau hubungi saja kedua orang tuamu. Biar mereka yang menjagamu di apartemen.” Ruriko mencerocos lagi, tanpa menyadari perubahan ekspresi muka sahabatnya. Kesuraman kembali terlukis di wajahnya. Sepasang mata Kasumi menerawang sendu.
“Kasumi.” Ruriko menyesal karena lagi-lagi ia sudah mengatakan sesuatu yang membuat sahabatnya murung.
“Ah, tidak. Tidak apa-apa.” Kasumi menggeleng. “Aku masih kuat kok.”
“Jangan memaksakan dirimu! Sebentar lagi kau melahirkan, sehingga harus menjaga diri dan bayimu juga,” omel Ruriko. Kasumi langsung terkikih karena ekspresi marah Ruriko malah terlihat lucu.
“Apanya yang lucu? Aku serius loh!” Ruriko berang. Tawa Kasumi pun berganti dengan senyum manisnya.
“Ya, suster.” Kasumi menarik nafas. “Ayo pulang. Aku mau istirahat di rumah saja,” pinta Kasumi sambil menatap mata Ruriko. Ruriko sedikit keberatan, tetapi sorot mata Kasumi seolah memaksanya. Ruriko akhirnya mendesah pasrah.
“Baiklah. Tapi jalan pelan-pelan, ya.”
Kasumi hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia pun bangun dari pembaringannya. Ruriko dengan sigap menopang tubuh lemah Kasumi sampai wanita itu menuruni ranjang.
Dengan langkah pelan, mereka keluar dari ruang rawat lalu menelusuri koridor klinik. Setelah sampai di lobi, Ruriko membawa Kasumi untuk duduk di kursi tunggu, sementara ia mencari taksi. Kasumi hanya geleng-geleng kepala dengan sikap gadis itu. Ia sudah seperti sosok suami saja.
“Suami-kah?” ucap Kasumi lirih sambil mengelus perut besarnya. Bayi dalam kandungannya seolah merespon ungkapan batin sang ibu. Senyum hangat Kasumi pun tersungging.
“Maaf ya.”
***
Kasumi menekan saklar saat masuk ke apartemennya. Dalam sekejap, lampu menyala, mengekspos isi ruangan yang tersamar dalam kegelapan.
“Maaf ya agak berantakan.” Kasumi mendahului Ruriko memasuki apartemen lalu langsung menuju ke kamar, mungkin untuk berganti pakaian. Ruriko sendiri tertahan di ruang tengah. Di situ, ia pun hanya berdiri terpaku sambil melihat-lihat isi apartemen Kasumi.
Saat Kasumi keluar kamar, ia heran mendapati Ruriko yang hanya berdiri canggung. Langsung saja wanita itu mempersilahkannya duduk. Ruriko pun hanya mengangguk cepat lalu menduduki bantal kursi, menghadapi sebuah meja kayu kecil.
“Mau makan sesuatu? Aku buatkan ya?” Kasumi melangkah ke dapur. Ruriko seketika bangun untuk menahannya. Ia tidak lapar, lagi pula wanita itu seharusnya beristirahat.
“Eh, tak usah! Kau istirahat saja!”
“Tapi, kau belum makan sejak tadi.” Kasumi menatap cemas. Ruriko menghela nafas lalu menepuk-nepuk bahu sahabatnya.
“Tak perlu cemas. Aku masih kenyang.”
“Tapi ….”
“Tenang saja. Kalau lapar, aku tinggal memasak makanan instan. Kau punya, kan? Kau sendiri istirahat saja.” Setelah mengucapkan itu, Ruriko berdiri di belakang Kasumi lalu mendorong wanita itu pelan untuk membawanya ke kamar. Kasumi hanya pasrah menghadapi tingkah gadis itu.
Kasumi berbaring di atas tempat tidur. Ruriko hendak meninggalkannya agar Kasumi bisa beristirahat tanpa terganggu. Tetapi, Kasumi malah menahan pergelangan tangan Ruriko. Gadis itu pun berpaling, mendapati sepasang mata Kasumi bersorot sedih.
“Bisa tinggal di sini? Temani aku, Ruri-chan?” pinta Kasumi sungguh-sungguh. Ruriko terdiam sejenak, akhirnya mengiyakan permohonan itu. Firasatnya mengatakan kalau Kasumi ingin berbagi cerita dengannya.
Ruriko pun duduk di pinggir ranjang. Kasumi masih diam sambil berbaring terlentang. Tangannya tak henti mengelus perut, seolah memberikan buaian pada sosok yang ada di dalam rahimnya. Memperhatikannya, Ruriko pun tersenyum hangat.
“Aku ingin sekali melihat bayi ini lahir,” ungkap Ruriko lembut. Tangannya agak ragu untuk ikut mengelus perut Kasumi, tetapi wanita itu mengijinkannya.
“Tak apa Ruriko. Kau bisa menyentuhnya.”
Meski gugup, Ruriko mengelus perut sahabatnya. Pertama kali memberikan sentuhan, Ruriko merasakan sebuah kehangatan menjalar. Di dalam perut Kasumi terkandung darah daging wanita itu, makhluk hidup yang ternyata bisa merespon reaksi dari luar, seperti sentuhan, buaian, bahkan kata-kata. Mungkin, sebagai ibu, Kasumi lebih peka, terlebih perasaannya dan perasaan calon bayi itu sudah menyatu.
“Ruri-chan.” Panggilan Kasumi terdengar berat. “Anak ini …” Kasumi menjeda sejenak, seolah mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan ucapannya. “ … bukan hasil dari pernikahan sah.”
Sepasang mata Ruriko membulat sempurna. Kasumi menggunakan istilah halus, tetapi Ruriko mengerti maksudnya, sehingga ia amat terkejut.
“Hasil hubunganku dengan seorang aktor,” beber Kasumi. Kali ini ia memalingkan muka agar tidak bertatapan langsung dengan Ruriko. “Ia sudah berkeluarga, sehingga menolak bertanggung jawab.”
Kedua mata Ruriko masih membesar. Fakta demi fakta yang terkuak Ruriko kaget sekaligus sedih. Ternyata selama ini Kasumi menanggung sebuah masalah besar. Jangan-jangan, hanya Ruriko saja yang mengetahuinya.
“Mou ….” Tangan Kasumi menyentuh keningnya. Bibirnya menyunggingkan senyuman getir. “Aku bodoh ya. Orang tuaku saja sampai bilang begitu loh,” Kekehnya. “Mereka bilang sambil mengusirku dari rumah.”
“Kasumi.” Tangan Ruriko menyentuh lengan Kasumi untuk memberinya penghiburan. Ia tak mampu berkomentar lagi setelah mendengar cerita itu. Jadi, Kasumi harus melahirkan, merawat, bahkan membesarkan buah hatinya sendirian. Pastinya terlampau berat bagi wanita itu, bahkan jika itu adalah ganjaran yang harus ia terima akibat dari perbuatannya.
“Awalnya aku disuruh menggugurkan. Ia bahkan menyerahkan sejumlah uang padaku. Tapi, aku tidak mau. Aku hanya ingin dia bertanggung jawab sebagai ayahnya. Ia tetap menolak bahkan menyalahkanku. Bajingan itu,” desis Kasumi. “Aku bertekad akan melahirkan anak ini, dan terus meminta pertanggung-jawabannya.” Kasumi menghela nafas. Kali ini ia berpaling lalu mengarahkan pandangannya pada Ruriko.
“Terima kasih ya, Ruri-chan sudah mendengarkanku bercerita,” ungkap Kasumi sambil tersenyum lirih. “Kalau Mirai-chan lahir, aku akan mengabarimu, ya.”
Kata-kata Kasumi membuat Ruriko ikut tersenyum. Ia mengangguk mantap. Dalam hati, Ruriko bertekad untuk mendampingi wanita itu, bahkan membantunya merawat anak yang sebentar lagi akan lahir ini. Ia tak ingin Kasumi menanggung bebannya sendirian.
“Kau harus semangat, Kasumi-chan,” bisik Ruriko. “Jaga kesehatan demi anakmu yang sebentar lagi akan bertemu denganmu itu,”
Kasumi seketika tertawa pelan. “Baik, baik, suster.” Menghembuskan nafas, tatapan mata Kasumi terarah ke bagian perutnya. Ia mengelusnya lagi.
"Mengenai nama bayi ini, aku sudah memutuskannya …." Sunggingan senyum lembut menghiasi wajahnya. Mendengar itu, sontak saja Ruriko langsung penasaran.
"Eh, benarkah!?" Ruriko mencondongkan mukanya, menatap Kasumi antusias. "Siapa namanya?"
"Namanya …."
***
Langkah Ruriko tergesa, melewati kerumunan manusia yang berjejal di trotoar. Sambil setengah berlari, gadis itu melirik arloji. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Ia sudah sangat terlambat datang ke kediaman Kasumi. Padahal, mereka janjian akan bertemu pukul enam sore. Tapi, siapa sangka pada detik-detik menjelang berakhirnya jam kantor, atasan Ruriko langsung muncul dan memberinya setumpuk pekerjaan. Dengan ‘deadline’ sebagai satu kata sakti, mampu menahan para bawahannya untuk menambah jam kerja demi menyelesaikan pekerjaan itu.
Dengan mengebut, Ruriko pun bisa selesai sekitar pukul setengah delapan malam. Setelah mengirimkan data hasil pekerjaannya, Ruriko langsung meninggalkan kantor begitu saja. Atasannya sendiri belum mengecek. Kemungkinan besar, besok ia akan kena marah. Tapi, biarlah itu ia tanggung besok.
Gadis itu mengeluarkan ponsel. Pesan yang dikirimkan ke Kasumi kalau ia akan datang terlambat belum mendapat jawaban. Apa Kasumi juga sibuk? Pikir Ruriko sambil terus melangkah. Ia pun memutuskan untuk menghubunginya.
Nada sambung terdengar cukup lama. Sampai akhirnya, Ruriko memutus sambungan karena tak mendapat jawaban. Ia pun menyimpan ponsel. Langkah gadis itu kini terhenti. Ia mulai bimbang, haruskah ia tetap datang? Jangan-jangan Kasumi tengah beristirahat. Atau ia juga sibuk. Mungkin ia bisa datang lain waktu. Tinggal membuat janji lagi dengan wanita itu.
Bunyi sirine ambulans menyentakkannya. Pandangan mata Ruriko mengikuti laju kendaraan putih itu. Arahnya menuju ke apartemen Kasumi. Mungkin Ruriko terlalu berlebihan, tetapi perasaannya mulai tak enak. Jangan-jangan terjadi sesuatu pada wanita itu. Tapi, Ruriko seharusnya tidak terjebak dalam pemikiran negatif. Kalau dipikir-pikir, momen itu mungkin hanya kebetulan semata. Bisa jadi, ambulans itu bukan menuju ke apartemen Kasumi.
Tapi ….
Kaki gadis itu menapak lagi. Kali ini, Ruriko mulai menambah kecepatan, sampai akhirnya ia berlari untuk tiba di kediaman Kasumi. Entah kenapa, Ruriko lebih memilih untuk mengikuti intuisinya. Ia takut terjadi sesuatu pada Kasumi, sehingga Ruriko pun menuju ke sana untuk memastikannya sendiri. Kalau sudah melihat kondisi Kasumi secara langsung, barulah ia bisa merasa lega.
Sirine ambulans kembali terdengar saat ia mulai mendekati kediaman Kasumi. Semakin mendekat, bunyinya semakin keras. Jantung Ruriko berdegup kencang saat melihat mobil itu terparkir di halaman apartemen Kasumi. Orang-orang terlihat mengerubungi sesuatu di halaman. Ruriko pun langsung menuju ke kerumunan. Ia menyingkirkan orang-orang agar bisa berdiri di baris terdepan. Setelah itu, kedua mata Ruriko membelalak.
Tubuh yang terkapar bermandikan darah adalah milik Kasumi Shiraishi. Wajahnya pucat dengan mata terpejam. Melihat sosoknya yang tak berdaya, Ruriko seketika panik. Ia berusaha menghampiri sahabatnya yang tengah diangkat ke atas ranjang ambulans.
“Kasumi! Kasumi!”
“Nona tenang dulu.” Beberapa petugas dengan sigap menahan pergerakan Ruriko.Dalam kukungan petugas, Ruriko hanya mampu mengulurkan tangannya, berusaha menggapai sosok yang kini sudah dibawa ke mobil ambulans.
Air mata Ruriko mengalir deras. Ia jatuh terduduk lalu menangis tersedu-sedu. Penghuni apartemen lain mencoba menghibur gadis itu. Tapi, semua ucapan mereka tak berpengaruh sedikitpun. Ruriko amat menyesal. Kenapa ia harus datang terlambat? Andaikan ia datang lebih awal, pasti semua ini tak akan terjadi.
Pelaku yang diduga wanita mendorong tubuh Kasumi sampai ia terjatuh dari balkon. Menurut keterangan saksi mata, sempat terdengar suara pertengkaran yang bersumber dari apartemen Kasumi. Sampai akhirnya, terlihat pelaku melesakkan tubuh Kasumi kuat-kuat ke balkon. Wanita itu pun langsung terjatuh dari lantai dua. Sementara itu si pelaku langsung kabur begitu saja. Saat ini, Polisi berusaha melacak keberadaannya.Kasumi sendiri langsung mendapat pertolongan intensif. Ia tengah berada di ruang operasi. Kondisinya cukup parah. Ia mengalami patah tulang dan luka berat di bagian kepala. Yang fatal memang luka di kepalanya, sehingga Kasumi belum juga siuman. Dengan kondisinya yang lemah, nyawa bayi yang dikandungnya juga ikut terancam.Mengurut keningnya, Ruriko berusaha menenangkan diri dari kekalutan. Tetapi, mengetahui kondisi Kasumi serta bayinya
Menu makan malam yang menggiurkan itu bahkan tak mampu menggugah selera Ruriko. Di meja makan, gadis itu hanya melamun sembari memegang sumpit dan mangkuk masing-masing di kedua tangannya. Gelagat Ruriko sontak menimbulkan tanda tanya bagi para penghuni meja makan, namun yang berani menegurnya terlebih dahulu adalah sang ibu.“Kenapa, Ruri-chan?”Gadis itu tersentak seolah suara ibunya berhasil mengembalikannya ke dunia nyata. Setelah itu, Ruriko hanya tersenyum getir sambil geleng-geleng kepala.“Aku mau ke kamar ya” Meletakkan sumpit dan mangkuk di atas meja, Ruriko pun berdiri. Teguran sang ibu kembali menahannya.“Tidak makan? Kau jadi jarang makan loh,” tukas wanita itu cemas. Ruriko kembali menggoreskan senyum.
Ruriko yang tengah terlelap itu merasa sedikit terusik ketika sebuah benda lembut menyentuh bagian pipinya. Tanpa membuka mata, tangan Ruriko merenggut benda itu lalu membuangnya begitu saja. Beberapa saat kemudian, gadis itu kembali bisa menikmati alam mimpi.Kini, ia tertidur dengan posisi terlentang. Wajah gadis itu kembali berubah gelisah ketika merasakan sebuah benda lembut bermain-main di sekitar hidungnya.Ruriko mengerang. Ia menangkap benda itu lalu membuka matanya. Dengan kesal, ia membuka kepalan tangannya untuk mencari tahu benda apa yang sudah dua kali mengusik tidur damainya. Ekspresi gadis itu seketika berubah heran saat menemukan sehelai bulu sayap berwarna putih pada telapak tangannya.Apakah ia tengah bermimpi? Kenapa ada bulu sayap malaikat di dalam tangkuban tangannya?
Rapalan doa dibacakan oleh pendeta kuil sebagai pengantar bagi jiwa yang telah berpisah dengan raganya, agar bisa meninggalkan dunia dengan tenang.Suasana khidmat terasa kental dalam upacara pemakaman Kasumi Shiraishi. Setelah dinyatakan meninggal dunia, jenazahnya langsung disemayamkan di kuil pada keesokan harinya. Semua kerabat, rekan kerja, bahkan sosok-sosok yang mengenal wanita itu turut hadir untuk memberikan ungkapan bela sungkawa.Ruriko hanyalah segelintir dari puluhan orang yang mengikuti upacara pemakaman. Ia sendiri memilih duduk di barisan paling belakang, seolah menyembunyikan diri entah dari siapa. Mungkin dari sosok Kasumi yang membayanginya lewat foto di altar.Selama upacara berlangsung, tangis dari anggota keluarga memenuhi ruangan. Beberapa orang yang terbawa oleh suasana duka itu j
“Saya mohon untuk mempertimbangkannya lagi.” Ruriko membungkuk formal pada sepasang suami istri berusia tua di hadapannya. Kakek dan nenek itu saling pandang, sebelum akhirnya salah satu dari mereka angkat bicara.“Ruriko-san. Aku mengerti perasaanmu sebagai teman dekat. Tapi, bagaimanapun ini masalah keluarga kami. Dan keputusan kami sudah bulat untuk tidak mengurusnya,” ucap pria tua itu.“Tapi, siapa yang akan mengurusnya? Kasihan kalau bayi itu dibiarkan sendirian.” Ruriko menunduk sedih “Ia berhak memiliki keluarga, bukan?” Ucapannya dibuat menggumam.“Untuk masalah ini, kau tak perlu cemas. Kami sudah mempertimbangkan untuk membawanya ke panti asuhan.” Kali ini sosok wanita tua yang mengenakan yukata angkat bicara. Ruriko kaget mendengarny
Kepindahan bayi itu ke panti asuhan sebentar lagi, tinggal menunggu Erina sebagai salah satu pengurus untuk mengisi data-data bayi mendiang Kasumi Shiraishi. Tak ada pihak keluarga yang datang. Hanya Ruriko sendiri yang mendampingi Erina. Itu juga karena ia kebetulan bertemu di waktu yang sama.“Namanya belum diputuskan juga ya?” Erina terlihat kebingungan berhadapan dengan salah satu petugas rumah sakit. Ia harus mengurus terlebih dahulu berkas-berkas kepindahan bayi itu ke Panti Asuhan Yurikago. Tapi, pihak keluarga belum memberikan nama pada bayi itu. Pihak rumah sakit juga sepertinya tidak memiliki wewenang untuk memberi nama. Kalau belum ada nama, pasti akan sulit mendaftarkan si bayi sebagai anggota baru.“Nama?” Sambil menggumam, Ruriko langsung teringat sesuatu. Sebelum meninggal, Kasumi sempat membocorkan nama bayi itu. Sa
Pada akhir pekan, Ruriko mengadakan kunjungan ke Panti Asuhan Yurikago. Berbekal alamat yang tertera pada kartu nama Erina, Ruriko pun pergi sendirian ke sana. Lokasinya cukup terpencil dari pusat kota. Ruriko harus menaiki kereta api selama setengah jam kemudian menaiki bus. Setelah itu, tinggal jalan sebentar sampai ke tujuan akhir. Tepat tengah hari, ia pun sudah berdiri tercenung di depan gerbang panti asuhan. Ini kunjungan pertamanya sehingga ia merasa gugup. Suasana halaman terlihat sepi. Ruriko celingak celinguk lalu memutuskan untuk masuk saja. Ia mendorong pelan gerbang, yang ternyata tak terkunci. Akhirnya, langkah kakinya pun menapaki pekarangan berpasir.Kini, ia malah berdiri mematung di depan pintu masuk. “Permisi.” Ruriko berseru karena tak menemukan ada bel di dekat pintu. Tak perlu menunggu lama, seseorang membukakan pintu. R
Keesokan harinya, Ruriko mengadakan kunjungan lagi ke panti asuhan. Ia memang sudah berjanji untuk berkunjung minimal seminggu satu kali, entah di hari sabtu, minggu, atau libur nasional. Tapi, tak ada salahnya juga berkunjung dua hari berturut-turut. Ia sedang tak ada janji bepergian, lagipula Ruriko ingin mengakrabkan diri dengan penghuni panti asuhan lainnya.Dimulai dari mendekati sosok Rio yang sedang bermain bersama teman-temannya di pekarangan. Gadis kecil itu langsung menyapa semangat saat melihat sosok familiar mendatanginya. Ruriko membalas lambaian tangannya lalu berjongkok di dekat anak itu.“Sedang apa, Rio-chan?” tanya Ruriko ramah.“Kejar-kejaran,” Rio menjawab singkat. Setelah itu ia berteriak lalu berlari saat seorang anak berusaha menangkapnya. Derai tawa mereka
Aturan yang pertama, malaikat harus menyelesaikan tugas yang sudah dibebankan kepadanya. Aturan kedua, tiap malaikat tak boleh sering berhubungan dengan malaikat lain, apalagi manusia. Aturan ketiga ...."Ruriko-san!"Konsentrasi Ruriko terpecah oleh sebuah seruan. Tersentak, gadis itu mengedar pandangan untuk mencari siapa yang tengah memanggilnya. Sepasang mata gadis itu tertuju pada kerubungan anak-anak panti asuhan. Tampak Kazu yang berada di luar kerumunan, menyerukan nama Ruriko sembari melambaikan kedua tangannya."Ruriko-san! Michi terluka!"Ruriko yang tadinya menyendiri di salah satu ayunan seketika bergerak mendatangi kerumunan itu. Saat sosok dewasa mendatangi mereka, kerumunan anak-anak panti asuhan mulai renggang, seolah membiarkan Ruriko melihat k
“Jadi begitu. Karena malaikat itu, kau bisa hidup kembali.” Bibir Rio sedikit mengerut saat menggumamkan kesimpulan dari cerita Ruriko. Kontras dengan Mirai, reaksinya lebih kalem. Si malaikat berwujud wanita cantik itu juga tidak langsung menghakimi perbuatan salah satu kaumnya yang sudah berani melawan garis takdir.Sambil melajukan sepedanya perlahan, Ruriko mengangguk-angguk. Pandangan matanya tak lepas dari sosok yang melangkah di sampingnya.Pertemuan mereka tak disengaja. Ruriko tengah mengendarai sepedanya kembali ke rumah setelah menyambangi minimarket untuk berbelanja. Ia melihat sebuah bulu sayap terbang di antara sepasang ibu dan anak yang berjalan di depannya. Untung saja, Ruriko sudah terbiasa dengan penampakan itu sehingga responnya lebih tenang. Ditunggunya perubahan wujud bulu itu sampai menjadi malaikat. Tak disan
Denting piano menggema di penjuru aula, sebagai intro dari lagu yang dibawakan oleh paduan suara anak-anak panti asuhan. Erina sebagai pengiring musik ikut bernyanyi sambil sesekali melirik ke jajaran anak-anak berseragam merah. Mereka tampak menghayati lagu meski penontonnya hanya sedikit.Ada orang tua angkat Rio duduk berdampingan di barisan terdepan. Rio dipangku oleh sang ibu. Di belakang mereka, terdapat para pengurus panti asuhan. Sisanya, di baris terbelakang hanyalah kursi-kursi kosong. Sebenarnya, Ruriko yang menempatinya, tetapi ia malah ditunjuk menjadi seksi dokumentasi dadakan. Sejak tadi, Ruriko berpindah-pindah tempat untuk membidik gambar dari sudut terbaik, meski ia bukanlah fotografer profesional. Yang penting momen-momen penting ini bisa terekam.Sembari menjalankan tugasnya, sesekali mata Ruriko mengedari sekitar ruangan, mencar
Jika para manusia menganggap malaikat adalah makhluk superior, maka mereka salah besar. Mereka hanya sosok-sosok yang hidup untuk menjalankan tugas, soliter, bahkan tak berarti. Kehidupan mereka juga bergantung pada keberhasilan dalam melaksanakan tanggung jawab. Jika gagal, mereka akan menerima hukuman. Jika berhasil, ada tugas berikutnya yang menanti. Alur itu berulang terus sampai keberadaan sang malaikat lenyap secara perlahan tergerus oleh aliran waktu. Saat menjalani hidup sebagai malaikat, tugasnya adalah untuk menjaga ikatan manusia. Ketika manusia berselisih paham dengan manusia lain, ia berusaha untuk menyatukannya kembali. Caranya dengan mempengaruhi manusia melalui bisikan-bisikannya, yang dikenal oleh manusia sebagai nurani. Terkadang malaikat itu sering merasakan kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Memang tidak mudah mempengaruhi p
Sudah hampir tengah malam, tetapi sosok Rio belum juga ditemukan. Ruriko, Erina, serta Kazu pun mulai putus asa. Padahal, Kazu sudah mencarinya ke tempat-tempat favorit Rio yang hanya ia ketahui, tetapi hasilnya tetap saja nihil. “Apa kita lanjutkan besok saja? Ada bantuan dari pihak keamanan juga. Mereka pasti tengah mencari Rio. Kita tunggu kabar dari mereka saja, ya,” usul Erina sambil melirik arlojinya. Mereka bertiga sudah sama-sama kelelahan sehingga ingin rasanya segera pulang dan melanjutkan pencarian esok hari. Tetapi, mereka takut terjadi sesuatu yang buruk menimpa Rio kalau mereka menjeda pencarian ini. “Tapi, Rio-chan. Aku cemas,” ucap Ruriko murung. Erina langsung menyentuh tangan Ruriko lalu menggeleng pelan. Ia sebenarnya juga takut, tetapi ia tak mau berpikir macam-macam. “Semua akan b
Ranting pohon adalah kuasnya. Pekarangan adalah kanvas kosongnya. Dua media itu sudah cukup untuk menuangkan kreativitas si anak berkuncir dua.Sambil berjongkok, sepasang mata kelerengnya bersorot serius menciptakan sebuah gambar berupa dua sosok berdampingan. Tangan berupa garis lurus itu terlihat tumpang tindih, seolah mereka sedang berpegangan erat. “Rio dan Kazu.” Ia bergumam. Tak lama kemudian, ia diam. Menggunakan ranting pohon, ia langsung menghapus gambar sosok yang berperawakan lebih besar. “Kazu membenci Rio,” bisik anak itu. Sorot matanya berubah sendu. Pikirannya memutar kembali kejadian beberapa hari lalu. “Pergi saja sendiri! Aku tak akan ikut!” “Tapi, bukankah kau mau bersama Rio-chan? Mereka akan mengadopsimu juga.”
“Dua manusia itu ya?” Si malaikat kembali menggumam saat Ruriko mengajaknya bicara di tempat lain yang lebih sepi. Mereka menuju ke halaman belakang, dekat gudang. Tempat yang jarang dijamah orang itu rasanya cocok untuk berdiskusi. “Ya. Rio-chan ingin diadopsi, bukan? Tapi, Kazu sebenarnya tak setuju.” Ruriko berusaha menjelaskan meski ia sebenarnya yakin si malaikat pasti lebih tahu seluk beluknya. Malaikat itu bersedekap lalu mengangguk pelan. Ia menghembuskan nafasnya lamat-lamat. “Sebenarnya mereka hanya salah paham. Anak laki-laki itu cukup keras kepala untuk menemui anak perempuan itu.” Mata Ruriko memandangi si malaikat. Meski tugasnya sudah jelas untuk memperbaiki hubungan Kazu dan Rio, Ruriko sampai saat ini ia masih belum tahu ia jenis malaikat apa. Memang ada ya malaikat yang bertuga
Kemunculan malaikat tak pernah bisa diprediksi. Ketika Ruriko seharian berada di panti asuhan, ia tak menemukan Mirai. Tapi, saat Ruriko sedang sendirian di kamarnya, malaikat itu malah muncul. Tapi, Ruriko yang sedang galau tak sempat untuk terkejut. Ia bahkan mengabaikan kehadiran makhluk itu, lebih memilih fokus pada pemikirannya tentang kejadian sore tadi. “Tak biasanya kau terlihat murung.” Merasa diabaikan, makhluk yang berada persis di samping Ruriko pun menegurnya. Gadis yang duduk di atas ranjangnya hanya melirik singkat dengan muka masam. Setelah itu, ia kembali menerawang. Hembusan nafas malaikat itu terdengar. Sepertinya manusia di sampingnya sedang tak minat untuk diajak ngobrol. Daripada keberadaannya tak diacuhkan, lebih baik ia pergi saja. “Aku berusaha membantu malaikat itu.” Ruriko m
Keesokan harinya, Ruriko mengadakan kunjungan lagi ke panti asuhan. Ia memang sudah berjanji untuk berkunjung minimal seminggu satu kali, entah di hari sabtu, minggu, atau libur nasional. Tapi, tak ada salahnya juga berkunjung dua hari berturut-turut. Ia sedang tak ada janji bepergian, lagipula Ruriko ingin mengakrabkan diri dengan penghuni panti asuhan lainnya.Dimulai dari mendekati sosok Rio yang sedang bermain bersama teman-temannya di pekarangan. Gadis kecil itu langsung menyapa semangat saat melihat sosok familiar mendatanginya. Ruriko membalas lambaian tangannya lalu berjongkok di dekat anak itu.“Sedang apa, Rio-chan?” tanya Ruriko ramah.“Kejar-kejaran,” Rio menjawab singkat. Setelah itu ia berteriak lalu berlari saat seorang anak berusaha menangkapnya. Derai tawa mereka